infolinks

Tampilkan postingan dengan label Sci-Fi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sci-Fi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 November 2011

[Short Review] THE TREE OF LIFE & MELANCHOLIA (2011)

Film art house seringkali menimbulkan penafsiran. To the point, saya bukan pecinta jenis film ini. Film art house pada dasarnya merupakan sebuah karya artistik yang serius, tidak jarang dijadikan eksperimental si sutradara dan tidak dirancang untuk menjadi daya tarik secara umum. Satu hal yang impresif dari pengerjaan kebanyakan art house adalah aspek visual yang indah dan diusahakan sebaik mungkin untuk dialegorikan dengan plot yang ada. Di short review saya ini ada dua film art house tahun ini yang paling banyak mengundang atensi tinggi di kalangan luas, yaitu The Tree of Life dan Melancholia.

THE TREE OF LIFE
Director Terrence Malick Writer Terrence Malick
 Cast Brad Pitt, Jessica Chastain, Hunter McCracken, Sean Penn
Distributor Fox Searchlight Pictures Genre Drama, Arthouse

Menonton The Tree of Life menyebabkan dua hal; mengantuk, atau memaksa kita menelan banyak air karena kehausan. Setelah layar berubah menjadi hitam, secepatnya kata-kata “written and directed by Terrence Malick” muncul, ada dua hal yang terjadi; desahan nafas orang dan keluh syukur orang ‘akhirnya!’. Ada apa dengan film ini? Ada dua pria dalam The Tree of Life yang terpisah zaman; sosok ayah yang keras dan pengontrol, Mr. O’Brien (Brad Pitt), di Texas tahun ’50-an. Pria kedua adalah Jack O’Brien (Sean Penn), sosok dewasa dari putra Mr. O’Brien di masa kini. Dengan dimulainya film, Jack dewasa menciptakan koneksi antara dirinya dengan sang ayah dan keluarga lewat imajinasi atau memori masa kecil, yang diselingi gambar-gambar abstrak terbentuknya jagat raya oleh Terrence Malick.

Saya belum nonton film Malick kecuali ToL ini. Adalah benar kalau Tree of Life agak membosankan seperti yang saya lebih-lebihkan tadi, in a good way. The Tree of Life adalah film yang challenging dan unconvensional, memompa kesanggupan orang untuk bersedia mengikuti sajian-sajian gambar ‘aneh’ bernarasi karya Malick yang tetap solid menyajikan cerita keluarga O’Brien yang touching dan enigmatis. Tidak sekedar main-main dalam ‘membingungkan’ orang lewat semua gambar yang secara kasat mata tidak nyambung sama film, performance yang solid dari para pemain juga baik, khususnya Hunter McCracken. Makna dari film ini terbuka untuk interpretasi, tapi sebaiknya cukup ditonton tanpa perlu men-decode, mentafsir, atau memaksakan pikiran sendiri untuk mencari tahu jawaban dari film yang penuh akan pertanyaan ini. 

Rate : 1 2 3 4 5

MELANCHOLIA
Director Lars von Trier Writer Lars von Trier
 Cast 
Kirsten Dunst, Charlotte Gainsbourg, Alexander Skarsgard, Kiefer Sutherland
Distributor Magnolia Pictures Genre Drama, Arthouse, Sci-Fi

Di saat The Tree of Life berjaya di Cannes tahun lalu dengan merebut Palme d’ Or dan menjadi perbincangan karena sajian visual yang mengagetkan diluar ekspektasi penonton untuk melihat ‘film Brad Pitt’, ada juga Melancholia yang serupa tapi beda dalam bertutur. Kalau The Tree of Life lebih mengaitkan komparasi antara keluarga yang agak bermasalah dengan awal mula terbentuknya jagat raya, Melancholia justru lebih main halus dengan mengaitkan bagaimana bencana jagat raya yang akan segera terjadi di current time bisa mempengaruhi karakter seseorang. Dibintangi oleh Kirsten Dunst, memerankan Justine, yang di sela-sela acara pernikahannya dengan Michael (Alexander Skarsgard) malah merubah keputusannya. Dan berpengaruh kepada sosok sang kakak, Claire (Charlotte Gainsbourg). Film ini bukanlah apocalyptic semacam jenis lainnya yang kebanyakan mengandalkan sense of character’s patriotism, cheesy script, atau aksi pahlawan semacam Bruce Willis.

Melancholia dibagi menjadi dua bagian, Part One: Justine yang menceritakan pernikahan si Justine dan perubahan yang perlahan namun pasti menggerogoti pikirannya. Yang awalnya terlihat senang, hingga terlihat bimbang dan tidak berani bahkan tidak bertanggung jawab akan pernikahannya sendiri. Sedangkan Part Two: Claire lebih menekankan flipping antara Claire dan Justine, dimana Claire yang tadinya tenang berbalik jadi panik akan hari yang mendekati waktu ramalan planet Melancholia akan menabrak bumi. Film dibuka potongan gambar slowmotion yang keren dan ‘bersifat ending’, maksud saya menekankan bahwa akhirnya planet itu memang akan menabrak bumi. Jadi keiistimewaan Lars von Trier disini adalah memanfaatkan planet Melancholia untuk menjerumuskan kedua karakter utamanya ke dalam studi karakter; bagaimana seseorang menyikapi suatu masalah. Kirsten Dunst bermain baik disini, walaupun Gainsbourg jauh lebih dahsyat. Skarsgard muda (‘Skarsgard tua’ juga turut ambil bagian dalam film) tidak sekedar berfungsi sebagai pelengkap ruang lingkup karakterisasi, karakternya menarik simpati saya dan for a moment membuat saya nge-blame Justine. Jujur saya lebih suka dan tertarik sama Melancholia ini ketimbang ToL, karena penuturannya yang lembut dan pas dibanding Tree of Life yang menurut saya pribadi terlalu hyperbola, but still great.

Rate : 1 2 3 4 5

Jumat, 16 September 2011

[Review] CAPTAIN AMERICA: THE FIRST AVENGER (2011)

Director Joe Johnston Writers Christopher Markus, Stephen McFeely
 Cast Chris Evans, Hayley Atwell, Hugo Weaving
Distributor Paramount Pictures Genre Action, Adventure, Sci-Fi, 3D

Banyak alasan yang membuat kita merasa sayang untuk tidak menonton film-film yang hadir di tahun 2011 ini. Selain banyaknya sekuel dari film-film terdahulu masing-masing yang sangat dinanti, atau mungkin semakin menggebyarnya balutan 3D dalam pemasaran film, alasan terbesar adalah melimpahnya sajian summer ambisius yang diantaranya terselip beberapa film superhero adaptasi komik, diantaranya adalah Captain America: The First Avenger.

Ada yang menarik dari tahun 2011. Seperti yang saya katakan diatas, tahun ini dijadikan ajang “perkelahian” bagi banyak karakter berkekuatan super untuk memikat jutaan moviegoer yang kelihatannya tidak tahan lagi menunggu. Sebelum berbicara lebih jauh, entah ini pikiran saya pribadi atau mungkin ada juga yang merasa, kok sepertinya sebagian besar live-action dari Marvel punya hasil yang lebih bagus ya ketimbang punyanya DC Comics? Lihat saja banyaknya film-film Batman dan Superman yang cukup banyak dicerca. Ya meskipun begitu rasanya kebangetan kalau trilogy Batman versi Nolan dilupakan (sangat jelas ia memiliki ciri khas sendiri untuk memaksimalkan dan menaikkan pamor DC). Justru Marvel terbukti lebih konsisten dalam melahap habis-habis budget film untuk mengadaptasi tokoh-tokoh komiknya untuk selanjutnya diadaptasi ke dalam bentuk film. Dan so happy to say, hasilnya kebanyakan bagus. Well, bagaimana dengan yang satu ini?
Di tahun 1942 dimana Perang Dunia II sedang berlangsung, Amerika Serikat sedang gencar-gencarnya melawan Nazi. Memanfaatkan segala yang mampu dilakukan, AS sendiri terus-terusan merekrut pemuda di negaranya untuk dijadikan tentara dan bergabung dengan pasukan militer untuk dikirim ke medan perang di Eropa. Steve Rogers (Chris Evans) hanyalah pria kurus kerempeng dengan tinggi tidak sampai 170 cm dan mengidap asma. Keadaan fisiknya yang lemah membuat dirinya sering di-bully dan tergolong ‘kaum outcast’. Tidak peduli akan kondisinya tersebut, ia punya niat yang sangat besar untuk bergabung dengan kemiliteran. Berkali-kali mencoba, dirinya selalu ditolak dikarenakan tidak memenuhi syarat, bahkan Rogers yang memalsukan identitasnya itu tetap saja ketahuan.

