infolinks

Tampilkan postingan dengan label Review. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Review. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Oktober 2011

[Review] DRIVE (2011)

Director Nicolas Winding Refn Writers Hossein Amini
 Cast Ryan Gosling, Carey Mulligan, Albert Brooks, Bryan Cranston
Distributor Film District Genre Action, Crime, Drama, Thriller

Banyak factor yang membuat film bisa jadi menarik dan menaikkan pamor film tersebut. Entah itu dari sisi teknikal promosi seperti poster, trailer, dll, bahkan sampai nama sutradara atau actor di dalamnya. Kali ini factor leading-actor lah yang berperan sebagai factor itu, yaitu Ryan Gosling. Setelah beberapa filmnya yang sebagian besar mendapat critical acclaim berkat penampilannya, kali ini di Drive ia kembali menunjukkan bahwa ia layak dicap sebagai promising actor.

Dari sekian banyaknya festival film yang diadakan per tahun, hanya beberapa yang memiliki prospek berkualitas, sebut saja Toronto Film Festival, Tribeca, Sundance di awal tahun, dan Cannes Film Festival di awal summer season. Di Cannes tahun ini ada beberapa film yang mendapat perhatian lebih, khususnya karena mendapat awards khusus in competition. Empat film paling mengundang perhatian antara lain The Artist dan Melancholia dengan P d’interpretation (best performance), The Tree of Life yang diganjar Palme d’Or (best picture), dan juga Drive dengan Prix de la mise en scene nya (best director). Empat film diatas adalah film-film yang berjaya di Cannes tahun ini dan sukses meraih atensi publik serta kritikus yang nantinya berkemungkinan besar untuk ikut bertarung di awards season, bergabung dengan film-film fall season yang memiliki prospek oscar lebih besar.
 Ryan Gosling bermain sebagai karakter tanpa nama, dengan sebutan ‘Driver’. Driver berkerja sebagai mekanik di garasi milik temannya Shannon (Bryan Cranston). Ia juga melakukan dua part-time job, yaitu sebagai stuntman untuk film seperti adegan car chase, di malam hari ia adalah seorang getaway driver. Shannon memiliki hubungan dengan mafia bernama Bernie Rose (Albert Brooks) yang membayar dirinya atas pembelian mobil balap NASCAR beserta Driver dengan driving skill nya yang baik. Bernie memiliki hubungan dengan Nino (Ron Perlman), yang juga seorang mafia.

Driver hidup sendiri di sebuah low rent apartment. Ia memiliki tetangga bernma Irene (Carey Mulligan), ibu muda yang tinggal berdua bersama sang anak. Driver dan Irene bertemu dan perlahan jadi suka sama suka walaupun in fact Irene sudah mengingatkan bahwa ia mempunyai suami yang berada di penjara. Suaminya, Standard (Oscar Isaac), memiliki hutang dengan seorang mafia dan harus segera melunaskannya dengan ancaman keselamatan Irene dan anaknya. Si Driver pun ikut campur untuk menyelamatkan mereka, sayangnya masalah jadi rumit karena adanya konspirasi yang dilakukan para mafia. 
 Banyak aspek yang membuat saya paling excited dengan film ini. Diluar nama Ryan Gosling yang makin bersinar, aspek promosional film juga mengundang atensi besar saya. Dimulai dari trailer yang lumayan bagus, sampai design poster retro dengan font berwarna pink yang kalau boleh dibilang termasuk poster terbaik tahun ini. Film dibuka dengan opening title yang sangat sederhana dengan font pink seperti di poster, dilanjutkan opening sequence si Driver dalam memperkenalkan dirinya sebagai getaway driver. Dimulai dengan pembicaraan si Driver dalam memberikan instruksi, dalam 20 menit berikutnya tidak banyak bahkan hampir tidak ada line yang diberikan kepada karakter Gosling tersebut. Penonton diperlihatkan sosok Driver yang sangat dingin, menakutkan, sekaligus questionable. Siapa orang ini? Apa latar belakangnya? Saya sangat suka opening sequence Drive ini, salah satu opening film terbaik yang pernah ada. Sebuah muted-sequence yang breathtaking dan memperlihatkan ketelitian seorang Driver.

Nama lain yang memiliki andil besar dalam Drive tidak lain adalah sutradaranya sendiri, yaitu Nicolas Winding Refn. Berkat film ini ia diganjar penghargaan setingkat best director pada Cannes bulan May lalu. Nama Refn dikenal lewat film-filmnya yang kebanyakan bergenre sejenis seperti Valhalla Rising dan Bronson. Belum ada film Refn selain Drive yang pernah saya tonton.  Apa yang menarik dari penyutradaraan Refn? Dari detik pertama Drive saya sudah merasakan jawaban dari pertanyaan disamping. Refn unggul dalam membuat sebuah contemporary film menjadi terlihat beda. Dalam Drive, Refn memberikan sentuhan feel retro dalam berbagai aspek, mulai dari kesederhanaan opening title yang cukup dengan font pink yang sangat hot sampai betapa asiknya ia memberikan mood dari awal sampai penghujung film yang mengingatkan saya akan ’80 noir. Walaupun tidak mencolok, sinematografi dalam Drive adalah nilai plus yang juga membuat mood retronya lebih terasa. Dibantu sinematografer Newton Thomas Sigel, Refn memperlihatkan immersive vision kota Los Angeles lengkap dengan neon eighties dan cara pengambilan gambar yang gampang ditemukan dalam film-film jadul tahun ’80-an. Saya paling suka dengan long-shot yang dipadukan dengan mood calm dan sentuhan efek sudden shift sampai slow motion.

Just as important as its other technical atmosphere, scoring film yang dikerjaan oleh Cliff Martinez, orang yang juga bekerja di film Contagion, sangatlah impresif. Diluar pengambilan gambar yang sangat baik di Drive, scoring beserta soundtrack yang menghiasi banyak scene disinilah yang membangkitkan mood ’80-an paling kental. Kadang saya suka membayangkan gimana ya kalau mereka lebih memilih untuk menggunakan lagu-lagu modern, pasti hilang feel-nya. Baik scoring maupun soundtrack, keduanya menciptakan atmosfir yang sedingin si Driver itu sendiri.

Saya sangat yakin ke depannya Drive akan menjadi sesuatu yang ikonik. Banyak factor yang masuk akal untuk membuat hal ini terjadi, mulai dari mood ’80-an yang kental, long-shot sequence yang masih lekat di ingatan saya, atmosfir retro yang dibangkitkan mulai dari credit title, sampai art direction yang lagi-lagi sangat saya suka. Hal ikonik lainnya? Yang pasti scorpion white satin jacket yang dipakai Gosling sepanjang film, beserta denim jeans tusuk gigi yang tidak kunjung lepas dari mulut sang Driver. I love every single piece in this film, tidak ada satupun adegan yang dibuat sekedar melama-lamakan durasi atau terbilang tidak perlu. Jelas durasi film ini hanyalah sebatas 1jam 30menit. Ada banyak adegan yang sangat memorable dan paling ‘berjiwa’. Favorit saya ialah ending film dimana Irene mengetuk pintu apartemen Driver dan akhirnya pergi dengan tatapan hopeful diikuti shot wajah si Driver, yang menurut saya sangatlah heartbreaking dan strong. Adegan dimana Driver diajak ngobrol seorang former client nya di bar mulai menunjukkan transformasi cold-character nya menjadi ganas, tetap dingin, tapi menakutkan. Favorit saya lainnya tentu saat Driver dengan stuntman mask nya mendatangi Nino dengan tatapan kosong, diiringi lagu soul ’80-an lagi serta slowmotion shot. Saat itu satu hal yang muncul di pikiran saya, this Driver is one of the greatest avenger all the time.

Diluar kesan stylish yang menyelubungi, seperempat jiwa Drive berada dalam tangan Ryan Gosling. Saya yakin dari panjangnya film ini, tidak lebih dari 50 lines diberikan pada dirinya. Gosling bermain sangat baik disini, ketimbang memainkan kata-kata, ia lebih memilih untuk membangkitkan jiwa seorang Driver lewat mimik muka dan bahasa tubuh yang quiet dan calm. Sekalinya ia menunjukkan sisi gelap yang ia timbun dalam dirinya, jujur sangatlah menakutkan. Bukannya berlebihan, tapi the way he look through his eyes is really mesmerizing.  Driver adalah karakter yang misterius, hanya berbicara kalau penting saja. Ryan Gosling menunjukkan kualitas acting yang sangat baik. No doubt this dude is one of the finest actor today. His consistency is remarkable, as is his range and taste of roles. Setelah menonton film-film terbaiknya, Ryan Gosling terbukti adalah salah satu actor muda terbaik di era ini. Dimulai dari peran Jewish kid di The Believer yang dulu tidak sedikit menamai dirinya sebagai best newcomer, dalam Half Nelson sebagai drug addict teacher yang sukses menganugerahi dirinya the first and only Oscar nod, sampai performances nya yang kelewatan underrated seperti Lars and the Real Girl dan Blue Valentine. Untuk tahun ini saja ada tiga film mainstream bagi dirinya dan saya masih nunggu untuk nonton dua lainnya.

Jangan banyak berharap kalau mengira Drive adalah film seperti Fast and Furious atau film balapan mobil lainnya. Drive sepenuhnya berbicara mengenai revenge, dibalut love story yang charming. Momen romantis dalam film ini dipenuhi oleh adegan kalem antara Irene dan Driver yang sangat manis. Tidak berlebihan dan tidak segitu mudahnya untuk dilupakan. Beberapa artikel mempersalahkan adanya lack of characterization of Driver yang tidak menceritakan background kehidupannya. Namun bagi saya malah bagus dan lebih menimbulkan kesan misterius yang memberikan kesan mendalam. Supporting cast film ini juga baik sama halnya seperti aspek lainnya. Saya agak terpaku pada Carey Mulligan yang bermain sangat sweet sebagai Irene, Christina Hendricks yang walaupun muncul sebentar tapi bisa dibilang sebagai scene-stealer.  Albert Brooks paling mengundang perhatian, sebagai villain yang kelihatan baik namun sebenarnya ruthless, lebih dari seorang Nino yang diperankan Ron Perlman. Agak kasihan sama karakternya Bryan Cranston gak tahu kenapa. Oscar Isaac juga bermain baik, padahal awalnya saya kira bakal memberikan sentuhan jealousy.
Talking point... 
Susah untuk tidak menyukai film ini. Drive adalah film action/gangster/neo-noir yang mencekam sekaligus mempesona dari awal sampai akhir, dan dibuat sempurna tanpa ‘nila setitik’. Ditopang penampilan si one-in-a-million, Ryan Gosling.

Rate :
1  2  3  4  5

Jumat, 16 September 2011

[Review] CAPTAIN AMERICA: THE FIRST AVENGER (2011)

Director Joe Johnston Writers Christopher Markus, Stephen McFeely
 Cast Chris Evans, Hayley Atwell, Hugo Weaving
Distributor Paramount Pictures Genre Action, Adventure, Sci-Fi, 3D

Banyak alasan yang membuat kita merasa sayang untuk tidak menonton film-film yang hadir di tahun 2011 ini. Selain banyaknya sekuel dari film-film terdahulu masing-masing yang sangat dinanti, atau mungkin semakin menggebyarnya balutan 3D dalam pemasaran film, alasan terbesar adalah melimpahnya sajian summer ambisius yang diantaranya terselip beberapa film superhero adaptasi komik, diantaranya adalah Captain America: The First Avenger.

Ada yang menarik dari tahun 2011. Seperti yang saya katakan diatas, tahun ini dijadikan ajang “perkelahian” bagi banyak karakter berkekuatan super untuk memikat jutaan moviegoer yang kelihatannya tidak tahan lagi menunggu. Sebelum berbicara lebih jauh, entah ini pikiran saya pribadi atau mungkin ada juga yang merasa, kok sepertinya sebagian besar live-action dari Marvel punya hasil yang lebih bagus ya ketimbang punyanya DC Comics? Lihat saja banyaknya film-film Batman dan Superman yang cukup banyak dicerca. Ya meskipun begitu rasanya kebangetan kalau trilogy Batman versi Nolan dilupakan (sangat jelas ia memiliki ciri khas sendiri untuk memaksimalkan dan menaikkan pamor DC). Justru Marvel terbukti lebih konsisten dalam melahap habis-habis budget film untuk mengadaptasi tokoh-tokoh komiknya untuk selanjutnya diadaptasi ke dalam bentuk film. Dan so happy to say, hasilnya kebanyakan bagus. Well, bagaimana dengan yang satu ini?
Di tahun 1942 dimana Perang Dunia II sedang berlangsung, Amerika Serikat sedang gencar-gencarnya melawan Nazi. Memanfaatkan segala yang mampu dilakukan, AS sendiri terus-terusan merekrut pemuda di negaranya untuk dijadikan tentara dan bergabung dengan pasukan militer untuk dikirim ke medan perang di Eropa. Steve Rogers (Chris Evans) hanyalah pria kurus kerempeng dengan tinggi tidak sampai 170 cm dan mengidap asma. Keadaan fisiknya yang lemah membuat dirinya sering di-bully dan tergolong ‘kaum outcast’. Tidak peduli akan kondisinya tersebut, ia punya niat yang sangat besar untuk bergabung dengan kemiliteran. Berkali-kali mencoba, dirinya selalu ditolak dikarenakan tidak memenuhi syarat, bahkan Rogers yang memalsukan identitasnya itu tetap saja ketahuan.

Di sela-sela kunjungan ke future technologies exhibiton bersama sahabatnya, Bucky Barnes (Sebastian Stan), sikap ngotot Rogers untuk masuk kemiliteran muncul kembali dan akhirnya dipertemukan dengan ilmuwan Dr. Abraham Erskine (Stanley Tucci) yang membantunya untuk masuk ke dalam pelatihan kemiliteran. Di pelatihan ia bertemu dengan seorang ‘wonder woman’, Peggy Carter (Hayley Atwell), yang bersikap sangat tegas dan keras. Melihat niatnya yang sangat besar, Rogers diberi kesempatan lebih jauh untuk dijadikan objek dari misi rahasia “Project Rebirth” dimana dirinya disuntik serum khusus yang pada akhirnya merubah bentuk dirinya menjadi lebih tinggi, kekar, dan 4x lebih lincah dari manusia biasa dalam kinerja fisik maupun otak. Dengan dirinya yang baru, Rogers kini berubah menjadi “Captain America”, pahlawan kuat yang berjuang menyelamatkan negerinya dari pemimpin organisasi rahasia NAZI, Hydra, yaitu Johann Schmidt / Red Skull (Hugo Weaving).
Seperti yang saya katakan di awal artikel tadi, sebagian besar adaptasi live-action dari DC Comics terbukti tidak memuaskan. Lihat saja dari Superman versi jadul yang for me personally gak tertarik, dan untung diperbaiki sedikit lewat Superman Returns. Ada juga Batman and Robins yang oh-my-god sampah banget. Kegagalan dalam penggarapan yang sangat memperihatinkan tersebut coba diperbaiki oleh Nolan dengan menunjukkan bahwa prospek film yang dimiliki DC Comics bisa jadi berhasil kalau ditangani oleh tangan yang betul. Jujur saya sendiri gak pernah suka sama Tim Burton yang kayaknya makin lama makin overstyle dalam membuat karya-karyanya. Ya namanya juga udah style sendiri ya. Kembali ke Marvel, publisher komik yang satu ini beruntung memiliki jajaran film live-action yang sebagian besar bias dibilang baik dan memenuhi standar. Lihat saja mulai dari trilogy Spiderman yang terlihat seperti pintu gerbang dari kejayaan Marvel ke depannya.

But for me personally, X-Men adalah film superhero terbaik. Diluar menurunnya kualitas di The Last Stand, makin parah di spin-off Wolverine, dan untungnya diperbaiki bahkan sangat istimewa dalam prekuel First Class. Nah, melanjutkan kesuksesannya tersebut, Marvel memperkenalkan sebuah Marvel Cinematic Universe. Apa itu? Saya singkat jadi MCU, ini adalah superhero-superhero Marvel yang dishare oleh Marvel Studios dan nantinya akan disatukan ke dalam proyek mahakarya Marvel, yaitu The Avengers. Sebelum dipersatukan, satu-satu dibuat dulu spin-off nya. Mulai dari Iron Man dan Iron Man 2 (paling bagus dibandingkan spin-off MCU lainnya) arahan Jon Favreau dengan bintang Robert Downey Jr.. Selain itu ada The Incredible Hulk diikuti Thor dan Captain America di tahun yang sama. Lima superhero ini bisa ditonton dalam satu film, yaitu salah satu proyek paling ambisius tahun depan, The Avengers. Tidak hanya itu, beberapa side-kick atau tokoh pembantu dari masing-masing film juga akan muncul, sebut saja Black Widow dan Pepper Potts sampai si archer yang tidak memiliki spin-off sendiri, Hawkeye. Mereka semua dipertemukan oleh ketua agen rahasia S.H.I.E.L.D, Nick Furry.

