infolinks

Tampilkan postingan dengan label Sequel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sequel. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Agustus 2011

A biggest fantasy that puts a spell on me: HARRY POTTER

Director 
Chris Colombus (1-2), Alfonso Cuaron (3), Mike Newell (4), David Yates (5-8)
Cast Daniel Radcliffe, Emma Watson, Rupert Grint
Distributor Warner Bros. Pictures Genre Adventure, Fantasy, Family, 3D

Ten years and eight films. But I needed a week only for catching up this epic saga ever made, Harry Potter. Dimulai dan diakhiri oleh J.K Rowling sebagai penulis novelnya. Dimulai oleh Chris Colombus dan diakhiri oleh David Yates sebagai sutradara dari versi filmnya. It All Ends.

Seperti yang sering gw katakan, awalnya gw bukanlah pecinta film serial ini. Bukan karena gw udah pernah nonton lantas nggak suka, bukan. Melainkan hanya karena orangtua gw yang dari kecil terlalu mengekang gw dan nggak memperbolehkan anak-anaknya untuk nonton sesuatu yang berbau magic atau kegelapan. Hahaha, memang berlebihan, kalo mau kasar anggap saja mereka rada oldschool *nggak sopan*. Well, sangat jelas kenapa gw nggak ngerti Harry Potter. Daridulu suka ada kesempatan untuk marathon dari seri pertama sampai yang mutakhir, tapi sepertinya bad-luck terus-terusan menghinggapi gw. Pas ada momen orang-orang jadi gila karena novel atau film Harry Potter terbaru muncul, sampai diomongin dimana-mana, berbeda dengan gw. Gw cukup stay cool dan menganggap tidak ada apa-apa. Halah halah, tapi itulah gw dulu, hahaha. And then everything is changed, kira-kira dua minggu lalu ketika instalmen terakhir dari franchise ini masuk ke Indonesia, rasa penasaran gw yang telah tertumpuk sepuluh tahun muncul juga. I wanted to watch this saga desperately, so I tried to download all of it, and then I watch them each a day. Seketika gw berpikir, sayang banget nggak pernah nonton di bioskop. Pasti bertahun-tahun ke depan serial ini bakal diingat sepanjang masa karena kehebatan yang dikatakan banyak orang. Alhasil gw tonton film terakhirnya, Harry Potter and The Deathly Hallows Pt. 2. Apa tanggapan gw terhadap film ini, sekaligus keseluruhan serialnya? Ok, cukup sudah curhat berlebihan gw.
Seri terakhir dari franchise Harry Potter ini masih melanjutkan kisah yang terpotong di Harry Potter and The Deathly Hallows Pt. 1. Di bagian yang pertama, Harry dikisahkan memasukki usia 17 tahun dimana dirinya telah mencapai kedewasaan secara dunia sihir. Yang berarti ia bebas untuk melakukan magic dan melindungi dirinya sendiri, tidak seperti dirinya dahulu yang masih dilindungi mantera supaya terlindung dari Voldemort. Di bagian pertama pula Hogwarts mengalami kehancuran. Paska 'pengkhianatan' yang dilakukan Severus Snape, ia membocorkan beberapa rahasia hingga akhirnya The Dark Lord dan pengikutnya berhasil mengambil alih kekuasaan di Hogwarts. Sementara itu, tiga sekawan, yaitu Harry, Hermione, dan Ron melakukan misi penyelamatan sendiri. Mereka mendatangi Hogwarts yang telah berubah, tetapi ketahuan oleh Bellatrix dan pasukannya. Dobby si Elf datang untuk menyelamatkan mereka semua.

Part 1 diakhiri dengan kematian mengharukan salah satu karakter, dan Voldemort yang mendatangi kubur Dumbledore untuk merebut tongkat sihir terkuat di dunia, Elder Wand. Untuk menghancurkan kuasa gelap yang berkuasa untuk sementara dan pemimpinnya sendiri, Harry harus memusnahkan tujuh horcrux yang ada di dunia. Horcrux merupakan jimat yang digunakan untuk menyimpan nyawa Voldemort. Masing-masing horcrux mewakili nyawanya yang tersisa. Sudah tiga horcrux yang berhasil dimusnahkan beberapa tahun sebelumnya, yaitu diari Tom Riddle, cincin Gaunt, dan terakhir liontin Slytherin. Masih ada empat lainnya di luar sana yang entah berada dimana. Horcrux terakhir ternyata berada di sesuatu yang sangat dekat dengan diri Voldemort dan selalu mengikuti kemana ia pergi. Harry, Hermione, dan Ron beserta pembela Hogwarts lainnya bersatu padu untuk menentang kuasa hitam dan The Dark Lord. For the very last time.
Agak bingung sih mau omongin apa aja dan yang mana dulu. Di luar baru aja selesai nonton semuanya, gw juga belum baca semua novelnya. Padahal sepertinya akan lebih enak aja gitu kalo udah baca, jadi bisa buat komparisasi antara dua media yang berbeda. Oiya sebelumnya, mohon maaf kalau ada beberapa kesalahan informasi atau isi cerita. Dan mungkin artikel ini rada berantakan mau ngomongin apa dulu, hahaha. Mari kita mulai from the very first film. Harry Potter and The Philosopher's Stone merupakan awal dari tujuh cerita utama Harry Potter. Seri yang pertama ini sebenarnya dulu memiliki sub-judul yang berbeda, yaitu "...and the Sorcerer's Stone" untuk region Amerika Serikat. Hmmm, nggak tahu kenapa, tapi kalau nggak salah judul aslinya yang "Philosopher's" deh. Dengan durasi cukup lama sekitar 159 menit, awalnya gw pikir bakal rada membosankan apalagi melihat premis cerita yang agak sederhana dan versi bukunya sendiri yang nggak tebal banget. Tapi ternyata tidak, di serinya yang pertama ini, Harry Potter memulai ceritanya dengan sangat lembut. Harry Potter 1 ini punya cerita yang belum terlalu dalam, agak terasa komikal dengan banyak selingan humor cerdas gaya J.K Rowling. Tapi masih setia dengan beberapa sisi dark yang diperlembut demi membantu orang tahu apa sih yang sedang dan akan terjadi ke depannya. 

Masih sama seperti yang pertama, Harry Potter and The Chamber of Secrets tetap menawarkan kisah yang menarik untuk diikuti anak-anak beserta pengalaman fantasi yang menyenangkan. Kalau yang pertama lebih banyak menceritakan asal muasal Potter secara mendasar, serta perkenalan akan boarding-school Hogwarts. Adalah sangat memorable apabila gw mengingat momen-momen di Harry Potter yang pertama. Diawali Dumbledore dan Prof. McGonagall mengantar bayi Harry untuk dititipkan ke keluarga yang nantinya sangat jahat, lalu saat Harry beserta murid-murid 1st year dipakaikan sorting-hat untuk mengklasifikasikan kelas yang layak bagi semua anak. Nah, yang beda disini adalah Chris Colombus menaikkan daya pikat penonton sedikit lebih tinggi demi menyesuaikan kisah J.K Rowling yang mulai memasukki konflik 'good vs evil' dimana Harry dipertemukan dengan Tom Riddle wujud manusia dan makhluk mistik Basilisk. Oiya hampir lupa, sebenernya di Harpot 1 dia sudah bertemu dengan Voldemort yang masih 'numpang' di kepala orang. Si tiga sekawan sudah melakukan challange untuk pertama kalinya yaitu magic-chess (gw nggak tahu apa istilahnya, jadi buat sendiri saja). Tapi gw merasa di film kedua lah si Chris lebih mencoba untuk nggak main aman. Chamber of Secrets turut juga berperan sebagai awal dimana Harry melakukan misi penghancuran You-Know-Who, dimana ia menghancurkan buku diari Tom Riddle yang pada saat itu belum mengerti mengenai horcrux. Overall, Chamber of Secrets adalah sekuel yang sangat baik untuk menaikkan pamor Harry Potter.

Semuanya berubah 180 derajat di serinya yang ketiga, yaitu Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Banyak yang berubah disini. Di luar penampilan para pemain yang lebih dewasa, tidak 'sebocah' di kedua film sebelumnya, Prisoner of Azkaban memiliki sutradara yang baru yaitu Alfonso Cuaron. Selaku penulis novel, J.K. Rowling semakin memperdalam kesan dark di kisah Harry Potter ini. Seri yang ketiga ini memiliki banyak challange dan konflik yang semakin menghantui, misalnya kehadiran Dementor dan kaburnya Sirius Black yang sangat menghantui. Perkelahian antara Harry vs Dementors sangatlah menegangkan sekaligus menakutkan. Dengan pintar si Rowling memperjelas konklusi dari beberapa masalah/kejadian sedemikian jelas, dan berhasil divisualisasikan oleh Cuaron dengan sangat kelam. Hal lain yang gw suka adalah beberapa karakter yang perannya disini lebih 'terlihat' dan mengawali banyak pertanyaan. Diantaranya adalah sosok Snape yang membingungkan, di pihak manakah ia berada. Karakter Draco Malfoy turut dipertajam sedikit kenakalannya. Ya, masih sebatas 'nakal'. Jangan lupakan kasus Sirius Black vs Lupin vs Snape vs si tikus (lupa namanya) beserta tiga sekawan di bawah pohon oak yang disusun dengan cerdas oleh Rowling. "Expecto patronum", mantera paling saya ingat dari Harry Potter ada di seri yang ketiga ini. 
Untuk kedua kalinya franchise ini melakukan 'tukar tambah' kursi sutradara. Kali ini, Mike Newell si pengarah Four Weddings and Funeral dipercaya untuk merangkai cerita si bocah penyihir lewat visualisasi yang lebih kelam. Bedanya disini adalah Mike Newell masih menyesuaikan kesan dark itu dengan tetap memunculkan banyak humor khas Harry Potter. Banyak challange dan kejadian yang bersifat fun juga dibuat dengan cukup baik, misalnya Quidditch World Cup dan prom-night versi Hogwarts (gw lupa apa namanya). Tapi diluar banyaknya hal penting yang diperkenalkan, menurut gw Harry Potter and The Goblet of Fire ini nggak seseru tiga film sebelumnya. Ada yang bilang begitu karena nggak konsistennya si Newell terhadap cerita asli di novel itu sendiri. Nggak tahu juga sih, yang pasti gw nggak bisa comment. Nggak krusial sih untuk terlalu dimasalahkan, paling tidak Harry Potter semakin memberikan kesan loveable pada franchise ini. Lagipula di seri yang keempat ini banyak hal penting lain yang divisualisasikan dengan baik. Diantaranya adalah kematian Cedric yang dibuat sangat mengharukan dan bangkitnya si You-Know-Who. Berlanjut di Harry Potter and The Order of Phoenix, dan untuk terakhir kalinya berganti sutradara. David Yates memulai debut Harry Potternya di seri yang kelima ini dan terus mengkomandani sisanya sampai yang terakhir. Banyak yang berbeda dari cara Yates mengarahkan film Harry Potter. Yates lebih unggul dalam melakukan pendewasaan karakter-karakter secara perlahan dan lebih baik ketimbang pendahulunya. Kesan dark dan cerita yang lebih berat pun merupakan salah satu unsur penting dari gaya si Yates ini. 

Harry Potter mengalami kemunduran sedikit di seri yang keenam, Harry Potter and The Half Blood Prince. Kembali dengan David Yates, Harry Potter memiliki konflik yang tidak seperti semua film terdahulu. Half Blood Prince memiliki banyak kelemahan khususnya gaya penceritaan yang tidak terlalu intens. Berusaha meminimalisir efek visual mungkin agar nggak mengganggu jalan cerita, film keenam ini justru agak berantakkan susunan ceritanya. Walaupun begitu, Harry Potter tetap seru kok untuk ditonton. Film ini juga membuka kekacauan dan kesuraman yang menandakan bahwa Harry Potter tidak terlalu aman sebagai tontonan anak kecil. Beberapa tokoh juga diberikan porsi lebih oleh J.K Rowling, misalnya masa kecil Tom Riddle dan juga pendewasaan karakter si Draco Malfoy dalam menumbuhkan dark-sidenya. Sangat disayangkan kematian Dumbledore tidak se-wah ekspektasi gw, terlalu biasa. Malah banyak yang bilang versi novel bercerita lebih sedih. Bagaimanapun, Severus Snape semakin menarik hati gw disini. Tokoh yang nantinya menjadi favorite gw. 

Mengakhiri sekaligus melengkapi rangkaian Harry Potter sepenuhnya, Harry Potter and The Deathly Hallows akhirnya hadir di akhir dekade lalu dan di awal dekade ini. Lah? Ya, instalmen terakhir Harry Potter dibagi menjadi dua bagian, yaitu Part 1 dan Part 2. Nah kebetulan nih gw baru aja selesai baca novelnya (paragraf ini ditulis jauh sesudah banyak paragraf di atas -_-). Menurut gw Harry Potter yang terakhir ini merupakan konklusi dari sebuah rangkaian kisah fantasi yang sangat baik. Walaupun awalnya banyak yang yakin dibuat sampai dua bagian semata-mata untuk meraih pendapatan yang lebih, menurut gw gak sepenuhnya benar. Okelah, pernyataan itu gak bisa dibantah. Toh memang benar kan pemasukkan jad lebih besar. Tetapi yang menjadi nilai lebih dari keputusan pembagian itu adalah, David Yates berhasil mengadaptasi hampir semua cerita di versi novel menjadi visual gambar dengan baik. Hampir gak ada hal-hal penting yang dilewatkan, membuat Deathly Hallows lebih mendetail. Walaupun begitu gw kadang-kadang merasa sayang aja gitu harus dibagi dua gitu, padahal kalau saja disatukan, sensasi menonton jadi lebih seru karena durasi yang sangat lama seperti lords of The Rings dan untungnya didukung oleh kualitas film adaptasi yang luar biasa. 
Jujur gw agak bingung mau ngomongin apa lagi. Mungkin karena gw bukan seorang yang sangat setia, walaupun sekarang gw agak tergila-gila sama Harry Potter. Intinya banyak sekali hal-hal positif yang perlu kita lontarkan untuk memuji this biggest franchise all the time. Baik itu dari sisi kualitas cerita beserta beberapa hal yang rasanya menggurui, kualitas dalam penggarapannya pun sangatlah menakjubkan. Bagaimana seluruh sutradara dari semua film merangkai unsur-unsur buku sedemikian jelas dan tidak melupakan banyak hal yang bersifat krusial, dan juga bagaimana para kru lainnya bekerja sama baiknya seperti visualisasi efek yang hampir semua eye-popping. Banyak hal yang gw dapat dari Harry Potter. Some of those are, how to deal with death and how mortality is exist. Pendewasaan karakter yang berjalan perlahan-lahan juga menunjukkan bahwa seseorang pasti bisa dan akan tumbuh secara jasmani maupun rohani, it doesn't care either how stupid or pity their childhood are. Lihat saja kontribusi besar-besaran yang dilakukan banyak sekali karakter yang rasanya tidak terduga, ambil contoh saja si Neville Longbottom maupun Luna Lovegood. Diluar itu, pendewasaan karakter ini juga membuktikan kecerdasan J.K. Rowling dalam menulis sebuah cerita, tetap memperdulikan tulisan-tulisan terdahulu yang terbuka kemungkinan untuk mudah dilupakan. 

Tadinya mau buat semacam award atau list mengenai hal-hal di dalam Harry Potter, tapi rasanya gak ada waktu -_-. Severus Snape is my favorite character. Kenapa gw suka dia? Jelas karena kekompleksan karakternya yang rumit dan penuh twist. Snape adalah sosok yang 'mengancam'. He can be either good or bad, but in the end he turned out to be good. There is evidence of his goodness, and evidence that he is evil. Ya, selain rumit, tak kelak menimbulkan banyak spekulasi. Oh how I love you, Snape. Hal lain yang gw suka tentu adalah The Weasley, contoh keluarga 'outcast' yang gak kenal ampun sama setiap orang yang menghina mereka. Gw suka bagaimana keluarga fiksi ini digambarkan sebagai sesuatu yang memalukan tapi menggembirakan berkat seluruh anggota yang unik dan berciri khas. Jangan lupakan sosok Umbridge, si anggota kementerian yang sifatnya sangat memuakkan. Lupakan bagaimana kebencian semua witches, muggles, or whatever kepada You-Know-Who. Karena dari lubuk kebencian gw yang paling dalam, Umbridge lah yang lebih menyebalkan dan sering sekali muncul rasa kesal dalam diri saya ketika memandang wajah dan kelakuannya. 