Di sela-sela kunjungan ke future technologies exhibiton bersama sahabatnya, Bucky Barnes (Sebastian Stan), sikap ngotot Rogers untuk masuk kemiliteran muncul kembali dan akhirnya dipertemukan dengan ilmuwan Dr. Abraham Erskine (Stanley Tucci) yang membantunya untuk masuk ke dalam pelatihan kemiliteran. Di pelatihan ia bertemu dengan seorang ‘wonder woman’, Peggy Carter (Hayley Atwell), yang bersikap sangat tegas dan keras. Melihat niatnya yang sangat besar, Rogers diberi kesempatan lebih jauh untuk dijadikan objek dari misi rahasia “Project Rebirth” dimana dirinya disuntik serum khusus yang pada akhirnya merubah bentuk dirinya menjadi lebih tinggi, kekar, dan 4x lebih lincah dari manusia biasa dalam kinerja fisik maupun otak. Dengan dirinya yang baru, Rogers kini berubah menjadi “Captain America”, pahlawan kuat yang berjuang menyelamatkan negerinya dari pemimpin organisasi rahasia NAZI, Hydra, yaitu Johann Schmidt / Red Skull (Hugo Weaving).
Seperti yang saya katakan di awal artikel tadi, sebagian besar adaptasi live-action dari DC Comics terbukti tidak memuaskan. Lihat saja dari Superman versi jadul yang for me personally gak tertarik, dan untung diperbaiki sedikit lewat Superman Returns. Ada juga Batman and Robins yang oh-my-god sampah banget. Kegagalan dalam penggarapan yang sangat memperihatinkan tersebut coba diperbaiki oleh Nolan dengan menunjukkan bahwa prospek film yang dimiliki DC Comics bisa jadi berhasil kalau ditangani oleh tangan yang betul. Jujur saya sendiri gak pernah suka sama Tim Burton yang kayaknya makin lama makin overstyle dalam membuat karya-karyanya. Ya namanya juga udah style sendiri ya. Kembali ke Marvel, publisher komik yang satu ini beruntung memiliki jajaran film live-action yang sebagian besar bias dibilang baik dan memenuhi standar. Lihat saja mulai dari trilogy Spiderman yang terlihat seperti pintu gerbang dari kejayaan Marvel ke depannya.

But for me personally, X-Men adalah film superhero terbaik. Diluar menurunnya kualitas di The Last Stand, makin parah di spin-off Wolverine, dan untungnya diperbaiki bahkan sangat istimewa dalam prekuel First Class. Nah, melanjutkan kesuksesannya tersebut, Marvel memperkenalkan sebuah Marvel Cinematic Universe. Apa itu? Saya singkat jadi MCU, ini adalah superhero-superhero Marvel yang dishare oleh Marvel Studios dan nantinya akan disatukan ke dalam proyek mahakarya Marvel, yaitu The Avengers. Sebelum dipersatukan, satu-satu dibuat dulu spin-off nya. Mulai dari Iron Man dan Iron Man 2 (paling bagus dibandingkan spin-off MCU lainnya) arahan Jon Favreau dengan bintang Robert Downey Jr.. Selain itu ada The Incredible Hulk diikuti Thor dan Captain America di tahun yang sama. Lima superhero ini bisa ditonton dalam satu film, yaitu salah satu proyek paling ambisius tahun depan, The Avengers. Tidak hanya itu, beberapa side-kick atau tokoh pembantu dari masing-masing film juga akan muncul, sebut saja Black Widow dan Pepper Potts sampai si archer yang tidak memiliki spin-off sendiri, Hawkeye. Mereka semua dipertemukan oleh ketua agen rahasia S.H.I.E.L.D, Nick Furry.

Lalu bagaimana dengan Captain America: The First Avenger? Jujur saya termasuk orang yang puas dengan film ini. Selaku sutradara, Joe Johnston berhasil memvisualisasikan karakter Steve Rogers ini. Captain America memiliki premis sederhana yang sangat teramat umum, yaitu from zero to hero. Tidak hanya Rogers yang pernah mengalami nasib tersebut, Spiderman pun terkenal akan sejarah awalnya yang hanya seorang pemuda nerd berkacamata dan akhirnya berubah menjadi kuat berkat sengatan laba-laba. Premis simple itu dijabarkan dengan kuat namun dengan penekanan sederhana dan tidak melupakan unsure komikal dan fun itu sendiri. Dari awal saya sudah bersemangat mengikuti dan sangat enjoy walaupun sekitar 40 menit pertama cerita berkutat sebatas masa-masa menderita si Rogers yang masih bertubuh kerempeng. Tapi itu bukanlah masalah. Agak risih mendengar kritikkan banyak orang yang mempersalahkan durasi film ini yang katanya overlength. Hello, it is only ten minutes different to Thor. Sangatkah krusial untuk dipermasalahkan? Bahkan bagi saya Captain America: The First Avenger jauh lebih baik dibanding Thor yang terlalu berpaku pada myth dan aksi laga. Satu catatan penting adalah, di saat cerita merubah fokus menuju konflik utama dan action sequence, pendalaman karakter dan penekanan premis cerita tetap dilakukan secara konsisten. Lihat saja bagaimana karakter Steve Rogers tidak ada hentinya memperlihatkan sisi manusiawi bahkan sisi outcast nya yang terkadang konyol, tapi tetap membangun sisi heroic lewat aksi-aksinya. Premis cerita yang saya sebutkan tadi juga tetap ditekankan sepanjang film lewat dialog-dialog bagus yang bagi saya charming banget.

Kelemahan bisa dilihat dalam divisi acting. Diluar karakterisasi yang baik, penampilan acting para pemain didalamnya bisa dibilang biasa saja. Tidak buruk, hanya lemah. Chris Evans yang sebelumnya pernah menjadi superhero dalam Fantastic Four bermain cukup baik disini, jauh lebih dari karakter lainnya. Tidak istimewa, tapi bisa dibilang menarik. Beruntung dirinya diberikan porsi utama yang sangat maruk sehingga terasa menutup karakter lainnya. Walaupun begitu, rasanya aneh dan berlebihan kalau karakter lain dianggap gak penting. Saya suka dengan tokoh sahabat Rogers, si Bucky. Karakter ini cukup mewarnai cerita dengan beberapa humor selipan. Ada juga Peggy Carter yang melengkapi syarat film; ada cowo pasti ada cewe. Dua karakter pembantu ini juga cukup bermanfaat untuk mewarnai suasana cerita, terutama saat dramatis di pertengahan dan konklusi film. Agak disayngkan tokoh yang dimainkan Stanley Tucci begitu cepat dimatikan. Oh iya jangan lupakan si Stark yang surprisingly diberikan porsi cukup banyak. Sayangnya bagi saya si Red Skull lah yang tidak dimainkan sebagaimana seharusnya seorang villain. Like I said, banyak loh humor-humor disini. Mulai dari ‘masa kerempeng’ si Rogers, aksi panggung Sang Capt. America yang memalukan, saat Peggy melihat foto dirinya di liontin Rogers, sampai pertanyaan tanpa henti si Rogers mengenai “fondue” antara Peggy dan Stark. Inilah yang membedakan Captain America dari spin-off Avengers lain, yaitu dimaksimalisirnya sisi humor dan premis cerita tanpa mengganggu isi film itu sendiri.

