infolinks

Rabu, 27 April 2011

[Review] INTO THE WILD (2007)

"Your great adventure on Alaska."
Director :
Sean Penn


Cast :

Emile Hirsch

Jena Malone

Catherine Keener

Vince Vaughn

Hal Holbrook


Distributor :

Riverroad Entertainment


Genre :

Drama, Adventure, Biopic










Kemunafikan, sebuah unsur buruk dalam diri manusia yang kadang menjelma menjadi sebuah halangan seseorang menggapai kebahagiaan yang sesungguhnya. Kalimat tersebut disamping cukup menggambarkan dasar dari film ini. Into The Wild, sebuah film hasil rekaan actor-director peraih dua piala Oscar, Sean Penn. Ceritanya sendiri diadaptasi dari novel bestseller John Krakaeur, yang sebenarnya adalah kisah nyata dari si tokoh utama. Agak nyesel sih baru nonton sekarang, secara film ini rilisan tahun 2007, hehehe seperti postingan saya sebelum ini, minggu lalu saya memang meluangkan waktu libur saya untuk menonton banyak film lama bagus yang belum ditonton.


Dibintangi oleh Emile Hirsch dengan sangat baik sebagai tokoh sentral, Into The Wild diramaikan oleh beberapa aktor sebagai pemeran pembantu, antara lain Hal Holbrook yang berhasil meraih satu nominasi Oscar berkat perannya di film ini, ada juga Kristen Stewart, Vince Vaughn, bahkan Zach Galifianakis yang sampai sekarang saya masih lupa karakter apa yang ia perankan, hehehe.Ya walaupun dengan porsi tidak banyak, karakter yang mereka perani sangat membantu terealisasinya kisah yang mengagumkan dan inspiratif dalam film ini. Into The Wild pada tahun 2008 lalu hanya mampu mendapat dua nominasi Oscar, suatu hal yang cukup saya pertanyakan. Ya tidak selamanya Oscar bisa dijadikan tolak ukur mengenai kualitas sebuah film, tergantung bagaimana seseorang menikmati film itu, mendapat setinggi apa kualitas film itu, sejauh mana film itu bisa meraih hati kita, dan setinggi apa pikiran kita dalam mencerna isi sebuah film. Singkat kata, Be Yourself!
Christopher Johnson McCandless (Emile Hirsch) adalah seorang pria muda berpendidikan yang berprestasi tinggi. Tidak sekedar pintar dalam pendidikannya, Chris memiliki kepribadian yang baik, rendah hati, dan pemikiran dewasa yang bijaksana. Paska kelulusan dirinya dari Universitas Emory, Chris yang usianya tergolong muda, 22 tahun, memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarganya dan memulai kehidupan dengan caranya sendiri, yaitu menjalani petualangan di alam bebas. Dengan cara kehidupan Chris yang baru tersebut, ia rela meninggalkan segala unsur-unsur kehidupan lamanya, seperti uang, telepon, bahkan kekayaan yang dimilikinya.

Tindakan berani Chris ini tentu saja dipicu oleh maksud, yaitu keadaan keluarganya yang penuh dengan kepalsuan, dan juga kehidupan manusia yang terlalu bergantung pada harta semata. Keputusan Chris ini tentu saja membuat keluarganya cemas, orang tua Chris yang pada awalnya mengira putranya tersebut sedang menuntut ilmu di Atlanta semakin khawatir ketika menemukan Chris telah lama menghilang. Segala cara dilakukan mereka untuk mencari tahu keberadaan Chris, tetapi sayangnya dengan bantuan polisi pun keberadaan Chris tidak dapat dilacak. Walaupun begitu, Chris tetap menjalin hubungan dengan adiknya, Carine (Jena Malone), lewat surat menyurat. Di dalam perjalanan kehidupan barunya Chris bertemu dengan banyak teman baru dan mendapat banyak pengalaman berharga. Semua ini dilakukannya untuk mencari arti dari kehidupan dan mengembangkan kedewasaan dalam dirinya. Amazing, superb, outstanding, powerful, bagus, keren, cakep,...., ah masih banyak kata yang pantas menggambarkan kesempurnaan film ini. And when I'm done watching this, Into The Wild easily become one of my favourite film all-the-time. Skema perpindahan kisah atau bisa dibilang alur cerita yang diusung adalah flashback/campuran, dimana cerita mengalir maju mundur sesuai timing yang diatur dari buku aslinya. Selain itu cerita dibagi kedalam beberapa bab, sama halnya seperti sebuah buku, satu cara yang saya suka sehingga kerennya lebih kerasa bagi saya. Saya suka banget sama karakter Chris, bagaimana karakternya yang memiliki kemarahan tersendiri pada kepalsuan yang tumbuh dalam diri manusia. Walau faktor Chris dalam memulai cara hidup baru salah satunya adalah masalah keluarga, tapi menurut saya bukan itulah yang coba disampaikan pada banyak orang. Into The Wild pada dasarnya mengkritisi pola pikir manusia secara universal, bukan menggurui tentang masalah kekeluargaan. Semua arah pikiran dan tujuan Chris seakan menyindir pola hidup maupun tingkah laku manusia yang sering menginginkan kebahagiaan dengan banyak menutupi black-hole dalam dirinya, dengan menambalnya dengan segudang kepalsuan, dan tidak jarang merugikan potensi atau kepribadian orang terdekat yang tanpa disadari memiliki tingkat timbul depresi yang sangat besar.

Banyak poin yang saya dapat tentang seorang Chris. Pertama, Chris memiliki kecermelangan hati yang sangat menawan, maksud saya mudah disukai atau easy-going. Bagaimana seorang Chris mampu membuat banyak teman barunya terharu akan kehadiran dan kepergiannya. Keduam bagaimanapun keteguhan hatinya dalam mengambil keputusan besar ini, tetap saja jauh di benak hati manusia akan timbul perasaan dilematis; apa semua yang saya lakukan benar?, hal ini saya simpulkan dari adegan telepon umum. Ketiga, sosok Chris bukanlah sosok untuk dibenci, dan juga bukan untuk dicintai. Mengapa bukan untuk dibenci? Tidak lain karena arah pandang jiwa dan otak Chris yang sangat dewasa dan penuh kebijaksanaan. Dan juga karena semangat besar dalam diri Chris dalam mencapai tujuan dan impian. Tapi buat saya hal positif tersebut timbul dalam diri Chris dan ia ekspresikan hanya dalam petualangannya. Kenapa saya tidak setuju bahwa keputusan dalam meninggalkan keluarganya bukanlah suatu kedewasaan? Chris memang membenci tatanan kehidupan manusia, karena tidak sejalan dengan dirinya, yang terutama adalah kepalsuan. Tapi ingat, semua tindakan Chris ini tanpa ia sadari adalah juga kepalsuan. Langkah besar yang ia ambil tidak bisa dikelak sebagai suatu kebohongan. Bagaimana Chris membohongi dirinya dengan menutupi 'black-hole'-nya dengan lari dari kenyataan hidup. Selain itu apa ia tidak memikirkan sedalam apa penderitaan keluarganya karena kepergiannya?.