Lalu bagaimana dengan Captain America: The First Avenger? Jujur saya termasuk orang yang puas dengan film ini. Selaku sutradara, Joe Johnston berhasil memvisualisasikan karakter Steve Rogers ini. Captain America memiliki premis sederhana yang sangat teramat umum, yaitu from zero to hero. Tidak hanya Rogers yang pernah mengalami nasib tersebut, Spiderman pun terkenal akan sejarah awalnya yang hanya seorang pemuda nerd berkacamata dan akhirnya berubah menjadi kuat berkat sengatan laba-laba. Premis simple itu dijabarkan dengan kuat namun dengan penekanan sederhana dan tidak melupakan unsure komikal dan fun itu sendiri. Dari awal saya sudah bersemangat mengikuti dan sangat enjoy walaupun sekitar 40 menit pertama cerita berkutat sebatas masa-masa menderita si Rogers yang masih bertubuh kerempeng. Tapi itu bukanlah masalah. Agak risih mendengar kritikkan banyak orang yang mempersalahkan durasi film ini yang katanya overlength. Hello, it is only ten minutes different to Thor. Sangatkah krusial untuk dipermasalahkan? Bahkan bagi saya Captain America: The First Avenger jauh lebih baik dibanding Thor yang terlalu berpaku pada myth dan aksi laga. Satu catatan penting adalah, di saat cerita merubah fokus menuju konflik utama dan action sequence, pendalaman karakter dan penekanan premis cerita tetap dilakukan secara konsisten. Lihat saja bagaimana karakter Steve Rogers tidak ada hentinya memperlihatkan sisi manusiawi bahkan sisi outcast nya yang terkadang konyol, tapi tetap membangun sisi heroic lewat aksi-aksinya. Premis cerita yang saya sebutkan tadi juga tetap ditekankan sepanjang film lewat dialog-dialog bagus yang bagi saya charming banget.

Kelemahan bisa dilihat dalam divisi acting. Diluar karakterisasi yang baik, penampilan acting para pemain didalamnya bisa dibilang biasa saja. Tidak buruk, hanya lemah. Chris Evans yang sebelumnya pernah menjadi superhero dalam Fantastic Four bermain cukup baik disini, jauh lebih dari karakter lainnya. Tidak istimewa, tapi bisa dibilang menarik. Beruntung dirinya diberikan porsi utama yang sangat maruk sehingga terasa menutup karakter lainnya. Walaupun begitu, rasanya aneh dan berlebihan kalau karakter lain dianggap gak penting. Saya suka dengan tokoh sahabat Rogers, si Bucky. Karakter ini cukup mewarnai cerita dengan beberapa humor selipan. Ada juga Peggy Carter yang melengkapi syarat film; ada cowo pasti ada cewe. Dua karakter pembantu ini juga cukup bermanfaat untuk mewarnai suasana cerita, terutama saat dramatis di pertengahan dan konklusi film. Agak disayngkan tokoh yang dimainkan Stanley Tucci begitu cepat dimatikan. Oh iya jangan lupakan si Stark yang surprisingly diberikan porsi cukup banyak. Sayangnya bagi saya si Red Skull lah yang tidak dimainkan sebagaimana seharusnya seorang villain. Like I said, banyak loh humor-humor disini. Mulai dari ‘masa kerempeng’ si Rogers, aksi panggung Sang Capt. America yang memalukan, saat Peggy melihat foto dirinya di liontin Rogers, sampai pertanyaan tanpa henti si Rogers mengenai “fondue” antara Peggy dan Stark. Inilah yang membedakan Captain America dari spin-off Avengers lain, yaitu dimaksimalisirnya sisi humor dan premis cerita tanpa mengganggu isi film itu sendiri.

Big applause saya berikan bagi kinerja sisi teknikal film. Mulai dari shot visual effect CGI untuk mencurangi bentuk badan Chris Evans hingga terlihat kerempeng. Banyak teknik dilakukan disini, mulai dari memakai body double dan nantinya ‘ditimpa’ wajah Evans sampai scene shot yang dilakukan dua kali. Cara ini mengingatkan saya akan Benjamin Button yang juga melakukan cara ini, dan sukses di Oscar. Hal lain yang dikerjakan dengan bagus adalah cinematography yang dikerjakan Shelly Johnson. Suka banget sama cinemato-nya yang impressive, jarang loh ada superhero film yang member perhatian lebih di sisi ini. Action sequences juga asik, gak kurang gak berlebihan. Agak bingung loh banyak orang yang ngomong aksi nya kurang gimana gitu, padahal pas dan bagus. Development lainnya yang menarik perhatian saya adalah art direction yang memanjakkan mata. Feel ’40-an bener-bener dapet dan juga tone warna yang colourful dan pekat semakin buat saya betah nonton. Bahkan kalau boleh sedikit lebay, make-up sampai costume design juga oke loh. Sejauh film-film yang telah saya tonton tahun ini, Captain America punya prospek Oscar yang kuat di bagian teknik.  Oh iya hampir lupa, duo Stephen McFeely dan Christopher Markus yang menangani screenplay terlihat lumayan terpengaruh oleh proyek mereka sebelumnya, yaitu tiga film Narnia yang lekat akan unsur film keluarganya.
Talking point...
Captain America is hugely and superbly fun ride to leads people into The Avengers trimming. Not as boring as people says.

Rate :
1  2  3.5  4  5

Kamis, 01 September 2011

[Review] GONE BABY GONE (2007)

Director Ben Affleck Cast Casey Affleck, Michelle Monaghan, Amy Ryan
Distributor Miramax Films Genre Drama, Crime

Pernah nggak, atu lebih tepatnya, pasti sering kan kita dilanda dilema? Ya, mungkin "dilema" merupakan bagian kecil dari pokok permasalahan yang diangkat dalam film yang satu ini. "Gone Baby Gone", debut penyutradaraan Ben Affleck untuk yang pertama kali pada tahun 2007 lalu. Berhasil kah?

Saya sangat menyukai film yang bisa membuat orang bertanya-tanya sepanjang film, tanpa memberikan clue yang bisa merusak kesan misterius. Bahkan lebih bagus lagi kalo diakhiri dengan paksaan bagi kita untuk mempertanyakan apa yang terjadi sesudah film. Siapa yang benar? Apa yang salah? Itulah yang saya rasakan saat nonton Gone Baby Gone. Saya singkat menjadi GBG ya, ini merupakan crime-drama-mystery debutan Ben Affleck  yang diadaptasi langsung dari novel berjudul sama karya Dennis Lehane, yang juga menulis versi novel dari Mystic River dan Shutter Island (jangan kaget kalo ngerasa ada feel yg sama diantara 3buku disamping). GBG dibintangi oleh adik kandung dari si sutradara yaitu Casey Affleck (bromance project?). Casey sebelumnya sempet dapet noms Oscar berkat perannya di Jesse James (judulnya lebih panjang dan males nulisnya). Ada juga Michelle Monaghan dan juga Amy Ryan yang berkat penampilannya di film ini, dirinya diganjar noms Oscar u/ best actress. Gone Baby Gone menurut saya mengalami Oscar-snub dengan tidak dinominasikannya film ini ke beberapa noms yang harusnya pantas, terutama Best Adapted Screenplay atau bisa juga Best Director. Kenapa bisa gitu? 
Mengambil kota Boston sebagai latar tempatnya, Gone Baby Gone bercerita mengenai peristiwa penculikan seorang bocah perempuan yang menyebabkan banyak pihak terlibat dalam proses investigasi kasus misterius tersebut. Dikisahkan Amanda McCready adalah bocah 4 tahun yang tinggal bersama ibunya, Helena McCready (Amy Ryan). Hidup di kota Boston memang sulit dan butuh kewaspadaan penug, wajar, kota ini memang terkenal oleh tingkat kriminalitasnya yang tinggi. Helena hanyalah seorang single-mother (tidak dijelaskan kemana dan siapa suaminya), yang hidupnya berantakan dan bergaul dengan hal-hal kelam seperti narkotika, minum-minuman keras, atau "kehidupan malam". Helena tidak pernah mengurus anaknya itu dengan benar sebagaimana seharusnya tugas utama seorang ibu. Bahkan ia seringkali membawa Amanda ke lingkungan brutalnya. Tidak mau keponakannya terlantar, Lionel McCready (Titus Welliver), yg merupakan kakak kandung Helena malah lebih sering merawat Amanda.