Big applause saya berikan bagi kinerja sisi teknikal film. Mulai dari shot visual effect CGI untuk mencurangi bentuk badan Chris Evans hingga terlihat kerempeng. Banyak teknik dilakukan disini, mulai dari memakai body double dan nantinya ‘ditimpa’ wajah Evans sampai scene shot yang dilakukan dua kali. Cara ini mengingatkan saya akan Benjamin Button yang juga melakukan cara ini, dan sukses di Oscar. Hal lain yang dikerjakan dengan bagus adalah cinematography yang dikerjakan Shelly Johnson. Suka banget sama cinemato-nya yang impressive, jarang loh ada superhero film yang member perhatian lebih di sisi ini. Action sequences juga asik, gak kurang gak berlebihan. Agak bingung loh banyak orang yang ngomong aksi nya kurang gimana gitu, padahal pas dan bagus. Development lainnya yang menarik perhatian saya adalah art direction yang memanjakkan mata. Feel ’40-an bener-bener dapet dan juga tone warna yang colourful dan pekat semakin buat saya betah nonton. Bahkan kalau boleh sedikit lebay, make-up sampai costume design juga oke loh. Sejauh film-film yang telah saya tonton tahun ini, Captain America punya prospek Oscar yang kuat di bagian teknik.  Oh iya hampir lupa, duo Stephen McFeely dan Christopher Markus yang menangani screenplay terlihat lumayan terpengaruh oleh proyek mereka sebelumnya, yaitu tiga film Narnia yang lekat akan unsur film keluarganya.
Talking point...
Captain America is hugely and superbly fun ride to leads people into The Avengers trimming. Not as boring as people says.

Rate :
1  2  3.5  4  5

Minggu, 19 Juni 2011

Missed Ones in Early 2011 - Pt. 1

Tahun 2011 mungkin akan terus diingat, apalagi dengan peristiwa awal tahun-nya yang sangat mengagetkan para moviegoer bahkan semua orang yang suka nonton dan nunggu film-film baru muncul. Eits, hanya di Indonesia loh. Siapa sih yang nggak tahu masalah itu, film luar nggak bisa masuk Indonesia karena sekelumit masalah pajak yang sepertinya belum ditemukan jalan keluar yang bisa nguntungin dua pihak, yaitu pihak perpajakkan Indo sama MPAA. Yap, masalahnya kan emang langsung pada pihak MPAA, yang menjadi payung bagi enam penyalur film terbesar di Hollywood sana yang gemar menyodorkan banyak film bagus apalagi yang bernafas blockbuster.

Kadang suka sedih jadi masyarakat Indo, hmm, kadang udah nggak ngerti deh gimana cara menjalankan nasionalisme dan patriotisme (?). Oke keluar jalur kan. Meskipun nggak bisa nonton film-film luar yang paling ditunggu, tetep aja ada satu jalan pintas paling menyenangkan. Dvd bajakan dan download!! Hahaha, berikut lima film rilisan awal tahun 2011 yang pada akhirnya berhasil saya tonton. Masih ada banyak lagi sih, nanti saya posting-in sisanya. Lima dibawah ini termasuk film-film yang tergolong memuaskan/cukup bagus/keren, berikutnya akan saya post yang surprisingly bad.

THE ADJUSTMENT BUREAU
Director George Nolfi
Cast Matt Damon, Emily Blunt, Terence Stamp, Anthony Mackie
Distributor Universal Pictures
Genre Sci-Fi, Drama, Romance, Thriller
Release Date 4 March 2011 
Rate 3 out of 5
Mungkin Matt Damon belum bisa lepas dari bayang-bayang Bourne Trilogy-nya sehingga terlihat pasti mau banget menerima job membintangi film yang satu ini, The Adjustment Bureau. Diadaptasi dari cerita pendek berjudul The Adjustment Team, David Norris (Matt Damon) adalah politisi yg gagal mendapat kursi senator setelah dikalahkan rival kampanye-nya. Di saat-saat paska kekalahannya, secara tidak sengaja ia bertemu dgn seorang balerina bernama Elise (Emily Blunt). Di masa2 keduanya semakin dekat, hubungan mereka terancam oleh komplotan pria bertopi yang menganggap diri mereka sebagai agen takdir dan berusaha memisahkan David-Elise dgn alasan mereka keluar jalur dari takdir yang telah digariskan. Duduk di kursi sutradara, George Nolfi menjadikan The Adjustment Bureau sebagai debut karir penyutradaraannya yg pertama kali, setelah sebelumnya banyak menulis naskah u/ film-film sejenis seperti The Bourne Ultimatum dan Ocean's Twelve. Hmm, The Adjustment Bureau sendiri bukanlah sesuatu yg baru kalau dilihat sekilas. Kejar-kejaran, penguntit misterius, dll, mungkin hal yang sering dijumpai dalam film-film layaknya franchise Bourne dan Ocean's. Tapi melihat isi ceritanya sendiri, The Adjustment Bureau sedikit dibikin beda lewat pengembanan unsur sci-fi yang di-pak tidak berlebihan dan tetap "menghormati" banyak unsur lainnya seperti drama-romans itu sendiri. 

Menyinggung masalah George Nolfi yg menjadikan ini sebagai debut-nya, hasil adaptasi ini tergolong sebuah proyek yang berhasil mencapai garis kepuasan, tidak berarti sukses. Dengan mem-"blender" banyak genre ke dalamnya, semuanya berbaur dengan tidak berantakkan. Misalnya dari drama-romans yang selalu diberikan jatah tersendiri untuk mereka menikmati timingnya, lalu seketika disodorkan intens ketegangan lewat konflik antara agen takdir dan David Norris yang sebenernya pro-kontra, tidak ketinggalan lumayan banyaknya singgungan politik dan masalah kebimbangan dalam menentukkan tujuan hidup. Untung saja semuanya diatur dengan seimbang, walaupun kadang saya agak dikecewakan oleh minim-nya kejar-kejaran yang jarang muncul. The Adjustment Bureau sendiri masih memiliki banyak hal klise dimana-mana, contohnya fakta tiga tahun terpisahnya si David dan Elise. Agak ganjil loh dalam waktu sebegitu lama mereka nggak pernah ketemu sekalipun, okelah tau itu kota gede, tapi bukannya mereka suka pergi di jalur yang sama? Saya aja susah untuk nggak bisa "kebetulan ketemu" sama orang yang pernah ditemui. Hmm, selain itu, saya jg mendapati banyak hal yang harusnya bisa dilakukan para agen takdir untuk mencegah David, tapi nyatanya mereka nggak mampu, apalagi kalau disangkut-pautkan dengan ability yang mereka punya. So, kalau kata saya, film ini termasuk karya yang tergolong biasa. Nggak "wah", dan nggak "wooo". Oiya saya agak ngerasain sensasi Eagle Eye dicampur Butterfly Effect pas nonton The Adjustment Bureau!

LIMITLESS
Director Neil Burger
Cast Bradley Cooper, Abbie Cornish, Robert De Niro, Andrew Howard
Distributor Relativity Media
Genre Sci-Fi, Thriller
Release Date 8 March 2011 
Rate 2.5 out of 5
Setelah karirnya ngelonjak sejak Hangover-nya yang asli lucu tapi menurut saya orang-orang menanggapi agak berlebihan, Bradley Cooper sepertinya tambah naik lewat banyak film ber-script biasa tapi punya tingkat hiburan yang nggak terbantahkan. Kali ini di Limitless, lagi-lagi film yang jual muka tajamnya yang mencolok, Bradley Cooper memerankan seorang penulis yang sedang kelabakan dikejar deadline nulis. Tampang berantakan, hidup semrawut, sampai keadaan ekonomi yang terlihat cukup-cukupan jadi berubah drastis saat ia ketagihan mengkonsumsi NZT-48, sebuah "pil superhero" rujukan mantan adik-ipar nya yang bentuknya mini-bening. To the point aja, Limitless ngebosenin. Nggak berarti sampah, tapi alurnya sukses buat saya terobsesi untuk mendorong tubuh saya segera menggapai empuknya tempat tidur di sebelah ruangan tv. Premisnya sih menarik, berhasil buat saya penasaran dari awal tahun. Harapan saya tuh bisa melihat  tontonan yang saya kira sci-fi pinter, eh ternyata semua hal yang diceritakan terlalu ngasih fokus berat ke gimana karakter Bradley dari suffer-happy-struggle-dying. 

Saya sendiri tidak ngerti obat macam apa yang bisa ngubah pola pikir sampai pola hidup seseorang kayak di film ini, emang sih udah dijelasin, tapi tetep nggak logic aja gitu. Oke, namanya film,pasti fiksi, nggak logic, so buang aja akal pikir sehat kita bukan? Tapi anehnya udah tau Limitless sajian sci-fi yang didalamnya punya premis yang bener2 fantasi, tapi kenapa malah dilingkupin cerita yang ngarah ke arah problema kehidupan. Alhasil saya bertanya, "ini film mau nusuk arti penting dari kata humanis, ato mau semrawutin otak saya dengan misteri pil yang less-explained itu? Well, sekali lagi, nggak sampah kok. Tapi kalo disebut film pintar ya nggak bisa, kalo mau tepat anggap aja ini menghibur. Bradley, hmm, main cukup bagus. Ada karakter yang nggak penting disini, Robert DeNiro! Eits salah, karakternya sih nggak bisa dibilang nggak penting, tapi munculnya nama DeNiro sangatlah nggak penting. Hey, kenapa nggak kontrak aktor kelas C aja yang mungkin bisa lebih ngidupin karakter-nya DeNiro yang muncul kadang2 tsb. Hemat biaya dong! Aneh banget ngeliat nama DeNiro ikutan nampang di poster. Lagian nggak ngaruh kok sama arah cerita.  