Tapi sekali lagi jangan salah, poin ketiga yang saya jabarkan barusan bukanlah suatu kekurangan atau hal meleset dalam film. Hal tersebut semakin menggurui kita untuk pintar dalam mengambil keputusan, sebijak dan sedewasa apapun faktornya. Into The Wild adalah salah satu film terbaik yang pernah ada, segala unsur dikerjakan sangat baik, tanpa menghiraukan ataupun menginggalkan black-hole dalam proses pembuatan film. Hal teknik yang membantu kebaikkan film juga sangat saya suka, mulai dari sinematografi dan editing yang disusun sedemikian rapi dengan landscape panorama alam yang amazingly cool!! Soundtrack dan score yang diisi oleh Eddie Vedder juga layak diancungi jempol, saya suka musiknya, semakin nambah intensitas keharuan film. Memang sih endingnya depressing, tapi namanya juga kisah nyata, ya mau diapain lagi. Quote yang mengakhiri film ini adalah 'happiness only real when shared', semakin menekankan bahwa apa yang dilakukan Chris adalah kesalahan besar. Untung banget ia akhirnya sadar dua tahun kehidupan akhirnya dalah suatu kepalsuan, terlihat dari note-nya yang akhirnya memakai nama aslinya.
Talking point...
Into The Wild adalah sebuah true-story yang berbicara mengenai cara menghadapi masalah, kedewasaan, kemanusiaan, dan juga penyesalan. Ngga tau lagi harus ngomong apa, pokoknya Into The Wild bagus banget. Banyak banget quote-quote bagus yang melingkupi jalannya film. Into The Wild sukses mempesona saya, dengan segala keindahan alur cerita yang bener-bener dalem dan banyak momen memorable yang berbeda-beda, dari yang sedih, bahagia, lucu, dan diakhiri dengan pemilihan depressed-moment. Luar biasa!!

Rate :
4.5 out of 5

Selasa, 19 April 2011

[Quick Five] Five of The Great Masterpiece

Untuk kedua kalinya saya gabungin lima film yang baru saja saya tonton ke dalam satu buah artikel singkat, yaitu Quick-Thoughts. Berhubung lagi libur seminggu karena sedang berlangsungnya ujian nasional, tiba-tiba saja terlintas di pikiran saya untuk ngabisin waktu seminggu yang bakal ngebosenin ini dengan nonton beberapa film lama yang belum saya tonton. Semuanya adalah film-film penting, maksud saya film penting adalah film-film yang emang diakui kualitasnya misalnya dapet Oscar ataupun lovelable di kalangan banyak orang. Ya sayang juga sih kalo dipikir-pikir saya baru tonton sekarang, hehe.Better late than never, bos! Oke, beberapa diantaranya adalah film-film terkenal antara lain film arahan sutradara favorit saya. Sebenernya film yang sudah saya tonton dua hari terakhir ini lebih dari lima, tapi dicicil dulu artikelnya, hmm sebenernya mau dibuat satu-satu reviewnya. Tapi akhir-akhir ini lagi nggak mood buat nulis dan cuma mau nonton. Yep, ada waktunya bagi gue untuk males. Dan quick-thoughts kali ini bener-bener singkat, cuma sekedar buat update blog. And here there are:

THE PRESTIGE (2006)
Director Cristopher Nolan Cast Hugh Jackman, Christian Bale, Scarlett Johanson
Bercerita mengenai dua orang pesulap Inggris, Angier dan Borden, yang awalnya bersahabat namun karena suatu kecelakaan aksi panggung, mereka berdua akhirnya saling bersaing untuk menjadi yang terbaik dengan trik tersendiri. Seketika film ini langsung jadi film favorit saya! Nolan oh Nolan, nggak ada hentinya buat orang takjub sekaligus ternganga. Dan untuk kesekian kalinya Bale main di film Nolan. Semua alur plot diatur sesempurna mungkin dengan detail yang sangat rapi. Shockingly twisted ending. Jadi jangan baca spoilernya kalo mau nonton, dijamin bakal ngeganggu. Oops, the wolverine caught my attention! [****]

DISTRICT 9 (2009)
Director Neill Blompkamp Cast Sharlto Copley, David James, Jason Cope
Sudah dua dekade terjadi invasi alien terhadap masyarakat Johannesburg. Alien dengan sebutan prawns tersebut hidup di kota itu layaknya manusia, hingga suatu saat pemerintah memaksa mereka untuk pindah ke kawasan khusus bernama District 9. Di sela proses penggusuran tersebut, seorang petugas Wikus Van De Merwe terkena cairan aneh yang membuatnya bermutasi menjadi prawns. Awalnya nggak ada daya tarik apapun buat nonton ini, tapi karena penasaran ya saya coba tonton. Dan ternyata, keren!! Nggak nyangka ada film invasi alien semenarik ini. Dari visual efek, naskah, sampai akting Sharlto Copley yang sempet main di A-Team, semuanya nearly-perfect! Ceritanya bener-bener nggak sampah, dan shockingly touching! One of my fav all the time. [****]

AMERICAN PSYCHO (2000)
Director Mary Harron Cast Christian Bale, Justin Theorux,Josh Lucas
Secara kasat mata, Patrick Bateman mungkin terlihat baik-baik. Good looking, kaya raya, punya kedudukan di perusahaan. Tetapi ternyata tersembunyi sosok lain dari dirinya yang adalah seorang psikopat. Daya tarik utama untuk film ini yang pasti adalah Bale. Yep, Bale is one of the most promising actor. Sebagian besar filmnya udah tentu bagus, even Terminator Salvation though. Disini Bale main agak berbeda, sangat baik. Saya suka cara dia mengimprovisasi karakter Bateman yang bisa dibilang berkepribadian ganda, perubahan mimik wajah Bateman yang sangat nggak terkira adalah nilai lebih. Mungkin American Psycho punya pesan tersendiri, yaitu mngenai kesempurnaan. Bagaimana kesempurnaan dalam diri seseorang dengan perlahan bisa saja menghancurkan kesempurnaan itu sendiri. Namanya juga film psycho, banyak banget adegan keji dan mengganggu, and some adult content. [***]

MEMENTO
(2000)

Director Christopher Nolan Cast Guy Pearce, Carrie Anne Moss, Joe Pantoliano
Leonard Shelby mengalami suatu kondisi tak lazim dimana otaknya tidak bisa menyimpan memori baru sehingga tiap hari ia akan terus melupakan segala hal yang ia alami, kecuali istrinya yang telah meninggal. Untuk mengatasi keadaannya tersebut, ia men-tattoo beberapa hal di badannya dan juga mempotret orang dan tempat yang ia kunjungi. Untuk kesekian kalinya Nolan buat saya menyukai filmnya. Memento adalah salah satu karya brillian yang pernah ada. Dengan penjabaran masalah yang sangat detail dan pemecahan masalah yang pasti akan buat semua orang ternganga. One of the most shocking twisted ending. Alurnya bener-bener confusing, yaitu ada dua alur disini. Yang satu mundur, yang satu lagi maju. Dan nantinya kedua alur itu ketemu di ending yang ngagetin. Untuk ngebedain dua alur tersebut, alur maju diberi warna black&white. Salah satu film favorit saya! [*****]

CRASH
(2004)

