infolinks

Tampilkan postingan dengan label Action. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Action. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Oktober 2011

[Review] DRIVE (2011)

Director Nicolas Winding Refn Writers Hossein Amini
 Cast Ryan Gosling, Carey Mulligan, Albert Brooks, Bryan Cranston
Distributor Film District Genre Action, Crime, Drama, Thriller

Banyak factor yang membuat film bisa jadi menarik dan menaikkan pamor film tersebut. Entah itu dari sisi teknikal promosi seperti poster, trailer, dll, bahkan sampai nama sutradara atau actor di dalamnya. Kali ini factor leading-actor lah yang berperan sebagai factor itu, yaitu Ryan Gosling. Setelah beberapa filmnya yang sebagian besar mendapat critical acclaim berkat penampilannya, kali ini di Drive ia kembali menunjukkan bahwa ia layak dicap sebagai promising actor.

Dari sekian banyaknya festival film yang diadakan per tahun, hanya beberapa yang memiliki prospek berkualitas, sebut saja Toronto Film Festival, Tribeca, Sundance di awal tahun, dan Cannes Film Festival di awal summer season. Di Cannes tahun ini ada beberapa film yang mendapat perhatian lebih, khususnya karena mendapat awards khusus in competition. Empat film paling mengundang perhatian antara lain The Artist dan Melancholia dengan P d’interpretation (best performance), The Tree of Life yang diganjar Palme d’Or (best picture), dan juga Drive dengan Prix de la mise en scene nya (best director). Empat film diatas adalah film-film yang berjaya di Cannes tahun ini dan sukses meraih atensi publik serta kritikus yang nantinya berkemungkinan besar untuk ikut bertarung di awards season, bergabung dengan film-film fall season yang memiliki prospek oscar lebih besar.
 Ryan Gosling bermain sebagai karakter tanpa nama, dengan sebutan ‘Driver’. Driver berkerja sebagai mekanik di garasi milik temannya Shannon (Bryan Cranston). Ia juga melakukan dua part-time job, yaitu sebagai stuntman untuk film seperti adegan car chase, di malam hari ia adalah seorang getaway driver. Shannon memiliki hubungan dengan mafia bernama Bernie Rose (Albert Brooks) yang membayar dirinya atas pembelian mobil balap NASCAR beserta Driver dengan driving skill nya yang baik. Bernie memiliki hubungan dengan Nino (Ron Perlman), yang juga seorang mafia.

Driver hidup sendiri di sebuah low rent apartment. Ia memiliki tetangga bernma Irene (Carey Mulligan), ibu muda yang tinggal berdua bersama sang anak. Driver dan Irene bertemu dan perlahan jadi suka sama suka walaupun in fact Irene sudah mengingatkan bahwa ia mempunyai suami yang berada di penjara. Suaminya, Standard (Oscar Isaac), memiliki hutang dengan seorang mafia dan harus segera melunaskannya dengan ancaman keselamatan Irene dan anaknya. Si Driver pun ikut campur untuk menyelamatkan mereka, sayangnya masalah jadi rumit karena adanya konspirasi yang dilakukan para mafia. 
 Banyak aspek yang membuat saya paling excited dengan film ini. Diluar nama Ryan Gosling yang makin bersinar, aspek promosional film juga mengundang atensi besar saya. Dimulai dari trailer yang lumayan bagus, sampai design poster retro dengan font berwarna pink yang kalau boleh dibilang termasuk poster terbaik tahun ini. Film dibuka dengan opening title yang sangat sederhana dengan font pink seperti di poster, dilanjutkan opening sequence si Driver dalam memperkenalkan dirinya sebagai getaway driver. Dimulai dengan pembicaraan si Driver dalam memberikan instruksi, dalam 20 menit berikutnya tidak banyak bahkan hampir tidak ada line yang diberikan kepada karakter Gosling tersebut. Penonton diperlihatkan sosok Driver yang sangat dingin, menakutkan, sekaligus questionable. Siapa orang ini? Apa latar belakangnya? Saya sangat suka opening sequence Drive ini, salah satu opening film terbaik yang pernah ada. Sebuah muted-sequence yang breathtaking dan memperlihatkan ketelitian seorang Driver.

Nama lain yang memiliki andil besar dalam Drive tidak lain adalah sutradaranya sendiri, yaitu Nicolas Winding Refn. Berkat film ini ia diganjar penghargaan setingkat best director pada Cannes bulan May lalu. Nama Refn dikenal lewat film-filmnya yang kebanyakan bergenre sejenis seperti Valhalla Rising dan Bronson. Belum ada film Refn selain Drive yang pernah saya tonton.  Apa yang menarik dari penyutradaraan Refn? Dari detik pertama Drive saya sudah merasakan jawaban dari pertanyaan disamping. Refn unggul dalam membuat sebuah contemporary film menjadi terlihat beda. Dalam Drive, Refn memberikan sentuhan feel retro dalam berbagai aspek, mulai dari kesederhanaan opening title yang cukup dengan font pink yang sangat hot sampai betapa asiknya ia memberikan mood dari awal sampai penghujung film yang mengingatkan saya akan ’80 noir. Walaupun tidak mencolok, sinematografi dalam Drive adalah nilai plus yang juga membuat mood retronya lebih terasa. Dibantu sinematografer Newton Thomas Sigel, Refn memperlihatkan immersive vision kota Los Angeles lengkap dengan neon eighties dan cara pengambilan gambar yang gampang ditemukan dalam film-film jadul tahun ’80-an. Saya paling suka dengan long-shot yang dipadukan dengan mood calm dan sentuhan efek sudden shift sampai slow motion.

Just as important as its other technical atmosphere, scoring film yang dikerjaan oleh Cliff Martinez, orang yang juga bekerja di film Contagion, sangatlah impresif. Diluar pengambilan gambar yang sangat baik di Drive, scoring beserta soundtrack yang menghiasi banyak scene disinilah yang membangkitkan mood ’80-an paling kental. Kadang saya suka membayangkan gimana ya kalau mereka lebih memilih untuk menggunakan lagu-lagu modern, pasti hilang feel-nya. Baik scoring maupun soundtrack, keduanya menciptakan atmosfir yang sedingin si Driver itu sendiri.

Saya sangat yakin ke depannya Drive akan menjadi sesuatu yang ikonik. Banyak factor yang masuk akal untuk membuat hal ini terjadi, mulai dari mood ’80-an yang kental, long-shot sequence yang masih lekat di ingatan saya, atmosfir retro yang dibangkitkan mulai dari credit title, sampai art direction yang lagi-lagi sangat saya suka. Hal ikonik lainnya? Yang pasti scorpion white satin jacket yang dipakai Gosling sepanjang film, beserta denim jeans tusuk gigi yang tidak kunjung lepas dari mulut sang Driver. I love every single piece in this film, tidak ada satupun adegan yang dibuat sekedar melama-lamakan durasi atau terbilang tidak perlu. Jelas durasi film ini hanyalah sebatas 1jam 30menit. Ada banyak adegan yang sangat memorable dan paling ‘berjiwa’. Favorit saya ialah ending film dimana Irene mengetuk pintu apartemen Driver dan akhirnya pergi dengan tatapan hopeful diikuti shot wajah si Driver, yang menurut saya sangatlah heartbreaking dan strong. Adegan dimana Driver diajak ngobrol seorang former client nya di bar mulai menunjukkan transformasi cold-character nya menjadi ganas, tetap dingin, tapi menakutkan. Favorit saya lainnya tentu saat Driver dengan stuntman mask nya mendatangi Nino dengan tatapan kosong, diiringi lagu soul ’80-an lagi serta slowmotion shot. Saat itu satu hal yang muncul di pikiran saya, this Driver is one of the greatest avenger all the time.

Diluar kesan stylish yang menyelubungi, seperempat jiwa Drive berada dalam tangan Ryan Gosling. Saya yakin dari panjangnya film ini, tidak lebih dari 50 lines diberikan pada dirinya. Gosling bermain sangat baik disini, ketimbang memainkan kata-kata, ia lebih memilih untuk membangkitkan jiwa seorang Driver lewat mimik muka dan bahasa tubuh yang quiet dan calm. Sekalinya ia menunjukkan sisi gelap yang ia timbun dalam dirinya, jujur sangatlah menakutkan. Bukannya berlebihan, tapi the way he look through his eyes is really mesmerizing.  Driver adalah karakter yang misterius, hanya berbicara kalau penting saja. Ryan Gosling menunjukkan kualitas acting yang sangat baik. No doubt this dude is one of the finest actor today. His consistency is remarkable, as is his range and taste of roles. Setelah menonton film-film terbaiknya, Ryan Gosling terbukti adalah salah satu actor muda terbaik di era ini. Dimulai dari peran Jewish kid di The Believer yang dulu tidak sedikit menamai dirinya sebagai best newcomer, dalam Half Nelson sebagai drug addict teacher yang sukses menganugerahi dirinya the first and only Oscar nod, sampai performances nya yang kelewatan underrated seperti Lars and the Real Girl dan Blue Valentine. Untuk tahun ini saja ada tiga film mainstream bagi dirinya dan saya masih nunggu untuk nonton dua lainnya.

