infolinks

Tampilkan postingan dengan label Quick-Thoughts. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Quick-Thoughts. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Juni 2011

Missed Ones in Early 2011 - Pt. 1

Tahun 2011 mungkin akan terus diingat, apalagi dengan peristiwa awal tahun-nya yang sangat mengagetkan para moviegoer bahkan semua orang yang suka nonton dan nunggu film-film baru muncul. Eits, hanya di Indonesia loh. Siapa sih yang nggak tahu masalah itu, film luar nggak bisa masuk Indonesia karena sekelumit masalah pajak yang sepertinya belum ditemukan jalan keluar yang bisa nguntungin dua pihak, yaitu pihak perpajakkan Indo sama MPAA. Yap, masalahnya kan emang langsung pada pihak MPAA, yang menjadi payung bagi enam penyalur film terbesar di Hollywood sana yang gemar menyodorkan banyak film bagus apalagi yang bernafas blockbuster.

Kadang suka sedih jadi masyarakat Indo, hmm, kadang udah nggak ngerti deh gimana cara menjalankan nasionalisme dan patriotisme (?). Oke keluar jalur kan. Meskipun nggak bisa nonton film-film luar yang paling ditunggu, tetep aja ada satu jalan pintas paling menyenangkan. Dvd bajakan dan download!! Hahaha, berikut lima film rilisan awal tahun 2011 yang pada akhirnya berhasil saya tonton. Masih ada banyak lagi sih, nanti saya posting-in sisanya. Lima dibawah ini termasuk film-film yang tergolong memuaskan/cukup bagus/keren, berikutnya akan saya post yang surprisingly bad.

THE ADJUSTMENT BUREAU
Director George Nolfi
Cast Matt Damon, Emily Blunt, Terence Stamp, Anthony Mackie
Distributor Universal Pictures
Genre Sci-Fi, Drama, Romance, Thriller
Release Date 4 March 2011 
Rate 3 out of 5
Mungkin Matt Damon belum bisa lepas dari bayang-bayang Bourne Trilogy-nya sehingga terlihat pasti mau banget menerima job membintangi film yang satu ini, The Adjustment Bureau. Diadaptasi dari cerita pendek berjudul The Adjustment Team, David Norris (Matt Damon) adalah politisi yg gagal mendapat kursi senator setelah dikalahkan rival kampanye-nya. Di saat-saat paska kekalahannya, secara tidak sengaja ia bertemu dgn seorang balerina bernama Elise (Emily Blunt). Di masa2 keduanya semakin dekat, hubungan mereka terancam oleh komplotan pria bertopi yang menganggap diri mereka sebagai agen takdir dan berusaha memisahkan David-Elise dgn alasan mereka keluar jalur dari takdir yang telah digariskan. Duduk di kursi sutradara, George Nolfi menjadikan The Adjustment Bureau sebagai debut karir penyutradaraannya yg pertama kali, setelah sebelumnya banyak menulis naskah u/ film-film sejenis seperti The Bourne Ultimatum dan Ocean's Twelve. Hmm, The Adjustment Bureau sendiri bukanlah sesuatu yg baru kalau dilihat sekilas. Kejar-kejaran, penguntit misterius, dll, mungkin hal yang sering dijumpai dalam film-film layaknya franchise Bourne dan Ocean's. Tapi melihat isi ceritanya sendiri, The Adjustment Bureau sedikit dibikin beda lewat pengembanan unsur sci-fi yang di-pak tidak berlebihan dan tetap "menghormati" banyak unsur lainnya seperti drama-romans itu sendiri. 

Menyinggung masalah George Nolfi yg menjadikan ini sebagai debut-nya, hasil adaptasi ini tergolong sebuah proyek yang berhasil mencapai garis kepuasan, tidak berarti sukses. Dengan mem-"blender" banyak genre ke dalamnya, semuanya berbaur dengan tidak berantakkan. Misalnya dari drama-romans yang selalu diberikan jatah tersendiri untuk mereka menikmati timingnya, lalu seketika disodorkan intens ketegangan lewat konflik antara agen takdir dan David Norris yang sebenernya pro-kontra, tidak ketinggalan lumayan banyaknya singgungan politik dan masalah kebimbangan dalam menentukkan tujuan hidup. Untung saja semuanya diatur dengan seimbang, walaupun kadang saya agak dikecewakan oleh minim-nya kejar-kejaran yang jarang muncul. The Adjustment Bureau sendiri masih memiliki banyak hal klise dimana-mana, contohnya fakta tiga tahun terpisahnya si David dan Elise. Agak ganjil loh dalam waktu sebegitu lama mereka nggak pernah ketemu sekalipun, okelah tau itu kota gede, tapi bukannya mereka suka pergi di jalur yang sama? Saya aja susah untuk nggak bisa "kebetulan ketemu" sama orang yang pernah ditemui. Hmm, selain itu, saya jg mendapati banyak hal yang harusnya bisa dilakukan para agen takdir untuk mencegah David, tapi nyatanya mereka nggak mampu, apalagi kalau disangkut-pautkan dengan ability yang mereka punya. So, kalau kata saya, film ini termasuk karya yang tergolong biasa. Nggak "wah", dan nggak "wooo". Oiya saya agak ngerasain sensasi Eagle Eye dicampur Butterfly Effect pas nonton The Adjustment Bureau!

LIMITLESS
Director Neil Burger
Cast Bradley Cooper, Abbie Cornish, Robert De Niro, Andrew Howard
Distributor Relativity Media
Genre Sci-Fi, Thriller
Release Date 8 March 2011 
Rate 2.5 out of 5
Setelah karirnya ngelonjak sejak Hangover-nya yang asli lucu tapi menurut saya orang-orang menanggapi agak berlebihan, Bradley Cooper sepertinya tambah naik lewat banyak film ber-script biasa tapi punya tingkat hiburan yang nggak terbantahkan. Kali ini di Limitless, lagi-lagi film yang jual muka tajamnya yang mencolok, Bradley Cooper memerankan seorang penulis yang sedang kelabakan dikejar deadline nulis. Tampang berantakan, hidup semrawut, sampai keadaan ekonomi yang terlihat cukup-cukupan jadi berubah drastis saat ia ketagihan mengkonsumsi NZT-48, sebuah "pil superhero" rujukan mantan adik-ipar nya yang bentuknya mini-bening. To the point aja, Limitless ngebosenin. Nggak berarti sampah, tapi alurnya sukses buat saya terobsesi untuk mendorong tubuh saya segera menggapai empuknya tempat tidur di sebelah ruangan tv. Premisnya sih menarik, berhasil buat saya penasaran dari awal tahun. Harapan saya tuh bisa melihat  tontonan yang saya kira sci-fi pinter, eh ternyata semua hal yang diceritakan terlalu ngasih fokus berat ke gimana karakter Bradley dari suffer-happy-struggle-dying. 

Saya sendiri tidak ngerti obat macam apa yang bisa ngubah pola pikir sampai pola hidup seseorang kayak di film ini, emang sih udah dijelasin, tapi tetep nggak logic aja gitu. Oke, namanya film,pasti fiksi, nggak logic, so buang aja akal pikir sehat kita bukan? Tapi anehnya udah tau Limitless sajian sci-fi yang didalamnya punya premis yang bener2 fantasi, tapi kenapa malah dilingkupin cerita yang ngarah ke arah problema kehidupan. Alhasil saya bertanya, "ini film mau nusuk arti penting dari kata humanis, ato mau semrawutin otak saya dengan misteri pil yang less-explained itu? Well, sekali lagi, nggak sampah kok. Tapi kalo disebut film pintar ya nggak bisa, kalo mau tepat anggap aja ini menghibur. Bradley, hmm, main cukup bagus. Ada karakter yang nggak penting disini, Robert DeNiro! Eits salah, karakternya sih nggak bisa dibilang nggak penting, tapi munculnya nama DeNiro sangatlah nggak penting. Hey, kenapa nggak kontrak aktor kelas C aja yang mungkin bisa lebih ngidupin karakter-nya DeNiro yang muncul kadang2 tsb. Hemat biaya dong! Aneh banget ngeliat nama DeNiro ikutan nampang di poster. Lagian nggak ngaruh kok sama arah cerita.  