Sekedar ungkapan kecewa sedikit, ada beberapa yang gak sejalan dengan ekspektasi awal gw. Misalnya adegan kematian Dumbledore, seperti yang telah gw katakan tadi, yang rasanya tidak dibuat terlalu menyentuh. Kejadian "Forest Again" pun rasanya agak menggelitik, tidak se-intens di novel. Lihat saja bagaimana Harry Potter yang berpura-pura mati di film langsung terbangun sebegitu aneh dan lucu, sekali lagi, tidak seperti di novel. Ah, lupakan sajalah, bukan suatu hal yang patut dijadikan masalah. Toh, meskipun begitu, semuanya berjalan bagus-bagus saja dan tidak mengurangi keseruan cerita. Perlu diakui, gw agak bingung artikel gw yang satu ini adalah artikel, feature biasa, atau curhatan (hahahaha-_-). Diluar kata-kata yang gw rangkai agak berantakan, faktor malas mungkin bisa dijadikan alasan. Agak nyesal sih kenapa gw tidak membuat artikel seperti yang biasanya gw buat, maklum, terlalu banyak yang harus ditulis kalau satu-satu. Alhasil, mungkin terlihat seperti tulisan nostalgia satu minggu kali ya? Ah, gak penting. It's going to be weird that there's no harry potter we had been waiting on, but it would be a shame to try to recreate them. Just don't. And I think Prisoner of Azkaban & both Deathly Hallows films are the best from all others. But why the last two finale films really excites me? Because both of them are the epic conclusion of harry potter saga that puts a spell on me. Howsoever, Harry Potter is GREAT.

Rate (overall)
1  2  3  4  5 

Kamis, 10 Maret 2011

[Quick Five] Random Average Movies

Well, namanya juga demen nonton kayak saya, pasti ngga ada berhentinya nonton film. Dari yang honorable mention sampai yang sampah pun tetap aja saya tonton. Nah, tapi masalahnya ada nih. Namanya juga suka nulis kayak saya, pasti ngga ada berhentinya mau bagi artikel di blog ini. Tapi ada lagi nih masalahnya, namanya juga anak sekolahan kayak saya, pasti ada waktunya capek dan males nulis review. Makanya itu lima film yang saya tulis di post ini disatukan dan dipersingkat aja ya, lumayan, hemat waktu. Ngomong-ngomong ini semua film ini ngga saya tonton dalam rentang waktu singkat, ada yang udah saya tonton lama dan baru kepikiran di post sekarang.

Sekelompok orang-orang jail nan kreatif melakukan banyak aksi ekstrim dan frontal. Mereka tidak lain adalah sekelompok stunt 'handal' di bidang ini yang sebelumnya terkenal lewat serial dan kedua prekuelnya. Hadir tanpa naskah/plot cerita, mungkin bisa dibilang semi-documentary, cukup kegilaan yang menghidupkan durasi film.

Jackass is back! Yap, acara gila nan sinting yang menampilkan berbagai aksi konyol dan gila para krunya ini kembali setelah lama tidak dijumpai di layar kaca. Jackass sendiri sebelumnya muncul pertama kali sebagai serial gokil di stasiun MTV. Tidak ketinggalan pula dua versi film yang mendahului Jackass arahan Jeff Tremaine ini. Mengusung format 3D--mungkin sebagai media penambah intensitas keseruan, Jackass 3D tetap mengajak kru gila teranyar seperti Johnny Knoxville dan Steve-O untuk kembali beraksi di depan kamera. Bedanya kali ini Jackass hadir lebih gila dengan banyak media jahil yang lebih sinting dan menjijikan! Intensitas kegilaan dikembangkan perlahan dari awal durasi hingga klimaksnya tercapai di pertengahan. Well, tidak usah menggali kualitas Jackass 3D, cukup tonton dan nikmati, satu kata yang akan terlintas di pikiran anda...GILA! And beware, the shits they brought to us is very...disgusting. [***]