Jangan banyak berharap kalau mengira Drive adalah film seperti Fast and Furious atau film balapan mobil lainnya. Drive sepenuhnya berbicara mengenai revenge, dibalut love story yang charming. Momen romantis dalam film ini dipenuhi oleh adegan kalem antara Irene dan Driver yang sangat manis. Tidak berlebihan dan tidak segitu mudahnya untuk dilupakan. Beberapa artikel mempersalahkan adanya lack of characterization of Driver yang tidak menceritakan background kehidupannya. Namun bagi saya malah bagus dan lebih menimbulkan kesan misterius yang memberikan kesan mendalam. Supporting cast film ini juga baik sama halnya seperti aspek lainnya. Saya agak terpaku pada Carey Mulligan yang bermain sangat sweet sebagai Irene, Christina Hendricks yang walaupun muncul sebentar tapi bisa dibilang sebagai scene-stealer.  Albert Brooks paling mengundang perhatian, sebagai villain yang kelihatan baik namun sebenarnya ruthless, lebih dari seorang Nino yang diperankan Ron Perlman. Agak kasihan sama karakternya Bryan Cranston gak tahu kenapa. Oscar Isaac juga bermain baik, padahal awalnya saya kira bakal memberikan sentuhan jealousy.
Talking point... 
Susah untuk tidak menyukai film ini. Drive adalah film action/gangster/neo-noir yang mencekam sekaligus mempesona dari awal sampai akhir, dan dibuat sempurna tanpa ‘nila setitik’. Ditopang penampilan si one-in-a-million, Ryan Gosling.

Rate :
1  2  3  4  5

Jumat, 16 September 2011

[Review] CAPTAIN AMERICA: THE FIRST AVENGER (2011)

Director Joe Johnston Writers Christopher Markus, Stephen McFeely
 Cast Chris Evans, Hayley Atwell, Hugo Weaving
Distributor Paramount Pictures Genre Action, Adventure, Sci-Fi, 3D

Banyak alasan yang membuat kita merasa sayang untuk tidak menonton film-film yang hadir di tahun 2011 ini. Selain banyaknya sekuel dari film-film terdahulu masing-masing yang sangat dinanti, atau mungkin semakin menggebyarnya balutan 3D dalam pemasaran film, alasan terbesar adalah melimpahnya sajian summer ambisius yang diantaranya terselip beberapa film superhero adaptasi komik, diantaranya adalah Captain America: The First Avenger.

Ada yang menarik dari tahun 2011. Seperti yang saya katakan diatas, tahun ini dijadikan ajang “perkelahian” bagi banyak karakter berkekuatan super untuk memikat jutaan moviegoer yang kelihatannya tidak tahan lagi menunggu. Sebelum berbicara lebih jauh, entah ini pikiran saya pribadi atau mungkin ada juga yang merasa, kok sepertinya sebagian besar live-action dari Marvel punya hasil yang lebih bagus ya ketimbang punyanya DC Comics? Lihat saja banyaknya film-film Batman dan Superman yang cukup banyak dicerca. Ya meskipun begitu rasanya kebangetan kalau trilogy Batman versi Nolan dilupakan (sangat jelas ia memiliki ciri khas sendiri untuk memaksimalkan dan menaikkan pamor DC). Justru Marvel terbukti lebih konsisten dalam melahap habis-habis budget film untuk mengadaptasi tokoh-tokoh komiknya untuk selanjutnya diadaptasi ke dalam bentuk film. Dan so happy to say, hasilnya kebanyakan bagus. Well, bagaimana dengan yang satu ini?
Di tahun 1942 dimana Perang Dunia II sedang berlangsung, Amerika Serikat sedang gencar-gencarnya melawan Nazi. Memanfaatkan segala yang mampu dilakukan, AS sendiri terus-terusan merekrut pemuda di negaranya untuk dijadikan tentara dan bergabung dengan pasukan militer untuk dikirim ke medan perang di Eropa. Steve Rogers (Chris Evans) hanyalah pria kurus kerempeng dengan tinggi tidak sampai 170 cm dan mengidap asma. Keadaan fisiknya yang lemah membuat dirinya sering di-bully dan tergolong ‘kaum outcast’. Tidak peduli akan kondisinya tersebut, ia punya niat yang sangat besar untuk bergabung dengan kemiliteran. Berkali-kali mencoba, dirinya selalu ditolak dikarenakan tidak memenuhi syarat, bahkan Rogers yang memalsukan identitasnya itu tetap saja ketahuan.

Di sela-sela kunjungan ke future technologies exhibiton bersama sahabatnya, Bucky Barnes (Sebastian Stan), sikap ngotot Rogers untuk masuk kemiliteran muncul kembali dan akhirnya dipertemukan dengan ilmuwan Dr. Abraham Erskine (Stanley Tucci) yang membantunya untuk masuk ke dalam pelatihan kemiliteran. Di pelatihan ia bertemu dengan seorang ‘wonder woman’, Peggy Carter (Hayley Atwell), yang bersikap sangat tegas dan keras. Melihat niatnya yang sangat besar, Rogers diberi kesempatan lebih jauh untuk dijadikan objek dari misi rahasia “Project Rebirth” dimana dirinya disuntik serum khusus yang pada akhirnya merubah bentuk dirinya menjadi lebih tinggi, kekar, dan 4x lebih lincah dari manusia biasa dalam kinerja fisik maupun otak. Dengan dirinya yang baru, Rogers kini berubah menjadi “Captain America”, pahlawan kuat yang berjuang menyelamatkan negerinya dari pemimpin organisasi rahasia NAZI, Hydra, yaitu Johann Schmidt / Red Skull (Hugo Weaving).
Seperti yang saya katakan di awal artikel tadi, sebagian besar adaptasi live-action dari DC Comics terbukti tidak memuaskan. Lihat saja dari Superman versi jadul yang for me personally gak tertarik, dan untung diperbaiki sedikit lewat Superman Returns. Ada juga Batman and Robins yang oh-my-god sampah banget. Kegagalan dalam penggarapan yang sangat memperihatinkan tersebut coba diperbaiki oleh Nolan dengan menunjukkan bahwa prospek film yang dimiliki DC Comics bisa jadi berhasil kalau ditangani oleh tangan yang betul. Jujur saya sendiri gak pernah suka sama Tim Burton yang kayaknya makin lama makin overstyle dalam membuat karya-karyanya. Ya namanya juga udah style sendiri ya. Kembali ke Marvel, publisher komik yang satu ini beruntung memiliki jajaran film live-action yang sebagian besar bias dibilang baik dan memenuhi standar. Lihat saja mulai dari trilogy Spiderman yang terlihat seperti pintu gerbang dari kejayaan Marvel ke depannya.

But for me personally, X-Men adalah film superhero terbaik. Diluar menurunnya kualitas di The Last Stand, makin parah di spin-off Wolverine, dan untungnya diperbaiki bahkan sangat istimewa dalam prekuel First Class. Nah, melanjutkan kesuksesannya tersebut, Marvel memperkenalkan sebuah Marvel Cinematic Universe. Apa itu? Saya singkat jadi MCU, ini adalah superhero-superhero Marvel yang dishare oleh Marvel Studios dan nantinya akan disatukan ke dalam proyek mahakarya Marvel, yaitu The Avengers. Sebelum dipersatukan, satu-satu dibuat dulu spin-off nya. Mulai dari Iron Man dan Iron Man 2 (paling bagus dibandingkan spin-off MCU lainnya) arahan Jon Favreau dengan bintang Robert Downey Jr.. Selain itu ada The Incredible Hulk diikuti Thor dan Captain America di tahun yang sama. Lima superhero ini bisa ditonton dalam satu film, yaitu salah satu proyek paling ambisius tahun depan, The Avengers. Tidak hanya itu, beberapa side-kick atau tokoh pembantu dari masing-masing film juga akan muncul, sebut saja Black Widow dan Pepper Potts sampai si archer yang tidak memiliki spin-off sendiri, Hawkeye. Mereka semua dipertemukan oleh ketua agen rahasia S.H.I.E.L.D, Nick Furry.