Lalu apa masalahnya? Suatu ketika Amanda dinyatakan menghilang setelah anak itu tidak ditemukan dirumahnya oleh Helena. Segala penelusuran di sekitar rumah pun telah dilakukan dan tetap tak ada hasil. Hingga akhirnya dinyatakan sebagai kasus penculikan, berita tersebut menyebar luas melalui berbagai media. Tidak bisa menunggu lama untuk mendapat hasil investigasi kepolisian yang terkesan mengulur-ulur, Bea McCready (Amy Madigan), yang merupakan istri dari Lionel, mencari tambahan bantuan dan pilihan pun jatuh ke sepasang detektif independen Patrick Kenzie (Casey Affleck) dan Angie Gennaro (Michelle Monaghan). Memiliki banyak relasi/kenalan pelaku kriminal, Patrick dan Angie memanfaatkan hal ini untuk mempermudah proses penyelidikan, dibantu oleh dua detektif kepolisian Remy dan Nick. Semua risiko harus ditanggung dalam kasus ini. Segala kekeliruan, fakta mengejutkan, sampai hal yang tidak sesuai ekspektasi semakin memperumit masalah ini dan berimbas pada keselamatan nyawa hingga menimbulkan masalah personal dalam pasangan Patrick dan Angie begitu juga semua yg terlibat.
Ben Affleck memang nyatanya banyak yang nggak suka, bukan secara personal melainkan kualitasnya dalam berakting. Bahkan sering banget dia dijulukkin salah satu aktor terburuk yang pernah ada. Razzies pun juga sering ia dapet, eh, nggak tahu sih nominasi doang ato menang. Well, berlebihan nggak sih? Menurut saya iya. Ok, dia sering main di film-film jelek ato kasarnya film sampah. Dan nggak usah saya bela-belain dengan sok ngebagusin penampilannya, Affleck tidak jarang main dengan kaku dan nggak bisa memberi feel-good. Tapi ada kok beberapa filmnya yang lumayan saya suka, misalnya Pearl Harbour yang lumayan dihina itu (kalo Daredevil sih lewatin aja ya). Hey, jangan ngeliat orang sekedar dari satu sisi sehingga kesannya semua yg bagus dibuang. Robert DeNiro sampai Julie Roberts nggak jarang kok main jelek, tapi ya gitu, orang terlalu ngeliat predikat mereka sebagai kaliber Oscar sehingga apa-apa pasti dibilang bagus.

Oscar? Nah, ini dia yang banyak orang nggak tau. Jangan remehin Ben Affleck dulu, tahun 1998 lalu dia dapet Oscar berkat hasil kerjanya sebagai writer Good Will Hunting, walaupun shared with Matt Damon. Terus terang film itu belum saya tonton, jadi nggak bisa menilai terlalu gimana gitu. Well, nggak mungkin kan orang dapet Oscar tapi sebenernya dia nggak bagus? Mungkin sih, tapi untuk ajang tinggi seperti ini ya nggak gede-gede banget lah kemungkinannya. Tidak mau stuck disatu hal saja, dan sepertinya mau melepas cap jelek dari banyak orang, Ben Affleck tahun 2007 lalu melakukan debut penyutradaraannya. Langkah yang cukup berani, ditambah merangkap sebagai penulis screenplay. Lewat Gone Baby Gone, Ben Affleck sangat berhasil merubah pola pikir jutaan orang terhadap dirinya. Saya sangat suka dan akan sangat sangat mengagumi seorang sutradara yang bisa menulis sendiri naskah/screenplay cerita film itu sendiri. Itulah yang berhasil Affleck lakukan, sukses membuat saya kagum dan enjoy menikmati GBG ini dari awal sampai akhir. 

Cara Affleck menyutradarai debutnya ini sangat impresif, saya suka dengan caranya yang no-frills (to the point dan tidak kebanyakan embel-embel). Saya nggak suka film yang terlalu mengeksplorisasi ceritanya terlalu jauh dan tidak terkendali, sehingga film kesannya berantakan. Tahu lah, banyak banget loh film-film drama yang terlalu dipanjang-panjangin ceritanya sampai masalah yang ada terkesan repetitif dan maksa. Beda dengan Affleck, suami dari Jennifer Garner ini lebih memilih untuk berusaha memperdalam penampilan semua aktor/aktris yang terlibat. Affleck memiliki kelebihan yaitu power intelegensi dalam menggali dalam-dalam topik utama yg dibahas sehingga tidak menyeleweng ke hal yang nggak ada gunanya. Seperti filmnya yang perseptif, itulah diri Ben Affleck. In the other hand, Daredevil-nya Affleck emang saya akui sampah, sampe mikir kok kayaknya kebanyakan adaptasi komik DC selalu gagal ya? Lucunya, Affleck punya istri, Garner, juga pernah meranin superhero sampah yaitu Elektra.

Oops, hampir lupa ngomongin filmnya. Nyadar nggak sih Boston sering banget dijadikan latar tempat buat film-film jenis crime? Ya, sering banget. Seperti yang saya katakan di sinopsis cerita tadi, Boston adalah salah satu kota yang terkenal akan persentasi kejahatannya. Boston bak forbidden city yang dikelilingi beragam sense, dari ketakutan sampai kemarahan. Semuanya berhasil digambarkan secara sempurna dan terlihat natural dalam Gone Baby Gone sehingga dapat direfleksikan dengan baik oleh penonton. Ben Affleck emang gemar merangkai jalinan cerita yang bernuansa crime dan dileburkan dengan drama humanis ke dalam frame film. Tema universal ini bisa kita lihat dari beberapa film dimana dirinya terlibat, contohnya saja film ini dan The Town. Kalau dilihat dari Gone Baby Gone dan The Town, keduanya sama-sama memiliki permasalahan mengenai pembelokkan inti kasus. Maksudnya adalah crime scene yang akhirnya membawa orang-orang yg terlibat ke dalam konflik personal. 

Apa yang seketika nge-stuck di otak saya pas nonton film ini adalah, Gone Baby Gone berbicara mengenai "dosa putih". Secara tegas film ini mentidakbenarkan apa itu "dosa putih". Apapun alasannya, setulus apapun faktor orang melakukan tindakan yg merugikan pihak lain, itu nggak bisa dibenarkan. Let me tell the term, evil is "black", whereas good is "white". Coba ambil media pewarna, campur hitam sama putih. Hasilnya nggak bakal jadi putih kan? Sebanyak-banyaknya warna putih yang dicampur, tetep aja warnanya bernuansa dark. So, kejahatan sama kebaikan tuh nggak bisa dicampur. Nggak usah berusaha memperlogis argumen, tetep, buat saya jahat ya jahat. Contoh lain yang mempertegas alasan saya kenapa nggak setuju sama yang namanya dosa putih mungkin soal capital punishment/hukuman mati. Saya orang yang nggak setuju sama cara ini, ngapain ngebunuh orang sejahat apapun dia? Toh, nggak ada guna dan nggak bedanya ngelakuin itu (a.k.a sama-sama kriminal tuh hukum). Mungkin ada yang penasaran apa kaitan masalah "dosa putih" yang saya omongin ini dengan film. *spoiler* Ya lihat aja cara-cara Lionel dan Remy menyusun konspirasi kasus dan menutup-nutupinya seakan mereka innocent. Kenapa caranya harus begitu? Sekotor dan seburuknya orang, bukan hak kita dong untuk merampas hak mereka, apalagi kalau sampai buat konspirasi tertutup seperti di film ini. Sama halnya seperti mereka-mereka yang terlalu meremehkan Helena yang sebenarnya masih punya sisi keibuan, banyak banget loh orang yang kayak mereka. Cuma bisa mandang negatif orang dari satu sisi, nggak bisa bayangin gimana sih tuh orang struggle selama ini. Coba deh kalo mau mencemooh seseorang, bayangin gimana kalo diri lo ada di posisi dia, atau sederhananya gimana kalo dia itu relasi lo? Orang tuh pasti berubah, apapun kondisinya apalagi dalam konteks seorang Helena yang mengalami hal ini. 

Lalu bagaimana dengan divisi akting? Nearly flawless. Ya, nyaris sempurna. Gone Baby Gone beruntung punya pemain-pemain yang bermain dengan sangat baik dan unexpectedly-outstanding. Dimulai dari Casey Affleck yang semakin memperlihatkan acting-maturity nya. Ada juga Michelle Monaghan yang kelihatannya sekilas sebagai tempelan. Awalnya sih emang saya pikir begitu, but, then, ternyata penokohannya disini terbilang menarik dan penting dalam membantu satir yang disampaikan GBG. Nggak seperti kebanyakan film yang murni nempel dia, Michelle disini beruntung diberi karakter yang pas. Karakternya, Angie, digambarkan sebagai wanita yang sedikit keras kepala. Dari awal, Angie sudah terlihat sebagai pembelok (nggak bisa nerima kenyataan). Di awal dia udah nggak setuju dengan keterlibatan dirinya dalam kasus itu, dan di akhir ia jelas-jelas nggak mau nerima kenyataan bahwa konspirasi anak yg terjadi pada Amanda adalah kejahatan. Orang tuh nggak bisa dipaksa untuk berpikir sama seperti apa yang kita pandang. Sayang sekali karakternya kurang ditelusur lebih jauh hingga kadang terkesan tempelan. Satu hal yang membuat crime-drama seperti ini cenderung lebih menarik adalah karakter pendukung yang dibuat sangat menarik perhatian. Disini ada Morgan Freeman yang mencerminkan bagaimana kepolisian bisa juga ternoda oleh masalah humanis, Ed Harris yang mengekslorisasi berbagai sifat pada karakternya, dan yang paling penting adalah Amy Ryan dengan karakternya yang rentan dan suka susah untuk berpendirian. 
Talking point...
Gone Baby Gone harus saya katakan sebagai karya outstanding dari seorang actor-turned-director, Ben Affleck. Salah satu contoh "banting stir" terbaik yang pernah ada, didukung ensemble-cast sempurna dan jalan cerita yang penuh dengan twist.

Rate :
1  2  3  4.5  5

Kamis, 18 Agustus 2011

A biggest fantasy that puts a spell on me: HARRY POTTER

Director 
Chris Colombus (1-2), Alfonso Cuaron (3), Mike Newell (4), David Yates (5-8)
Cast Daniel Radcliffe, Emma Watson, Rupert Grint
Distributor Warner Bros. Pictures Genre Adventure, Fantasy, Family, 3D

Ten years and eight films. But I needed a week only for catching up this epic saga ever made, Harry Potter. Dimulai dan diakhiri oleh J.K Rowling sebagai penulis novelnya. Dimulai oleh Chris Colombus dan diakhiri oleh David Yates sebagai sutradara dari versi filmnya. It All Ends.

Seperti yang sering gw katakan, awalnya gw bukanlah pecinta film serial ini. Bukan karena gw udah pernah nonton lantas nggak suka, bukan. Melainkan hanya karena orangtua gw yang dari kecil terlalu mengekang gw dan nggak memperbolehkan anak-anaknya untuk nonton sesuatu yang berbau magic atau kegelapan. Hahaha, memang berlebihan, kalo mau kasar anggap saja mereka rada oldschool *nggak sopan*. Well, sangat jelas kenapa gw nggak ngerti Harry Potter. Daridulu suka ada kesempatan untuk marathon dari seri pertama sampai yang mutakhir, tapi sepertinya bad-luck terus-terusan menghinggapi gw. Pas ada momen orang-orang jadi gila karena novel atau film Harry Potter terbaru muncul, sampai diomongin dimana-mana, berbeda dengan gw. Gw cukup stay cool dan menganggap tidak ada apa-apa. Halah halah, tapi itulah gw dulu, hahaha. And then everything is changed, kira-kira dua minggu lalu ketika instalmen terakhir dari franchise ini masuk ke Indonesia, rasa penasaran gw yang telah tertumpuk sepuluh tahun muncul juga. I wanted to watch this saga desperately, so I tried to download all of it, and then I watch them each a day. Seketika gw berpikir, sayang banget nggak pernah nonton di bioskop. Pasti bertahun-tahun ke depan serial ini bakal diingat sepanjang masa karena kehebatan yang dikatakan banyak orang. Alhasil gw tonton film terakhirnya, Harry Potter and The Deathly Hallows Pt. 2. Apa tanggapan gw terhadap film ini, sekaligus keseluruhan serialnya? Ok, cukup sudah curhat berlebihan gw.
Seri terakhir dari franchise Harry Potter ini masih melanjutkan kisah yang terpotong di Harry Potter and The Deathly Hallows Pt. 1. Di bagian yang pertama, Harry dikisahkan memasukki usia 17 tahun dimana dirinya telah mencapai kedewasaan secara dunia sihir. Yang berarti ia bebas untuk melakukan magic dan melindungi dirinya sendiri, tidak seperti dirinya dahulu yang masih dilindungi mantera supaya terlindung dari Voldemort. Di bagian pertama pula Hogwarts mengalami kehancuran. Paska 'pengkhianatan' yang dilakukan Severus Snape, ia membocorkan beberapa rahasia hingga akhirnya The Dark Lord dan pengikutnya berhasil mengambil alih kekuasaan di Hogwarts. Sementara itu, tiga sekawan, yaitu Harry, Hermione, dan Ron melakukan misi penyelamatan sendiri. Mereka mendatangi Hogwarts yang telah berubah, tetapi ketahuan oleh Bellatrix dan pasukannya. Dobby si Elf datang untuk menyelamatkan mereka semua.

Part 1 diakhiri dengan kematian mengharukan salah satu karakter, dan Voldemort yang mendatangi kubur Dumbledore untuk merebut tongkat sihir terkuat di dunia, Elder Wand. Untuk menghancurkan kuasa gelap yang berkuasa untuk sementara dan pemimpinnya sendiri, Harry harus memusnahkan tujuh horcrux yang ada di dunia. Horcrux merupakan jimat yang digunakan untuk menyimpan nyawa Voldemort. Masing-masing horcrux mewakili nyawanya yang tersisa. Sudah tiga horcrux yang berhasil dimusnahkan beberapa tahun sebelumnya, yaitu diari Tom Riddle, cincin Gaunt, dan terakhir liontin Slytherin. Masih ada empat lainnya di luar sana yang entah berada dimana. Horcrux terakhir ternyata berada di sesuatu yang sangat dekat dengan diri Voldemort dan selalu mengikuti kemana ia pergi. Harry, Hermione, dan Ron beserta pembela Hogwarts lainnya bersatu padu untuk menentang kuasa hitam dan The Dark Lord. For the very last time.
Agak bingung sih mau omongin apa aja dan yang mana dulu. Di luar baru aja selesai nonton semuanya, gw juga belum baca semua novelnya. Padahal sepertinya akan lebih enak aja gitu kalo udah baca, jadi bisa buat komparisasi antara dua media yang berbeda. Oiya sebelumnya, mohon maaf kalau ada beberapa kesalahan informasi atau isi cerita. Dan mungkin artikel ini rada berantakan mau ngomongin apa dulu, hahaha. Mari kita mulai from the very first film. Harry Potter and The Philosopher's Stone merupakan awal dari tujuh cerita utama Harry Potter. Seri yang pertama ini sebenarnya dulu memiliki sub-judul yang berbeda, yaitu "...and the Sorcerer's Stone" untuk region Amerika Serikat. Hmmm, nggak tahu kenapa, tapi kalau nggak salah judul aslinya yang "Philosopher's" deh. Dengan durasi cukup lama sekitar 159 menit, awalnya gw pikir bakal rada membosankan apalagi melihat premis cerita yang agak sederhana dan versi bukunya sendiri yang nggak tebal banget. Tapi ternyata tidak, di serinya yang pertama ini, Harry Potter memulai ceritanya dengan sangat lembut. Harry Potter 1 ini punya cerita yang belum terlalu dalam, agak terasa komikal dengan banyak selingan humor cerdas gaya J.K Rowling. Tapi masih setia dengan beberapa sisi dark yang diperlembut demi membantu orang tahu apa sih yang sedang dan akan terjadi ke depannya. 

Masih sama seperti yang pertama, Harry Potter and The Chamber of Secrets tetap menawarkan kisah yang menarik untuk diikuti anak-anak beserta pengalaman fantasi yang menyenangkan. Kalau yang pertama lebih banyak menceritakan asal muasal Potter secara mendasar, serta perkenalan akan boarding-school Hogwarts. Adalah sangat memorable apabila gw mengingat momen-momen di Harry Potter yang pertama. Diawali Dumbledore dan Prof. McGonagall mengantar bayi Harry untuk dititipkan ke keluarga yang nantinya sangat jahat, lalu saat Harry beserta murid-murid 1st year dipakaikan sorting-hat untuk mengklasifikasikan kelas yang layak bagi semua anak. Nah, yang beda disini adalah Chris Colombus menaikkan daya pikat penonton sedikit lebih tinggi demi menyesuaikan kisah J.K Rowling yang mulai memasukki konflik 'good vs evil' dimana Harry dipertemukan dengan Tom Riddle wujud manusia dan makhluk mistik Basilisk. Oiya hampir lupa, sebenernya di Harpot 1 dia sudah bertemu dengan Voldemort yang masih 'numpang' di kepala orang. Si tiga sekawan sudah melakukan challange untuk pertama kalinya yaitu magic-chess (gw nggak tahu apa istilahnya, jadi buat sendiri saja). Tapi gw merasa di film kedua lah si Chris lebih mencoba untuk nggak main aman. Chamber of Secrets turut juga berperan sebagai awal dimana Harry melakukan misi penghancuran You-Know-Who, dimana ia menghancurkan buku diari Tom Riddle yang pada saat itu belum mengerti mengenai horcrux. Overall, Chamber of Secrets adalah sekuel yang sangat baik untuk menaikkan pamor Harry Potter.

Semuanya berubah 180 derajat di serinya yang ketiga, yaitu Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Banyak yang berubah disini. Di luar penampilan para pemain yang lebih dewasa, tidak 'sebocah' di kedua film sebelumnya, Prisoner of Azkaban memiliki sutradara yang baru yaitu Alfonso Cuaron. Selaku penulis novel, J.K. Rowling semakin memperdalam kesan dark di kisah Harry Potter ini. Seri yang ketiga ini memiliki banyak challange dan konflik yang semakin menghantui, misalnya kehadiran Dementor dan kaburnya Sirius Black yang sangat menghantui. Perkelahian antara Harry vs Dementors sangatlah menegangkan sekaligus menakutkan. Dengan pintar si Rowling memperjelas konklusi dari beberapa masalah/kejadian sedemikian jelas, dan berhasil divisualisasikan oleh Cuaron dengan sangat kelam. Hal lain yang gw suka adalah beberapa karakter yang perannya disini lebih 'terlihat' dan mengawali banyak pertanyaan. Diantaranya adalah sosok Snape yang membingungkan, di pihak manakah ia berada. Karakter Draco Malfoy turut dipertajam sedikit kenakalannya. Ya, masih sebatas 'nakal'. Jangan lupakan kasus Sirius Black vs Lupin vs Snape vs si tikus (lupa namanya) beserta tiga sekawan di bawah pohon oak yang disusun dengan cerdas oleh Rowling. "Expecto patronum", mantera paling saya ingat dari Harry Potter ada di seri yang ketiga ini. 
Untuk kedua kalinya franchise ini melakukan 'tukar tambah' kursi sutradara. Kali ini, Mike Newell si pengarah Four Weddings and Funeral dipercaya untuk merangkai cerita si bocah penyihir lewat visualisasi yang lebih kelam. Bedanya disini adalah Mike Newell masih menyesuaikan kesan dark itu dengan tetap memunculkan banyak humor khas Harry Potter. Banyak challange dan kejadian yang bersifat fun juga dibuat dengan cukup baik, misalnya Quidditch World Cup dan prom-night versi Hogwarts (gw lupa apa namanya). Tapi diluar banyaknya hal penting yang diperkenalkan, menurut gw Harry Potter and The Goblet of Fire ini nggak seseru tiga film sebelumnya. Ada yang bilang begitu karena nggak konsistennya si Newell terhadap cerita asli di novel itu sendiri. Nggak tahu juga sih, yang pasti gw nggak bisa comment. Nggak krusial sih untuk terlalu dimasalahkan, paling tidak Harry Potter semakin memberikan kesan loveable pada franchise ini. Lagipula di seri yang keempat ini banyak hal penting lain yang divisualisasikan dengan baik. Diantaranya adalah kematian Cedric yang dibuat sangat mengharukan dan bangkitnya si You-Know-Who. Berlanjut di Harry Potter and The Order of Phoenix, dan untuk terakhir kalinya berganti sutradara. David Yates memulai debut Harry Potternya di seri yang kelima ini dan terus mengkomandani sisanya sampai yang terakhir. Banyak yang berbeda dari cara Yates mengarahkan film Harry Potter. Yates lebih unggul dalam melakukan pendewasaan karakter-karakter secara perlahan dan lebih baik ketimbang pendahulunya. Kesan dark dan cerita yang lebih berat pun merupakan salah satu unsur penting dari gaya si Yates ini. 

Harry Potter mengalami kemunduran sedikit di seri yang keenam, Harry Potter and The Half Blood Prince. Kembali dengan David Yates, Harry Potter memiliki konflik yang tidak seperti semua film terdahulu. Half Blood Prince memiliki banyak kelemahan khususnya gaya penceritaan yang tidak terlalu intens. Berusaha meminimalisir efek visual mungkin agar nggak mengganggu jalan cerita, film keenam ini justru agak berantakkan susunan ceritanya. Walaupun begitu, Harry Potter tetap seru kok untuk ditonton. Film ini juga membuka kekacauan dan kesuraman yang menandakan bahwa Harry Potter tidak terlalu aman sebagai tontonan anak kecil. Beberapa tokoh juga diberikan porsi lebih oleh J.K Rowling, misalnya masa kecil Tom Riddle dan juga pendewasaan karakter si Draco Malfoy dalam menumbuhkan dark-sidenya. Sangat disayangkan kematian Dumbledore tidak se-wah ekspektasi gw, terlalu biasa. Malah banyak yang bilang versi novel bercerita lebih sedih. Bagaimanapun, Severus Snape semakin menarik hati gw disini. Tokoh yang nantinya menjadi favorite gw. 

Mengakhiri sekaligus melengkapi rangkaian Harry Potter sepenuhnya, Harry Potter and The Deathly Hallows akhirnya hadir di akhir dekade lalu dan di awal dekade ini. Lah? Ya, instalmen terakhir Harry Potter dibagi menjadi dua bagian, yaitu Part 1 dan Part 2. Nah kebetulan nih gw baru aja selesai baca novelnya (paragraf ini ditulis jauh sesudah banyak paragraf di atas -_-). Menurut gw Harry Potter yang terakhir ini merupakan konklusi dari sebuah rangkaian kisah fantasi yang sangat baik. Walaupun awalnya banyak yang yakin dibuat sampai dua bagian semata-mata untuk meraih pendapatan yang lebih, menurut gw gak sepenuhnya benar. Okelah, pernyataan itu gak bisa dibantah. Toh memang benar kan pemasukkan jad lebih besar. Tetapi yang menjadi nilai lebih dari keputusan pembagian itu adalah, David Yates berhasil mengadaptasi hampir semua cerita di versi novel menjadi visual gambar dengan baik. Hampir gak ada hal-hal penting yang dilewatkan, membuat Deathly Hallows lebih mendetail. Walaupun begitu gw kadang-kadang merasa sayang aja gitu harus dibagi dua gitu, padahal kalau saja disatukan, sensasi menonton jadi lebih seru karena durasi yang sangat lama seperti lords of The Rings dan untungnya didukung oleh kualitas film adaptasi yang luar biasa. 
Jujur gw agak bingung mau ngomongin apa lagi. Mungkin karena gw bukan seorang yang sangat setia, walaupun sekarang gw agak tergila-gila sama Harry Potter. Intinya banyak sekali hal-hal positif yang perlu kita lontarkan untuk memuji this biggest franchise all the time. Baik itu dari sisi kualitas cerita beserta beberapa hal yang rasanya menggurui, kualitas dalam penggarapannya pun sangatlah menakjubkan. Bagaimana seluruh sutradara dari semua film merangkai unsur-unsur buku sedemikian jelas dan tidak melupakan banyak hal yang bersifat krusial, dan juga bagaimana para kru lainnya bekerja sama baiknya seperti visualisasi efek yang hampir semua eye-popping. Banyak hal yang gw dapat dari Harry Potter. Some of those are, how to deal with death and how mortality is exist. Pendewasaan karakter yang berjalan perlahan-lahan juga menunjukkan bahwa seseorang pasti bisa dan akan tumbuh secara jasmani maupun rohani, it doesn't care either how stupid or pity their childhood are. Lihat saja kontribusi besar-besaran yang dilakukan banyak sekali karakter yang rasanya tidak terduga, ambil contoh saja si Neville Longbottom maupun Luna Lovegood. Diluar itu, pendewasaan karakter ini juga membuktikan kecerdasan J.K. Rowling dalam menulis sebuah cerita, tetap memperdulikan tulisan-tulisan terdahulu yang terbuka kemungkinan untuk mudah dilupakan. 

Tadinya mau buat semacam award atau list mengenai hal-hal di dalam Harry Potter, tapi rasanya gak ada waktu -_-. Severus Snape is my favorite character. Kenapa gw suka dia? Jelas karena kekompleksan karakternya yang rumit dan penuh twist. Snape adalah sosok yang 'mengancam'. He can be either good or bad, but in the end he turned out to be good. There is evidence of his goodness, and evidence that he is evil. Ya, selain rumit, tak kelak menimbulkan banyak spekulasi. Oh how I love you, Snape. Hal lain yang gw suka tentu adalah The Weasley, contoh keluarga 'outcast' yang gak kenal ampun sama setiap orang yang menghina mereka. Gw suka bagaimana keluarga fiksi ini digambarkan sebagai sesuatu yang memalukan tapi menggembirakan berkat seluruh anggota yang unik dan berciri khas. Jangan lupakan sosok Umbridge, si anggota kementerian yang sifatnya sangat memuakkan. Lupakan bagaimana kebencian semua witches, muggles, or whatever kepada You-Know-Who. Karena dari lubuk kebencian gw yang paling dalam, Umbridge lah yang lebih menyebalkan dan sering sekali muncul rasa kesal dalam diri saya ketika memandang wajah dan kelakuannya. 

Sekedar ungkapan kecewa sedikit, ada beberapa yang gak sejalan dengan ekspektasi awal gw. Misalnya adegan kematian Dumbledore, seperti yang telah gw katakan tadi, yang rasanya tidak dibuat terlalu menyentuh. Kejadian "Forest Again" pun rasanya agak menggelitik, tidak se-intens di novel. Lihat saja bagaimana Harry Potter yang berpura-pura mati di film langsung terbangun sebegitu aneh dan lucu, sekali lagi, tidak seperti di novel. Ah, lupakan sajalah, bukan suatu hal yang patut dijadikan masalah. Toh, meskipun begitu, semuanya berjalan bagus-bagus saja dan tidak mengurangi keseruan cerita. Perlu diakui, gw agak bingung artikel gw yang satu ini adalah artikel, feature biasa, atau curhatan (hahahaha-_-). Diluar kata-kata yang gw rangkai agak berantakan, faktor malas mungkin bisa dijadikan alasan. Agak nyesal sih kenapa gw tidak membuat artikel seperti yang biasanya gw buat, maklum, terlalu banyak yang harus ditulis kalau satu-satu. Alhasil, mungkin terlihat seperti tulisan nostalgia satu minggu kali ya? Ah, gak penting. It's going to be weird that there's no harry potter we had been waiting on, but it would be a shame to try to recreate them. Just don't. And I think Prisoner of Azkaban & both Deathly Hallows films are the best from all others. But why the last two finale films really excites me? Because both of them are the epic conclusion of harry potter saga that puts a spell on me. Howsoever, Harry Potter is GREAT.

Rate (overall)
1  2  3  4  5 

Kamis, 04 Agustus 2011

[Review] X-MEN: FIRST CLASS (2011)

Director Matthew Vaughn
Cast James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence
Distributor 20th Century Fox Genre Action, Adventure, Drama

This year is all about Marvel. Tahun 2011 diserbu oleh banyak adaptasi live-action comic yang berebut posisi teratas, dan sekali lagi didominasi oleh comic group terbesar dan termenarik di dunia, Marvel. Kali ini, dengan "X-Men First Class", semua hal yang belum terjawab di empat instalmen sebelumnya coba dijelaskan dengan detail dan seru. Apa saja yang terjadi di proyek superhero yang satu ini?

Marvel dan DC Comics memang nggak asing di telinga jutaan moviegeek khususnya yang gila sama komik. Dua comic-publication-media ini nggak ada bosannya mengeluarkan jagoan mereka masing-masing ke publik. Jagoan Marvel sebut saja superhero semacam Spiderman, X-Men, sampai The Avengers yang didalamnya beranggotakan beberapa superhero gabungan seperti Thor, Iron Man, dll. Sedangkan bagi DC Comics, mereka punya satu jagoan terkenal yang pasti semua orang tahu, siapa lagi kalo bukan Superman. Oiya Batman, Catwoman, dll juga DC Comics loh. Mungkin bagi beberapa orang sulit untuk ngebedain antara superhero DC dan Marvel, tapi menurut gw, kayaknya cerita superhero DC lebih ke feel-dark aja gitu, dibanding Marvel yang lebih fun. Seperti yang udah gw sebut tadi, X-men juga salah satu superhero termahsyur dari Marvel. Setelah sebelumnya diadaptasi ke dalam empat buah film, kali ini muncul lagi film X-Men yang baru, yaitu X-Men First Class. Apa aja yang diceritakan di proyek prekuel ini? Sebagus apa sih film ini dibanding empat predecessor nya?
Mengambil setting waktu sekitar tahun '40-an dan '60-an, di era perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, X-Men First Class memulai ceritanya. Cerita dimulai dengan prolog childhood yang disajikan bergantian antara Charles Xavier dan Erik Lehnserr (yang nantinya akan dikenal sebagai Professor X dan Magneto). Erik adalah seorang bocah Jewish yang menjadi tawanan di sebuah camp-concentration milik faksi Nazi pada era Perang Dunia II. Saat memaksa untuk dipersatukan dengan ibunya karena keduanya dipisahkan satu sama lain, Erik melampiaskan amarahnya hingga mengeluarkan mutant-power dimana ia bisa menggerakkan dan mengontrol semua benda logam. Melihat hal tersebut seorang ilmuwan kejam asal Auschwitz bernama Sebastian Shaw (Kevin Bacon), memaksa Erik untuk menggerakkan sebuah koin logam, dengan ancaman akan membunuh ibunya apabila ia tak sanggup melakukan hal tersebut. Gagal memenuhi permintaan Shaw, ibu Erik pun ditembak mati dibelakang dirinya, dan seketika kemarahan ia lontarkan dengan mengeluarkan kekuatan mutannya.

Di tempat yang berbeda, si bocah Charles adalah anak dari keluarga kaya raya di New York. Suatu malam tanpa sengaja ia bertemu dengan mutan bernama Raven (Jennifer Lawrence) yang sedang mencari makan di dapurnya. Dari situ mereka mulai berkenalan dan membentuk ikatan kakak-beradik. Dari awal sudah terlihat bagaimana kehidupan Charles dan Erik yang sangat bertolak belakang. Bertahun-tahun kemudian saat mereka dewasa, Charles berubah menjadi profesor hebat dan bekerja sama dengan Moira MacTaggert (Rose Byrne), agen CIA yang sedang menyelidiki eksistensi mutan di Amerika sana. Erik masih menantikan saat yang tepat untuk bertemu Shaw dan membalaskan dendamnya. Dipertemukan oleh persamaan tujuan dan sasaran, Charles dan Erik pun mengumpulkan kekuatan untuk membentuk kelompok mutan yang akan menghadang misi Sebastian Shaw, yang bisa mempengaruhi terjadinya Perang Dunia III. Satu per satu mutan bergabung dengan mereka. Pertempuran mencapai klimaksnya pada krisis Kuba dimana armada Angkatan Laut Amerika Serikat dan Uni Soviet berkonfrontasi di Teluk Babi. Walaupun memiliki tujuan yang sama, tapi perbedaan visi antara Charles dan Erik tidak bisa mempertahankan hubungan satu sama lain.
Jujur, X-Men adalah superhero favorit gw. Menurut gw, X-Men menunjukkan bagaimana sebuah live-action dari komik superhero seharusnya dibikin. X-Men sendiri sebelumnya telah dibuat beberapa film adaptasi. Dari X-Men pertama di tahun 2000 yang terbilang sukses, lalu hadir X2 yang bagus banget, diikuti oleh instalmen final dari trilogi awal yang lumayan bagus. Lalu ada lagi spin-off dari mutan tangguh Wolverine, lewat X-Men Origins: Wolverine di tahun 2009 lalu. Agak ruwet juga sih kalo melihat film-film X-Men yang semuanya muncul di dekade yang sama, dan ditambah First Class yang hadir dengan pernyataan bahwa ini adalah awal dari trilogi yang baru. Ok, dulu gw cukup bingung tapi sekarang udah ngerti lah. According to people says about X2, gw setuju banget. Sekuel pertama itu memang terbukti bagus dan lebih baik dari predecessor-nya sendiri. X-Men 1 dan X2 punya kelebihan di sisi satirnya yang mengedepankan isu rasialisme dan kemanusiaan. Sayangnya semuanya jadi kendor lewat kehadiran X-Men: The Last Stand sebagai final dari trilogi awal tersebut. Menurut gw agak berlebihan juga mendengar kritikkan banyak orang yang berpikiran bahwa Last Stand sangatlah buruk. Nggak kok, bagi gw X-Men: The Last Stand masih bagus, yang pasti minus isu-isu maupun konflik yang tidak seistimewa dua film sebelumnya. Spin-off dari Wolverine lah yang kata gw sangat menurunkan citra dari film-film X-Men itu sendiri. Dibuat dengan kesan buru-buru dan memanfaatkan kesuksesan finansial sangatlah terlihat, alhasil filmnya jadi nggak berkesan.

Melihat kesuksesan X-Men dan X2 baik dari segi finansial maupun respon positif yang membanjir, Bryan Singer sepertinya masih menaruh hati pada proyek instalmen ini. Tidak mau meninggalkan X-Men dan sepertinya mau 'menyembuhkan' banyak kesalahan di The Last Stand dan Wolverine, Singer memutuskan untuk bergabung dalam prekuel ini. Meskipun begitu, ia hanya mampu menduduki posisi produser dan memberikan kursi sutradara ke Matthew Vaughn. Keputusan itu cukup berdalih, ia mengaku tidak mau terlalu direpotkan banyak pekerjaan karena sedang terfokus pada proyek Jack The Giant Killer. Oiya ada yang unik, sutradara yang came-out-as-a-gay ini pada tahun 2006 lalu lumayan sukses menyutradarai film superhero lain yang datang dari 'negeri seberang', yaitu Superman (DC Comics). Lalu apakah X-Men: First Class ini boleh disebut dengan sebutan lain seperti X-Men 5? Tidak. Banyak yang tidak diketahui orang-orang mengenai hal yang satu ini. X-Men 1 sampai X-Men: The Last Stang adalah trilogi tunggal yang terpisah dari dua film berikutnya, baik itu Wolverine maupun First Class. Sedangkan X-Men Origins: Wolverine hanyal proyek spin-off gagal yang ironisnya disarankan oleh Singer sendiri untuk tidak mempedulikan film tersebut (waktu itu saya interviewnya di TotalFilm). Nah, kalau X-Men First Class merupakan instalmen pertama dari proyek trilogi baru yang secara langsung terpisah dari empat film sebelumnya. Dua sekuel sudah dipersiapkan untuk melengkapi trilogi-prekuel ini. Di film X-Men terbaru ini, ada satu hal yang coba dikembalikan, yaitu seragam warna kuning yang digunakan para mutan di komik.