HANNA
Director Joe Wright
Cast Saoirse Ronan, Eric Bana, Cate Blanchett, Tom Hallander
Distributor Focus Features
Genre Action, Crime, Thriller
Release Date 8 April 2011 
Rate 3.5 out of 5
Jarang rasanya untuk menemukan film bernyawa kuat di musim-musim awal tahun. Biasanya di masa caturwulan pertama dalam satu tahun, kebanyakan film yang beredar bisa dibilang sebagai penyejuk atau pemanasan untuk menunggu hadirnya film2 summer/blockbuster. Seperti yg saya bilang tadi, "jarang", berarti belum tentu "tidak ada". Nah, di tengah kejarangan tersebut, di tahun 2011 terhitung ada beberapa penyejuk yang saya maksud. Selain Source Code yang mengejutkan itu, ada Hanna yang rilis bulan April lalu. Bercerita mengenai Hanna (Saoirse Ronan), gadis tangguh yang hidup bersama sang "ayah", Eric Heller (Eric Bana) di tengah hutan terpencil daerah kutub. Hanna dilatih ayahnya sedari kecil layaknya militer, segala macam kekuatan fisik, otak, dan psikis disodori ayahnya untuk sesuatu yang pada dasarnya tidak terlalu dimengerti oleh Hanna hingga suatu saat ia dan sang ayah harus berpisah demi menjalani misi revenge pada musuh bebuyutan mereka, Marissa Wiegler (Cate Blanchett). Hmm, Joe Wright mungkin lebih terkenal dengan film2 melodrama-nya, misalnya Atonement yang turut dibintangi si "Hanna". Menilik track-record nya yang kelihatan lebih berfokus pada satu genre saja, Wright terbilang berhasil mengeksploitasi keberaniannya untuk tampil beda lewat Hanna ini. 

Dari awal sampai film berakhir, ada dua hal yang saya rasa memiliki similarity terhadap apa yang ditawarkan dalam film ini. Dengan karakternya yang "buta dunia", Hanna seakan mengingatkan saya terhadap film The Island thn 2005 lalu. Dan dengan sosok gadis tangguh yang dicap pada diri Hanna ini, sosok Hit-Girl lah yang pertama kali tercetus dalam pikiran saya. Sepertinya terlalu "munafik" bagi orang untuk berusaha menolak fakta adanya kesamaan antara dua karakter ini. Sebagai penyejuk di cawu awal tahun 2011, Hanna adalah suguhan yang menarik. Film ini beruntung memiliki isi yang di-pak sebegitu lengkap tanpa menimbulkan kesan berantakan. Pertama yang pasti penampilan ketiga tokoh sentral, ada Saoirse yang main gesit luar-dalam dan meyakinkan ketangguhannya lewat tatapan dingin menipunya tsb, ada juga Eric Bana yang hmm, yang walau tidak se-"pria" Hanna tapi tetap menaikkan tensi emosi dalam cerita, dan yang terakhir adalah Cate Blanchett beserta Tom Hallander sbg antagonis yg sukses membuat saya antipati. Unsur kedua yang menjadi kekuatan film ini adalah diaturnya shot demi shot kamera yang memiliki arti sendiri dari tiap adegannya, mungkin untuk menekankan detil kejujuran dari revenge dalam cerita. Semuanya berbaur jadi satu dengan rapi dan lebih mengesankan lewat scoring yang asik dan tidak se-seram ceritanya sendiri. Well, Hanna tergolong sebuah sajian yang forgettable dan tidak terlalu istimewa, terlihat dari naskah cerita yang tidak sedetil "pembantaian" teknik filmnya. But, dilihat dari pencapaian seorang Wright, Hanna rasanya boleh dijadikan salah satu film terbaik di cawu pertama tahun 2011.


DIARY OF A WIMPY KID:
RODRICK RULES
Director David Bowers
Cast Zachary Gordon, Devon Bostick, Robert Capron, Rachael Harris
Distributor 20th Century Fox
Genre Comedy
Release Date 25 March 2011 
Rate 3 out of 5
Setelah sukses dengan penghasilan yang nggak disangka sebelumnya, Diary of Wimpy Kid kembali lagi hanya berselang satu tahun dari rilisan film yang pertama. Dengan sub-title "Rodrick Rules" yang emang dari judul buku asli, film ini tetap menceritakan kehidupan belia Greg Heffley (Zachary Gordon). Kalo yang pertama ceritanya tentang gimana si Greg "menderita" di awal2 masa middle-school/smp, yang kedua ini tetep ngasih "penderitaan" ke dia lewat tingkah laku kakaknya yang jengkelin. Hmmm, saya sangat suka bukunya yang tidak susah2 tanpa hal rumit seperti kebanyakan novel standard yang sok tinggi. Cerita simple, guyonan2 kocak, sampai aksi heboh nan lebay Greg dkk yang divisualisasikan ke bentuk adapted movie book tergolong berhasil di tingkatannya. 

Agak bingung kenapa banyak kritikus2 pro diluar sana yang nganggep nih film ancur dan ruwet, pertanyaannya, ancur dimananya om?! Emang sih film pertama nggak konsisten mau ngasih jokes yang di beberapa scene banyak hal klise yang kayaknya mustahil aja gitu, ya namanya juga bo'ongan/fiksi atau lebih tepatnya pure hiburan. Saya bilang sih yang kedua ini lebih lucu, lengkap dengan karakter2 pelengkap yang nggak sekedar ramein, seperti si india Chirag yang berhasil buat saya kesel setengah mati. Bingung kalo mau cari kelemahannya, bukan maksud saya film ini sempurna, tapi agak maksa aja gitu kalo ngekritik film ini terlampau dalam. Oiya tapi saya makin nggak suka aja sama yang meranin Rodrick, kadang porsinya malah buat suasana agak hambar. Tetep lucu sih. Dan kalo mau bilang ngena ke saya sendiri, hmm, agak. Karena seperti saya bilang tadi, banyak hal klise di sana-sini yang pure fiksi (nggak tahu juga sih mungkin di amrik sana banyak terjadi). Dengan pendapatan yang menyenangkan bagi kedua filmnya, Diary of A Wimpy Kid punya potensi jadi franchise panjang yang sangat beda dilihat genre-nya. Kalo nggak salah novelnya berjumlah lima seri.


PAUL
Director Greg Mottola
Cast Seth Rogen, Simon Pegg, Nick Frost, Kristen Wiig
Distributor Universal Pictures
Genre Comedy, Adventure
Release Date 18 March 2011 
Rate 3 out of 5
Bicara Paul, pasti yang pertama tercetus di kepala adalah duo aktor yang membintanginya, siapa lagi kalo bukan Simon Pegg dan Nick Frost yang beken akan kolaborasi langganan mereka di beberapa film. Setelah Shaun of The Dead dan Hot Fuzz, dua orang ini main satu screen lagi dalam "komedi alien", Paul. Diceritakan Graeme Willy (Simon Pegg) dan Clive Gollings (Nick Frost) adalah dua sahabat dari Inggris yang sering liburan bersama. Terbang jauh dari kampung halaman ke Amerika untuk menghadiri Comic-Con (pameran komik akbar tahunan), sesosok alien bernama Paul terpaksa harus bergabung dgn RV mereka di tengah perjalanan malam yang mengejutkan. Perjalanan panjang penuh kejutan pun mau tidak mau harus mereka jalani demi menyelamatkan Paul dari bahaya misterius yang tengah mengejarnya, lengkap dengan kawan2 baru yg mereka bertiga temui di tengah perjalanan. Yang menjadi faktor bagi saya untuk mau cepet2 nonton Paul adalah nama-nama yang menghiasi jajaran pemain didalamnya. Hmm, sebut aja Pegg-Frost, Kristen Wiig, Blythe Danner, Jason Bateman, Jane Lynch, dll. Agak kaget awalnya liat nama-nama kayak mereka main bareng, jarang aja rasanya isinya bagus semua dan saya kenali untuk film yang bisa dibilang pemasarannya nggak kerasa heboh. Sayang sekali setelah nonton, bahkan pas lagi nonton, ternyata Paul nggak lucu-lucu amat seperti yang banyak orang kira, termasuk saya. Nggak tahu apa mungkin saya ngarep-nya terlalu berlebihan, tapi tetap aja Paul tidak memberikan pengalaman ngakak yang memuaskan.  Padahal film udah diawali dgn lumayan baik, lewat opening datang-nya alien ke bumi yang  agak kontras sama suasana film seiring berjalannya waktu. Dari mikir bakal dapet tontonan komedi ala Pegg/Frost yang seperti sy bilang tadi, kelihatan beda dari awal, eh semuanya seakan surut kayak ombak ketika film sudah berjalan sekitar setengah jam. Ada beberapa momen, bahkan lumayan banyak, yang mau dibuat lucu tapi sayangnya jadi canggung. Soo, kalo mau dihitung, saya lebih banyak ngeluarin senyum dibanding ngakak. 