HANNA
Director Joe Wright
Cast Saoirse Ronan, Eric Bana, Cate Blanchett, Tom Hallander
Distributor Focus Features
Genre Action, Crime, Thriller
Release Date 8 April 2011 
Rate 3.5 out of 5
Jarang rasanya untuk menemukan film bernyawa kuat di musim-musim awal tahun. Biasanya di masa caturwulan pertama dalam satu tahun, kebanyakan film yang beredar bisa dibilang sebagai penyejuk atau pemanasan untuk menunggu hadirnya film2 summer/blockbuster. Seperti yg saya bilang tadi, "jarang", berarti belum tentu "tidak ada". Nah, di tengah kejarangan tersebut, di tahun 2011 terhitung ada beberapa penyejuk yang saya maksud. Selain Source Code yang mengejutkan itu, ada Hanna yang rilis bulan April lalu. Bercerita mengenai Hanna (Saoirse Ronan), gadis tangguh yang hidup bersama sang "ayah", Eric Heller (Eric Bana) di tengah hutan terpencil daerah kutub. Hanna dilatih ayahnya sedari kecil layaknya militer, segala macam kekuatan fisik, otak, dan psikis disodori ayahnya untuk sesuatu yang pada dasarnya tidak terlalu dimengerti oleh Hanna hingga suatu saat ia dan sang ayah harus berpisah demi menjalani misi revenge pada musuh bebuyutan mereka, Marissa Wiegler (Cate Blanchett). Hmm, Joe Wright mungkin lebih terkenal dengan film2 melodrama-nya, misalnya Atonement yang turut dibintangi si "Hanna". Menilik track-record nya yang kelihatan lebih berfokus pada satu genre saja, Wright terbilang berhasil mengeksploitasi keberaniannya untuk tampil beda lewat Hanna ini. 

Dari awal sampai film berakhir, ada dua hal yang saya rasa memiliki similarity terhadap apa yang ditawarkan dalam film ini. Dengan karakternya yang "buta dunia", Hanna seakan mengingatkan saya terhadap film The Island thn 2005 lalu. Dan dengan sosok gadis tangguh yang dicap pada diri Hanna ini, sosok Hit-Girl lah yang pertama kali tercetus dalam pikiran saya. Sepertinya terlalu "munafik" bagi orang untuk berusaha menolak fakta adanya kesamaan antara dua karakter ini. Sebagai penyejuk di cawu awal tahun 2011, Hanna adalah suguhan yang menarik. Film ini beruntung memiliki isi yang di-pak sebegitu lengkap tanpa menimbulkan kesan berantakan. Pertama yang pasti penampilan ketiga tokoh sentral, ada Saoirse yang main gesit luar-dalam dan meyakinkan ketangguhannya lewat tatapan dingin menipunya tsb, ada juga Eric Bana yang hmm, yang walau tidak se-"pria" Hanna tapi tetap menaikkan tensi emosi dalam cerita, dan yang terakhir adalah Cate Blanchett beserta Tom Hallander sbg antagonis yg sukses membuat saya antipati. Unsur kedua yang menjadi kekuatan film ini adalah diaturnya shot demi shot kamera yang memiliki arti sendiri dari tiap adegannya, mungkin untuk menekankan detil kejujuran dari revenge dalam cerita. Semuanya berbaur jadi satu dengan rapi dan lebih mengesankan lewat scoring yang asik dan tidak se-seram ceritanya sendiri. Well, Hanna tergolong sebuah sajian yang forgettable dan tidak terlalu istimewa, terlihat dari naskah cerita yang tidak sedetil "pembantaian" teknik filmnya. But, dilihat dari pencapaian seorang Wright, Hanna rasanya boleh dijadikan salah satu film terbaik di cawu pertama tahun 2011.


DIARY OF A WIMPY KID:
RODRICK RULES
Director David Bowers
Cast Zachary Gordon, Devon Bostick, Robert Capron, Rachael Harris
Distributor 20th Century Fox
Genre Comedy
Release Date 25 March 2011 
Rate 3 out of 5
Setelah sukses dengan penghasilan yang nggak disangka sebelumnya, Diary of Wimpy Kid kembali lagi hanya berselang satu tahun dari rilisan film yang pertama. Dengan sub-title "Rodrick Rules" yang emang dari judul buku asli, film ini tetap menceritakan kehidupan belia Greg Heffley (Zachary Gordon). Kalo yang pertama ceritanya tentang gimana si Greg "menderita" di awal2 masa middle-school/smp, yang kedua ini tetep ngasih "penderitaan" ke dia lewat tingkah laku kakaknya yang jengkelin. Hmmm, saya sangat suka bukunya yang tidak susah2 tanpa hal rumit seperti kebanyakan novel standard yang sok tinggi. Cerita simple, guyonan2 kocak, sampai aksi heboh nan lebay Greg dkk yang divisualisasikan ke bentuk adapted movie book tergolong berhasil di tingkatannya. 

