infolinks

Tampilkan postingan dengan label Fantasy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fantasy. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Agustus 2011

A biggest fantasy that puts a spell on me: HARRY POTTER

Director 
Chris Colombus (1-2), Alfonso Cuaron (3), Mike Newell (4), David Yates (5-8)
Cast Daniel Radcliffe, Emma Watson, Rupert Grint
Distributor Warner Bros. Pictures Genre Adventure, Fantasy, Family, 3D

Ten years and eight films. But I needed a week only for catching up this epic saga ever made, Harry Potter. Dimulai dan diakhiri oleh J.K Rowling sebagai penulis novelnya. Dimulai oleh Chris Colombus dan diakhiri oleh David Yates sebagai sutradara dari versi filmnya. It All Ends.

Seperti yang sering gw katakan, awalnya gw bukanlah pecinta film serial ini. Bukan karena gw udah pernah nonton lantas nggak suka, bukan. Melainkan hanya karena orangtua gw yang dari kecil terlalu mengekang gw dan nggak memperbolehkan anak-anaknya untuk nonton sesuatu yang berbau magic atau kegelapan. Hahaha, memang berlebihan, kalo mau kasar anggap saja mereka rada oldschool *nggak sopan*. Well, sangat jelas kenapa gw nggak ngerti Harry Potter. Daridulu suka ada kesempatan untuk marathon dari seri pertama sampai yang mutakhir, tapi sepertinya bad-luck terus-terusan menghinggapi gw. Pas ada momen orang-orang jadi gila karena novel atau film Harry Potter terbaru muncul, sampai diomongin dimana-mana, berbeda dengan gw. Gw cukup stay cool dan menganggap tidak ada apa-apa. Halah halah, tapi itulah gw dulu, hahaha. And then everything is changed, kira-kira dua minggu lalu ketika instalmen terakhir dari franchise ini masuk ke Indonesia, rasa penasaran gw yang telah tertumpuk sepuluh tahun muncul juga. I wanted to watch this saga desperately, so I tried to download all of it, and then I watch them each a day. Seketika gw berpikir, sayang banget nggak pernah nonton di bioskop. Pasti bertahun-tahun ke depan serial ini bakal diingat sepanjang masa karena kehebatan yang dikatakan banyak orang. Alhasil gw tonton film terakhirnya, Harry Potter and The Deathly Hallows Pt. 2. Apa tanggapan gw terhadap film ini, sekaligus keseluruhan serialnya? Ok, cukup sudah curhat berlebihan gw.
Seri terakhir dari franchise Harry Potter ini masih melanjutkan kisah yang terpotong di Harry Potter and The Deathly Hallows Pt. 1. Di bagian yang pertama, Harry dikisahkan memasukki usia 17 tahun dimana dirinya telah mencapai kedewasaan secara dunia sihir. Yang berarti ia bebas untuk melakukan magic dan melindungi dirinya sendiri, tidak seperti dirinya dahulu yang masih dilindungi mantera supaya terlindung dari Voldemort. Di bagian pertama pula Hogwarts mengalami kehancuran. Paska 'pengkhianatan' yang dilakukan Severus Snape, ia membocorkan beberapa rahasia hingga akhirnya The Dark Lord dan pengikutnya berhasil mengambil alih kekuasaan di Hogwarts. Sementara itu, tiga sekawan, yaitu Harry, Hermione, dan Ron melakukan misi penyelamatan sendiri. Mereka mendatangi Hogwarts yang telah berubah, tetapi ketahuan oleh Bellatrix dan pasukannya. Dobby si Elf datang untuk menyelamatkan mereka semua.

