Well, namanya juga demen nonton kayak saya, pasti ngga ada berhentinya nonton film. Dari yang honorable mention sampai yang sampah pun tetap aja saya tonton. Nah, tapi masalahnya ada nih. Namanya juga suka nulis kayak saya, pasti ngga ada berhentinya mau bagi artikel di blog ini. Tapi ada lagi nih masalahnya, namanya juga anak sekolahan kayak saya, pasti ada waktunya capek dan males nulis review. Makanya itu lima film yang saya tulis di post ini disatukan dan dipersingkat aja ya, lumayan, hemat waktu. Ngomong-ngomong ini semua film ini ngga saya tonton dalam rentang waktu singkat, ada yang udah saya tonton lama dan baru kepikiran di post sekarang.
Sekelompok orang-orang jail nan kreatif melakukan banyak aksi ekstrim dan frontal. Mereka tidak lain adalah sekelompok stunt 'handal' di bidang ini yang sebelumnya terkenal lewat serial dan kedua prekuelnya. Hadir tanpa naskah/plot cerita, mungkin bisa dibilang semi-documentary, cukup kegilaan yang menghidupkan durasi film.
Jackass is back! Yap, acara gila nan sinting yang menampilkan berbagai aksi konyol dan gila para krunya ini kembali setelah lama tidak dijumpai di layar kaca. Jackass sendiri sebelumnya muncul pertama kali sebagai serial gokil di stasiun MTV. Tidak ketinggalan pula dua versi film yang mendahului Jackass arahan Jeff Tremaine ini. Mengusung format 3D--mungkin sebagai media penambah intensitas keseruan, Jackass 3D tetap mengajak kru gila teranyar seperti Johnny Knoxville dan Steve-O untuk kembali beraksi di depan kamera. Bedanya kali ini Jackass hadir lebih gila dengan banyak media jahil yang lebih sinting dan menjijikan! Intensitas kegilaan dikembangkan perlahan dari awal durasi hingga klimaksnya tercapai di pertengahan. Well, tidak usah menggali kualitas Jackass 3D, cukup tonton dan nikmati, satu kata yang akan terlintas di pikiran anda...GILA! And beware, the shits they brought to us is very...disgusting. [***]
Dua detektif tidak dianggap atau bisa dibilang loser di kalangan lingkungan kerjanya, Allan Gamble (Will Ferrell) dan Terry Hoitz (Mark Wahlberg), berusaha memperbaiki status dan popularitas mereka. Peluang terbuka saat dua detektif terhormat kebanggan NYPD, Cristopher Danson (Dwayne Johnson) dan PK Highsmith (Samuel L. Jackson) tewas di dalam tugasnya. Di luar kedukaan yang sedang terjadi, semua polisi pun berusaha untuk menjadi tenar seperti dua orang itu, termasuk Allan dan Terry. Tapi yang namanya usaha pasti ada aja penghalangnya, antara lain perbedaan watak kedua loser ini.
The Other Guys tumbuh dengan naskah yang, bisa saya bilang sangat sederhana dan ringan. Tidak terlalu memanfaatkan unsur komedi, film menjadi menjenuhkan untuk diikuti. Suasana yang tercipta di film sendiri kaku dan tidak berwarna. Kalau diibaratkan, film bagaikan padang pasir; tandus. Ya, despite all the good reviews people wrote, menurut saya film ini kurang menarik dan membosankan. Humor dan lelucon yang mewarnai dialog antar pemain juga agak jayus dan bertele-tele. Kalau urusan chemistry, Ferrel dan Wahlberg boleh lah dipuji, tapi komedi yang diusung sebagai genre film ini agak gagal dan dipaksakkan. Dari awal saya emang tidak tertarik untuk nonton film ini, tapi ya namanya juga penasaran. Well, The Other Guys hanyalah komedi sederhana nan ringan yang terlalu merumit-rumitkan jalan cerita. [**]
Bercerita mengenai tujuh orang sahabat di masa SMA yang kembali berkumpul setelah enam tahun tidak bertemu. Momen bahagia ini selain dijadikan ajang reuni sekalian untuk menghadiri pernikahan antara Lila (Anna Paquin) dan Tom (Josh Duhamel); yang merupakan anggota dari tujuh orang yang menyebut mereka dengan nama The Romantics. Konflik mulai muncul saat Laura (Katie Holmes)--salah satu dari mereka yang juga mantan kekasih Tom--ternyata masih memendam perasaan kepada Tom.