Director Paul Haggis Cast Matt Dillon, Sandra Bullock, Ryan Phillippe
Crash adalah film yang mengusung multi-plot, mungkin bisa dibilang ensemble cast, eh, ensemble cast terbaik. Menceritakan kehidupan beberapa orang berbeda di L.A dalam kurun waktu kurang lebih satu hari. Semua karakter memiliki persoalan tersendiri dan nantinya akan saling terhubung secara langsung maupun tidak langsung. Satu kalimat setelah nonton ini; gw cinta Crash! Masalah yang diangkat Paul Haggis disini adalah mengenai isu perbedaan. Bagaimana kondisi masyarakat Amerika yang sampai sekarang masih mempersalahkan perbedaan rasial. Rasialisme yang masih mendominasi pola pikir masyarakat disana dideskripsikan dengan sangat indah, visualisasi terbaik yang pernah ada. Banyak banget momen menyentuh di Crash, dan semuanya bener-bener buat merinding. Pesan lainnya mungkin jangan memandang orang secara kasat mata. Selain itu orang jahat tidak sepenuhnya jahat, pasti ada sebabnya. Dan orang baik tidak sepenuhnya sempurna. [*****]

Jumat, 15 April 2011

[Review] THE LINCOLN LAWYER (2011)

"I checked the list of people I trust and your name ain’t on it"
Director :
Brad Furman

Cast :
Matthew McConaughey
Ryan Phillippe
Marisa Tomei
William H. Macy
John Leguizamo

Distributor :
Lionsgate Films

Genre :
Thriller, Crime











Hukum, satu unsur terpenting dalam suatu negara yang mengatur segala tata cara maupun aktivitas yang dilakukan semua orang yang menjadi bagian negara tersebut. Hukum pada hakekatnya adalah sebuah norma yang dipergunakan untuk memisahkan mana yang baik dan benar, dan kemudian menindak lebih lanjut bagi siapa saja yang memiliki keterkaitan dengan aktivitas hukum tersebut, misalnya pengadilan bagi pelanggar di pengadilan. Apakah anda tahu apa saja yang dilakukan pengadilan dalam melakukan peradilan?

Nah kali ini Brad Furman (The Take) mengangkat persoalan ini kedalam sebuah crime-thriller The Lincoln Lawyer. Film yang ditulis naskahnya oleh John Romano yang sebelumnya telah menangani naskah film Nights in Rodanthe ini diadaptasi dari novel dengan judul sama buah pena Michael Connelly. The Lincoln Lawyer bukanlah novel pertama Connelly yang dibuat versi motion picture-nya, sembilan tahun lalu novelnya yang berjudul The Blood Work diangkat ke layar lebar dengan bintang Clint Eastwood. Film ini dibintangi oleh Matthew McConaughey, aktor yang mengawali karirnya sembilan belas tahun lalu dan terus berkembang karir seni perannya lewat beberapa jenis film diantaranya yang terkenal adalah A Time To Kill. Terpilihnya McCounaughey di film ini ternyata memang sudah diinginkan oleh penulis novelnya sendiri, Michael Connelly mengaku sudah mengincar aktor tersebut dari tahun 2008 lalu sejak penampilannya di Tropic Thunder.
Michael McConaughey berperan sebagai Mick Haller, seorang pengacara muda berpenampilan menarik yang memiliki kemampuan handal berkaitan dengan menangani kasus-kasus hukum. Menjalani hari-harinya sebagai pengacara, Mick kemana-mana menggunakan mobil klasik Lincoln Continental bersama sang supir, Earl (Laurence Mason), dan biasanya di-backing oleh geng motor yang beberapa anggotanya kadang meminta bantuan Mick berkaitan mengenai hukum. Di mobil tuanya tersebut, Mick biasa mengerjakan beberapa tugasnya selagi di dalam perjalanan, karena itu isi mobil tersebut terlihat sangat berantakan. Mick bukanlah pengacara biasa, ia memiliki kemampuan cerdik dan licik dalam mengatasi masalah kliennya dalam mencapai keberhasilan kasus, tidak peduli apakah itu benar atau tidak. Sebagian besar kliennya adalah pelaku kriminal, bahkan beberapa diantaranya merupakan kalangan atas yang tidak segan-segan memakai Mick dengan bayaran mahal.

Tapi jangan salah, Mick bukanlah pengacara pengasihan orang jahat. Pembelaan akan dilakukannya apabila ia dibayar dengan jumlah besar ataupun sesuai yang diinginkannya. Kelakuan Mick inilah yang menyebabkan sang istri, Maggie McPherson (Marisa Tomei), rela menceraikan Mick karena pemikirannya yang bertolak belakang dengan pekerjaan Maggie sebagai jaksa penuntut umum. Walaupun didera masalah perceraian, keduanya tetap menjalin hubungan dan komunikasi yang baik layaknya pasangan suami istri, dan sama-sama membesarkan buah hati satu-satunya. Eits, semua hal diatas bukanlah sajian utama film ini. Kemampuan Mick diuji saat datang sebuah tawaran pada dirinya untuk mendampingi seorang anak kaya raya, Louis Roulet (Ryan Philippe), yang ditangkap atas tuduhan penganiayaan fisik terhadap seorang PSK. Kasus yang awalnya dianggap mudah oleh Mick semakin rumit ketika dirinya dihadapkan oleh banyak pertanyaan besar akan keganjilan yang ditemukan dalam diri Louis. Louis yang terlihat innocent tersebut ternyata menyimpan banyak fakta yang tidak ia sebutkan dan malah membahayakn nyawa Mick. Konsistensi Mick dalam prinsip terdahulunya pun diuji.

Pada awalnya tidak ada satu hal yang menjadi daya tarik saya untuk mau nonton film yang satu ini. Apalagi dengan kondisi perbioskopan Indonesia yang kosong melompong akan film Hollywood ini, harapan untuk nonton film-film luar pun tidak sebesar tahun lalu. Tetapi kemudian saya menjadi sangat tertarik berhubung dengan diterimanya banyak respon positif bagi The Lincoln Lawyer, dan pada akhirnya harapan saya dikabulkan dengan masuknya film ini ke Indonesia, ya bisa dibilang untung-untungan karena film ini hak distribusinya tidak dipegang oleh anggota MPAA. Kembali ke topik film ini, The Lincoln Lawyer menawarkan sebuah tema yang sifatnya keras dan tinggi, yaitu hukum. Jangan terlalu banyak mengkhawatirkan film ini adalah sebuah tontonan yang berat, tidak usah berpikir terlalu tinggi untuk menikmati film ini. Itulah hal yang saya sukai dengan perjalanan cerita di film ini. Mungkin tema hukum yang dijadikan pedoman berjalannya film ini bukanlah hal yang mudah dilakukan untuk dirombak menjadi versi film. Dibutuhkan banyak penyesuaian untuk merangkum sebegitu tebalnya sebuah novel hingga dirubah menjadi naskah film, sebuah versi yang memiliki keterbatasan dalam hal durasi.

Untungnya John Romano selaku penulis naskah melakukan kerja yang baik dalam merangkai cerita The Lincoln Lawyer. Alur cerita berhasil dirangkai dengan tempo yang seimbang, tidak membosankan, dan tidak melupakan harapan banyak orang untuk mau ikut banyak berpikir mengenai apa yang terjadi dalam cerita. Naskah cerita asli diminimalisir dengan baik tanpa meninggalkan banyak unsur penting dalam film, walaupun saya tidak membaca filmnya tapi saya yakin perasaan yang timbul pada diri saya adalah benar. Sekitar dua puluh menit pertama kita tidak langsung dihadapkan pada topik permasalahan utama yang dihadapi Mick. Film terlebih dahulu memperkenalkan siapa sih Mick itu. Sosok Mick diperkenalkan dengan cara yang sangat mengasyikkan, sebagaimana asyik pekerjaan Mick yang dipenuhi oleh beribu kelicikkan pria tersebut demi uang. Sisi personal Mick dieksplorisasi sangat tajam, begitu pula lika-liku Mick dalam menjalani pekerjaannya yang disuguhkan dengan jelas.

Pendalaman karakter terhadap karakter ini tidak akan berjalan semulus kenyataan apabila tidak diperankan oleh Matthew McConaughey. Memang dari awal saya agak kaget dan ragu mengenai kemunculan pria ini sebagai tokoh sentral, dan tidak ketinggalan mendapat respon positif karena penampilannya itu. Ternyata memang benar, McConaughey bermain dengan baik di film ini. Lupakan aksi-aksi pria yang satu ini di beberapa film komedi maupun romantis, karena dengan film ini kita akan seketika melupakan siapa McConaughey sebenarnya. Ia adalah nyawa film ini, ia sendiri yang membentuk rangkaian cerita menjadi sebuah tontonan menarik. Semua itu tercipta tidak lain berkat kharisma yang ia pancarkan sepanjang durasi film, ya, ia adalah 'tiang tumpuan' bagi fondasi The Lincoln Lawyer. Ia sanggup memancarkan sisi dilematis dalam dirinya saat timbul sebuah kenyataan yang menyebabkan pergoyakkan pemikiran dan faham dalam diri Mick. Aspek moral, itulah satu hal penting yang kemudian muncul seketika dalam personal seorang Mick. Beberapa karakter pendukung juga bermain dengan baik, walaupun tidak sesempurna apa yang dilakukan oleh tokoh utama. Bahkan sisi kharismatik seorang Mick berhasil menggeser ke-playboy-an karakter yang diperankan oleh Ryan Phillipe. Tidak ketinggalan , saya juga suka sinematografi yang dimiliki The Lincoln Lawyer. Terutama opening credit yang berjalan dengan alunan musik retro sehingga menambah intensitas penasaran saya, dan juga mengawali kemulusan jalannya cerita. Kesan retro semakin kuat dengan pengambilan gambar yang memperlihatkan sudut-sudut kota yang dijadikan setting The Lincoln Lawyer.

Talking point...
118 menit bukanlah durasi yang panjang bagi The Lincoln Lawyer. Waktu yang sebenarnya terbilang panjang tersebut terbayar dengan mulusnya jalan cerita yang penuh dengan misteri menjebak penuh keganjilan yang juga mengajak penonton untuk ikut berkontribusi di dalamnya. Kharisma penuh pesona Matthew McConaughey berhasil membuat The Lincoln Lawyer menjadi film yang cukup baik.

Rate :
3.5 out of 5

Rabu, 13 April 2011

[Review] HEREAFTER (2010)

"What do you think happens when we die"
Director :
Clint Eastwood

Cast :
Matt Damon
Cecile de France
Frankie McLaren
Bryce Dallas Howard
Rebekah Staton

Distributor :
Warner Bros. Pictures

Genre :
Drama, Supernatural









Adalah sebuah fakta kekal bagi umat manusia bahwa kematian adalah akhir dari kehidupan yang fana ini. Kematian pada hakekatnya merupakan hal universal yang pasti akan dialami seseorang suatu saat nanti. Satu pertanyaan yang mungkin timbul di benak semua orang; apa yang akan kita alami setelah mati nanti? Dari sudut pandang agama pastinya mempercayakan penganutnya masing-masing bahwa hanya terdapat dua pintu yang akan seseorang masuki setelah mati nanti, neraka dan surga. Diluar kepercayaan agamawi yang meyakini hal tersebut, tidak sedikit kepercayaan lainnya yang memiliki pendapat dan argumentasi sendiri mengenai kehidupan setelah kematian atau afterlife. Setahu saya masih ada sebuah keyakinan yang meyakini bahwa tidak ada dunia lain selain bumi yang akan ditempati manusia, melainkan kehampaan yang akan dihadapi. Diluar perbedaan argumentasi yang saling bersinggungan tersebut, kematian atau afterlife adalah premis sederhana yang coba diangkat oleh aktor sekaligus sutradara, Clint Eastwood. Memulai karirnya sebagai aktor yang berhasil menaikkan kiprahnya hingga meraih status aktor berprestasi, empat puluh tahun belakangan ini Clint Eastwood membelokkan arah karirnya di belakang layar. Mencoba pengalaman baru, 1971 adalah debutnya sebagai sutradara lewat Play Misty For Me. Mendapat banyak respon positif dari banyak kalangan, Eastwood semakin melebarkan karir penyutradaraannya sehingga banyak penghargaan diraihnya, termasuk Oscar. Tidak melupakan karir awalnya, Eastwood tetap setia meneruskan perjalanan seni perannya lewat beberapa film termasuk filmnya sendiri, sebut saja Million Dollar Baby yang berhasil menganugerahinya sebagai sutradara terbaik.
Hereafter menceritakan tiga kisah dari tiga t
okoh beda negara yang tidak saling kenal dan sama-sama sedang menghadapi persoalan mengenai afterlife. Dimulai dari seorang wanita Prancis, Marie Lelay (Cecile De France), jurnalis yang sedang bertugas di Thailand bersama suaminya. Di pagi yang cerah pesisir pantai tempatnya menginap diterjang gelombang tsunami dan mengakibatkan dirinya ikut terseret arus tsunami tersebut. Kejadian yang mengakibatkan dirinya mengalami mati suri atau near-death-experience tersebut cukup mengguncang pikirannya sehingga ia harus mengalami cuti pekerjaan sementara dan membuat dirinya menggali banyak informasi tentang afterlife. Tokoh kedua adalah George Lonegan (Matt Damon), seorang pria dari San Fransisco yang berusaha untuk mengabaikan kemampuan sixth-sense nya. Ia ingin hidup normal tanpa diganggu oleh kelainan yang dimilikinya itu. Dan yang terakhir adalah si kembar Marcus (Frankie McLaren) dan Jason (George McLaren) yang hidup bersama ibu mereka yang single-mother. Suatu saat Jason mengalami kecelakaan yang berujung pada kematian. Peristiwa naas yang sangat mengguncang pribadi Marcus tersebut membuat dirinya mencari tahu hal-hal mengenai kematian, karena dirinya merasa kehilangan dan masih ingin bertemu dengan saudara terdekatnya tersebut.Clint Eastwood, salah satu tokoh terbaik yang dimiliki Hollywood. Karya penyutradaraannya tidak diragukan lagi, begitu juga dengan karirnya sebagai aktor. Mengangkat premis sederhana untuk ditelaah lebih lanjut, Hereafter bisa digolongkan sebagai drama humanis; berdasarkan fakta universal mengenai kemanusiaan. Mungkin karena banyaknya perbedaan pemikiran mengenai persoalan kematian ini, agak susah untuk mengatakan film ini berinti pada hal keagamaan, atau hal ketuhanan. Dilihat dari track-recordnya, Eastwood terbilang sangat baik dalam mengangkat persoalan-persoalan humanis ke dalam sebuah drama. Berbagai hal coba ia digali dalam-dalam mengenai arti sebuah kehidupan dan hal-hal lainnya yang saling berkaitan. Kali ini lewat Hereafter, dirinya mencoba mengeksplor hal yang agak berbeda dan mungkin bersifat sensitif bagi sebagian besar kalangan. Tidak sembarang menyusun alur cerita, Eastwood terbilang pintar dalam memodifikasi dan menggabungkan hal fiksi dan non-fiksi. Beberapa peristiwa-peristiwa penting coba ia masukkan sebagai inspirasi sehingga cerita terasa agak nyata dan kuat. Peristiwa tersebut antara lain 'London Tube Bombing', tragedi pengeboman yang dilakukan teroris pada tahun 2005 lalu yang menjadikan transportasi umum sebagai sasaran serangan mereka. Hal yang sangat mengagetkan dan mengguncang Inggris bahkan seluruh dunia tersebut diselipkan Eastwood ke dalam adegan yang dialami oleh Marcus. Peristiwa lain yang sangat lekat di pikiran saya adalah adegan pembuka Hereafter yang memperlihatkan peristiwa tsunami di Thailand. Adegan yang mungkin saja diinspirasi dari bencana tsunami Aceh tujuh tahun tersebut sangatlah singkat, inilah alasan mengapa sampai sekarang saya masih mempertanyakan kemunculan Hereafter di jajaran nominasi Oscar awal tahun ini untuk Best Visual Effect. Ya, walaupun pada akhirnya piala tersebut harus jatuh ke Inception, tapi sangat disayangkan Hereafter bisa disamakan dengan kedua kompetitornya. Selain terbilang singkat, hanya adegan pembuka itulah yang menjadi perhatian para juri sehingga menyelipkannya ke dalam nominasi. Padahal masih banyak film lain yang memiliki porsi visual efek yang lebih berkualitas dan menyenangkan, sebut saja Tron: Legacy atau Narnia 3. Oke, mungkin hal yang masih menjadi pro-kontra tersebut tidak usah terlalu dipikirkan lebih lanjut. Bagaimana dengan filmnya sendiri? Eastwood terbilang baik dalam membuka menit- demi menit pertama Hereafter. Segala hal yang mendasari seluruh cerita ia tuturkan di awal cerita. Tapi sayangnya hal tersebut tidak akan berlangsung lama karena setelah sekitar dua puluh menit awal cerita akan terasa sedikit membosankan. Walaupun mengatur alur cerita sedemikian rapi dengan transisi penceritaan karakter secara teratur, Cecile ke George ke Marcus, saya merasakan adanya kelemahan besar yang timbul dari pendalaman karakter begitu pula dengan naskahnya. Pendalaman karakter dibuat terlampau datar, tidak terjadi ekslorisasi yang baik mengenai hal afterlife yang dihadapi ketiga tokoh. Dengan premis yang ditawarkan, seharusnya ada pengembangan lebih jauh mengenai hal utama yang menjadi pokok pikiran dari cerita. Sayangnya yang ditonjolkan dari semua karakter adalah aktivitas demi aktivitas yang mereka lakukan. Tema afterlife dihadirkan sangat lemah, terasa hanya numpang lewat untuk mewarnai tiap manit aktivitas yang dijalani ketiga tokoh. Justru menurut saya unsur terbesar yang menjadi tujuan utama Hereafter adalah takdir. Bagaimana ketiga tokoh tersebut mencari jawaban apa yang akan mereka hadapi ke depannya, paska fakta tak diharapkan yang menimpa mereka. Dan juga bagaimana mereka mengarungi gelombang misteri, hingga pada akhirnya mereka sampai di dermaga yang sama dan bertemu satu sama lain; yaitu London Bookfair (akhir cerita) yang merupakan takdir dari cerita ini. Penampilan ketiga aktor tidak mengecewakan, walaupun tetap saja datar sama halnya seperti lemahnya naskah cerita. Hereafter adalah kali keduanya Matt Damon (Bourne Ultimatum, True Grit) berkolaborasi dengan Eastwood, setelah sebelumnya sukses dengan Invictus. Nama tenar Matt Damon pun tidak sanggup melonjakkan kualitas Hereafter yang beberapa waktu lalu diboikot di Jepang karena memiliki konten tsunami seperti yang baru saja dialami negara tersebut.
Talking point...
Secara keseluruhan, Hereafter tidak sepenuhnya mengecewakan. Masih bisa dikategorikan sebagai drama humanis walaupun unsur utama yang awalnya digembor-gemborkan tidak dieksekusi dengan pintar. Diluar bakat penyutradaraan Eastwood yang sudah banyak diakui, ia gagal dalam menciptakan sebuah drama inspiratif hingga akhirnya hanyalah tanda tanya yang ditawarkan di penghujung cerita.

Rate :
3 out of 5

Minggu, 10 April 2011

[Top List] BEST MOVIES POSTER - 2010

Tahun 2010 sudah berakhir lama, dan tidak terasa tahun 2011 sudah berjalan selama empat bulan lebih. Tahun lalu terbilang sebagai tahun yang sangat unik di kancah perfilman, berbagai jenis film bersatu padu di tahun tersebut untuk bersaing dan saling menunjukkan kualitasnya. "Bulan award" yang diramaikan oleh banyak ajang penghargaan bagi karya perfilman juga sudah berakhir. Sekarang saya mau membagikan beberapa kategori award kecil-kecilan saya, hehehe. Setelah sebelumnya telah memposting daftar film terbaik, kini saya keluarkan list-list yang masih ada hubungannya dengan film, tapi tidak berkaitan dengan kualitas film itu sendiri. Misalnya poster, quote, trailer, atau mungkin bakal ada kategori unik lainnya.


[Movie Freak Award] saya mulai dengan list poster terbaik, berikut daftarnya:



#10 FLIPPED & CONVICTION (tie)

Jelas terlihat apa yang membuat kedua poster ini saya satukan di urutan kesepuluh. Menampilkan dua sosok bersebelahan, sangat jelas menjelaskan kedua film tersebut berfokus pada dua tokoh. Panorama yang sedang mereka nikmati adalah nilai lebih bagi saya, yang menampilkan keanggunan dan mempresentasikan sisi drama dalam film.

#9 THE NEXT THREE DAYS

Yang saya suka dari poster ini adalah cara pen-design poster dalam menjelaskan apa tema atau bisa dibilang inti cerita yang diangkat. Pasti kita tahu itu adalah banyak tempelan foto di dinding, tahu kan biasanya buat apa orang menyusun hal-hal tsb di dinding? Teknik photoshop yang sangat baik, tidak ketinggalan memperlihatkan wajah si tokoh utama.

#8 127 HOURS

Sama seperti posisi ke #8, photoshop memegang peran penting disini. Potongan-potongan gambar dan wajah pria yang ditampilkan juga mempunyai tujuan yang sama seperti The Next Three Days.

#7 THE SOCIAL NETWORK

Simple, tegas, sangat menarik.

#6 BURIED

Sama seperti poster utamanya, bedanya garis penghubung ke peti mati diganti dengan respon-respon positif mengenai filmnya. Menarik dan sangat misterius.

#5 LET ME IN

Indah dan menakutkan. Tiga unsur penting berpadu dalam satu poster yang menghantui; salju (dingin), darah (keganasan), dan bekas tapak tubuh seorang bocah (keluguan).

#4 SCOTT PILGRIM VS. THE WORLD

Lagi-lagi photoshop berperan penting disini. Salah satu poster favorit saya, bukan sekedar terbaik. Semuanya ditampilkan secara acak, tapi tetap rapi dan enak dilihat. Tokoh utama, seven exes, credit text, dan juga judul ada secara lengkap. Bisa mencarinya?

#3 JACKASS 3D

Terkenal kan logo diatas? Pasti bisa langsung ketebak apa judulnya. Ditambah kacamata merah biru. Cara terbaik untuk memperkenalkan seri terakhir dari instalmen ini, dan juga tekhnologi mutakhir yang dipakai.

#2 TOY STORY 3

Inilah poster terfavorit saya. Semua karakter digabungkan dengan rapi, memperkenalkan sekaligus menyampaikan salam sampai jumpa kepada pecinta film mainan ini. Eye-candy dan sangat menggemaskan.

#1 RABBIT HOLE

Inilah poster terbaik tahun 2010. Sekelam cerita filmnya, sangat istimewa mensejajarkan sembilan bentuk emosi dari karakter Kidman. Marah, sedih, putus asa, bahkan bahagia dikombinasikan menjadi satu. Brilliant!!



Demikian daftar poster terbaik bagi saya, mungkin selanjutnya akan ada lagi award seperti ini, tapi belum saya pikirkan kategori unik apalagi, hehehe :)

Rabu, 06 April 2011

[Review] WINTER'S BONE (2010)

"Never ask for what oughta be offered"
Director :
Debra Granik

Cast :
Jennifer Lawrence
John Hawkes
Lauren Sweetser
Isaiah Stone
Garret Dillahunt

Distributor :
Roadside Attractions

Genre :
Drama, Thriller









Film independen adalah sebuah golongan film yang memiliki proses produksi dan penyaluran film yang tidak sebesar dan seluas film-film blockbuster atau berasal dari distributor besar layaknya 20th Century Fox, dll. Film independen tidak jarang memiliki kualitas yang baik, karena pada dasarnya film independen tidak ditujukan sebagai hiburan semata seperti film-film besar lainnya. Walau tidak semua karya independen masuk ke dalam garis golongan film berkualitas, seringkali karya independen diperhitungkan dalam skala yang lebih tinggi, seperti festival internasional semisal Sundance. Bicara Sundance, festival film independen bergengsi yang diadakan di Ohio, AS, ini tiap tahun menampung dan mempertontonkan puluhan film kelas independen untuk diperhitungkan kiprah dan kualitasnya. Beberapa film yang diakui kualitasnya pun diberi sebuah penghargaan atau predikat tergantung genre masing-masing. Salah satunya adalah Winter's Bone. Diadaptasi dari novel karya Daniel Woodrell, film ini memenangkan dua penghargaan pada Sundance tahun lalu, salah satunya Grand Jury Prize: Dramatic Film. Disutradarai oleh Debra Granik (Down To The Bone, Snake Feed), sineas wanita ini turut juga menulis naskahnya bersama Anne Rosellini. Winter's Bone yang merupakan film panjang keduanya ini menjadikan Granik diakui kiprah dan kehandalannya sebagai salah satu sineas wanita menjanjikkan di tahun 2010, walau perjalanan karirnya tidak seheboh bahkan setenar Lisa Cholodenko--sutradara The Kids Are All Right yang akhir-akhir ini makin diperhitungkan karyanya.Ree Dolly (Jennifer Lawrence) hanyalah seorang gadis sederhana berusia 17 tahun. Tidak seperti kebanyakan wanita Amerika seusianya yang hidup berduit, Ree yang hidup di pedesaan harus menanggung banyak beban terutama mengurus dan menghidupi keluarganya. Ia hidup bersama ibunya yang depresif dan dua orang adiknya, Sonny (Isaiah Stone) dan Ashlee (Ashlee Thompson). Sang ayah, Jessup, telah lama pergi meninggalkan keluarganya, dan kini terbelenggu kasus yang disebabkan kedekatan dirinya dengan dunia narkoba. Keadaan mental sang ibu sehingga tidak bisa beraktivitas mengharuskan Ree untuk mencari makan dan memenuhi segala keperluan keluarga. Sedangkan dua orang adiknya yang masih dibawah umur, Sonny berumur 12 tahun dan Ashlee berumur 6 tahun, selalu hanya bisa berdiam diri di rumah menunggu kakaknya membawa makanan dan kadang menonton sang kakak menjalankan pekerjaan kerasnya. Tidak hanya itu beban yang harus Ree pikul, kini dirinya dihadapkan oleh kenyataan pahit saat dirinya didatangi seorang sheriff. Sheriff tersebut mengatakan bahwa sang ayah telah menghilang dan menjaminkan rumah dan tanah milik keluarga kepada hukum. Bila Jessup tidak muncul di hari pengadilan, terpaksa harta yang tersisa tersebut disita kepolisian. Ree pun sekuat tenaga berjuang untuk mencari keberadaan ayahnya tersebut lewat orang-orang yang selama ini dekat dengan sang ayah.Mungkin judul film ini memiliki sebuah makna mendalam dari apa yang dilakukan karakter utama dalam cerita, "Winter's Bone" pun dipersonifikasikan sebagai raga Ree yang menjejal keras dan dinginnya kehidupan di desa perbukitan dalam mencapai tujuan mempertahankan eksistensi diri dan ibu beserta kedua adiknya. Film kelas independen mungkin bisa memiliki kejatuhan apabila kualitasnya tak diakui sehingga tidak akan dipandang lebih banyak pasang mata. Namun beruntung bagi Winter's Bone, memenangkan dua pernghargaan di Sundance, keberhasilan kembali datang secara berantai lewat berbagai penghargaan yang menominasikannya. Puncak dari semua itu berujung pada dinominasikannya film ini ke dalam penghargaan film paling bergengsi di dunia, Academy Awards. Hal inilah yang mengundang rasa penasaran saya untuk ikut serta menikmati Winter's Bone, ya, setelah sekian lama susah payah ke sana-sini demi mendapat satu keping dvd film ini. Tidak sedikit yang dikagetkan oleh kemunculan film ini di jajaran nominasi Oscar, termasuk saya. Apa sih bagusnya film ini? Dengan durasi yang terbilang singkat, 100 menit, Winter's Bone pada awalnya pasti akan terasa berjalan sangat datar dan agak lambat. Apalagi didukung setting lokasi film yang sangat sepi dan agak kelam, penyampaian cerita terasa semakin datar. Tapi kalau sabar sedikit, kita akan masuk ke dalam suguhan misteri yang ternyata sangat menyentuh berkat bagaimana perjuangan tiada henti seorang Ree. Ree Dolly adalah jantung dari Winter's Bone. Selama 100 menit kita dipaksa untuk merasakan secara kuat apa yang dikatakan oleh hati nurani kita sendiri dengan melihat perjuangan Ree. Jennifer Lawrence (The Poker House, The Burning Plain), aktris muda yang sedang naik daun ini bermain dengan sangat sempurna. Ia bermain sangat alami sehingga sanggup menghidupkan plot dan suasana cerita yang seakan sepi ini. Posisi Jennifer di film ini sangat menggairahkan, eh, menggairahkan yang saya maksud adalah bagaimana Jennifer memerankan sebuah karakter yang bisa dibilang menyedihkan tapi secara total ia hidupkan sebagai karakter wanita kuat sehingga membuat hati nurani saya bergairah untuk berkata-kata. Ya, hati nurani penonton diajak untuk ikut mengeksplorisasi dalam-dalam karakter Ree ini. Jennifer sebagai pemerannya tampil meyakinkan, meyakinkan kita akan kekuatan dan keyakinan yang dimiliki Ree, bagaimana seorang belia dengan yakin dan berani untuk mencapai sebuah tujuan yang menentukan nasib diri dan orang terdekat. Jennifer memberikan nafas bagi Ree, begitu juga untuk filmnya sendiri. Ia sendiri yang mengkonstruksi dan membangun fondasi cerita, dan ia sendiri yang hidup di dalam bangunan cerita yang ia bentuk. Karakter Ree yang membuat film terasa mengharukan, seakan menggurui kita tentang kerasnya kehidupan. Aktris yang akan menghidupkan karakter Mistique dalam X-Men: First Class ini berhasil menyandang status peraih nominasi Oscar tahun ini, tidak lain tidak bukan berkat perannya di film ini. Kerasnya kehidupan di pinggiran secara halus ditekankan lewat banyak adegan, misalnya saat Ree mengajari kedua adiknya yang masih dibawah umur untuk berburu. Sebagai sutradara, Debra Granik harus diakui keberhasilannya dalam menggarap sebuah film adaptasi yang mengalir dengan gaya penceriteraan yang dingin. Lewat empat nominasi, walaupun tidak satupun berhasil dimenangkan, perlu diakui kualitas film independen ini. Winter's Bone seakan menekankan emansipasi wanita adalah hal yang patut diperhitungkan. Satu hal yang agak saya ragukan, adalah nama John Hawkes (Identity, American Gangster) yang ikut dinominasikan Oscar sebagai pemeran pendukung pria terbaik. Walaupun penampilannya menjanjikan dan membantu jalannya arus cerita, menurut saya dirinya terlalu overrated, layaknya Mark Ruffalo dalam The Kids Are All Right yang turut dinominasikan . Bukan karena porsi perannya yang sedikit dan kurang menonjol, saya tidak bisa menemukan 'sisi Oscar' dalam penampilannya. Ya, lagi-lagi harus back to the oscar, Andrew Garfield terbukti lebih layak daripada dua orang ini, hmm, what a snub!!
Talking point...
Membaurkan drama-thriller dan misteri, film ini berjalan secara sempurna berkat naskah yang kuat dan seluk beluk perjuangan Ree. Ketangguhan Jennifer Lawrence adalah jantung dan hati dari Winter's Bone. Bahkan, kisahnya terbilang lebih kuat dan inspiratif dibanding kompetitor Oscar yang meraih Best Picture, The King's Speech.