Dua detektif tidak dianggap atau bisa dibilang loser di kalangan lingkungan kerjanya, Allan Gamble (Will Ferrell) dan Terry Hoitz (Mark Wahlberg), berusaha memperbaiki status dan popularitas mereka. Peluang terbuka saat dua detektif terhormat kebanggan NYPD, Cristopher Danson (Dwayne Johnson) dan PK Highsmith (Samuel L. Jackson) tewas di dalam tugasnya. Di luar kedukaan yang sedang terjadi, semua polisi pun berusaha untuk menjadi tenar seperti dua orang itu, termasuk Allan dan Terry. Tapi yang namanya usaha pasti ada aja penghalangnya, antara lain perbedaan watak kedua loser ini.

The Other Guys tumbuh dengan naskah yang, bisa saya bilang sangat sederhana dan ringan. Tidak terlalu memanfaatkan unsur komedi, film menjadi menjenuhkan untuk diikuti. Suasana yang tercipta di film sendiri kaku dan tidak berwarna. Kalau diibaratkan, film bagaikan padang pasir; tandus. Ya, despite all the good reviews people wrote, menurut saya film ini kurang menarik dan membosankan. Humor dan lelucon yang mewarnai dialog antar pemain juga agak jayus dan bertele-tele. Kalau urusan chemistry, Ferrel dan Wahlberg boleh lah dipuji, tapi komedi yang diusung sebagai genre film ini agak gagal dan dipaksakkan. Dari awal saya emang tidak tertarik untuk nonton film ini, tapi ya namanya juga penasaran. Well, The Other Guys hanyalah komedi sederhana nan ringan yang terlalu merumit-rumitkan jalan cerita. [**]

Bercerita mengenai tujuh orang sahabat di masa SMA yang kembali berkumpul setelah enam tahun tidak bertemu. Momen bahagia ini selain dijadikan ajang reuni sekalian untuk menghadiri pernikahan antara Lila (Anna Paquin) dan Tom (Josh Duhamel); yang merupakan anggota dari tujuh orang yang menyebut mereka dengan nama The Romantics. Konflik mulai muncul saat Laura (Katie Holmes)--salah satu dari mereka yang juga mantan kekasih Tom--ternyata masih memendam perasaan kepada Tom.

Bisa kita tebak apa premis yang menjadi bahasan utama di film romansa ini; love-triangle atau cinta segitiga. Premis yang bagus bukan untuk sebuah film independen kelas festival? Apalagi dihiasi oleh nama-nama yang tidak asing lagi di kancah perfilman apalagi di genre seperti ini. Sebut saja ketiga tokoh utama yang sudah saya sebut diatas. Sayangnya Galt Neiderhoffer gagal mengembangkan premis ini menjadi sebuah plot yang menarik untuk diikuti. Alhasil film sangat membosankan dan arah ceritanya sangat tertebak. Walaupun begitu pengembangan naskah yang dilakukan sutradara boleh dikatakan lumayan sehingga waktu satu hari yang dijadikan setting jalannya cerita cukup logis, tapi tetap saja kaku. Harus ditekankan, semua tokoh diperankan setengah-setengah, mungkin kesalahan ada di tangan Galt yang tidak melakukan pengembangan karakterisasi tokoh, bahkan empat kawan lainnya terasa hanya sebagai tempelan pelengkap. Well, The Romantics tidak memberikan suatu tontonan menarik dan hanya membuang waktu 92 menit yang dimakan durasi, andai saja filmnya dibagusin dikit mungkin aja ada Team Lila / Team Laura, ha! [**]

Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist) adalah seorang jurnalis media Millenium yang divonis tiga bulan penjara karena kalah melawan seorang konglomerat di pengadilan. Di sisi lain ada juga Lisbeth Salander (Noomi Rapace), seorang hacker wanita berpenampilan sangat eksentrik yang sedang menguntit keseharian Mikael dengan meng-hack komputernya dalam rangka menyelidiki kasus yang tengah dirundung oleh pria itu. Karena suatu kebetulan mereka berdua malah bekerjasama menyelidiki kasus hilangnya Harriet Vanger (Ewa Fröling)--keponakan konglomerat Henrik Vanger (Sven-Bertil Taube). Mereka pun bekerja sama untuk mengungkap kasus lama yang sampai kini belum mencapai titik terang.