Lalu bagaimana dengan Captain America: The First Avenger? Jujur saya termasuk orang yang puas dengan film ini. Selaku sutradara, Joe Johnston berhasil memvisualisasikan karakter Steve Rogers ini. Captain America memiliki premis sederhana yang sangat teramat umum, yaitu from zero to hero. Tidak hanya Rogers yang pernah mengalami nasib tersebut, Spiderman pun terkenal akan sejarah awalnya yang hanya seorang pemuda nerd berkacamata dan akhirnya berubah menjadi kuat berkat sengatan laba-laba. Premis simple itu dijabarkan dengan kuat namun dengan penekanan sederhana dan tidak melupakan unsure komikal dan fun itu sendiri. Dari awal saya sudah bersemangat mengikuti dan sangat enjoy walaupun sekitar 40 menit pertama cerita berkutat sebatas masa-masa menderita si Rogers yang masih bertubuh kerempeng. Tapi itu bukanlah masalah. Agak risih mendengar kritikkan banyak orang yang mempersalahkan durasi film ini yang katanya overlength. Hello, it is only ten minutes different to Thor. Sangatkah krusial untuk dipermasalahkan? Bahkan bagi saya Captain America: The First Avenger jauh lebih baik dibanding Thor yang terlalu berpaku pada myth dan aksi laga. Satu catatan penting adalah, di saat cerita merubah fokus menuju konflik utama dan action sequence, pendalaman karakter dan penekanan premis cerita tetap dilakukan secara konsisten. Lihat saja bagaimana karakter Steve Rogers tidak ada hentinya memperlihatkan sisi manusiawi bahkan sisi outcast nya yang terkadang konyol, tapi tetap membangun sisi heroic lewat aksi-aksinya. Premis cerita yang saya sebutkan tadi juga tetap ditekankan sepanjang film lewat dialog-dialog bagus yang bagi saya charming banget.

Kelemahan bisa dilihat dalam divisi acting. Diluar karakterisasi yang baik, penampilan acting para pemain didalamnya bisa dibilang biasa saja. Tidak buruk, hanya lemah. Chris Evans yang sebelumnya pernah menjadi superhero dalam Fantastic Four bermain cukup baik disini, jauh lebih dari karakter lainnya. Tidak istimewa, tapi bisa dibilang menarik. Beruntung dirinya diberikan porsi utama yang sangat maruk sehingga terasa menutup karakter lainnya. Walaupun begitu, rasanya aneh dan berlebihan kalau karakter lain dianggap gak penting. Saya suka dengan tokoh sahabat Rogers, si Bucky. Karakter ini cukup mewarnai cerita dengan beberapa humor selipan. Ada juga Peggy Carter yang melengkapi syarat film; ada cowo pasti ada cewe. Dua karakter pembantu ini juga cukup bermanfaat untuk mewarnai suasana cerita, terutama saat dramatis di pertengahan dan konklusi film. Agak disayngkan tokoh yang dimainkan Stanley Tucci begitu cepat dimatikan. Oh iya jangan lupakan si Stark yang surprisingly diberikan porsi cukup banyak. Sayangnya bagi saya si Red Skull lah yang tidak dimainkan sebagaimana seharusnya seorang villain. Like I said, banyak loh humor-humor disini. Mulai dari ‘masa kerempeng’ si Rogers, aksi panggung Sang Capt. America yang memalukan, saat Peggy melihat foto dirinya di liontin Rogers, sampai pertanyaan tanpa henti si Rogers mengenai “fondue” antara Peggy dan Stark. Inilah yang membedakan Captain America dari spin-off Avengers lain, yaitu dimaksimalisirnya sisi humor dan premis cerita tanpa mengganggu isi film itu sendiri.

Big applause saya berikan bagi kinerja sisi teknikal film. Mulai dari shot visual effect CGI untuk mencurangi bentuk badan Chris Evans hingga terlihat kerempeng. Banyak teknik dilakukan disini, mulai dari memakai body double dan nantinya ‘ditimpa’ wajah Evans sampai scene shot yang dilakukan dua kali. Cara ini mengingatkan saya akan Benjamin Button yang juga melakukan cara ini, dan sukses di Oscar. Hal lain yang dikerjakan dengan bagus adalah cinematography yang dikerjakan Shelly Johnson. Suka banget sama cinemato-nya yang impressive, jarang loh ada superhero film yang member perhatian lebih di sisi ini. Action sequences juga asik, gak kurang gak berlebihan. Agak bingung loh banyak orang yang ngomong aksi nya kurang gimana gitu, padahal pas dan bagus. Development lainnya yang menarik perhatian saya adalah art direction yang memanjakkan mata. Feel ’40-an bener-bener dapet dan juga tone warna yang colourful dan pekat semakin buat saya betah nonton. Bahkan kalau boleh sedikit lebay, make-up sampai costume design juga oke loh. Sejauh film-film yang telah saya tonton tahun ini, Captain America punya prospek Oscar yang kuat di bagian teknik.  Oh iya hampir lupa, duo Stephen McFeely dan Christopher Markus yang menangani screenplay terlihat lumayan terpengaruh oleh proyek mereka sebelumnya, yaitu tiga film Narnia yang lekat akan unsur film keluarganya.
Talking point...
Captain America is hugely and superbly fun ride to leads people into The Avengers trimming. Not as boring as people says.

Rate :
1  2  3.5  4  5

Kamis, 04 Agustus 2011

[Review] X-MEN: FIRST CLASS (2011)

Director Matthew Vaughn
Cast James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence
Distributor 20th Century Fox Genre Action, Adventure, Drama

This year is all about Marvel. Tahun 2011 diserbu oleh banyak adaptasi live-action comic yang berebut posisi teratas, dan sekali lagi didominasi oleh comic group terbesar dan termenarik di dunia, Marvel. Kali ini, dengan "X-Men First Class", semua hal yang belum terjawab di empat instalmen sebelumnya coba dijelaskan dengan detail dan seru. Apa saja yang terjadi di proyek superhero yang satu ini?

Marvel dan DC Comics memang nggak asing di telinga jutaan moviegeek khususnya yang gila sama komik. Dua comic-publication-media ini nggak ada bosannya mengeluarkan jagoan mereka masing-masing ke publik. Jagoan Marvel sebut saja superhero semacam Spiderman, X-Men, sampai The Avengers yang didalamnya beranggotakan beberapa superhero gabungan seperti Thor, Iron Man, dll. Sedangkan bagi DC Comics, mereka punya satu jagoan terkenal yang pasti semua orang tahu, siapa lagi kalo bukan Superman. Oiya Batman, Catwoman, dll juga DC Comics loh. Mungkin bagi beberapa orang sulit untuk ngebedain antara superhero DC dan Marvel, tapi menurut gw, kayaknya cerita superhero DC lebih ke feel-dark aja gitu, dibanding Marvel yang lebih fun. Seperti yang udah gw sebut tadi, X-men juga salah satu superhero termahsyur dari Marvel. Setelah sebelumnya diadaptasi ke dalam empat buah film, kali ini muncul lagi film X-Men yang baru, yaitu X-Men First Class. Apa aja yang diceritakan di proyek prekuel ini? Sebagus apa sih film ini dibanding empat predecessor nya?
Mengambil setting waktu sekitar tahun '40-an dan '60-an, di era perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, X-Men First Class memulai ceritanya. Cerita dimulai dengan prolog childhood yang disajikan bergantian antara Charles Xavier dan Erik Lehnserr (yang nantinya akan dikenal sebagai Professor X dan Magneto). Erik adalah seorang bocah Jewish yang menjadi tawanan di sebuah camp-concentration milik faksi Nazi pada era Perang Dunia II. Saat memaksa untuk dipersatukan dengan ibunya karena keduanya dipisahkan satu sama lain, Erik melampiaskan amarahnya hingga mengeluarkan mutant-power dimana ia bisa menggerakkan dan mengontrol semua benda logam. Melihat hal tersebut seorang ilmuwan kejam asal Auschwitz bernama Sebastian Shaw (Kevin Bacon), memaksa Erik untuk menggerakkan sebuah koin logam, dengan ancaman akan membunuh ibunya apabila ia tak sanggup melakukan hal tersebut. Gagal memenuhi permintaan Shaw, ibu Erik pun ditembak mati dibelakang dirinya, dan seketika kemarahan ia lontarkan dengan mengeluarkan kekuatan mutannya.