Part 1 diakhiri dengan kematian mengharukan salah satu karakter, dan Voldemort yang mendatangi kubur Dumbledore untuk merebut tongkat sihir terkuat di dunia, Elder Wand. Untuk menghancurkan kuasa gelap yang berkuasa untuk sementara dan pemimpinnya sendiri, Harry harus memusnahkan tujuh horcrux yang ada di dunia. Horcrux merupakan jimat yang digunakan untuk menyimpan nyawa Voldemort. Masing-masing horcrux mewakili nyawanya yang tersisa. Sudah tiga horcrux yang berhasil dimusnahkan beberapa tahun sebelumnya, yaitu diari Tom Riddle, cincin Gaunt, dan terakhir liontin Slytherin. Masih ada empat lainnya di luar sana yang entah berada dimana. Horcrux terakhir ternyata berada di sesuatu yang sangat dekat dengan diri Voldemort dan selalu mengikuti kemana ia pergi. Harry, Hermione, dan Ron beserta pembela Hogwarts lainnya bersatu padu untuk menentang kuasa hitam dan The Dark Lord. For the very last time.
Agak bingung sih mau omongin apa aja dan yang mana dulu. Di luar baru aja selesai nonton semuanya, gw juga belum baca semua novelnya. Padahal sepertinya akan lebih enak aja gitu kalo udah baca, jadi bisa buat komparisasi antara dua media yang berbeda. Oiya sebelumnya, mohon maaf kalau ada beberapa kesalahan informasi atau isi cerita. Dan mungkin artikel ini rada berantakan mau ngomongin apa dulu, hahaha. Mari kita mulai from the very first film. Harry Potter and The Philosopher's Stone merupakan awal dari tujuh cerita utama Harry Potter. Seri yang pertama ini sebenarnya dulu memiliki sub-judul yang berbeda, yaitu "...and the Sorcerer's Stone" untuk region Amerika Serikat. Hmmm, nggak tahu kenapa, tapi kalau nggak salah judul aslinya yang "Philosopher's" deh. Dengan durasi cukup lama sekitar 159 menit, awalnya gw pikir bakal rada membosankan apalagi melihat premis cerita yang agak sederhana dan versi bukunya sendiri yang nggak tebal banget. Tapi ternyata tidak, di serinya yang pertama ini, Harry Potter memulai ceritanya dengan sangat lembut. Harry Potter 1 ini punya cerita yang belum terlalu dalam, agak terasa komikal dengan banyak selingan humor cerdas gaya J.K Rowling. Tapi masih setia dengan beberapa sisi dark yang diperlembut demi membantu orang tahu apa sih yang sedang dan akan terjadi ke depannya. 

Masih sama seperti yang pertama, Harry Potter and The Chamber of Secrets tetap menawarkan kisah yang menarik untuk diikuti anak-anak beserta pengalaman fantasi yang menyenangkan. Kalau yang pertama lebih banyak menceritakan asal muasal Potter secara mendasar, serta perkenalan akan boarding-school Hogwarts. Adalah sangat memorable apabila gw mengingat momen-momen di Harry Potter yang pertama. Diawali Dumbledore dan Prof. McGonagall mengantar bayi Harry untuk dititipkan ke keluarga yang nantinya sangat jahat, lalu saat Harry beserta murid-murid 1st year dipakaikan sorting-hat untuk mengklasifikasikan kelas yang layak bagi semua anak. Nah, yang beda disini adalah Chris Colombus menaikkan daya pikat penonton sedikit lebih tinggi demi menyesuaikan kisah J.K Rowling yang mulai memasukki konflik 'good vs evil' dimana Harry dipertemukan dengan Tom Riddle wujud manusia dan makhluk mistik Basilisk. Oiya hampir lupa, sebenernya di Harpot 1 dia sudah bertemu dengan Voldemort yang masih 'numpang' di kepala orang. Si tiga sekawan sudah melakukan challange untuk pertama kalinya yaitu magic-chess (gw nggak tahu apa istilahnya, jadi buat sendiri saja). Tapi gw merasa di film kedua lah si Chris lebih mencoba untuk nggak main aman. Chamber of Secrets turut juga berperan sebagai awal dimana Harry melakukan misi penghancuran You-Know-Who, dimana ia menghancurkan buku diari Tom Riddle yang pada saat itu belum mengerti mengenai horcrux. Overall, Chamber of Secrets adalah sekuel yang sangat baik untuk menaikkan pamor Harry Potter.