Rate :
4 out of 5

Jumat, 01 April 2011

[3-in-1-Reviews] I SPIT ON YOUR GRAVE, LET THE RIGHT ONE IN, TRIANGLE

I SPIT ON YOUR GRAVE (2010)
Director Steven R. Monroe
Cast
Sarah Butler, Jeff Branson, Andrew
Howard, Chad Lindberg, Rodney Eastman


Jennifer Hills (Sarah Butler) adalah seorang novelis wanita yang memutuskan untuk tinggal sementara di pinggir danau sebuah kota terpencil yang sangat sepi. Kedatangan Jennifer di kota itu dimanfaatkannya untuk mencari inspirasi dan ketenangan dalam menyelesaikan novelnya yang kedua. Berniat mengasingkan diri, ia pun datang sendiri ke kota tersebut tanpa mengajak teman maupun keluarganya, dan yang pasti tidak lupa untuk membekali dirinya dengan laptop dan keperluan lainnya. Setiba di daerah tujuan, wanita kurus tersebut mampir sebentar di sebuah pom bensin dan bertemu dengan tiga pria penduduk setempat, salah satunya Johnny (Jeff Branson). Namanya juga pria desa, eh, berandal desa, pasti ada saja yang mereka lakukan untuk menggoda pendatang apalagi orang tersebut adalah seorang wanita. Niat jahil mereka awalnya biasa saja, antara lain membuat suara-suara aneh bahkan melempar bangkai burung ke rumah yang ditempati Jennifer. Hal ini jelas mengganggu dan menakuti Jennifer. Belum puas dengan aksi jahilnya, Johnny dan dua kawannya mengajak seorang pria dungu bernama Matthew (Chad Lindberg) untuk mendatangi dan menjahili Jennifer secara langsung. Dimulai dari pelecehan fisik ringan, hingga mencapai klimaks yaitu pemerkosaan yang dilakukan satu per satu dari mereka. Ironisnya, Sheriff Storch (Andrew Howard) yang awalnya diharapkan Jennifer sebagai penyelamat ternyata juga salah satu dari mereka. Beberapa bulan paska kejadian itu Jennifer yang awalnya dikira hilang kembali lagi ke kota tersebut untuk membalas dendam atas kelima pria kejam yang menyiksa dirinya. Diremake dari film berjudul sama, I Spit On Your Grave versi 'laptop' ini bernasib sama dengan film aslinya yang dicekal oleh banyak negara karena kandungan subjek kekerasan dan seksualitas yang mendominasi sebagian besar durasi film. Saya belum menonton versi aslinya, jadi mungkin artikel saya ini agak berbeda karena hanya menilai dari sudut pandang saya yang hanya menonton versin remake-nya. Memakan waktu sepanjang 102 menit, I Spit On Your Grave nyatanya terlalu lambat dalam penceriteraan sehingga dibutuhkan waktu agak lama untuk kita menikmati point utama yang coba diangkat oleh sutradara Ste ven R Monroe. Hingga akhirnya keseluruhan inti cerita beserta bumbu-bumbu psycho muncul juga setelah saya menunggu sekitar satu jam. Tidak afdol memang kalau membicarakan sebuah slasher movie tanpa menyinggung adegan-adegan sadis dan seksualitasnya. Ketika saya menonton film dengan genre seperti ini, logika dan akal sehat saya buang jauh-jauh, karena pada hakekatnya slasher movie adalah sebuah genre yang harus diberikan perhatian lebih pada adegan-adegan sadis yang dijadikan fondasi kuat film tersebut. Adegan pemerkosaan terhadap Jennifer saya bilang agak nanggung, oke, bukannya saya tidak puas dengan konten seksnya yang 'memang nanggung', tapi setelah saya lihat potongan adegan dari film aslinya yang lebih frontal, harus saya katakan I Spit On Your Grave kali ini tidak sekontroversial versi dulunya, yang pasti dalam aspek adegan pemerkosaannya. Kelemahan lainnya datang dari eksploitasi pengembangan karakter Jennifer yang tidak dilakukan, sehingga timbul pertanyaan di benak saya, "Bagaimana bisa dia selamat dan baru datang berbulan-bulan?". Diluar semua itu, film remake ini sangat berhasil dalam menghadirkan aksi keji balas dendam yang dilakukan Jennifer. Walau digarap tanpa detail yang menjanjikan, semua kelemahan berhasil ditutupi berkat adegan bunuh-bunuhan ala Saw yang sukses membuat saya sakit perut. [***]


LET THE RIGHT ONE IN (2008)
Director
Thomas Alfredson
Cast
Lina Leandersson, Kare Hedebrant, Per Ragnar, Henrik Dahl, Karin Bergquist



Oskar (Kare Hedebrant) hanyalah seorang bocah laki-laki berumur 12 tahun yang kerap menjadi sasaran aksi bullying oleh anak-anak di sekolahnya. Bocah berkulit pucat tersebut seakan pantas menjadi sasaran jahil karena karakternya yang penyendiri dan badannya yang kurus. Ia tinggal di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota Stockholm bersama ibunya yang telah bercerai dengan sang ayah. Di sela waktu kosongnya di rumah, Oskar hanya bisa bermain sendiri di halaman gedung apartemennya. Suatu malam, Oskar melihat ada seorang anak perempuan pindah ke gedung tempatnya tinggal, bahkan tepat di sebelah apartemennya. Sosok gadis yang akhirnya diketahui bernama Eli (Lina Leandersson) tersebut tinggal bersama seorang pria dewasa yang diketahui sebagai ayahnya. Kehadiran Eli mengundang rasa penasaran dalam benak Oskar. Oskar pun mencoba mendekati Eli dan mengajaknya untuk berteman, meskipun awalnya Eli sudah memperingati Oskar bahwa ia tidak bisa berteman dengannya dan bukanlah sekedar gadis biasa secara kasat mata. Eli bukanlah manusia biasa, ia membutuhkan darah untuk bertahan hidup. Tiap malam manusia, eh, pria, eh, ayah yang tinggal dengan Eli membunuh orang-orang dan mengambil darahnya untuk keperluan nafsu Eli. Di sisi lain, Eli dan Oskar semakin dekat dan terbiasa bersama. Tanpa Oskar sadari, hubungan terlarang yang ia jalani itu lambat laun mengubah takdir kehidupannya.Akhirnya setelah penantian panjang saya berhasil nonton film adaptasi ini. Let The Right One In (Låt den rätte komma) diadaptasi dari novel dengan judul sama buah pena John Ajvide Lindqvist. Berkat respon positif yang diterima dari banyak pihak, tahun lalu Hollywood dengan percaya diri me-remake film ini dengan judul Let Me In dengan bintang Chloe Moretz. Mungkin banyak yang sudah mengerti jalan cerita bahkan kualitas plot cerita film ini karena telah nonton versi remakenya. Let The Right One In bukanlah horror vampir yang bertujuan untuk menakut-nakuti bahkan berisi adegan-adegan kekerasan atau kengerian ala kebanyakan horro lainnya. Film berdurasi 114 menit ini juga bukan film vampir yang mengetengahkan kisah cinta romantis antara manusia dan vampir konyol ala Twilight Saga. Sebagai sutradara, Thomas Alfredson mengadaptasi kisah dalam novel ke bentuk motion picture dengan sangat cantik. Kita tidak akan disuguhkan banyak dialog rumit, kisahnya sendiri tersuguhkan dengan sempurna oleh gaya penceriteraan yang kelam dan indah, berkat berbaurnya plot cerita dari novelnya sendiri yang memang sangat lambat namun kuat. Suasana kelam tercipta berkat sinematography yang diwarnai oleh pemandangan Swedia yang sepi dan klasik yang dijadikan setting lokasi cerita. Sepanjang durasi cerita mengalun dengan sunyi namun tegang, kental akan aspek drama yang tidak dilebih-lebihkan. Disamping fondasi film yang kuat dalam segi cerita, Let The Right One In pastinya berhasil mengumpulkan banyak respon positif berkat penampilan kedua karakter sentral yang sekelam plot cerita itu sendiri. Baik Lina maupun Kare tidak sekedar bermain dingin semata, tapi mereka berhasil menunjukkan sisi kemisteriusan seorang bocah yang masing-masing memiliki 'kelainan'. Walaupun bermain dengan baik, saya lebih menyukai Chloe Moretz dalam menjiwai karakter Eli, sedangkan karakter Oskar di versi asli ini tampil lebih baik daripada versi remake dengan menonjolkan keluguannya. [****]


TRIANGLE (2009)
Director Christopher Smith
Cast
Melissa George, Michael Dorman, Liam Hemsworth, Henry Nixon, Rachael Carpani


Di hari yang sangat cerah, lima orang kawan berlayar dengan sebuah yacht untuk berlibur sekaligus mencari udara segar di tengah laut. Mereka adalah Greg (Michael Dorman), Victor (Liam Hemsworth), Downey (Henry Nixon), Sally (Rachel Carpani), dan Heather (Emma Lung). Mereka juga mengajak Jess (Melissa George), seorang wanita single parent yang kini tinggal dengan putra satu-satunya, Tommy. Membesarkan anak seorang diri bukanlah hal yang mudah bagi Jess, apalagi Tommy mengidap kelainan mental. Kehadiran Jess untuk ikut bergabung bersama lima orang itu awalnya sempat mengundang tanda tanya bagi mereka karena ekspresi Jess yang tidak wajar dan keraguan yang terus-terusan dipertanyakan Jess. Wanita beranak satu tersebut seakan merasa ada kesialan yang akan mereka hadapi di perjalanan nanti. Perjalanan mengarungi laut awalnya aman-aman saja, tidak ada keganjilan, kerusakan pada kapal, ataupun cuaca yang tidak mendukung. Namun sayangnya semua itu berubah saat yacht mereka memasuki daerah gelap dan hantaman badai. Cuaca buruk tersebut lalu pergi dan sialnya membuat Heather tenggelam dan tidak dapat ditemukan. Keadaan seakan terasa akan membaik ketika mereka berpapasan dengan sebuah kapal pesiar besar dan menaikinya. Kapal tanpa awak tersebut kembali menghadapkan mereka kedalam sebuah tanda tanya besar, terutama saat Jess merasa dirinya pernah menaiki kapal aneh itu. Sayangnya kesialan kembali terjadi, satu per satu dari mereka, kecuali Jess, dibunuh oleh seseorang misterius, dan anehnya lagi mereka menuduh Jess adalah pembunuh tersebut.Triangle, awalnya saya mengira plot film ini adalah sekelompok orang yang sedang berlayar di segitiga bermuda dan terhantam ombak misterius. Walaupun tidak disebutkan, ada kemungkinan segitiga bermuda adalah setting tempat bahkan inspirasi dari pembuatan film ini. Sepanjang film kita akan dihadapkan oleh sebuah tanda tanya besar layaknya yang dialami oleh tokoh dalam film. Triangle bukanlah sebuah slasher umum yang menjadikan aksi kejar-kejaran atau bunuh-bunuhan sebagai inti cerita. Rasa penasaran akan kisah misteri film ini tidak bosannya menghinggapi diri saya, menimbulkan pertanyaan besar di dalam benak saya. Triangle adalah sebuah horror-mistery yang digarap sangat baik dengan mengedepankan unsur misteri tanpa memberikan tanda cerah yang bisa membantu penonton untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Sebagai sutradara, Christopher Smith layak diancungi jempol berkat garapannya yang satu ini. Triangle berjalan sangat lihai mengombang-ambingkan otak saya dalam rasa penasaran, membuat saya ternganga bahkan tidak bisa beranjak dari depan televisi. Perlu ditekankan lagi, Triangle bukanlah film yang memusatkan adegan kekerasan, lihat saja begitu terburu-burunya semua tokoh di-'matikan'. Tapi jangan salah, justru tiga puluh menit awal akan terus-terusan diulang untuk memberikan detail yang mungkin saja bisa membantu kita siapakah pembunuh bertopeng kain tersebut, atau mengapa kejadian tersebut terus diulang-ulang dengan eksistensi Jess yang tak ada habisnya. Semua coba diterangkan Smith dengan beberapa clue, yang saya yakin susah untuk membantu memahami keseluruhan plot film. Intensitas ketegangan semakin terbantu berkat penampilan Melissa George yang lincah dan gesit. Eksplorisasi karakter Jess juga dilakukan sangat detail. Triangle berhasil membuat saya tidak berhenti bertanya sampai beberapa jam setelah selesai menonton. Mungkin artikel ini malah menambah penasaran, tapi harus saya tekankan, Triangle bukanlah misteri mengenai time-loop maupun time-traveler, melainkan misteri hasil gabungan pecahan-pecahan twist yang tercerai berai dan mengharuskan penonton untuk menyusunnya. [****]