Di tempat yang berbeda, si bocah Charles adalah anak dari keluarga kaya raya di New York. Suatu malam tanpa sengaja ia bertemu dengan mutan bernama Raven (Jennifer Lawrence) yang sedang mencari makan di dapurnya. Dari situ mereka mulai berkenalan dan membentuk ikatan kakak-beradik. Dari awal sudah terlihat bagaimana kehidupan Charles dan Erik yang sangat bertolak belakang. Bertahun-tahun kemudian saat mereka dewasa, Charles berubah menjadi profesor hebat dan bekerja sama dengan Moira MacTaggert (Rose Byrne), agen CIA yang sedang menyelidiki eksistensi mutan di Amerika sana. Erik masih menantikan saat yang tepat untuk bertemu Shaw dan membalaskan dendamnya. Dipertemukan oleh persamaan tujuan dan sasaran, Charles dan Erik pun mengumpulkan kekuatan untuk membentuk kelompok mutan yang akan menghadang misi Sebastian Shaw, yang bisa mempengaruhi terjadinya Perang Dunia III. Satu per satu mutan bergabung dengan mereka. Pertempuran mencapai klimaksnya pada krisis Kuba dimana armada Angkatan Laut Amerika Serikat dan Uni Soviet berkonfrontasi di Teluk Babi. Walaupun memiliki tujuan yang sama, tapi perbedaan visi antara Charles dan Erik tidak bisa mempertahankan hubungan satu sama lain.
Jujur, X-Men adalah superhero favorit gw. Menurut gw, X-Men menunjukkan bagaimana sebuah live-action dari komik superhero seharusnya dibikin. X-Men sendiri sebelumnya telah dibuat beberapa film adaptasi. Dari X-Men pertama di tahun 2000 yang terbilang sukses, lalu hadir X2 yang bagus banget, diikuti oleh instalmen final dari trilogi awal yang lumayan bagus. Lalu ada lagi spin-off dari mutan tangguh Wolverine, lewat X-Men Origins: Wolverine di tahun 2009 lalu. Agak ruwet juga sih kalo melihat film-film X-Men yang semuanya muncul di dekade yang sama, dan ditambah First Class yang hadir dengan pernyataan bahwa ini adalah awal dari trilogi yang baru. Ok, dulu gw cukup bingung tapi sekarang udah ngerti lah. According to people says about X2, gw setuju banget. Sekuel pertama itu memang terbukti bagus dan lebih baik dari predecessor-nya sendiri. X-Men 1 dan X2 punya kelebihan di sisi satirnya yang mengedepankan isu rasialisme dan kemanusiaan. Sayangnya semuanya jadi kendor lewat kehadiran X-Men: The Last Stand sebagai final dari trilogi awal tersebut. Menurut gw agak berlebihan juga mendengar kritikkan banyak orang yang berpikiran bahwa Last Stand sangatlah buruk. Nggak kok, bagi gw X-Men: The Last Stand masih bagus, yang pasti minus isu-isu maupun konflik yang tidak seistimewa dua film sebelumnya. Spin-off dari Wolverine lah yang kata gw sangat menurunkan citra dari film-film X-Men itu sendiri. Dibuat dengan kesan buru-buru dan memanfaatkan kesuksesan finansial sangatlah terlihat, alhasil filmnya jadi nggak berkesan.

Melihat kesuksesan X-Men dan X2 baik dari segi finansial maupun respon positif yang membanjir, Bryan Singer sepertinya masih menaruh hati pada proyek instalmen ini. Tidak mau meninggalkan X-Men dan sepertinya mau 'menyembuhkan' banyak kesalahan di The Last Stand dan Wolverine, Singer memutuskan untuk bergabung dalam prekuel ini. Meskipun begitu, ia hanya mampu menduduki posisi produser dan memberikan kursi sutradara ke Matthew Vaughn. Keputusan itu cukup berdalih, ia mengaku tidak mau terlalu direpotkan banyak pekerjaan karena sedang terfokus pada proyek Jack The Giant Killer. Oiya ada yang unik, sutradara yang came-out-as-a-gay ini pada tahun 2006 lalu lumayan sukses menyutradarai film superhero lain yang datang dari 'negeri seberang', yaitu Superman (DC Comics). Lalu apakah X-Men: First Class ini boleh disebut dengan sebutan lain seperti X-Men 5? Tidak. Banyak yang tidak diketahui orang-orang mengenai hal yang satu ini. X-Men 1 sampai X-Men: The Last Stang adalah trilogi tunggal yang terpisah dari dua film berikutnya, baik itu Wolverine maupun First Class. Sedangkan X-Men Origins: Wolverine hanyal proyek spin-off gagal yang ironisnya disarankan oleh Singer sendiri untuk tidak mempedulikan film tersebut (waktu itu saya interviewnya di TotalFilm). Nah, kalau X-Men First Class merupakan instalmen pertama dari proyek trilogi baru yang secara langsung terpisah dari empat film sebelumnya. Dua sekuel sudah dipersiapkan untuk melengkapi trilogi-prekuel ini. Di film X-Men terbaru ini, ada satu hal yang coba dikembalikan, yaitu seragam warna kuning yang digunakan para mutan di komik.

Mari berbicara mengenai isi filmnya. First of all, perlu gw nyatakan bahwa prekuel ini adalah film yang sangat berhasil dalam mengembangkan banyak ekspektasi dan membuang jauh-jauh segala keraguan gw sebelumnya. Dengan cerdas First Class menghadirkan banyak unsur penting seperti yang dimiliki dua film X-Men terdahulu, segi cerita maupun visualisasi. Bicara visualisasi, jangan diremehkan dulu karena yang satu ini memiliki efek visual yang ditata dengan baik berikut editing-sequence yang bagus dan tidak membingungkan. Visual efeknya sendiri nggak 'wah' banget sih, tapi udah layak dikatakan baik apalagi dibantu sound-editingnya yang cukup menggelegar. X-Men memang tidak pernah pusing-pusing untuk memaksimalisir bagaimana sebuah film dapat enjoyable sebatas berkat peran efek visual semata. Melainkan bagaimana orang bisa asik nonton melalui cerita yang nggak sampah dan memiliki banyak isu kuat di dalamnya. Masih sama seperti fim-film sebelumnya, X-Men First Class ini kembali memperdebatkan isu kemanusiaan dan rasialisme. Semuanya disampaikan lewat penggambaran karakter mutan-mutan yang bisa dibilang kasihan. Segala bentuk diskriminasi coba ditentang mereka walaupun kenyataannya sangat sulit mempengaruhi manusia untuk sedikit mengerti. Yang gw dapet adalah jangan bisa menilai dan men-cap seseorang dengan gampangnya tanpa tahu gimana sih mereka suffering selama ini. Kasihan loh melihat mutan-mutan yang nggak tahu kenapa mereka bisa jadi seperti itu malahan ditentang mati-matian oleh manusia. Well, mereka kan nggak minta untuk jadi seperti itu, kenapa harus dianggap jahat? 
Sebenarnya yang menjadi topik utama disini adalah hubungan antara Charles Xavier "Profesor X" dan Erik Lehnsherr "Magneto". Udah bukan rahasia kalau ke depannya mereka justru malah bersaing dan bertarung mati-matian. Ini lah yang mau dijelaskan First Class, apa penyebab dari pertarungan dua sosok penting ini. Ada yang nyadar nggak sih, di film-film X-Men pertama si Magneto sering banget manggil Professor X dengan "Hello, old friend"? Dari conversation pendek itu lah yang jadi cikal bakal gw untuk penasaran ke depannya, emang apa sih yang terjadi di masa lalu? Untungnya semuanya terjawab lewat kehadiran prekuel ini. Gw suka banget melihat perbedaan karakter antara mereka yang dulu dan nantinya. Kalo di masa depan si Professor X digambarkan sebagai sosok yang sangat dingin, beda sekali dengan masa mudanya. Charles dulunya adalah sosok yang cerdas dan bisa dibilang lebih lentur dari masa tuanya. Sedangkan Erik di masa muda tergambar sebagai sosok dingin yang haus dendam, berbeda dengan masa tuanya yang kejam namun tidak serapuh dirinya dahulu. Dua tokoh utama tersebut dimainkan dengan sangat baik oleh duo James McAvoy dan Michael Fassbender. McAvoy memerankan sosok Charles dengan penggambaran yang sempurna lewat sisi karismatis dan terbuka. Sedangkan perhatian justru lebih tertuju ke penampilan Fassbender, yang menurut gw adalah penokohan sekaligus penampilan terbaik dalam film. Sosoknya yang emosional dan terkesan destruktif dibangun sangat baik dengan penjiwaan karakter yang sempurna dan sukses merebut hati gw. Beda banget loh, padahal di X-Men yang dulu gw rada benci sama Magneto. Tapi disini gw kasihan dan suka banget sama wataknya, gw bahkan masih care sampai di saat-saat dia meninggalkan Charles sekalipun.

X-Men: First Class menandai awal berkembangnya pertanyaan cukup membingungkan dari kisah superhero ini; "mana yang baik, mana yang salah". Bagi manusia yang totally nggak tahu bagusnya eksistensi mutan dan menganggap mereka membahayakan, mungkin sah-sah saja mereka begitu, toh mereka kan nggak ngerti. Dan bagi mutan, mereka jelas nggak suka cara manusia memperlakukan mereka yang terang-terangan menolak keberadaan mereka. Skema good vs. evil juga kadang jadi pertanyaan besar dalam X-Men. Ya seperti yang gw tulis tadi, orang kadang bingung mana yang salah mana yang benar. But for me personally, human are totally wrong at this point and should have to apologize to mutants, hahaha. Ada beberapa selingan dialog yang stuck di otak gw dan gw akui bener-bener bagus. First Class memiliki salah satu chemistry terbaik yang pernah ada dari dua tokoh utamanya, yaitu Charles dan Erik. Chemistry mereka berdua adalah faktor utama dalam terdorongnya kesuksesan naskah yang tidak membosankan. Tidak seperti spin-off Wolverine yang lebih terpaku ke konflik fisik antara dua tokoh, disini Matthew Vaughn lebih tertarik untuk menghadirkan konflik verbal dalam pola pikir keduanya yang jelas sangat berbeda. Diluar dendamnya karena sang ibu dibunuh oleh Shaw, Erik memiliki pandangan kokoh yaitu manusia adalah rival semua mutan dan harus dihancurkan. Sedangkan Charles Xavier masih yakin mutan bakal diterima manusia dan mau membantu pemerintahan. Bentrok ideologi mungkin terlihat dengan jelas di ending film, tapi sesungguhnya konflik antara dua orang ini sudah terjadi dari awal film. Gw suka sama dua quote yang secara gamblang memperlihatkan perbedaan antara mereka. Yang pertama adalah perkataan Charles, "Killing will not bring you peace.", lalu statement Erik yang sudah terlihat kokoh, "Tomorrow, mankind will know that mutants exist. They will fear us, and that fear will turn to hatred."

Selain dua karakter terdepan di atas, masih ada beberapa mutan yang turut meramaikan X-Men: First Class ini. Yang paling saya suka adalah karakter Raven a.k.a Mystique dan Hank a.k.a Beast yang keduanya sama-sama dilematis. Mystique dan Beast memiliki penampilan yang mencolok dibanding yang lain. Kalau di tiga film X-Men pertama sosok Mystique hanya bisa dilihat lewat tubuh biru nya, disini semua bisa melihat penampilan luar lainnya yang terlihat seperti manusia. Begitu pula dengan Beast. Dua sosok 'biru' disamping diperankan dengan baik oleh Jennifer Lawrence dan Nicholas Hoult, dimana karakter mereka awalnya nggak percaya diri sama diri mereka yang agak menakutkan, tapi pada akhirnya sanggup menerima. Suka banget sama  “Mutant and proud” yang mempertajam isu rasial atau diskriminasi yang mereka hadapi. Selain mereka masih ada beberapa mutan lain yang nggak kalah unik. Sebut saja Havok (Lucas Till) yang mampu membelah apapun dengan laser merah yang keluar dari tubuhnya. Mirip Cyclops kan? Nggak usah bingung, karena dalam komik Havok adalah ayah dari Cylops. Ada Banshee (Caleb Landry Jones) yang memiliki suara supersonik yang memekakkan telinga, lalu Angel (Zoe Kravitz), seorang stripper yang bisa terbang dan mengeluarkan ludah api. Di kelompok villain, ada Sebastian Shaw yang mampu menyerap energi dan menggunakannya. Ada Emma Frost (January Jones), si ahli telepati yang bisa berubah bentuk menjadi kristal. Jangan bingung kalo pernah lihat Frost di X-Men: The Last Stand, karena keduanya adalah orang yang berbeda. Masih di sisi villain, ada Azazel si setan merah dan Riptide si storm-maker, yang sangat disayangkan keduanya bagaikan tempelan karena tidak ada satupun cerita dan dialog disodorkan bagi mereka. Masih ada satu mutan lagi yang mati lebih dulu, tapi saya lupa. Oiya, nggak ketinggalan Moira MacTaggert, anggota CIA yang turut bekerja sama dalam menjalankan visi dan misi Charles. 
Talking point...
Bromance oh bromance. X-Men: First Class semakin memperkuat rasa cinta saya pada semua film X-Men. Awal dari trilogi-prekuel yang menakjubkan, didukung oleh chemistry antar semua cast yang terjalin dengan sangat kuat. Jangan lupakan ending film yang 100% mengharukan, gw aja sampai merinding. I think X-Men First Class is the best of the five xmen films, at this point, the best film of 2011 (so far).

Rate :
1  2  3  4  5

Minggu, 19 Juni 2011

Missed Ones in Early 2011 - Pt. 1

Tahun 2011 mungkin akan terus diingat, apalagi dengan peristiwa awal tahun-nya yang sangat mengagetkan para moviegoer bahkan semua orang yang suka nonton dan nunggu film-film baru muncul. Eits, hanya di Indonesia loh. Siapa sih yang nggak tahu masalah itu, film luar nggak bisa masuk Indonesia karena sekelumit masalah pajak yang sepertinya belum ditemukan jalan keluar yang bisa nguntungin dua pihak, yaitu pihak perpajakkan Indo sama MPAA. Yap, masalahnya kan emang langsung pada pihak MPAA, yang menjadi payung bagi enam penyalur film terbesar di Hollywood sana yang gemar menyodorkan banyak film bagus apalagi yang bernafas blockbuster.

Kadang suka sedih jadi masyarakat Indo, hmm, kadang udah nggak ngerti deh gimana cara menjalankan nasionalisme dan patriotisme (?). Oke keluar jalur kan. Meskipun nggak bisa nonton film-film luar yang paling ditunggu, tetep aja ada satu jalan pintas paling menyenangkan. Dvd bajakan dan download!! Hahaha, berikut lima film rilisan awal tahun 2011 yang pada akhirnya berhasil saya tonton. Masih ada banyak lagi sih, nanti saya posting-in sisanya. Lima dibawah ini termasuk film-film yang tergolong memuaskan/cukup bagus/keren, berikutnya akan saya post yang surprisingly bad.

THE ADJUSTMENT BUREAU
Director George Nolfi
Cast Matt Damon, Emily Blunt, Terence Stamp, Anthony Mackie
Distributor Universal Pictures
Genre Sci-Fi, Drama, Romance, Thriller
Release Date 4 March 2011 
Rate 3 out of 5
Mungkin Matt Damon belum bisa lepas dari bayang-bayang Bourne Trilogy-nya sehingga terlihat pasti mau banget menerima job membintangi film yang satu ini, The Adjustment Bureau. Diadaptasi dari cerita pendek berjudul The Adjustment Team, David Norris (Matt Damon) adalah politisi yg gagal mendapat kursi senator setelah dikalahkan rival kampanye-nya. Di saat-saat paska kekalahannya, secara tidak sengaja ia bertemu dgn seorang balerina bernama Elise (Emily Blunt). Di masa2 keduanya semakin dekat, hubungan mereka terancam oleh komplotan pria bertopi yang menganggap diri mereka sebagai agen takdir dan berusaha memisahkan David-Elise dgn alasan mereka keluar jalur dari takdir yang telah digariskan. Duduk di kursi sutradara, George Nolfi menjadikan The Adjustment Bureau sebagai debut karir penyutradaraannya yg pertama kali, setelah sebelumnya banyak menulis naskah u/ film-film sejenis seperti The Bourne Ultimatum dan Ocean's Twelve. Hmm, The Adjustment Bureau sendiri bukanlah sesuatu yg baru kalau dilihat sekilas. Kejar-kejaran, penguntit misterius, dll, mungkin hal yang sering dijumpai dalam film-film layaknya franchise Bourne dan Ocean's. Tapi melihat isi ceritanya sendiri, The Adjustment Bureau sedikit dibikin beda lewat pengembanan unsur sci-fi yang di-pak tidak berlebihan dan tetap "menghormati" banyak unsur lainnya seperti drama-romans itu sendiri. 

Menyinggung masalah George Nolfi yg menjadikan ini sebagai debut-nya, hasil adaptasi ini tergolong sebuah proyek yang berhasil mencapai garis kepuasan, tidak berarti sukses. Dengan mem-"blender" banyak genre ke dalamnya, semuanya berbaur dengan tidak berantakkan. Misalnya dari drama-romans yang selalu diberikan jatah tersendiri untuk mereka menikmati timingnya, lalu seketika disodorkan intens ketegangan lewat konflik antara agen takdir dan David Norris yang sebenernya pro-kontra, tidak ketinggalan lumayan banyaknya singgungan politik dan masalah kebimbangan dalam menentukkan tujuan hidup. Untung saja semuanya diatur dengan seimbang, walaupun kadang saya agak dikecewakan oleh minim-nya kejar-kejaran yang jarang muncul. The Adjustment Bureau sendiri masih memiliki banyak hal klise dimana-mana, contohnya fakta tiga tahun terpisahnya si David dan Elise. Agak ganjil loh dalam waktu sebegitu lama mereka nggak pernah ketemu sekalipun, okelah tau itu kota gede, tapi bukannya mereka suka pergi di jalur yang sama? Saya aja susah untuk nggak bisa "kebetulan ketemu" sama orang yang pernah ditemui. Hmm, selain itu, saya jg mendapati banyak hal yang harusnya bisa dilakukan para agen takdir untuk mencegah David, tapi nyatanya mereka nggak mampu, apalagi kalau disangkut-pautkan dengan ability yang mereka punya. So, kalau kata saya, film ini termasuk karya yang tergolong biasa. Nggak "wah", dan nggak "wooo". Oiya saya agak ngerasain sensasi Eagle Eye dicampur Butterfly Effect pas nonton The Adjustment Bureau!

LIMITLESS
Director Neil Burger
Cast Bradley Cooper, Abbie Cornish, Robert De Niro, Andrew Howard
Distributor Relativity Media
Genre Sci-Fi, Thriller
Release Date 8 March 2011 
Rate 2.5 out of 5
Setelah karirnya ngelonjak sejak Hangover-nya yang asli lucu tapi menurut saya orang-orang menanggapi agak berlebihan, Bradley Cooper sepertinya tambah naik lewat banyak film ber-script biasa tapi punya tingkat hiburan yang nggak terbantahkan. Kali ini di Limitless, lagi-lagi film yang jual muka tajamnya yang mencolok, Bradley Cooper memerankan seorang penulis yang sedang kelabakan dikejar deadline nulis. Tampang berantakan, hidup semrawut, sampai keadaan ekonomi yang terlihat cukup-cukupan jadi berubah drastis saat ia ketagihan mengkonsumsi NZT-48, sebuah "pil superhero" rujukan mantan adik-ipar nya yang bentuknya mini-bening. To the point aja, Limitless ngebosenin. Nggak berarti sampah, tapi alurnya sukses buat saya terobsesi untuk mendorong tubuh saya segera menggapai empuknya tempat tidur di sebelah ruangan tv. Premisnya sih menarik, berhasil buat saya penasaran dari awal tahun. Harapan saya tuh bisa melihat  tontonan yang saya kira sci-fi pinter, eh ternyata semua hal yang diceritakan terlalu ngasih fokus berat ke gimana karakter Bradley dari suffer-happy-struggle-dying. 

Saya sendiri tidak ngerti obat macam apa yang bisa ngubah pola pikir sampai pola hidup seseorang kayak di film ini, emang sih udah dijelasin, tapi tetep nggak logic aja gitu. Oke, namanya film,pasti fiksi, nggak logic, so buang aja akal pikir sehat kita bukan? Tapi anehnya udah tau Limitless sajian sci-fi yang didalamnya punya premis yang bener2 fantasi, tapi kenapa malah dilingkupin cerita yang ngarah ke arah problema kehidupan. Alhasil saya bertanya, "ini film mau nusuk arti penting dari kata humanis, ato mau semrawutin otak saya dengan misteri pil yang less-explained itu? Well, sekali lagi, nggak sampah kok. Tapi kalo disebut film pintar ya nggak bisa, kalo mau tepat anggap aja ini menghibur. Bradley, hmm, main cukup bagus. Ada karakter yang nggak penting disini, Robert DeNiro! Eits salah, karakternya sih nggak bisa dibilang nggak penting, tapi munculnya nama DeNiro sangatlah nggak penting. Hey, kenapa nggak kontrak aktor kelas C aja yang mungkin bisa lebih ngidupin karakter-nya DeNiro yang muncul kadang2 tsb. Hemat biaya dong! Aneh banget ngeliat nama DeNiro ikutan nampang di poster. Lagian nggak ngaruh kok sama arah cerita.  

HANNA
Director Joe Wright
Cast Saoirse Ronan, Eric Bana, Cate Blanchett, Tom Hallander
Distributor Focus Features
Genre Action, Crime, Thriller
Release Date 8 April 2011 
Rate 3.5 out of 5
Jarang rasanya untuk menemukan film bernyawa kuat di musim-musim awal tahun. Biasanya di masa caturwulan pertama dalam satu tahun, kebanyakan film yang beredar bisa dibilang sebagai penyejuk atau pemanasan untuk menunggu hadirnya film2 summer/blockbuster. Seperti yg saya bilang tadi, "jarang", berarti belum tentu "tidak ada". Nah, di tengah kejarangan tersebut, di tahun 2011 terhitung ada beberapa penyejuk yang saya maksud. Selain Source Code yang mengejutkan itu, ada Hanna yang rilis bulan April lalu. Bercerita mengenai Hanna (Saoirse Ronan), gadis tangguh yang hidup bersama sang "ayah", Eric Heller (Eric Bana) di tengah hutan terpencil daerah kutub. Hanna dilatih ayahnya sedari kecil layaknya militer, segala macam kekuatan fisik, otak, dan psikis disodori ayahnya untuk sesuatu yang pada dasarnya tidak terlalu dimengerti oleh Hanna hingga suatu saat ia dan sang ayah harus berpisah demi menjalani misi revenge pada musuh bebuyutan mereka, Marissa Wiegler (Cate Blanchett). Hmm, Joe Wright mungkin lebih terkenal dengan film2 melodrama-nya, misalnya Atonement yang turut dibintangi si "Hanna". Menilik track-record nya yang kelihatan lebih berfokus pada satu genre saja, Wright terbilang berhasil mengeksploitasi keberaniannya untuk tampil beda lewat Hanna ini. 

Dari awal sampai film berakhir, ada dua hal yang saya rasa memiliki similarity terhadap apa yang ditawarkan dalam film ini. Dengan karakternya yang "buta dunia", Hanna seakan mengingatkan saya terhadap film The Island thn 2005 lalu. Dan dengan sosok gadis tangguh yang dicap pada diri Hanna ini, sosok Hit-Girl lah yang pertama kali tercetus dalam pikiran saya. Sepertinya terlalu "munafik" bagi orang untuk berusaha menolak fakta adanya kesamaan antara dua karakter ini. Sebagai penyejuk di cawu awal tahun 2011, Hanna adalah suguhan yang menarik. Film ini beruntung memiliki isi yang di-pak sebegitu lengkap tanpa menimbulkan kesan berantakan. Pertama yang pasti penampilan ketiga tokoh sentral, ada Saoirse yang main gesit luar-dalam dan meyakinkan ketangguhannya lewat tatapan dingin menipunya tsb, ada juga Eric Bana yang hmm, yang walau tidak se-"pria" Hanna tapi tetap menaikkan tensi emosi dalam cerita, dan yang terakhir adalah Cate Blanchett beserta Tom Hallander sbg antagonis yg sukses membuat saya antipati. Unsur kedua yang menjadi kekuatan film ini adalah diaturnya shot demi shot kamera yang memiliki arti sendiri dari tiap adegannya, mungkin untuk menekankan detil kejujuran dari revenge dalam cerita. Semuanya berbaur jadi satu dengan rapi dan lebih mengesankan lewat scoring yang asik dan tidak se-seram ceritanya sendiri. Well, Hanna tergolong sebuah sajian yang forgettable dan tidak terlalu istimewa, terlihat dari naskah cerita yang tidak sedetil "pembantaian" teknik filmnya. But, dilihat dari pencapaian seorang Wright, Hanna rasanya boleh dijadikan salah satu film terbaik di cawu pertama tahun 2011.


DIARY OF A WIMPY KID:
RODRICK RULES
Director David Bowers
Cast Zachary Gordon, Devon Bostick, Robert Capron, Rachael Harris
Distributor 20th Century Fox
Genre Comedy
Release Date 25 March 2011 
Rate 3 out of 5
Setelah sukses dengan penghasilan yang nggak disangka sebelumnya, Diary of Wimpy Kid kembali lagi hanya berselang satu tahun dari rilisan film yang pertama. Dengan sub-title "Rodrick Rules" yang emang dari judul buku asli, film ini tetap menceritakan kehidupan belia Greg Heffley (Zachary Gordon). Kalo yang pertama ceritanya tentang gimana si Greg "menderita" di awal2 masa middle-school/smp, yang kedua ini tetep ngasih "penderitaan" ke dia lewat tingkah laku kakaknya yang jengkelin. Hmmm, saya sangat suka bukunya yang tidak susah2 tanpa hal rumit seperti kebanyakan novel standard yang sok tinggi. Cerita simple, guyonan2 kocak, sampai aksi heboh nan lebay Greg dkk yang divisualisasikan ke bentuk adapted movie book tergolong berhasil di tingkatannya. 

Agak bingung kenapa banyak kritikus2 pro diluar sana yang nganggep nih film ancur dan ruwet, pertanyaannya, ancur dimananya om?! Emang sih film pertama nggak konsisten mau ngasih jokes yang di beberapa scene banyak hal klise yang kayaknya mustahil aja gitu, ya namanya juga bo'ongan/fiksi atau lebih tepatnya pure hiburan. Saya bilang sih yang kedua ini lebih lucu, lengkap dengan karakter2 pelengkap yang nggak sekedar ramein, seperti si india Chirag yang berhasil buat saya kesel setengah mati. Bingung kalo mau cari kelemahannya, bukan maksud saya film ini sempurna, tapi agak maksa aja gitu kalo ngekritik film ini terlampau dalam. Oiya tapi saya makin nggak suka aja sama yang meranin Rodrick, kadang porsinya malah buat suasana agak hambar. Tetep lucu sih. Dan kalo mau bilang ngena ke saya sendiri, hmm, agak. Karena seperti saya bilang tadi, banyak hal klise di sana-sini yang pure fiksi (nggak tahu juga sih mungkin di amrik sana banyak terjadi). Dengan pendapatan yang menyenangkan bagi kedua filmnya, Diary of A Wimpy Kid punya potensi jadi franchise panjang yang sangat beda dilihat genre-nya. Kalo nggak salah novelnya berjumlah lima seri.


PAUL
Director Greg Mottola
Cast Seth Rogen, Simon Pegg, Nick Frost, Kristen Wiig
Distributor Universal Pictures
Genre Comedy, Adventure
Release Date 18 March 2011 
Rate 3 out of 5
Bicara Paul, pasti yang pertama tercetus di kepala adalah duo aktor yang membintanginya, siapa lagi kalo bukan Simon Pegg dan Nick Frost yang beken akan kolaborasi langganan mereka di beberapa film. Setelah Shaun of The Dead dan Hot Fuzz, dua orang ini main satu screen lagi dalam "komedi alien", Paul. Diceritakan Graeme Willy (Simon Pegg) dan Clive Gollings (Nick Frost) adalah dua sahabat dari Inggris yang sering liburan bersama. Terbang jauh dari kampung halaman ke Amerika untuk menghadiri Comic-Con (pameran komik akbar tahunan), sesosok alien bernama Paul terpaksa harus bergabung dgn RV mereka di tengah perjalanan malam yang mengejutkan. Perjalanan panjang penuh kejutan pun mau tidak mau harus mereka jalani demi menyelamatkan Paul dari bahaya misterius yang tengah mengejarnya, lengkap dengan kawan2 baru yg mereka bertiga temui di tengah perjalanan. Yang menjadi faktor bagi saya untuk mau cepet2 nonton Paul adalah nama-nama yang menghiasi jajaran pemain didalamnya. Hmm, sebut aja Pegg-Frost, Kristen Wiig, Blythe Danner, Jason Bateman, Jane Lynch, dll. Agak kaget awalnya liat nama-nama kayak mereka main bareng, jarang aja rasanya isinya bagus semua dan saya kenali untuk film yang bisa dibilang pemasarannya nggak kerasa heboh. Sayang sekali setelah nonton, bahkan pas lagi nonton, ternyata Paul nggak lucu-lucu amat seperti yang banyak orang kira, termasuk saya. Nggak tahu apa mungkin saya ngarep-nya terlalu berlebihan, tapi tetap aja Paul tidak memberikan pengalaman ngakak yang memuaskan.  Padahal film udah diawali dgn lumayan baik, lewat opening datang-nya alien ke bumi yang  agak kontras sama suasana film seiring berjalannya waktu. Dari mikir bakal dapet tontonan komedi ala Pegg/Frost yang seperti sy bilang tadi, kelihatan beda dari awal, eh semuanya seakan surut kayak ombak ketika film sudah berjalan sekitar setengah jam. Ada beberapa momen, bahkan lumayan banyak, yang mau dibuat lucu tapi sayangnya jadi canggung. Soo, kalo mau dihitung, saya lebih banyak ngeluarin senyum dibanding ngakak. 

Tapi Paul tidak jatuh gitu aja berkat adanya beberapa aktor yang sangat membantu meningkatkan tingkat kelucuan film ini. Dan yang paling ngundang perhatian tentu saja karakter-nya Kristen Wiig, yang digambarkan sbg "bible freak" tapi tergoyahkan imannya karena dipengaruhi Paul dan duo Pegg-Frost. Karakter Wiig ini mungkin agak nyindir orang-orang yang nggak bisa berdiri sendiri, yang gampang berubah tanpa peduli akibat dan nggak bisa pegang omongan sendiri (pesan ini lebih ditekankan di ending pas tepatnya omongan Paul "be yourself, speak to your heart"). Justru kalo boleh ngomong, Wiig tampil lebih lucu dibanding Pegg-Frost. Oiya hampir lupa, ada juga Seth Rogen sbg pengisi suara Paul, suaranya sih hmm, menurut saya mengomentari sebuah "suara" sepertinya agak nggak penting. Jane Lynch yang numpang lewat sampai cameo si bos misterius yg nggak saya duga turut memberikan momen unik tersendiri. Once again, bukannya jayus, tapi masih banyak kekurangan disana-sini yang menyebar dalam sebuah "Paul" (oiya banyaknya F-bomb saya rasa sedikit memberi kharisma lawak bagi film).

Senin, 16 Mei 2011

[Review] I AM NUMBER FOUR (2011)

"I am next."
Director :
D.J. Carusso

Cast :
Alex Pettyfer
Dianna Agron
Teresa Palmer
Timothy Olyphant
Callan McAuliffe

Distributor :
Touchstone Pictures

Genre :
Sci-Fi, Action, Fantasy, Thriller








Who are you?...ah atau...What are you?.. Merasa familiar dengan potongan dialog tersebut? Pasti banyak lah film yang memakai dialog tsb, tapi mungkin yang paling gampang diingat adalah franchise Twilight Saga, lebih tepatnya seri pertamanya, adegan dimana Bella mempertanyakan identitas asli dari sesosok pria misterius yang sedang menjadi pacarnya. Hahaha maksud dari penjelasan saya disamping adalah, akhir-akhir ini sedang maraknya film ataupun serial televisi yang berfokus/menjadikan kaum remaja sebagai sasaran pemasaran produk mereka, yang kebanyakan memiliki isi cerita yang sangat biasa namun tetap saja bisa mengumpulkan jutaan penggila berkat penampilan bahkan tampang dari jajaran cast film tersebut. Oiya, apa yang ingin saya jelaskan dari dialog who are you/what are you tersebut adalah, sajian remaja akhir-akhir ini banyak sekali yang memiliki kisah cerita mengenai...hmm...kisah asmara antara manusia dengan entah itu vampir, werewolf, dll -- yang penting sosok misterius yang nantinya akan dipertanyakan si manusia itu (kebanyakan sih yang jadi manusia tuh yang cewe).

Nah setelah Twilight Saga yang sejak tahun 2008 terus-terusan dibuat sekuelnya per tahun sehingga terkesan nafsu, di awal 2011 ada lagi film dengan premis sejenis berjudul I Am Number Four. Diangkat dari novel dengan judul sama karangan duo penulis James Frey dan Jobie Hughes yang ternyata dipublikasikan untuk pertama kalinya tidak jauh sebelum filmnya rilis, Aug 2010, film ini dibeli hak produksinya oleh Michael Bay yang terkenal dengan robot-robotnya itu. Berhubung di tahun ini ia juga sibuk dengan sekuel kedua Transformers nya itu, D.J Caruso yang sukses lewat film2 aksi nan menghibur ala Eagle Eye pun diberikan kursi sutradara sementara Bay tetap ikut berkontribusi di posisi produser. Tidak mau kalah dalam memamerkan bintang-bintang remaja, I Am Number Four (menurut saya) unggul dalam memilih pemeran semua karakternya, hehe, yang pasti dalam artian fisik, mereka adalah....
Dikisahkan sembilan alien remaja berwujud manusia diasingkan ke bumi. Tenang, kedatangan mereka ke bumi bukanlah untuk melakukan invasi besar-besaran seperti kebanyakan alien di film2 bertema alien lainnya. Mereka datang ke bumi untuk menyelamatkan diri mereka dari kejaran Mogadorians, musuh kaum alien mereka, yang telah menghancurkan planet tempat mereka berasal, Lorien, berikut eksistensi dari segala makhluk yang ada. Kini hanya tersisa sembilan alien, masing-masing dari mereka ditandai dengan nomor urut dan ditemani oleh masing2 satu guardian yang bertugas menemani dan menjaga mereka hingga mereka tumbuh dewasa dan memperoleh super-power mereka nanti. Rupanya Mogadorians belum mengenal kata menyerah, mereka ikut datang ke bumi dan memburu kesembilan alien Lorien yang tersisa tersebut. Mogadorians tidak bisa membunuh sembilan anak itu secara acak melainkan harus mengikuti urutan mereka. Satu persatu berhasil dibunuh; number one, number two, number three, dan berikutnya number four.

Alex Pettyfer memerankan Number Four, sosok alien remaja good-looking dan sangat menarik yang ditemani dengan guardiannya Henri (Timothy Olyphant). Number Four dan Henri hidup di bumi secara nomaden, yaitu selalu berpindah-pindah tempat setiap kali terjadi kasus yang bisa membahayakan atau membocorkan persembunyian mereka di bumi. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal sementara di kota kecil di Ohio bernama Paradise. Henri mewajibkan Number Four yang di kota tersebut memakai nama John Smith untuk tidak terlalu berbaur dengan lingkungan demi membantu penyamaran mereka. Di kota tsb John berkenalan dengan Sam (Callan McAuliffe) dan juga Sarah (Dianna Agron), gadis cantik pecinta fotografi yang lama2 dicintai John. Dan untuk pertama kalinya selama kehidupan nomadennya, Number Four merasa yakin bumi bisa menjadi tempat ia memulai hidup barunya.
Memang rata-rata film remaja yang memiliki kesamaan premis mengenai dua makhluk berbeda jatuh cinta ini pasti tidak jauh-jauh beda ceritanya. Lihat saja mulai dari Twilight, The Vampire Diaries, Red Riding Hood yang belum saya tonton tapi katanya mirip banget sama Twilight, hingga sekarang I Am #4, pusat ceritanya sama-sama aja. Si cewe manusia bertemu sosok pria misterius? Sama. Si cewe merasakan keganjilan pada sosok si pria dan mempertanyakan siapa sih dia sebenarnya dengan kata-kata Who are you atau What are you? Hahahaha sama banget, malah tuh kata-kata dipakai di semua film yang saya cantumkan diatas. Dan lalu si pria yang bukan manusia hidup berpindah-pindah demi mencegah kecurigaan manusia di sekitarnya? Sama. Mungkin tiga poin di samping merupakan sebuah kebetulan ya. Dan memang tidak bisa dipungkiri kehadiran Twilight memang sebuah awal dari makin maraknya timbul film sejenis, bukan berarti saya mengatakan film-film setelah Twilight isi ceritanya nyontek, tidak. Buktinya serial TVD sendiri adalah adaptasi dari novel yang rilis jauh lebih dulu daripada novel si Stephenie Meyer. Jadi bisa dibilang orang-orang harus bersyukur atas kehadiran Twilight sehingga banyak sineas memutuskan untuk ikut mengadaptasi banyak karya novelis serupa.

Nah, lalu bagaimana dengan I Am Number Four ini? Terus terang, ekspetasi besar timbul dalam diri saya saat nonton trailernya berikut melihat poster-posternya yang teen banget dan...ya saya suka aja. Setelah berbulan-bulan menunggu muncul bajakannya, ya taulah indo sekarang tambah miskin karena nggak ada film hollywood dari studio major besar yang bisa masuk ke sini, akhirnya dapet juga bajakannya setelah tiga bulan menunggu. Jujur, I Am Number Four nyatanya tidak memiliki kualitas yang berdasar pada ekspetasi besar saya. Bukan berarti jelek, tapi bagus banget juga nggak. Dan jujur lagi, yang ada di bayangan saya pertama kali adalah...oh mungkin film ini bakal seseru Transformers kali ya. Ternyata tidak, I Am Number Four memiliki kekurangan dalam minimnya adegan aksi remaja yang seharusnya dimaksimalkan dengan sangat baik dalam sebuah film sci-fi. Sangat disayangkan durasi 109 menit itu terkesan percuma/mubazir karena terlalu lamanya kita harus menunggu inti cerita dengan menonton kisah hidup Number Four berikut perkenalan dirinya dengan masa SMA di Paradise yang berjalan dengan lambat. Saya sendiri tidak merasakan kebosanan dalam mengikuti jalannya cerita, hanya saja sedikit kecewa dengan apa yang ada di trailer mungkin, atau kecewa dengan apa yang selama ini digembor-gemborkan khususnya nama Michael Bay dan juga D.J Carusso. Transformers? Eagle Eye? Masa sih mereka nggak bisa membuat I Am Number Four memiliki intensitas keseruan sebuah sci-fi layaknya apa yang bisa kita nikmati dalam dua film disamping. Sekali lagi bukannya jelek, tapi dengan nama dua orang tersebut seharusnya mereka bisa memberikan sesuatu yang lebih berkelas untuk kelas sci-fi atas dan mensejajarkan kualitas film itu dengan kualitas nama mereka sendiri.

Tapi tenang, sci-fi-watch-experience tidak mereka lewatkan dengan membiarkan kita menikmatinya di tiga puluh menit terakhir yang saya bilang lumayan seru. Banyak yang menyamakan film ini dengan serial-serial televisi scifi seperti Heroes ataupun Smallville, hmm, memang sih agak terlihat mirip apalagi untuk orang indo yang hanya bisa nonton di tv. Walaupun bukan alasan yang bagus untuk membela film ini, mungkin ekspetasi besar kita terasa hancur karena gagalnya kesempatan untuk menikmatinya di layar besar dan speaker dolby digital, hahaha. Alex Pettyfer yang sebelumnya lumayan terkenal lewat film debutnya Stormbreaker dan kiprah modellingnya bersama brand Burberry ini paling tidak tampil masih lebih baik ketimbang R-Pattz yang buat-buatnya terlaluu terlihat. Walaupun terlihat agak canggung tapi model-turned-actor ini masih baiklah memenuhi sedikit ekspetasi saya. Ada juga Teresa Palmer, yang mengejutkan tampil dengan porsi agak sedikit hanya di sekitar dua puluh menit terakhir sebagai sesama alien si Number Six, hmm kalau sebelumnya dia tampil bersama Nicolas Cage di posisi yang sama seperti Sarah yaitu 'tidak tahu apa-apa', disini ia malah masih kelihatan lebih asik. Oiya, salah satu alasan saya akan I Am #4 adalah Dianna Agron yang terkenal lewat Glee!! Whoa favorit saya nih, hahaha, cantik iya, suara bagus juga iya. Walaupun disini ia hadir dengan penampilan paling kaku tapi tetaplah...Dianna Agron selalu (pentingkah?). Oiya bedanya disini kita nggak akan dihadapkan pilihan team seperti team edward dll, ya secara I Am Number Four agak berbeda dari twilight dll karena tidak memusatkan kisah cintanya pada cinta segitiga.

Talking point...
I Am Number Four tetap menarik dan menghibur, diluar kurangnya eksploitasi besar-besaran dalam naskah cerita maupun porsi actionnya. Aksi berikut penampilan wajah semua castnya adalah salah satu nilai lebih bagi saya, dan juga visualisasi efeknya yang bagus. Sebagai sebuah franchise, I Am Number Four terhitung masih meyakinkan untuk berikutnya dilanjutkan oleh The Power of Six dan sekuel berikutnya yang sampai saat ini belum ditulis bahkan dipublikasikan. Posisi screenwriter yang lebih berpengalaman mengurusi serial sci-fi televisi mungkin agak memberikan pengaruh tv-sense pada film ini. Fans? Pasti bermunculan secara perlahan.

Rate :
2.5 out of 5