Semuanya berubah 180 derajat di serinya yang ketiga, yaitu Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Banyak yang berubah disini. Di luar penampilan para pemain yang lebih dewasa, tidak 'sebocah' di kedua film sebelumnya, Prisoner of Azkaban memiliki sutradara yang baru yaitu Alfonso Cuaron. Selaku penulis novel, J.K. Rowling semakin memperdalam kesan dark di kisah Harry Potter ini. Seri yang ketiga ini memiliki banyak challange dan konflik yang semakin menghantui, misalnya kehadiran Dementor dan kaburnya Sirius Black yang sangat menghantui. Perkelahian antara Harry vs Dementors sangatlah menegangkan sekaligus menakutkan. Dengan pintar si Rowling memperjelas konklusi dari beberapa masalah/kejadian sedemikian jelas, dan berhasil divisualisasikan oleh Cuaron dengan sangat kelam. Hal lain yang gw suka adalah beberapa karakter yang perannya disini lebih 'terlihat' dan mengawali banyak pertanyaan. Diantaranya adalah sosok Snape yang membingungkan, di pihak manakah ia berada. Karakter Draco Malfoy turut dipertajam sedikit kenakalannya. Ya, masih sebatas 'nakal'. Jangan lupakan kasus Sirius Black vs Lupin vs Snape vs si tikus (lupa namanya) beserta tiga sekawan di bawah pohon oak yang disusun dengan cerdas oleh Rowling. "Expecto patronum", mantera paling saya ingat dari Harry Potter ada di seri yang ketiga ini. 
Untuk kedua kalinya franchise ini melakukan 'tukar tambah' kursi sutradara. Kali ini, Mike Newell si pengarah Four Weddings and Funeral dipercaya untuk merangkai cerita si bocah penyihir lewat visualisasi yang lebih kelam. Bedanya disini adalah Mike Newell masih menyesuaikan kesan dark itu dengan tetap memunculkan banyak humor khas Harry Potter. Banyak challange dan kejadian yang bersifat fun juga dibuat dengan cukup baik, misalnya Quidditch World Cup dan prom-night versi Hogwarts (gw lupa apa namanya). Tapi diluar banyaknya hal penting yang diperkenalkan, menurut gw Harry Potter and The Goblet of Fire ini nggak seseru tiga film sebelumnya. Ada yang bilang begitu karena nggak konsistennya si Newell terhadap cerita asli di novel itu sendiri. Nggak tahu juga sih, yang pasti gw nggak bisa comment. Nggak krusial sih untuk terlalu dimasalahkan, paling tidak Harry Potter semakin memberikan kesan loveable pada franchise ini. Lagipula di seri yang keempat ini banyak hal penting lain yang divisualisasikan dengan baik. Diantaranya adalah kematian Cedric yang dibuat sangat mengharukan dan bangkitnya si You-Know-Who. Berlanjut di Harry Potter and The Order of Phoenix, dan untuk terakhir kalinya berganti sutradara. David Yates memulai debut Harry Potternya di seri yang kelima ini dan terus mengkomandani sisanya sampai yang terakhir. Banyak yang berbeda dari cara Yates mengarahkan film Harry Potter. Yates lebih unggul dalam melakukan pendewasaan karakter-karakter secara perlahan dan lebih baik ketimbang pendahulunya. Kesan dark dan cerita yang lebih berat pun merupakan salah satu unsur penting dari gaya si Yates ini. 

Harry Potter mengalami kemunduran sedikit di seri yang keenam, Harry Potter and The Half Blood Prince. Kembali dengan David Yates, Harry Potter memiliki konflik yang tidak seperti semua film terdahulu. Half Blood Prince memiliki banyak kelemahan khususnya gaya penceritaan yang tidak terlalu intens. Berusaha meminimalisir efek visual mungkin agar nggak mengganggu jalan cerita, film keenam ini justru agak berantakkan susunan ceritanya. Walaupun begitu, Harry Potter tetap seru kok untuk ditonton. Film ini juga membuka kekacauan dan kesuraman yang menandakan bahwa Harry Potter tidak terlalu aman sebagai tontonan anak kecil. Beberapa tokoh juga diberikan porsi lebih oleh J.K Rowling, misalnya masa kecil Tom Riddle dan juga pendewasaan karakter si Draco Malfoy dalam menumbuhkan dark-sidenya. Sangat disayangkan kematian Dumbledore tidak se-wah ekspektasi gw, terlalu biasa. Malah banyak yang bilang versi novel bercerita lebih sedih. Bagaimanapun, Severus Snape semakin menarik hati gw disini. Tokoh yang nantinya menjadi favorite gw. 

Mengakhiri sekaligus melengkapi rangkaian Harry Potter sepenuhnya, Harry Potter and The Deathly Hallows akhirnya hadir di akhir dekade lalu dan di awal dekade ini. Lah? Ya, instalmen terakhir Harry Potter dibagi menjadi dua bagian, yaitu Part 1 dan Part 2. Nah kebetulan nih gw baru aja selesai baca novelnya (paragraf ini ditulis jauh sesudah banyak paragraf di atas -_-). Menurut gw Harry Potter yang terakhir ini merupakan konklusi dari sebuah rangkaian kisah fantasi yang sangat baik. Walaupun awalnya banyak yang yakin dibuat sampai dua bagian semata-mata untuk meraih pendapatan yang lebih, menurut gw gak sepenuhnya benar. Okelah, pernyataan itu gak bisa dibantah. Toh memang benar kan pemasukkan jad lebih besar. Tetapi yang menjadi nilai lebih dari keputusan pembagian itu adalah, David Yates berhasil mengadaptasi hampir semua cerita di versi novel menjadi visual gambar dengan baik. Hampir gak ada hal-hal penting yang dilewatkan, membuat Deathly Hallows lebih mendetail. Walaupun begitu gw kadang-kadang merasa sayang aja gitu harus dibagi dua gitu, padahal kalau saja disatukan, sensasi menonton jadi lebih seru karena durasi yang sangat lama seperti lords of The Rings dan untungnya didukung oleh kualitas film adaptasi yang luar biasa. 
Jujur gw agak bingung mau ngomongin apa lagi. Mungkin karena gw bukan seorang yang sangat setia, walaupun sekarang gw agak tergila-gila sama Harry Potter. Intinya banyak sekali hal-hal positif yang perlu kita lontarkan untuk memuji this biggest franchise all the time. Baik itu dari sisi kualitas cerita beserta beberapa hal yang rasanya menggurui, kualitas dalam penggarapannya pun sangatlah menakjubkan. Bagaimana seluruh sutradara dari semua film merangkai unsur-unsur buku sedemikian jelas dan tidak melupakan banyak hal yang bersifat krusial, dan juga bagaimana para kru lainnya bekerja sama baiknya seperti visualisasi efek yang hampir semua eye-popping. Banyak hal yang gw dapat dari Harry Potter. Some of those are, how to deal with death and how mortality is exist. Pendewasaan karakter yang berjalan perlahan-lahan juga menunjukkan bahwa seseorang pasti bisa dan akan tumbuh secara jasmani maupun rohani, it doesn't care either how stupid or pity their childhood are. Lihat saja kontribusi besar-besaran yang dilakukan banyak sekali karakter yang rasanya tidak terduga, ambil contoh saja si Neville Longbottom maupun Luna Lovegood. Diluar itu, pendewasaan karakter ini juga membuktikan kecerdasan J.K. Rowling dalam menulis sebuah cerita, tetap memperdulikan tulisan-tulisan terdahulu yang terbuka kemungkinan untuk mudah dilupakan. 

Tadinya mau buat semacam award atau list mengenai hal-hal di dalam Harry Potter, tapi rasanya gak ada waktu -_-. Severus Snape is my favorite character. Kenapa gw suka dia? Jelas karena kekompleksan karakternya yang rumit dan penuh twist. Snape adalah sosok yang 'mengancam'. He can be either good or bad, but in the end he turned out to be good. There is evidence of his goodness, and evidence that he is evil. Ya, selain rumit, tak kelak menimbulkan banyak spekulasi. Oh how I love you, Snape. Hal lain yang gw suka tentu adalah The Weasley, contoh keluarga 'outcast' yang gak kenal ampun sama setiap orang yang menghina mereka. Gw suka bagaimana keluarga fiksi ini digambarkan sebagai sesuatu yang memalukan tapi menggembirakan berkat seluruh anggota yang unik dan berciri khas. Jangan lupakan sosok Umbridge, si anggota kementerian yang sifatnya sangat memuakkan. Lupakan bagaimana kebencian semua witches, muggles, or whatever kepada You-Know-Who. Karena dari lubuk kebencian gw yang paling dalam, Umbridge lah yang lebih menyebalkan dan sering sekali muncul rasa kesal dalam diri saya ketika memandang wajah dan kelakuannya. 

Sekedar ungkapan kecewa sedikit, ada beberapa yang gak sejalan dengan ekspektasi awal gw. Misalnya adegan kematian Dumbledore, seperti yang telah gw katakan tadi, yang rasanya tidak dibuat terlalu menyentuh. Kejadian "Forest Again" pun rasanya agak menggelitik, tidak se-intens di novel. Lihat saja bagaimana Harry Potter yang berpura-pura mati di film langsung terbangun sebegitu aneh dan lucu, sekali lagi, tidak seperti di novel. Ah, lupakan sajalah, bukan suatu hal yang patut dijadikan masalah. Toh, meskipun begitu, semuanya berjalan bagus-bagus saja dan tidak mengurangi keseruan cerita. Perlu diakui, gw agak bingung artikel gw yang satu ini adalah artikel, feature biasa, atau curhatan (hahahaha-_-). Diluar kata-kata yang gw rangkai agak berantakan, faktor malas mungkin bisa dijadikan alasan. Agak nyesal sih kenapa gw tidak membuat artikel seperti yang biasanya gw buat, maklum, terlalu banyak yang harus ditulis kalau satu-satu. Alhasil, mungkin terlihat seperti tulisan nostalgia satu minggu kali ya? Ah, gak penting. It's going to be weird that there's no harry potter we had been waiting on, but it would be a shame to try to recreate them. Just don't. And I think Prisoner of Azkaban & both Deathly Hallows films are the best from all others. But why the last two finale films really excites me? Because both of them are the epic conclusion of harry potter saga that puts a spell on me. Howsoever, Harry Potter is GREAT.

Rate (overall)
1  2  3  4  5 

Senin, 16 Mei 2011

[Review] I AM NUMBER FOUR (2011)

"I am next."
Director :
D.J. Carusso

Cast :
Alex Pettyfer
Dianna Agron
Teresa Palmer
Timothy Olyphant
Callan McAuliffe

Distributor :
Touchstone Pictures

Genre :
Sci-Fi, Action, Fantasy, Thriller








Who are you?...ah atau...What are you?.. Merasa familiar dengan potongan dialog tersebut? Pasti banyak lah film yang memakai dialog tsb, tapi mungkin yang paling gampang diingat adalah franchise Twilight Saga, lebih tepatnya seri pertamanya, adegan dimana Bella mempertanyakan identitas asli dari sesosok pria misterius yang sedang menjadi pacarnya. Hahaha maksud dari penjelasan saya disamping adalah, akhir-akhir ini sedang maraknya film ataupun serial televisi yang berfokus/menjadikan kaum remaja sebagai sasaran pemasaran produk mereka, yang kebanyakan memiliki isi cerita yang sangat biasa namun tetap saja bisa mengumpulkan jutaan penggila berkat penampilan bahkan tampang dari jajaran cast film tersebut. Oiya, apa yang ingin saya jelaskan dari dialog who are you/what are you tersebut adalah, sajian remaja akhir-akhir ini banyak sekali yang memiliki kisah cerita mengenai...hmm...kisah asmara antara manusia dengan entah itu vampir, werewolf, dll -- yang penting sosok misterius yang nantinya akan dipertanyakan si manusia itu (kebanyakan sih yang jadi manusia tuh yang cewe).

Nah setelah Twilight Saga yang sejak tahun 2008 terus-terusan dibuat sekuelnya per tahun sehingga terkesan nafsu, di awal 2011 ada lagi film dengan premis sejenis berjudul I Am Number Four. Diangkat dari novel dengan judul sama karangan duo penulis James Frey dan Jobie Hughes yang ternyata dipublikasikan untuk pertama kalinya tidak jauh sebelum filmnya rilis, Aug 2010, film ini dibeli hak produksinya oleh Michael Bay yang terkenal dengan robot-robotnya itu. Berhubung di tahun ini ia juga sibuk dengan sekuel kedua Transformers nya itu, D.J Caruso yang sukses lewat film2 aksi nan menghibur ala Eagle Eye pun diberikan kursi sutradara sementara Bay tetap ikut berkontribusi di posisi produser. Tidak mau kalah dalam memamerkan bintang-bintang remaja, I Am Number Four (menurut saya) unggul dalam memilih pemeran semua karakternya, hehe, yang pasti dalam artian fisik, mereka adalah....
Dikisahkan sembilan alien remaja berwujud manusia diasingkan ke bumi. Tenang, kedatangan mereka ke bumi bukanlah untuk melakukan invasi besar-besaran seperti kebanyakan alien di film2 bertema alien lainnya. Mereka datang ke bumi untuk menyelamatkan diri mereka dari kejaran Mogadorians, musuh kaum alien mereka, yang telah menghancurkan planet tempat mereka berasal, Lorien, berikut eksistensi dari segala makhluk yang ada. Kini hanya tersisa sembilan alien, masing-masing dari mereka ditandai dengan nomor urut dan ditemani oleh masing2 satu guardian yang bertugas menemani dan menjaga mereka hingga mereka tumbuh dewasa dan memperoleh super-power mereka nanti. Rupanya Mogadorians belum mengenal kata menyerah, mereka ikut datang ke bumi dan memburu kesembilan alien Lorien yang tersisa tersebut. Mogadorians tidak bisa membunuh sembilan anak itu secara acak melainkan harus mengikuti urutan mereka. Satu persatu berhasil dibunuh; number one, number two, number three, dan berikutnya number four.

Alex Pettyfer memerankan Number Four, sosok alien remaja good-looking dan sangat menarik yang ditemani dengan guardiannya Henri (Timothy Olyphant). Number Four dan Henri hidup di bumi secara nomaden, yaitu selalu berpindah-pindah tempat setiap kali terjadi kasus yang bisa membahayakan atau membocorkan persembunyian mereka di bumi. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal sementara di kota kecil di Ohio bernama Paradise. Henri mewajibkan Number Four yang di kota tersebut memakai nama John Smith untuk tidak terlalu berbaur dengan lingkungan demi membantu penyamaran mereka. Di kota tsb John berkenalan dengan Sam (Callan McAuliffe) dan juga Sarah (Dianna Agron), gadis cantik pecinta fotografi yang lama2 dicintai John. Dan untuk pertama kalinya selama kehidupan nomadennya, Number Four merasa yakin bumi bisa menjadi tempat ia memulai hidup barunya.
Memang rata-rata film remaja yang memiliki kesamaan premis mengenai dua makhluk berbeda jatuh cinta ini pasti tidak jauh-jauh beda ceritanya. Lihat saja mulai dari Twilight, The Vampire Diaries, Red Riding Hood yang belum saya tonton tapi katanya mirip banget sama Twilight, hingga sekarang I Am #4, pusat ceritanya sama-sama aja. Si cewe manusia bertemu sosok pria misterius? Sama. Si cewe merasakan keganjilan pada sosok si pria dan mempertanyakan siapa sih dia sebenarnya dengan kata-kata Who are you atau What are you? Hahahaha sama banget, malah tuh kata-kata dipakai di semua film yang saya cantumkan diatas. Dan lalu si pria yang bukan manusia hidup berpindah-pindah demi mencegah kecurigaan manusia di sekitarnya? Sama. Mungkin tiga poin di samping merupakan sebuah kebetulan ya. Dan memang tidak bisa dipungkiri kehadiran Twilight memang sebuah awal dari makin maraknya timbul film sejenis, bukan berarti saya mengatakan film-film setelah Twilight isi ceritanya nyontek, tidak. Buktinya serial TVD sendiri adalah adaptasi dari novel yang rilis jauh lebih dulu daripada novel si Stephenie Meyer. Jadi bisa dibilang orang-orang harus bersyukur atas kehadiran Twilight sehingga banyak sineas memutuskan untuk ikut mengadaptasi banyak karya novelis serupa.