Mari berbicara mengenai isi filmnya. First of all, perlu gw nyatakan bahwa prekuel ini adalah film yang sangat berhasil dalam mengembangkan banyak ekspektasi dan membuang jauh-jauh segala keraguan gw sebelumnya. Dengan cerdas First Class menghadirkan banyak unsur penting seperti yang dimiliki dua film X-Men terdahulu, segi cerita maupun visualisasi. Bicara visualisasi, jangan diremehkan dulu karena yang satu ini memiliki efek visual yang ditata dengan baik berikut editing-sequence yang bagus dan tidak membingungkan. Visual efeknya sendiri nggak 'wah' banget sih, tapi udah layak dikatakan baik apalagi dibantu sound-editingnya yang cukup menggelegar. X-Men memang tidak pernah pusing-pusing untuk memaksimalisir bagaimana sebuah film dapat enjoyable sebatas berkat peran efek visual semata. Melainkan bagaimana orang bisa asik nonton melalui cerita yang nggak sampah dan memiliki banyak isu kuat di dalamnya. Masih sama seperti fim-film sebelumnya, X-Men First Class ini kembali memperdebatkan isu kemanusiaan dan rasialisme. Semuanya disampaikan lewat penggambaran karakter mutan-mutan yang bisa dibilang kasihan. Segala bentuk diskriminasi coba ditentang mereka walaupun kenyataannya sangat sulit mempengaruhi manusia untuk sedikit mengerti. Yang gw dapet adalah jangan bisa menilai dan men-cap seseorang dengan gampangnya tanpa tahu gimana sih mereka suffering selama ini. Kasihan loh melihat mutan-mutan yang nggak tahu kenapa mereka bisa jadi seperti itu malahan ditentang mati-matian oleh manusia. Well, mereka kan nggak minta untuk jadi seperti itu, kenapa harus dianggap jahat? 
Sebenarnya yang menjadi topik utama disini adalah hubungan antara Charles Xavier "Profesor X" dan Erik Lehnsherr "Magneto". Udah bukan rahasia kalau ke depannya mereka justru malah bersaing dan bertarung mati-matian. Ini lah yang mau dijelaskan First Class, apa penyebab dari pertarungan dua sosok penting ini. Ada yang nyadar nggak sih, di film-film X-Men pertama si Magneto sering banget manggil Professor X dengan "Hello, old friend"? Dari conversation pendek itu lah yang jadi cikal bakal gw untuk penasaran ke depannya, emang apa sih yang terjadi di masa lalu? Untungnya semuanya terjawab lewat kehadiran prekuel ini. Gw suka banget melihat perbedaan karakter antara mereka yang dulu dan nantinya. Kalo di masa depan si Professor X digambarkan sebagai sosok yang sangat dingin, beda sekali dengan masa mudanya. Charles dulunya adalah sosok yang cerdas dan bisa dibilang lebih lentur dari masa tuanya. Sedangkan Erik di masa muda tergambar sebagai sosok dingin yang haus dendam, berbeda dengan masa tuanya yang kejam namun tidak serapuh dirinya dahulu. Dua tokoh utama tersebut dimainkan dengan sangat baik oleh duo James McAvoy dan Michael Fassbender. McAvoy memerankan sosok Charles dengan penggambaran yang sempurna lewat sisi karismatis dan terbuka. Sedangkan perhatian justru lebih tertuju ke penampilan Fassbender, yang menurut gw adalah penokohan sekaligus penampilan terbaik dalam film. Sosoknya yang emosional dan terkesan destruktif dibangun sangat baik dengan penjiwaan karakter yang sempurna dan sukses merebut hati gw. Beda banget loh, padahal di X-Men yang dulu gw rada benci sama Magneto. Tapi disini gw kasihan dan suka banget sama wataknya, gw bahkan masih care sampai di saat-saat dia meninggalkan Charles sekalipun.

X-Men: First Class menandai awal berkembangnya pertanyaan cukup membingungkan dari kisah superhero ini; "mana yang baik, mana yang salah". Bagi manusia yang totally nggak tahu bagusnya eksistensi mutan dan menganggap mereka membahayakan, mungkin sah-sah saja mereka begitu, toh mereka kan nggak ngerti. Dan bagi mutan, mereka jelas nggak suka cara manusia memperlakukan mereka yang terang-terangan menolak keberadaan mereka. Skema good vs. evil juga kadang jadi pertanyaan besar dalam X-Men. Ya seperti yang gw tulis tadi, orang kadang bingung mana yang salah mana yang benar. But for me personally, human are totally wrong at this point and should have to apologize to mutants, hahaha. Ada beberapa selingan dialog yang stuck di otak gw dan gw akui bener-bener bagus. First Class memiliki salah satu chemistry terbaik yang pernah ada dari dua tokoh utamanya, yaitu Charles dan Erik. Chemistry mereka berdua adalah faktor utama dalam terdorongnya kesuksesan naskah yang tidak membosankan. Tidak seperti spin-off Wolverine yang lebih terpaku ke konflik fisik antara dua tokoh, disini Matthew Vaughn lebih tertarik untuk menghadirkan konflik verbal dalam pola pikir keduanya yang jelas sangat berbeda. Diluar dendamnya karena sang ibu dibunuh oleh Shaw, Erik memiliki pandangan kokoh yaitu manusia adalah rival semua mutan dan harus dihancurkan. Sedangkan Charles Xavier masih yakin mutan bakal diterima manusia dan mau membantu pemerintahan. Bentrok ideologi mungkin terlihat dengan jelas di ending film, tapi sesungguhnya konflik antara dua orang ini sudah terjadi dari awal film. Gw suka sama dua quote yang secara gamblang memperlihatkan perbedaan antara mereka. Yang pertama adalah perkataan Charles, "Killing will not bring you peace.", lalu statement Erik yang sudah terlihat kokoh, "Tomorrow, mankind will know that mutants exist. They will fear us, and that fear will turn to hatred."

Selain dua karakter terdepan di atas, masih ada beberapa mutan yang turut meramaikan X-Men: First Class ini. Yang paling saya suka adalah karakter Raven a.k.a Mystique dan Hank a.k.a Beast yang keduanya sama-sama dilematis. Mystique dan Beast memiliki penampilan yang mencolok dibanding yang lain. Kalau di tiga film X-Men pertama sosok Mystique hanya bisa dilihat lewat tubuh biru nya, disini semua bisa melihat penampilan luar lainnya yang terlihat seperti manusia. Begitu pula dengan Beast. Dua sosok 'biru' disamping diperankan dengan baik oleh Jennifer Lawrence dan Nicholas Hoult, dimana karakter mereka awalnya nggak percaya diri sama diri mereka yang agak menakutkan, tapi pada akhirnya sanggup menerima. Suka banget sama  “Mutant and proud” yang mempertajam isu rasial atau diskriminasi yang mereka hadapi. Selain mereka masih ada beberapa mutan lain yang nggak kalah unik. Sebut saja Havok (Lucas Till) yang mampu membelah apapun dengan laser merah yang keluar dari tubuhnya. Mirip Cyclops kan? Nggak usah bingung, karena dalam komik Havok adalah ayah dari Cylops. Ada Banshee (Caleb Landry Jones) yang memiliki suara supersonik yang memekakkan telinga, lalu Angel (Zoe Kravitz), seorang stripper yang bisa terbang dan mengeluarkan ludah api. Di kelompok villain, ada Sebastian Shaw yang mampu menyerap energi dan menggunakannya. Ada Emma Frost (January Jones), si ahli telepati yang bisa berubah bentuk menjadi kristal. Jangan bingung kalo pernah lihat Frost di X-Men: The Last Stand, karena keduanya adalah orang yang berbeda. Masih di sisi villain, ada Azazel si setan merah dan Riptide si storm-maker, yang sangat disayangkan keduanya bagaikan tempelan karena tidak ada satupun cerita dan dialog disodorkan bagi mereka. Masih ada satu mutan lagi yang mati lebih dulu, tapi saya lupa. Oiya, nggak ketinggalan Moira MacTaggert, anggota CIA yang turut bekerja sama dalam menjalankan visi dan misi Charles. 
Talking point...
Bromance oh bromance. X-Men: First Class semakin memperkuat rasa cinta saya pada semua film X-Men. Awal dari trilogi-prekuel yang menakjubkan, didukung oleh chemistry antar semua cast yang terjalin dengan sangat kuat. Jangan lupakan ending film yang 100% mengharukan, gw aja sampai merinding. I think X-Men First Class is the best of the five xmen films, at this point, the best film of 2011 (so far).

Rate :
1  2  3  4  5