Tapi Paul tidak jatuh gitu aja berkat adanya beberapa aktor yang sangat membantu meningkatkan tingkat kelucuan film ini. Dan yang paling ngundang perhatian tentu saja karakter-nya Kristen Wiig, yang digambarkan sbg "bible freak" tapi tergoyahkan imannya karena dipengaruhi Paul dan duo Pegg-Frost. Karakter Wiig ini mungkin agak nyindir orang-orang yang nggak bisa berdiri sendiri, yang gampang berubah tanpa peduli akibat dan nggak bisa pegang omongan sendiri (pesan ini lebih ditekankan di ending pas tepatnya omongan Paul "be yourself, speak to your heart"). Justru kalo boleh ngomong, Wiig tampil lebih lucu dibanding Pegg-Frost. Oiya hampir lupa, ada juga Seth Rogen sbg pengisi suara Paul, suaranya sih hmm, menurut saya mengomentari sebuah "suara" sepertinya agak nggak penting. Jane Lynch yang numpang lewat sampai cameo si bos misterius yg nggak saya duga turut memberikan momen unik tersendiri. Once again, bukannya jayus, tapi masih banyak kekurangan disana-sini yang menyebar dalam sebuah "Paul" (oiya banyaknya F-bomb saya rasa sedikit memberi kharisma lawak bagi film).

Rabu, 01 Juni 2011

[Review] SOURCE CODE (2011)

"Make every second count."
Director :
Duncan Jones

Cast :
Jake Gyllenhaal
Michelle Monaghan
Vera Farmiga
Jeffrey Wright
Michael Arden

Distributor :
Summit Entertainment

Genre :
Thriller, Sci-Fi








Ada dua pertanyaan yang bagi saya bisa menjadi titik temu terbentuknya jalinan cerita film terbaik tahun ini, so far. Yang pertama, apa yang akan kau lakukan apabila tiba-tiba terbangun dari tidur, menguap sebentar, lalu mendapati tubuh anda berubah bentuk atau lebih tepatnya anda berada di tubuh orang lain? Bingung pastinya. Pertanyaan di samping adalah awal dari dimulainya durasi film Source Code yang saya bahas kali ini. Pertanyaan kedua, apa yang akan kau lakukan dalam waktu satu menit apabila hanya semenit itulah sisa hidup anda? Pertanyaan yang depresif. Dan ya, pertanyaan kedua di samping merupakan akhir atau bisa dibilang konklusi dari film ini, dan saya kutip dari dialog di penghujung film. Dua pertanyaan di samping juga merupakan petunjuk dari apa itu Source Code, apa isi cerita dari film fiksi ilmiah yang satu ini.

Source Code merupakan karya dari seorang Duncan Jones, sineas yang saya ketahui keberadaannya di muka bumi ini karena Source Code. Walaupun dua tahun lalu namanya disanjung-sanjung lewat debut filmnya yang berjudul Moon, tapi apa mau dikata saya juga belum nonton film itu dan baru tau namanya karena film ini. Dan meskipun lewat Moon seorang Duncan Jones berhasil menyandang predikat pemenang BAFTA, ya tetap saja saya baru mengetahui namanya sekarang. Apakah omongan saya di samping adalah basa-basi? Tidak. Akan saya jelaskan nanti apa maksud saya. Seperti yang saya telah katakan, Source Code adalah film terbaik yang saya telah nonton tahun ini. Walaupun masih banyak film-film lain yang saya lihat di internet mendapat kritikan bagus, ya apa mau dikata semua film tersebut nggak bisa masuk negara Indonesia yang makin lama makin mundur ini, berkembang nggak maju juga nggak. Jadi agak bersyukur dengan Source Code yang hadir di tengah 'padang gurun' yang sangat gersang, nggak gersang sih, ada beberapa 'kaktus' di bioskop tanah air hahahaha. Praise Summit Ent.!! Oiya kenapa terbaik? Karena......
Colter Stevens (Jake Gyllenhal) tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan eits.....dia menyadari dia berada di tempat yang berbeda dari lokasi sebelum ia tidur. Duduk dikursi kereta yang sedang melaju kencang. Dan sesaat setelah terbangun ada seorang wanita bernama Christina Warren (Michelle Monaghan) yang seketika mengajak Colter ngobrol. Siapa dia? Tentu Colter tidak mengenalinya, sungguh situasi yang mengagetkan. Dan di tengah perbincangan Christina dan kebingungan Colter, wanita tersebut menyebut diri Colter dengan nama lain, Sean Fentress. Nama yang salah, atau ada sesuatu yang tidak disadari Colter? Dan keadaan semakin memperumit seorang Colter saat dirinya memandangi kaca. Colter tidak mengerti apa yang sedang terjadi, dan mengapa dirinya berada di tubuh orang lain. Wanita cantik tersebut tetap memanggil Colter dengan nama Sean, dan ternyata tubuh dimana jiwa Colter berada adalah milik seorang guru sejarah yang bernama Sean tersebut. Colter mempertanyakan kebingunannya pada Christina dan mengapa ia bisa berada di kereta tersebut, wanita itu tentu ikutan bingung dan merasa aneh.

Belum sempat mendapat penjelasan akurat yang bisa membantunya......BOOOOM!!! Kereta meledak. Mati? Credit title? End. Hahaha tentu tidak, sekelumit cerita disamping hanyalah kisah yang mengisi menit-menit pertama dari film ini. Sesaat setelah meledaknya kereta tersebut, Colter 'belum tewas'. Tiba-tiba saja tubuhnya lagi dan lagi berpindah tempat. Kali ini ia mendapati tubuhnya terikat di sebuah ruangan kecil, dan ada layar kecil berisi wanita bernama Colleen Goodwin (Vera Farmiga). Kebingungan dan kepanikan lagi-lagi menghinggapi diri Colter. Wanita yang terlihat seperti polisi tsb mengontrol diri Colter dalam program yang bernama source code yang kini sedang ditinggali Colter. Apa itu? Beberapa penjelasan diberikan Goodwin dan......tubuh Colter kembali di kereta yang seharusnya sudah meledak tadi dan berada di situasi dan timing yang sama tadi. Bingung? Nonton aja sendiri.
Seperti yang saya nyatakan di awal artikel tadi, Duncan Jones merupakan sineas yang namanya melejit lewat debut penyutradaraannya lewat film indienya, Moon. Mengapa saya pakai basa-basi dengan mengatakan walaupun dia mendapat banyak penghargaan ya saya tetap saja baru mengenalnya? Source Code merupakan filmnya yang kedua. Dan film pertamanya yang saya tonton. Berawal dari trailernya tahun lalu yang membuat saya penasaran sampai banyak tanggapan positif untuk film ini, dan setelah saya nonton dengan sangat telat di bulan Juni....whoa dengan yakin saya sangat menyukai film ini dan saya anggap Source Code adalah film yang sangat brillian dalam penceriteraannya. Oiya saya lupa mau menjelaskan basa-basi saya tadi. Mengapa saya melakukan basa-basi tersebut adalah karena saya mau menyangkut-pautkan seorang Duncan Jones dengan Nolan. Siapa sih yang nggak tahu Nolan? Seorang sutradara papan atas yang otaknya juga papan atas. Mengawali karirnya lewat Following diikuti Memento yang keduanya tidak terelakkan mengagumkan. Jarang-jarang ada orang seperti Nolan yang memiliki awal karir yang sangat gemilang dan hingga sekarang terus-terusan menawarkan beberapa karyanya yang sangat smart ke mata publik. Duncan Jones sama seperti Nolan, mengawali karirnya lewat Moon yang belum saya tonton tapi terbukti banyak disukai, ia meneruskannya dengan sebuah Source Code yang bagaikan Memento, sebuah sophomore yang berhasil menaikkan nama mereka berdua. Contoh lain adalah David Fincher yang mengeluarkan karya keduanya lewat Se7en yang juga keren. Sebuah sophomore kadang bisa menjadi sumber caci maki, tidak peduli seberapa bagus karya pertama dari orang itu. Sebut saja The Tourist yang....nggak banget.

Lewat Moon yang berharga $5juta, ia menaikkan budget Source Code menjadi $32juta. Budget yang terbilang kecil, terlihat dari Source Code yang tambil sebegitu sederhana. Tidak seperti sebuah blockbuster layaknya Inception (banyak orang yang mengaitkan Source Code dengan karya mutakhir Nolan itu) yang mematok harga sangat tinggi. Source Code lebih berpatok pada bagaimana inti cerita begitu juga jalannya bisa mengalir dengan lancar dan akan dimengerti penonton. Duncan Jones terlihat tidak mementingkan pemanis-pemanis film seperti visual efek dengan tidak terlalu boros memperlihatkan efek-efek canggih zaman sekarang. Tidak ada yang rumit dalam Source Code, semuanya diceritakan dengan lembut dan hangat lewat konflik pengeboman yang mau tidak mau harus dihadapi Colter. Duncan seakan memperingatkan bahwa tidak selamanya sebuah fiksi ilmiah harus didominasi oleh suara kedebam-kedebum-dwar-dwar atau efek visualisasi yang enak dilihat. Jadi untuk oscar best visual effect mungkin nggak akan didapat hahaha. Walaupun begitu Source Code tetap menyuguhi adegan aksi dan efek yang tidak sampah kok, yang paling saya suka adalah saat Christina dan Colter berhadapan dan kereta meledak dengan efek slow-motionnya. Simple but intense. Source Code adalah sci-fi yang sangat hangat dan kalem. Walaupun memang inti ceritanya adalah sebuah misteri, bagaimana seorang Colter harus menemukan dimana bomb kereta dan siapa pelakunya, Source Code lebih memilih untuk memainkan emosi penonton pada karakter utamanya. Saya pun ikutan emosional dengan melihat sisi kejiwaan Colter Stevens yang menyedihkan dan teramat menyentuh saya. Coba bayangkan kalau ada orang yang mengatakan kau sudah mati, kau berada di dalam sebuah program dunia lain yang terlihat bohongan tapi ternyata memang asli, atau kau sedang menjadi kelinci percobaan sebuah misi yang kau sendiri tidak mengerti? Itulah apa yang dipertanyakan Colter di dalam dirinya. Pendekatan erat pada karakter utama, Colter, sungguh sebuah nilai lebih dan membuat film ini tampil dengan tambahan tonjolan sisi humanis. Di samping kondisi otak penonton yang terus-terusan mempertanyakan apa itu 'source code' atau siapa pelaku pengeboman, kita tetap diharuskan prihatin pada sisi dilematis seorang Colter.

Dikutip dari dialog, "This is not time travel. This is time re-assignment". Ya, Source Code tidak bercerita mengenai penjelajahan waktu. Apa itu time reassignement? Apa ya susah juga jelasinnya. Kalo menurut saya, saya pakai contoh yang satu ini. Kalo ulangan (bagi yang masih sekolah pasti ngerti) dan dapet nilai jelek, misalnya dibawah standar nilai biasanya ada guru yang ngasih remedial. Misalnya nih remedialnya besok, nah malamnya pasti kita belajar kan? Belajar atau ngefal ulang materi agar lebih mengerti. Besoknya remedial/perbaikan, lalu pasti kita akan mendapat nilai yang berbeda yang tentu mengubah nilai dan wawasan kita akan apa yang dibahas dalam ulangan tersebut. Itulah penjelajahan waktu. Di film-film lain, menjelajah waktu pasti mengirim seseorang ke masa lalu atau masa depan. Lalu di waktu tempat orang itu dikirim, pasti dia melakukan sesuatu, yang dalam contoh remedial tadi saya ibaratkan sebagai 'belajar', dan apa yang kita lakukan itu pasti merubah apa yang terjadi di present day. Lalu kalau time re-asignment? Kadang ada ulangan yang gurunya nggak mau ngasih remedial/perbaikan kan, tapi mungkin dia hanya membahas ulang kepada murid-muridnya agar kita bisa lebih mengerti tapi nilai ya tetap segitu aja. Permisalan saya lewat masalah remedial di samping mungkin ada yang tidak setuju atau bahkan mungkin saya salah? Tapi saya menggunakan contoh itu untuk lebih mengerti, nggak tahu kenapa hal disamping seketika muncul saat dialog diatas timbul di layar bioskop. Ya pemikiran saya sendiri aja. Ada dialog lain, "It's the same train, but it's different.", yang semakin menjelaskan bahwa Colter berada di time re-assignment atau sebuah program, tidak peduli senyata apapun yang ada atau dirasakan benak Colter, tidak peduli senyata apapun sebuah kereta ataupun manusia yang berulang kali Colter lihat. Itu semua hanyalah program, atau bisa dibilang dunia lain, untuk membantu satuan unit keamanan di reality world untuk mengetahui siapa pelakunya.

Source Code memiliki ending yang agak depressing yang confusing. Entah kenapa saya lebih suka kalau film berakhir pas Colter dan Christina ciuman aja (waktu di alternate world berhenti), kayaknya lega aja, eh tiba-tiba film malah berlanjut. Kalau film dihentikan di momen itu, alhasil pemikiran orang jadi lebih asik layaknya setelah nonton ending Inception yang mengundang banyak pertanyaan seru. Meskipun begitu, saya tetap suka akhir Source Code yang happy ending dan nyaman aja melihatnya. Banyak yang sampai sekarang memperbincangkan ending dari film ini yang rada ngebingungin. Kalau pendapat pribadi saya sih, kayaknya sih jadi ada dua dunia gitu, reality world sama alternate world atau dunia paralel. Dunia paralel terbentuk karena Goodwin menekan tombol yang dia kira berfungsi untuk 'mematikan' kelinci percobaan mereka, Colter. Mungkin dia menekan karena memang itulah permintaan Colter untuk membunuhnya. Dan ternyata...Source Code yang awalnya hanya sebuah program berubah menjadi dunia paralel atau dunia lain. Tapi yang saya bingung adalah, kalau source code tidak bisa merubah apa yang terjadi, kok di ending film pengeboman malah berhasil digagalkan? Bukannya itu reality world? Atau malah itu sebenernya dunia source code/dunia paralel? Kalau ending film dimana Goodwin mendapati bom digagalkan adalah dunia paralel, kok dia dapet sms dari Colter? Bukannya kalau sama-sama di dunia paralel mereka seharusnya tidak saling mengenal. Hanya Tuhan yang tahu.
Talking point...
Formula yang dimiliki Source Code terlihat seperti adaptasi dari Memento dan Inception yang diminamilisir hingga terbentuk durasi satu setengah jam yang simple. Source Code membuktikan film sci-fi tidak membutuhkan visual menggelegar, cukup dengan dialog-dialog dan pendekatan karakter yang sederhana namun kuat dan lugas. Singkat kata, sejauh ini Source Code adalah film terbaik tahun 2011. Saya punya perasaan tahun depan bakal masuk top ten list saya.

Rate :
4.5 out of 5

Senin, 16 Mei 2011

[Review] I AM NUMBER FOUR (2011)

"I am next."
Director :
D.J. Carusso

Cast :
Alex Pettyfer
Dianna Agron
Teresa Palmer
Timothy Olyphant
Callan McAuliffe

Distributor :
Touchstone Pictures

Genre :
Sci-Fi, Action, Fantasy, Thriller








Who are you?...ah atau...What are you?.. Merasa familiar dengan potongan dialog tersebut? Pasti banyak lah film yang memakai dialog tsb, tapi mungkin yang paling gampang diingat adalah franchise Twilight Saga, lebih tepatnya seri pertamanya, adegan dimana Bella mempertanyakan identitas asli dari sesosok pria misterius yang sedang menjadi pacarnya. Hahaha maksud dari penjelasan saya disamping adalah, akhir-akhir ini sedang maraknya film ataupun serial televisi yang berfokus/menjadikan kaum remaja sebagai sasaran pemasaran produk mereka, yang kebanyakan memiliki isi cerita yang sangat biasa namun tetap saja bisa mengumpulkan jutaan penggila berkat penampilan bahkan tampang dari jajaran cast film tersebut. Oiya, apa yang ingin saya jelaskan dari dialog who are you/what are you tersebut adalah, sajian remaja akhir-akhir ini banyak sekali yang memiliki kisah cerita mengenai...hmm...kisah asmara antara manusia dengan entah itu vampir, werewolf, dll -- yang penting sosok misterius yang nantinya akan dipertanyakan si manusia itu (kebanyakan sih yang jadi manusia tuh yang cewe).

Nah setelah Twilight Saga yang sejak tahun 2008 terus-terusan dibuat sekuelnya per tahun sehingga terkesan nafsu, di awal 2011 ada lagi film dengan premis sejenis berjudul I Am Number Four. Diangkat dari novel dengan judul sama karangan duo penulis James Frey dan Jobie Hughes yang ternyata dipublikasikan untuk pertama kalinya tidak jauh sebelum filmnya rilis, Aug 2010, film ini dibeli hak produksinya oleh Michael Bay yang terkenal dengan robot-robotnya itu. Berhubung di tahun ini ia juga sibuk dengan sekuel kedua Transformers nya itu, D.J Caruso yang sukses lewat film2 aksi nan menghibur ala Eagle Eye pun diberikan kursi sutradara sementara Bay tetap ikut berkontribusi di posisi produser. Tidak mau kalah dalam memamerkan bintang-bintang remaja, I Am Number Four (menurut saya) unggul dalam memilih pemeran semua karakternya, hehe, yang pasti dalam artian fisik, mereka adalah....
Dikisahkan sembilan alien remaja berwujud manusia diasingkan ke bumi. Tenang, kedatangan mereka ke bumi bukanlah untuk melakukan invasi besar-besaran seperti kebanyakan alien di film2 bertema alien lainnya. Mereka datang ke bumi untuk menyelamatkan diri mereka dari kejaran Mogadorians, musuh kaum alien mereka, yang telah menghancurkan planet tempat mereka berasal, Lorien, berikut eksistensi dari segala makhluk yang ada. Kini hanya tersisa sembilan alien, masing-masing dari mereka ditandai dengan nomor urut dan ditemani oleh masing2 satu guardian yang bertugas menemani dan menjaga mereka hingga mereka tumbuh dewasa dan memperoleh super-power mereka nanti. Rupanya Mogadorians belum mengenal kata menyerah, mereka ikut datang ke bumi dan memburu kesembilan alien Lorien yang tersisa tersebut. Mogadorians tidak bisa membunuh sembilan anak itu secara acak melainkan harus mengikuti urutan mereka. Satu persatu berhasil dibunuh; number one, number two, number three, dan berikutnya number four.

Alex Pettyfer memerankan Number Four, sosok alien remaja good-looking dan sangat menarik yang ditemani dengan guardiannya Henri (Timothy Olyphant). Number Four dan Henri hidup di bumi secara nomaden, yaitu selalu berpindah-pindah tempat setiap kali terjadi kasus yang bisa membahayakan atau membocorkan persembunyian mereka di bumi. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal sementara di kota kecil di Ohio bernama Paradise. Henri mewajibkan Number Four yang di kota tersebut memakai nama John Smith untuk tidak terlalu berbaur dengan lingkungan demi membantu penyamaran mereka. Di kota tsb John berkenalan dengan Sam (Callan McAuliffe) dan juga Sarah (Dianna Agron), gadis cantik pecinta fotografi yang lama2 dicintai John. Dan untuk pertama kalinya selama kehidupan nomadennya, Number Four merasa yakin bumi bisa menjadi tempat ia memulai hidup barunya.
Memang rata-rata film remaja yang memiliki kesamaan premis mengenai dua makhluk berbeda jatuh cinta ini pasti tidak jauh-jauh beda ceritanya. Lihat saja mulai dari Twilight, The Vampire Diaries, Red Riding Hood yang belum saya tonton tapi katanya mirip banget sama Twilight, hingga sekarang I Am #4, pusat ceritanya sama-sama aja. Si cewe manusia bertemu sosok pria misterius? Sama. Si cewe merasakan keganjilan pada sosok si pria dan mempertanyakan siapa sih dia sebenarnya dengan kata-kata Who are you atau What are you? Hahahaha sama banget, malah tuh kata-kata dipakai di semua film yang saya cantumkan diatas. Dan lalu si pria yang bukan manusia hidup berpindah-pindah demi mencegah kecurigaan manusia di sekitarnya? Sama. Mungkin tiga poin di samping merupakan sebuah kebetulan ya. Dan memang tidak bisa dipungkiri kehadiran Twilight memang sebuah awal dari makin maraknya timbul film sejenis, bukan berarti saya mengatakan film-film setelah Twilight isi ceritanya nyontek, tidak. Buktinya serial TVD sendiri adalah adaptasi dari novel yang rilis jauh lebih dulu daripada novel si Stephenie Meyer. Jadi bisa dibilang orang-orang harus bersyukur atas kehadiran Twilight sehingga banyak sineas memutuskan untuk ikut mengadaptasi banyak karya novelis serupa.

Nah, lalu bagaimana dengan I Am Number Four ini? Terus terang, ekspetasi besar timbul dalam diri saya saat nonton trailernya berikut melihat poster-posternya yang teen banget dan...ya saya suka aja. Setelah berbulan-bulan menunggu muncul bajakannya, ya taulah indo sekarang tambah miskin karena nggak ada film hollywood dari studio major besar yang bisa masuk ke sini, akhirnya dapet juga bajakannya setelah tiga bulan menunggu. Jujur, I Am Number Four nyatanya tidak memiliki kualitas yang berdasar pada ekspetasi besar saya. Bukan berarti jelek, tapi bagus banget juga nggak. Dan jujur lagi, yang ada di bayangan saya pertama kali adalah...oh mungkin film ini bakal seseru Transformers kali ya. Ternyata tidak, I Am Number Four memiliki kekurangan dalam minimnya adegan aksi remaja yang seharusnya dimaksimalkan dengan sangat baik dalam sebuah film sci-fi. Sangat disayangkan durasi 109 menit itu terkesan percuma/mubazir karena terlalu lamanya kita harus menunggu inti cerita dengan menonton kisah hidup Number Four berikut perkenalan dirinya dengan masa SMA di Paradise yang berjalan dengan lambat. Saya sendiri tidak merasakan kebosanan dalam mengikuti jalannya cerita, hanya saja sedikit kecewa dengan apa yang ada di trailer mungkin, atau kecewa dengan apa yang selama ini digembor-gemborkan khususnya nama Michael Bay dan juga D.J Carusso. Transformers? Eagle Eye? Masa sih mereka nggak bisa membuat I Am Number Four memiliki intensitas keseruan sebuah sci-fi layaknya apa yang bisa kita nikmati dalam dua film disamping. Sekali lagi bukannya jelek, tapi dengan nama dua orang tersebut seharusnya mereka bisa memberikan sesuatu yang lebih berkelas untuk kelas sci-fi atas dan mensejajarkan kualitas film itu dengan kualitas nama mereka sendiri.

Tapi tenang, sci-fi-watch-experience tidak mereka lewatkan dengan membiarkan kita menikmatinya di tiga puluh menit terakhir yang saya bilang lumayan seru. Banyak yang menyamakan film ini dengan serial-serial televisi scifi seperti Heroes ataupun Smallville, hmm, memang sih agak terlihat mirip apalagi untuk orang indo yang hanya bisa nonton di tv. Walaupun bukan alasan yang bagus untuk membela film ini, mungkin ekspetasi besar kita terasa hancur karena gagalnya kesempatan untuk menikmatinya di layar besar dan speaker dolby digital, hahaha. Alex Pettyfer yang sebelumnya lumayan terkenal lewat film debutnya Stormbreaker dan kiprah modellingnya bersama brand Burberry ini paling tidak tampil masih lebih baik ketimbang R-Pattz yang buat-buatnya terlaluu terlihat. Walaupun terlihat agak canggung tapi model-turned-actor ini masih baiklah memenuhi sedikit ekspetasi saya. Ada juga Teresa Palmer, yang mengejutkan tampil dengan porsi agak sedikit hanya di sekitar dua puluh menit terakhir sebagai sesama alien si Number Six, hmm kalau sebelumnya dia tampil bersama Nicolas Cage di posisi yang sama seperti Sarah yaitu 'tidak tahu apa-apa', disini ia malah masih kelihatan lebih asik. Oiya, salah satu alasan saya akan I Am #4 adalah Dianna Agron yang terkenal lewat Glee!! Whoa favorit saya nih, hahaha, cantik iya, suara bagus juga iya. Walaupun disini ia hadir dengan penampilan paling kaku tapi tetaplah...Dianna Agron selalu (pentingkah?). Oiya bedanya disini kita nggak akan dihadapkan pilihan team seperti team edward dll, ya secara I Am Number Four agak berbeda dari twilight dll karena tidak memusatkan kisah cintanya pada cinta segitiga.

Talking point...
I Am Number Four tetap menarik dan menghibur, diluar kurangnya eksploitasi besar-besaran dalam naskah cerita maupun porsi actionnya. Aksi berikut penampilan wajah semua castnya adalah salah satu nilai lebih bagi saya, dan juga visualisasi efeknya yang bagus. Sebagai sebuah franchise, I Am Number Four terhitung masih meyakinkan untuk berikutnya dilanjutkan oleh The Power of Six dan sekuel berikutnya yang sampai saat ini belum ditulis bahkan dipublikasikan. Posisi screenwriter yang lebih berpengalaman mengurusi serial sci-fi televisi mungkin agak memberikan pengaruh tv-sense pada film ini. Fans? Pasti bermunculan secara perlahan.

Rate :
2.5 out of 5

Selasa, 19 April 2011

[Quick Five] Five of The Great Masterpiece

Untuk kedua kalinya saya gabungin lima film yang baru saja saya tonton ke dalam satu buah artikel singkat, yaitu Quick-Thoughts. Berhubung lagi libur seminggu karena sedang berlangsungnya ujian nasional, tiba-tiba saja terlintas di pikiran saya untuk ngabisin waktu seminggu yang bakal ngebosenin ini dengan nonton beberapa film lama yang belum saya tonton. Semuanya adalah film-film penting, maksud saya film penting adalah film-film yang emang diakui kualitasnya misalnya dapet Oscar ataupun lovelable di kalangan banyak orang. Ya sayang juga sih kalo dipikir-pikir saya baru tonton sekarang, hehe.Better late than never, bos! Oke, beberapa diantaranya adalah film-film terkenal antara lain film arahan sutradara favorit saya. Sebenernya film yang sudah saya tonton dua hari terakhir ini lebih dari lima, tapi dicicil dulu artikelnya, hmm sebenernya mau dibuat satu-satu reviewnya. Tapi akhir-akhir ini lagi nggak mood buat nulis dan cuma mau nonton. Yep, ada waktunya bagi gue untuk males. Dan quick-thoughts kali ini bener-bener singkat, cuma sekedar buat update blog. And here there are:

THE PRESTIGE (2006)
Director Cristopher Nolan Cast Hugh Jackman, Christian Bale, Scarlett Johanson
Bercerita mengenai dua orang pesulap Inggris, Angier dan Borden, yang awalnya bersahabat namun karena suatu kecelakaan aksi panggung, mereka berdua akhirnya saling bersaing untuk menjadi yang terbaik dengan trik tersendiri. Seketika film ini langsung jadi film favorit saya! Nolan oh Nolan, nggak ada hentinya buat orang takjub sekaligus ternganga. Dan untuk kesekian kalinya Bale main di film Nolan. Semua alur plot diatur sesempurna mungkin dengan detail yang sangat rapi. Shockingly twisted ending. Jadi jangan baca spoilernya kalo mau nonton, dijamin bakal ngeganggu. Oops, the wolverine caught my attention! [****]

DISTRICT 9 (2009)
Director Neill Blompkamp Cast Sharlto Copley, David James, Jason Cope
Sudah dua dekade terjadi invasi alien terhadap masyarakat Johannesburg. Alien dengan sebutan prawns tersebut hidup di kota itu layaknya manusia, hingga suatu saat pemerintah memaksa mereka untuk pindah ke kawasan khusus bernama District 9. Di sela proses penggusuran tersebut, seorang petugas Wikus Van De Merwe terkena cairan aneh yang membuatnya bermutasi menjadi prawns. Awalnya nggak ada daya tarik apapun buat nonton ini, tapi karena penasaran ya saya coba tonton. Dan ternyata, keren!! Nggak nyangka ada film invasi alien semenarik ini. Dari visual efek, naskah, sampai akting Sharlto Copley yang sempet main di A-Team, semuanya nearly-perfect! Ceritanya bener-bener nggak sampah, dan shockingly touching! One of my fav all the time. [****]

AMERICAN PSYCHO (2000)
Director Mary Harron Cast Christian Bale, Justin Theorux,Josh Lucas
Secara kasat mata, Patrick Bateman mungkin terlihat baik-baik. Good looking, kaya raya, punya kedudukan di perusahaan. Tetapi ternyata tersembunyi sosok lain dari dirinya yang adalah seorang psikopat. Daya tarik utama untuk film ini yang pasti adalah Bale. Yep, Bale is one of the most promising actor. Sebagian besar filmnya udah tentu bagus, even Terminator Salvation though. Disini Bale main agak berbeda, sangat baik. Saya suka cara dia mengimprovisasi karakter Bateman yang bisa dibilang berkepribadian ganda, perubahan mimik wajah Bateman yang sangat nggak terkira adalah nilai lebih. Mungkin American Psycho punya pesan tersendiri, yaitu mngenai kesempurnaan. Bagaimana kesempurnaan dalam diri seseorang dengan perlahan bisa saja menghancurkan kesempurnaan itu sendiri. Namanya juga film psycho, banyak banget adegan keji dan mengganggu, and some adult content. [***]

MEMENTO
(2000)

Director Christopher Nolan Cast Guy Pearce, Carrie Anne Moss, Joe Pantoliano
Leonard Shelby mengalami suatu kondisi tak lazim dimana otaknya tidak bisa menyimpan memori baru sehingga tiap hari ia akan terus melupakan segala hal yang ia alami, kecuali istrinya yang telah meninggal. Untuk mengatasi keadaannya tersebut, ia men-tattoo beberapa hal di badannya dan juga mempotret orang dan tempat yang ia kunjungi. Untuk kesekian kalinya Nolan buat saya menyukai filmnya. Memento adalah salah satu karya brillian yang pernah ada. Dengan penjabaran masalah yang sangat detail dan pemecahan masalah yang pasti akan buat semua orang ternganga. One of the most shocking twisted ending. Alurnya bener-bener confusing, yaitu ada dua alur disini. Yang satu mundur, yang satu lagi maju. Dan nantinya kedua alur itu ketemu di ending yang ngagetin. Untuk ngebedain dua alur tersebut, alur maju diberi warna black&white. Salah satu film favorit saya! [*****]

CRASH
(2004)

Director Paul Haggis Cast Matt Dillon, Sandra Bullock, Ryan Phillippe
Crash adalah film yang mengusung multi-plot, mungkin bisa dibilang ensemble cast, eh, ensemble cast terbaik. Menceritakan kehidupan beberapa orang berbeda di L.A dalam kurun waktu kurang lebih satu hari. Semua karakter memiliki persoalan tersendiri dan nantinya akan saling terhubung secara langsung maupun tidak langsung. Satu kalimat setelah nonton ini; gw cinta Crash! Masalah yang diangkat Paul Haggis disini adalah mengenai isu perbedaan. Bagaimana kondisi masyarakat Amerika yang sampai sekarang masih mempersalahkan perbedaan rasial. Rasialisme yang masih mendominasi pola pikir masyarakat disana dideskripsikan dengan sangat indah, visualisasi terbaik yang pernah ada. Banyak banget momen menyentuh di Crash, dan semuanya bener-bener buat merinding. Pesan lainnya mungkin jangan memandang orang secara kasat mata. Selain itu orang jahat tidak sepenuhnya jahat, pasti ada sebabnya. Dan orang baik tidak sepenuhnya sempurna. [*****]