Nah, lalu bagaimana dengan I Am Number Four ini? Terus terang, ekspetasi besar timbul dalam diri saya saat nonton trailernya berikut melihat poster-posternya yang teen banget dan...ya saya suka aja. Setelah berbulan-bulan menunggu muncul bajakannya, ya taulah indo sekarang tambah miskin karena nggak ada film hollywood dari studio major besar yang bisa masuk ke sini, akhirnya dapet juga bajakannya setelah tiga bulan menunggu. Jujur, I Am Number Four nyatanya tidak memiliki kualitas yang berdasar pada ekspetasi besar saya. Bukan berarti jelek, tapi bagus banget juga nggak. Dan jujur lagi, yang ada di bayangan saya pertama kali adalah...oh mungkin film ini bakal seseru Transformers kali ya. Ternyata tidak, I Am Number Four memiliki kekurangan dalam minimnya adegan aksi remaja yang seharusnya dimaksimalkan dengan sangat baik dalam sebuah film sci-fi. Sangat disayangkan durasi 109 menit itu terkesan percuma/mubazir karena terlalu lamanya kita harus menunggu inti cerita dengan menonton kisah hidup Number Four berikut perkenalan dirinya dengan masa SMA di Paradise yang berjalan dengan lambat. Saya sendiri tidak merasakan kebosanan dalam mengikuti jalannya cerita, hanya saja sedikit kecewa dengan apa yang ada di trailer mungkin, atau kecewa dengan apa yang selama ini digembor-gemborkan khususnya nama Michael Bay dan juga D.J Carusso. Transformers? Eagle Eye? Masa sih mereka nggak bisa membuat I Am Number Four memiliki intensitas keseruan sebuah sci-fi layaknya apa yang bisa kita nikmati dalam dua film disamping. Sekali lagi bukannya jelek, tapi dengan nama dua orang tersebut seharusnya mereka bisa memberikan sesuatu yang lebih berkelas untuk kelas sci-fi atas dan mensejajarkan kualitas film itu dengan kualitas nama mereka sendiri.

Tapi tenang, sci-fi-watch-experience tidak mereka lewatkan dengan membiarkan kita menikmatinya di tiga puluh menit terakhir yang saya bilang lumayan seru. Banyak yang menyamakan film ini dengan serial-serial televisi scifi seperti Heroes ataupun Smallville, hmm, memang sih agak terlihat mirip apalagi untuk orang indo yang hanya bisa nonton di tv. Walaupun bukan alasan yang bagus untuk membela film ini, mungkin ekspetasi besar kita terasa hancur karena gagalnya kesempatan untuk menikmatinya di layar besar dan speaker dolby digital, hahaha. Alex Pettyfer yang sebelumnya lumayan terkenal lewat film debutnya Stormbreaker dan kiprah modellingnya bersama brand Burberry ini paling tidak tampil masih lebih baik ketimbang R-Pattz yang buat-buatnya terlaluu terlihat. Walaupun terlihat agak canggung tapi model-turned-actor ini masih baiklah memenuhi sedikit ekspetasi saya. Ada juga Teresa Palmer, yang mengejutkan tampil dengan porsi agak sedikit hanya di sekitar dua puluh menit terakhir sebagai sesama alien si Number Six, hmm kalau sebelumnya dia tampil bersama Nicolas Cage di posisi yang sama seperti Sarah yaitu 'tidak tahu apa-apa', disini ia malah masih kelihatan lebih asik. Oiya, salah satu alasan saya akan I Am #4 adalah Dianna Agron yang terkenal lewat Glee!! Whoa favorit saya nih, hahaha, cantik iya, suara bagus juga iya. Walaupun disini ia hadir dengan penampilan paling kaku tapi tetaplah...Dianna Agron selalu (pentingkah?). Oiya bedanya disini kita nggak akan dihadapkan pilihan team seperti team edward dll, ya secara I Am Number Four agak berbeda dari twilight dll karena tidak memusatkan kisah cintanya pada cinta segitiga.

Talking point...
I Am Number Four tetap menarik dan menghibur, diluar kurangnya eksploitasi besar-besaran dalam naskah cerita maupun porsi actionnya. Aksi berikut penampilan wajah semua castnya adalah salah satu nilai lebih bagi saya, dan juga visualisasi efeknya yang bagus. Sebagai sebuah franchise, I Am Number Four terhitung masih meyakinkan untuk berikutnya dilanjutkan oleh The Power of Six dan sekuel berikutnya yang sampai saat ini belum ditulis bahkan dipublikasikan. Posisi screenwriter yang lebih berpengalaman mengurusi serial sci-fi televisi mungkin agak memberikan pengaruh tv-sense pada film ini. Fans? Pasti bermunculan secara perlahan.

Rate :
2.5 out of 5