The Girl With The Dragon Tattoo adalah salah satu film ter-detail yang pernah saya tonton sampai sekarang, saya tekankan lagi; detail. Semua hal dijelaskan sangat detail dengan memaparkan akar permasalahan sampai inti dan mencapai klimaks. Film dimulai sangat baik dengan menjelaskan latar belakang tiga cerita karakter yang nantinya akan melebur jadi satu dalam satu konflik. Durasi 152 menit dimanfaatkan sangat bijak dengan menceritakan segala seluk beluk masalah yang didera ketiga karakter yang awalnya terpisah. Salah satu phsycology-thriller terbaik yang pernah ada dengan penampilan Noomi Rapace yang sangat rapi, memaparkan misteri seru yang membuat saya ikutan emosi menjalani detik demi detik waktu berjalan. Atmosfir keseruan berhasil tercipta layaknya sebuah labirin dimana saya berperan sebagai pencari jalan di labirin tersebut untuk berusaha mencapai pintu keluar atau puncak cerita. Memang sih awalnya cerita bergulir agak lambat, tapi ya itulah harga yang harus dibayar kalau mau tau secara jelas segala faktor dan tujuan plot cerita. Well, mungkin ada beberapa hal tidak dijelaskan disini hingga terasa ganjal, tapi tenang, kan ada lanjutannya; The Girl Who Played With Fire. [****]
Yang pertama menceritakan sekelompok pelajar dari sekolah elit yang terpilih untuk menjalani bimbingan belajar khusus yang diberikan sekolah untuk membantu masuk ke universitas bagus. Mereka hanyalah siswa-siswi peringkat teratas yang dapat ikut program khusus ini. Nasib berkata lain kepada semua orang ini, mereka terjebak dalam permainan hidup-mati oleh seorang misterius. Pembunuhan berantai berjalan dimulai dari ranking satu. Sedangkan yang kedua bersetting dua tahun kemudian, di lain sekolah, dimana tiga puluh pelajar berprestasi mengikuti study-camp di musim panas untuk latihan masuk ke universitas. Kejadian di film pertama pun kembali terulang, agak sama seperti yang pertama; kejadian dihubung-hubungkan dengan past-case kematian seorang murid di sekolah tersebut.
Bagi anda penggemar slasher-horror jangan lupakan film Korea yang satu ini, eh, saya koreksi, yang pertama saja. Death Bell adalah salah satu slasher produksi Asia terbaik yang pernah saya tonton. Menggabungkan beberapa aliran, dimulai dengan unsur horror hingga merubah atmosfir horror itu dengan sebuah misteri yang dibalut dengan aksi bunuh-bunuhan ala franchise SAW, cukup bagus dan mengerikan. Misteri yang ditawarkan berhasil membuat saya ikutan main tebak-tebakan siapa pelaku dibalik kecerdikan jahat ini. Film tidak membosankan dan seru. Kalau diibaratkan, slasher ini hasil sama dengan SAW+Final Destination+Detective Conan. Seperti yang saya katakan tadi, seri pertama saja yang saya rekomendasikan. Yang kedua jelas tidak. Tidak adanya benang merah yang menghubungkan plot cerita antar seri pertama dan kedua bisa saja dieksplor lebih jauh dan lebih bagus, tapi sayang Death Bell: Bloody Camp tidak memiliki sebagian unsur yang saya rasakan di pendahulunya. Yang saya rasakan? Tidak ada tebak-tebakan, misteri, bahkan SAW-experience tidak dimasukkan dengan dahsyat disini. All the good point the first film had totally gone. Well, Death Bell berhasil menawarkan gairah horror dan dibaurkan dengan misteri tegang didalamnya, sedangkan sekuelnya harus saya bilang gagal dan terlalu dipaksakan. [1***] [2**]