Agak bingung kenapa banyak kritikus2 pro diluar sana yang nganggep nih film ancur dan ruwet, pertanyaannya, ancur dimananya om?! Emang sih film pertama nggak konsisten mau ngasih jokes yang di beberapa scene banyak hal klise yang kayaknya mustahil aja gitu, ya namanya juga bo'ongan/fiksi atau lebih tepatnya pure hiburan. Saya bilang sih yang kedua ini lebih lucu, lengkap dengan karakter2 pelengkap yang nggak sekedar ramein, seperti si india Chirag yang berhasil buat saya kesel setengah mati. Bingung kalo mau cari kelemahannya, bukan maksud saya film ini sempurna, tapi agak maksa aja gitu kalo ngekritik film ini terlampau dalam. Oiya tapi saya makin nggak suka aja sama yang meranin Rodrick, kadang porsinya malah buat suasana agak hambar. Tetep lucu sih. Dan kalo mau bilang ngena ke saya sendiri, hmm, agak. Karena seperti saya bilang tadi, banyak hal klise di sana-sini yang pure fiksi (nggak tahu juga sih mungkin di amrik sana banyak terjadi). Dengan pendapatan yang menyenangkan bagi kedua filmnya, Diary of A Wimpy Kid punya potensi jadi franchise panjang yang sangat beda dilihat genre-nya. Kalo nggak salah novelnya berjumlah lima seri.


PAUL
Director Greg Mottola
Cast Seth Rogen, Simon Pegg, Nick Frost, Kristen Wiig
Distributor Universal Pictures
Genre Comedy, Adventure
Release Date 18 March 2011 
Rate 3 out of 5
Bicara Paul, pasti yang pertama tercetus di kepala adalah duo aktor yang membintanginya, siapa lagi kalo bukan Simon Pegg dan Nick Frost yang beken akan kolaborasi langganan mereka di beberapa film. Setelah Shaun of The Dead dan Hot Fuzz, dua orang ini main satu screen lagi dalam "komedi alien", Paul. Diceritakan Graeme Willy (Simon Pegg) dan Clive Gollings (Nick Frost) adalah dua sahabat dari Inggris yang sering liburan bersama. Terbang jauh dari kampung halaman ke Amerika untuk menghadiri Comic-Con (pameran komik akbar tahunan), sesosok alien bernama Paul terpaksa harus bergabung dgn RV mereka di tengah perjalanan malam yang mengejutkan. Perjalanan panjang penuh kejutan pun mau tidak mau harus mereka jalani demi menyelamatkan Paul dari bahaya misterius yang tengah mengejarnya, lengkap dengan kawan2 baru yg mereka bertiga temui di tengah perjalanan. Yang menjadi faktor bagi saya untuk mau cepet2 nonton Paul adalah nama-nama yang menghiasi jajaran pemain didalamnya. Hmm, sebut aja Pegg-Frost, Kristen Wiig, Blythe Danner, Jason Bateman, Jane Lynch, dll. Agak kaget awalnya liat nama-nama kayak mereka main bareng, jarang aja rasanya isinya bagus semua dan saya kenali untuk film yang bisa dibilang pemasarannya nggak kerasa heboh. Sayang sekali setelah nonton, bahkan pas lagi nonton, ternyata Paul nggak lucu-lucu amat seperti yang banyak orang kira, termasuk saya. Nggak tahu apa mungkin saya ngarep-nya terlalu berlebihan, tapi tetap aja Paul tidak memberikan pengalaman ngakak yang memuaskan.  Padahal film udah diawali dgn lumayan baik, lewat opening datang-nya alien ke bumi yang  agak kontras sama suasana film seiring berjalannya waktu. Dari mikir bakal dapet tontonan komedi ala Pegg/Frost yang seperti sy bilang tadi, kelihatan beda dari awal, eh semuanya seakan surut kayak ombak ketika film sudah berjalan sekitar setengah jam. Ada beberapa momen, bahkan lumayan banyak, yang mau dibuat lucu tapi sayangnya jadi canggung. Soo, kalo mau dihitung, saya lebih banyak ngeluarin senyum dibanding ngakak. 

Tapi Paul tidak jatuh gitu aja berkat adanya beberapa aktor yang sangat membantu meningkatkan tingkat kelucuan film ini. Dan yang paling ngundang perhatian tentu saja karakter-nya Kristen Wiig, yang digambarkan sbg "bible freak" tapi tergoyahkan imannya karena dipengaruhi Paul dan duo Pegg-Frost. Karakter Wiig ini mungkin agak nyindir orang-orang yang nggak bisa berdiri sendiri, yang gampang berubah tanpa peduli akibat dan nggak bisa pegang omongan sendiri (pesan ini lebih ditekankan di ending pas tepatnya omongan Paul "be yourself, speak to your heart"). Justru kalo boleh ngomong, Wiig tampil lebih lucu dibanding Pegg-Frost. Oiya hampir lupa, ada juga Seth Rogen sbg pengisi suara Paul, suaranya sih hmm, menurut saya mengomentari sebuah "suara" sepertinya agak nggak penting. Jane Lynch yang numpang lewat sampai cameo si bos misterius yg nggak saya duga turut memberikan momen unik tersendiri. Once again, bukannya jayus, tapi masih banyak kekurangan disana-sini yang menyebar dalam sebuah "Paul" (oiya banyaknya F-bomb saya rasa sedikit memberi kharisma lawak bagi film).

Selasa, 19 April 2011

[Quick Five] Five of The Great Masterpiece

Untuk kedua kalinya saya gabungin lima film yang baru saja saya tonton ke dalam satu buah artikel singkat, yaitu Quick-Thoughts. Berhubung lagi libur seminggu karena sedang berlangsungnya ujian nasional, tiba-tiba saja terlintas di pikiran saya untuk ngabisin waktu seminggu yang bakal ngebosenin ini dengan nonton beberapa film lama yang belum saya tonton. Semuanya adalah film-film penting, maksud saya film penting adalah film-film yang emang diakui kualitasnya misalnya dapet Oscar ataupun lovelable di kalangan banyak orang. Ya sayang juga sih kalo dipikir-pikir saya baru tonton sekarang, hehe.Better late than never, bos! Oke, beberapa diantaranya adalah film-film terkenal antara lain film arahan sutradara favorit saya. Sebenernya film yang sudah saya tonton dua hari terakhir ini lebih dari lima, tapi dicicil dulu artikelnya, hmm sebenernya mau dibuat satu-satu reviewnya. Tapi akhir-akhir ini lagi nggak mood buat nulis dan cuma mau nonton. Yep, ada waktunya bagi gue untuk males. Dan quick-thoughts kali ini bener-bener singkat, cuma sekedar buat update blog. And here there are:

THE PRESTIGE (2006)
Director Cristopher Nolan Cast Hugh Jackman, Christian Bale, Scarlett Johanson
Bercerita mengenai dua orang pesulap Inggris, Angier dan Borden, yang awalnya bersahabat namun karena suatu kecelakaan aksi panggung, mereka berdua akhirnya saling bersaing untuk menjadi yang terbaik dengan trik tersendiri. Seketika film ini langsung jadi film favorit saya! Nolan oh Nolan, nggak ada hentinya buat orang takjub sekaligus ternganga. Dan untuk kesekian kalinya Bale main di film Nolan. Semua alur plot diatur sesempurna mungkin dengan detail yang sangat rapi. Shockingly twisted ending. Jadi jangan baca spoilernya kalo mau nonton, dijamin bakal ngeganggu. Oops, the wolverine caught my attention! [****]

DISTRICT 9 (2009)
Director Neill Blompkamp Cast Sharlto Copley, David James, Jason Cope
Sudah dua dekade terjadi invasi alien terhadap masyarakat Johannesburg. Alien dengan sebutan prawns tersebut hidup di kota itu layaknya manusia, hingga suatu saat pemerintah memaksa mereka untuk pindah ke kawasan khusus bernama District 9. Di sela proses penggusuran tersebut, seorang petugas Wikus Van De Merwe terkena cairan aneh yang membuatnya bermutasi menjadi prawns. Awalnya nggak ada daya tarik apapun buat nonton ini, tapi karena penasaran ya saya coba tonton. Dan ternyata, keren!! Nggak nyangka ada film invasi alien semenarik ini. Dari visual efek, naskah, sampai akting Sharlto Copley yang sempet main di A-Team, semuanya nearly-perfect! Ceritanya bener-bener nggak sampah, dan shockingly touching! One of my fav all the time. [****]

AMERICAN PSYCHO (2000)
Director Mary Harron Cast Christian Bale, Justin Theorux,Josh Lucas
Secara kasat mata, Patrick Bateman mungkin terlihat baik-baik. Good looking, kaya raya, punya kedudukan di perusahaan. Tetapi ternyata tersembunyi sosok lain dari dirinya yang adalah seorang psikopat. Daya tarik utama untuk film ini yang pasti adalah Bale. Yep, Bale is one of the most promising actor. Sebagian besar filmnya udah tentu bagus, even Terminator Salvation though. Disini Bale main agak berbeda, sangat baik. Saya suka cara dia mengimprovisasi karakter Bateman yang bisa dibilang berkepribadian ganda, perubahan mimik wajah Bateman yang sangat nggak terkira adalah nilai lebih. Mungkin American Psycho punya pesan tersendiri, yaitu mngenai kesempurnaan. Bagaimana kesempurnaan dalam diri seseorang dengan perlahan bisa saja menghancurkan kesempurnaan itu sendiri. Namanya juga film psycho, banyak banget adegan keji dan mengganggu, and some adult content. [***]

MEMENTO
(2000)

Director Christopher Nolan Cast Guy Pearce, Carrie Anne Moss, Joe Pantoliano
Leonard Shelby mengalami suatu kondisi tak lazim dimana otaknya tidak bisa menyimpan memori baru sehingga tiap hari ia akan terus melupakan segala hal yang ia alami, kecuali istrinya yang telah meninggal. Untuk mengatasi keadaannya tersebut, ia men-tattoo beberapa hal di badannya dan juga mempotret orang dan tempat yang ia kunjungi. Untuk kesekian kalinya Nolan buat saya menyukai filmnya. Memento adalah salah satu karya brillian yang pernah ada. Dengan penjabaran masalah yang sangat detail dan pemecahan masalah yang pasti akan buat semua orang ternganga. One of the most shocking twisted ending. Alurnya bener-bener confusing, yaitu ada dua alur disini. Yang satu mundur, yang satu lagi maju. Dan nantinya kedua alur itu ketemu di ending yang ngagetin. Untuk ngebedain dua alur tersebut, alur maju diberi warna black&white. Salah satu film favorit saya! [*****]

CRASH
(2004)

Director Paul Haggis Cast Matt Dillon, Sandra Bullock, Ryan Phillippe
Crash adalah film yang mengusung multi-plot, mungkin bisa dibilang ensemble cast, eh, ensemble cast terbaik. Menceritakan kehidupan beberapa orang berbeda di L.A dalam kurun waktu kurang lebih satu hari. Semua karakter memiliki persoalan tersendiri dan nantinya akan saling terhubung secara langsung maupun tidak langsung. Satu kalimat setelah nonton ini; gw cinta Crash! Masalah yang diangkat Paul Haggis disini adalah mengenai isu perbedaan. Bagaimana kondisi masyarakat Amerika yang sampai sekarang masih mempersalahkan perbedaan rasial. Rasialisme yang masih mendominasi pola pikir masyarakat disana dideskripsikan dengan sangat indah, visualisasi terbaik yang pernah ada. Banyak banget momen menyentuh di Crash, dan semuanya bener-bener buat merinding. Pesan lainnya mungkin jangan memandang orang secara kasat mata. Selain itu orang jahat tidak sepenuhnya jahat, pasti ada sebabnya. Dan orang baik tidak sepenuhnya sempurna. [*****]

Kamis, 10 Maret 2011

[Quick Five] Random Average Movies

Well, namanya juga demen nonton kayak saya, pasti ngga ada berhentinya nonton film. Dari yang honorable mention sampai yang sampah pun tetap aja saya tonton. Nah, tapi masalahnya ada nih. Namanya juga suka nulis kayak saya, pasti ngga ada berhentinya mau bagi artikel di blog ini. Tapi ada lagi nih masalahnya, namanya juga anak sekolahan kayak saya, pasti ada waktunya capek dan males nulis review. Makanya itu lima film yang saya tulis di post ini disatukan dan dipersingkat aja ya, lumayan, hemat waktu. Ngomong-ngomong ini semua film ini ngga saya tonton dalam rentang waktu singkat, ada yang udah saya tonton lama dan baru kepikiran di post sekarang.

Sekelompok orang-orang jail nan kreatif melakukan banyak aksi ekstrim dan frontal. Mereka tidak lain adalah sekelompok stunt 'handal' di bidang ini yang sebelumnya terkenal lewat serial dan kedua prekuelnya. Hadir tanpa naskah/plot cerita, mungkin bisa dibilang semi-documentary, cukup kegilaan yang menghidupkan durasi film.

Jackass is back! Yap, acara gila nan sinting yang menampilkan berbagai aksi konyol dan gila para krunya ini kembali setelah lama tidak dijumpai di layar kaca. Jackass sendiri sebelumnya muncul pertama kali sebagai serial gokil di stasiun MTV. Tidak ketinggalan pula dua versi film yang mendahului Jackass arahan Jeff Tremaine ini. Mengusung format 3D--mungkin sebagai media penambah intensitas keseruan, Jackass 3D tetap mengajak kru gila teranyar seperti Johnny Knoxville dan Steve-O untuk kembali beraksi di depan kamera. Bedanya kali ini Jackass hadir lebih gila dengan banyak media jahil yang lebih sinting dan menjijikan! Intensitas kegilaan dikembangkan perlahan dari awal durasi hingga klimaksnya tercapai di pertengahan. Well, tidak usah menggali kualitas Jackass 3D, cukup tonton dan nikmati, satu kata yang akan terlintas di pikiran anda...GILA! And beware, the shits they brought to us is very...disgusting. [***]

Dua detektif tidak dianggap atau bisa dibilang loser di kalangan lingkungan kerjanya, Allan Gamble (Will Ferrell) dan Terry Hoitz (Mark Wahlberg), berusaha memperbaiki status dan popularitas mereka. Peluang terbuka saat dua detektif terhormat kebanggan NYPD, Cristopher Danson (Dwayne Johnson) dan PK Highsmith (Samuel L. Jackson) tewas di dalam tugasnya. Di luar kedukaan yang sedang terjadi, semua polisi pun berusaha untuk menjadi tenar seperti dua orang itu, termasuk Allan dan Terry. Tapi yang namanya usaha pasti ada aja penghalangnya, antara lain perbedaan watak kedua loser ini.

The Other Guys tumbuh dengan naskah yang, bisa saya bilang sangat sederhana dan ringan. Tidak terlalu memanfaatkan unsur komedi, film menjadi menjenuhkan untuk diikuti. Suasana yang tercipta di film sendiri kaku dan tidak berwarna. Kalau diibaratkan, film bagaikan padang pasir; tandus. Ya, despite all the good reviews people wrote, menurut saya film ini kurang menarik dan membosankan. Humor dan lelucon yang mewarnai dialog antar pemain juga agak jayus dan bertele-tele. Kalau urusan chemistry, Ferrel dan Wahlberg boleh lah dipuji, tapi komedi yang diusung sebagai genre film ini agak gagal dan dipaksakkan. Dari awal saya emang tidak tertarik untuk nonton film ini, tapi ya namanya juga penasaran. Well, The Other Guys hanyalah komedi sederhana nan ringan yang terlalu merumit-rumitkan jalan cerita. [**]

Bercerita mengenai tujuh orang sahabat di masa SMA yang kembali berkumpul setelah enam tahun tidak bertemu. Momen bahagia ini selain dijadikan ajang reuni sekalian untuk menghadiri pernikahan antara Lila (Anna Paquin) dan Tom (Josh Duhamel); yang merupakan anggota dari tujuh orang yang menyebut mereka dengan nama The Romantics. Konflik mulai muncul saat Laura (Katie Holmes)--salah satu dari mereka yang juga mantan kekasih Tom--ternyata masih memendam perasaan kepada Tom.

Bisa kita tebak apa premis yang menjadi bahasan utama di film romansa ini; love-triangle atau cinta segitiga. Premis yang bagus bukan untuk sebuah film independen kelas festival? Apalagi dihiasi oleh nama-nama yang tidak asing lagi di kancah perfilman apalagi di genre seperti ini. Sebut saja ketiga tokoh utama yang sudah saya sebut diatas. Sayangnya Galt Neiderhoffer gagal mengembangkan premis ini menjadi sebuah plot yang menarik untuk diikuti. Alhasil film sangat membosankan dan arah ceritanya sangat tertebak. Walaupun begitu pengembangan naskah yang dilakukan sutradara boleh dikatakan lumayan sehingga waktu satu hari yang dijadikan setting jalannya cerita cukup logis, tapi tetap saja kaku. Harus ditekankan, semua tokoh diperankan setengah-setengah, mungkin kesalahan ada di tangan Galt yang tidak melakukan pengembangan karakterisasi tokoh, bahkan empat kawan lainnya terasa hanya sebagai tempelan pelengkap. Well, The Romantics tidak memberikan suatu tontonan menarik dan hanya membuang waktu 92 menit yang dimakan durasi, andai saja filmnya dibagusin dikit mungkin aja ada Team Lila / Team Laura, ha! [**]

Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist) adalah seorang jurnalis media Millenium yang divonis tiga bulan penjara karena kalah melawan seorang konglomerat di pengadilan. Di sisi lain ada juga Lisbeth Salander (Noomi Rapace), seorang hacker wanita berpenampilan sangat eksentrik yang sedang menguntit keseharian Mikael dengan meng-hack komputernya dalam rangka menyelidiki kasus yang tengah dirundung oleh pria itu. Karena suatu kebetulan mereka berdua malah bekerjasama menyelidiki kasus hilangnya Harriet Vanger (Ewa Fröling)--keponakan konglomerat Henrik Vanger (Sven-Bertil Taube). Mereka pun bekerja sama untuk mengungkap kasus lama yang sampai kini belum mencapai titik terang.

The Girl With The Dragon Tattoo adalah salah satu film ter-detail yang pernah saya tonton sampai sekarang, saya tekankan lagi; detail. Semua hal dijelaskan sangat detail dengan memaparkan akar permasalahan sampai inti dan mencapai klimaks. Film dimulai sangat baik dengan menjelaskan latar belakang tiga cerita karakter yang nantinya akan melebur jadi satu dalam satu konflik. Durasi 152 menit dimanfaatkan sangat bijak dengan menceritakan segala seluk beluk masalah yang didera ketiga karakter yang awalnya terpisah. Salah satu phsycology-thriller terbaik yang pernah ada dengan penampilan Noomi Rapace yang sangat rapi, memaparkan misteri seru yang membuat saya ikutan emosi menjalani detik demi detik waktu berjalan. Atmosfir keseruan berhasil tercipta layaknya sebuah labirin dimana saya berperan sebagai pencari jalan di labirin tersebut untuk berusaha mencapai pintu keluar atau puncak cerita. Memang sih awalnya cerita bergulir agak lambat, tapi ya itulah harga yang harus dibayar kalau mau tau secara jelas segala faktor dan tujuan plot cerita. Well, mungkin ada beberapa hal tidak dijelaskan disini hingga terasa ganjal, tapi tenang, kan ada lanjutannya; The Girl Who Played With Fire. [****]
Yang pertama menceritakan sekelompok pelajar dari sekolah elit yang terpilih untuk menjalani bimbingan belajar khusus yang diberikan sekolah untuk membantu masuk ke universitas bagus. Mereka hanyalah siswa-siswi peringkat teratas yang dapat ikut program khusus ini. Nasib berkata lain kepada semua orang ini, mereka terjebak dalam permainan hidup-mati oleh seorang misterius. Pembunuhan berantai berjalan dimulai dari ranking satu. Sedangkan yang kedua bersetting dua tahun kemudian, di lain sekolah, dimana tiga puluh pelajar berprestasi mengikuti study-camp di musim panas untuk latihan masuk ke universitas. Kejadian di film pertama pun kembali terulang, agak sama seperti yang pertama; kejadian dihubung-hubungkan dengan past-case kematian seorang murid di sekolah tersebut.
Bagi anda penggemar slasher-horror jangan lupakan film Korea yang satu ini, eh, saya koreksi, yang pertama saja. Death Bell adalah salah satu slasher produksi Asia terbaik yang pernah saya tonton. Menggabungkan beberapa aliran, dimulai dengan unsur horror hingga merubah atmosfir horror itu dengan sebuah misteri yang dibalut dengan aksi bunuh-bunuhan ala franchise SAW, cukup bagus dan mengerikan. Misteri yang ditawarkan berhasil membuat saya ikutan main tebak-tebakan siapa pelaku dibalik kecerdikan jahat ini. Film tidak membosankan dan seru. Kalau diibaratkan, slasher ini hasil sama dengan SAW+Final Destination+Detective Conan. Seperti yang saya katakan tadi, seri pertama saja yang saya rekomendasikan. Yang kedua jelas tidak. Tidak adanya benang merah yang menghubungkan plot cerita antar seri pertama dan kedua bisa saja dieksplor lebih jauh dan lebih bagus, tapi sayang Death Bell: Bloody Camp tidak memiliki sebagian unsur yang saya rasakan di pendahulunya. Yang saya rasakan? Tidak ada tebak-tebakan, misteri, bahkan SAW-experience tidak dimasukkan dengan dahsyat disini. All the good point the first film had totally gone. Well, Death Bell berhasil menawarkan gairah horror dan dibaurkan dengan misteri tegang didalamnya, sedangkan sekuelnya harus saya bilang gagal dan terlalu dipaksakan. [1***] [2**]