Bisa kita tebak apa premis yang menjadi bahasan utama di film romansa ini; love-triangle atau cinta segitiga. Premis yang bagus bukan untuk sebuah film independen kelas festival? Apalagi dihiasi oleh nama-nama yang tidak asing lagi di kancah perfilman apalagi di genre seperti ini. Sebut saja ketiga tokoh utama yang sudah saya sebut diatas. Sayangnya Galt Neiderhoffer gagal mengembangkan premis ini menjadi sebuah plot yang menarik untuk diikuti. Alhasil film sangat membosankan dan arah ceritanya sangat tertebak. Walaupun begitu pengembangan naskah yang dilakukan sutradara boleh dikatakan lumayan sehingga waktu satu hari yang dijadikan setting jalannya cerita cukup logis, tapi tetap saja kaku. Harus ditekankan, semua tokoh diperankan setengah-setengah, mungkin kesalahan ada di tangan Galt yang tidak melakukan pengembangan karakterisasi tokoh, bahkan empat kawan lainnya terasa hanya sebagai tempelan pelengkap. Well, The Romantics tidak memberikan suatu tontonan menarik dan hanya membuang waktu 92 menit yang dimakan durasi, andai saja filmnya dibagusin dikit mungkin aja ada Team Lila / Team Laura, ha! [**]
Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist) adalah seorang jurnalis media Millenium yang divonis tiga bulan penjara karena kalah melawan seorang konglomerat di pengadilan. Di sisi lain ada juga Lisbeth Salander (Noomi Rapace), seorang hacker wanita berpenampilan sangat eksentrik yang sedang menguntit keseharian Mikael dengan meng-hack komputernya dalam rangka menyelidiki kasus yang tengah dirundung oleh pria itu. Karena suatu kebetulan mereka berdua malah bekerjasama menyelidiki kasus hilangnya Harriet Vanger (Ewa Fröling)--keponakan konglomerat Henrik Vanger (Sven-Bertil Taube). Mereka pun bekerja sama untuk mengungkap kasus lama yang sampai kini belum mencapai titik terang.
The Girl With The Dragon Tattoo adalah salah satu film ter-detail yang pernah saya tonton sampai sekarang, saya tekankan lagi; detail. Semua hal dijelaskan sangat detail dengan memaparkan akar permasalahan sampai inti dan mencapai klimaks. Film dimulai sangat baik dengan menjelaskan latar belakang tiga cerita karakter yang nantinya akan melebur jadi satu dalam satu konflik. Durasi 152 menit dimanfaatkan sangat bijak dengan menceritakan segala seluk beluk masalah yang didera ketiga karakter yang awalnya terpisah. Salah satu phsycology-thriller terbaik yang pernah ada dengan penampilan Noomi Rapace yang sangat rapi, memaparkan misteri seru yang membuat saya ikutan emosi menjalani detik demi detik waktu berjalan. Atmosfir keseruan berhasil tercipta layaknya sebuah labirin dimana saya berperan sebagai pencari jalan di labirin tersebut untuk berusaha mencapai pintu keluar atau puncak cerita. Memang sih awalnya cerita bergulir agak lambat, tapi ya itulah harga yang harus dibayar kalau mau tau secara jelas segala faktor dan tujuan plot cerita. Well, mungkin ada beberapa hal tidak dijelaskan disini hingga terasa ganjal, tapi tenang, kan ada lanjutannya; The Girl Who Played With Fire. [****]
Yang pertama menceritakan sekelompok pelajar dari sekolah elit yang terpilih untuk menjalani bimbingan belajar khusus yang diberikan sekolah untuk membantu masuk ke universitas bagus. Mereka hanyalah siswa-siswi peringkat teratas yang dapat ikut program khusus ini. Nasib berkata lain kepada semua orang ini, mereka terjebak dalam permainan hidup-mati oleh seorang misterius. Pembunuhan berantai berjalan dimulai dari ranking satu. Sedangkan yang kedua bersetting dua tahun kemudian, di lain sekolah, dimana tiga puluh pelajar berprestasi mengikuti study-camp di musim panas untuk latihan masuk ke universitas. Kejadian di film pertama pun kembali terulang, agak sama seperti yang pertama; kejadian dihubung-hubungkan dengan past-case kematian seorang murid di sekolah tersebut.Bagi anda penggemar slasher-horror jangan lupakan film Korea yang satu ini, eh, saya koreksi, yang pertama saja. Death Bell adalah salah satu slasher produksi Asia terbaik yang pernah saya tonton. Menggabungkan beberapa aliran, dimulai dengan unsur horror hingga merubah atmosfir horror itu dengan sebuah misteri yang dibalut dengan aksi bunuh-bunuhan ala franchise SAW, cukup bagus dan mengerikan. Misteri yang ditawarkan berhasil membuat saya ikutan main tebak-tebakan siapa pelaku dibalik kecerdikan jahat ini. Film tidak membosankan dan seru. Kalau diibaratkan, slasher ini hasil sama dengan SAW+Final Destination+Detective Conan. Seperti yang saya katakan tadi, seri pertama saja yang saya rekomendasikan. Yang kedua jelas tidak. Tidak adanya benang merah yang menghubungkan plot cerita antar seri pertama dan kedua bisa saja dieksplor lebih jauh dan lebih bagus, tapi sayang Death Bell: Bloody Camp tidak memiliki sebagian unsur yang saya rasakan di pendahulunya. Yang saya rasakan? Tidak ada tebak-tebakan, misteri, bahkan SAW-experience tidak dimasukkan dengan dahsyat disini. All the good point the first film had totally gone. Well, Death Bell berhasil menawarkan gairah horror dan dibaurkan dengan misteri tegang didalamnya, sedangkan sekuelnya harus saya bilang gagal dan terlalu dipaksakan. [1***] [2**]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar