I SPIT ON YOUR GRAVE (2010)
Director Steven R. Monroe
Cast Sarah Butler, Jeff Branson, Andrew Howard, Chad Lindberg, Rodney Eastman
Cast Sarah Butler, Jeff Branson, Andrew Howard, Chad Lindberg, Rodney Eastman
Jennifer Hills (Sarah Butler) adalah seorang novelis wanita yang memutuskan untuk tinggal sementara di pinggir danau sebuah kota terpencil yang sangat sepi. Kedatangan Jennifer di kota itu dimanfaatkannya untuk mencari inspirasi dan ketenangan dalam menyelesaikan novelnya yang kedua. Berniat mengasingkan diri, ia pun datang sendiri ke kota tersebut tanpa mengajak teman maupun keluarganya, dan yang pasti tidak lupa untuk membekali dirinya dengan laptop dan keperluan lainnya. Setiba di daerah tujuan, wanita kurus tersebut mampir sebentar di sebuah pom bensin dan bertemu dengan tiga pria penduduk setempat, salah satunya Johnny (Jeff Branson). Namanya juga pria desa, eh, berandal desa, pasti ada saja yang mereka lakukan untuk menggoda pendatang apalagi orang tersebut adalah seorang wanita. Niat jahil mereka awalnya biasa saja, antara lain membuat suara-suara aneh bahkan melempar bangkai burung ke rumah yang ditempati Jennifer. Hal ini jelas mengganggu dan menakuti Jennifer. Belum puas dengan aksi jahilnya, Johnny dan dua kawannya mengajak seorang pria dungu bernama Matthew (Chad Lindberg) untuk mendatangi dan menjahili Jennifer secara langsung. Dimulai dari pelecehan fisik ringan, hingga mencapai klimaks yaitu pemerkosaan yang dilakukan satu per satu dari mereka. Ironisnya, Sheriff Storch (Andrew Howard) yang awalnya diharapkan Jennifer sebagai penyelamat ternyata juga salah satu dari mereka. Beberapa bulan paska kejadian itu Jennifer yang awalnya dikira hilang kembali lagi ke kota tersebut untuk membalas dendam atas kelima pria kejam yang menyiksa dirinya. Diremake dari film berjudul sama, I Spit On Your Grave versi 'laptop' ini bernasib sama dengan film aslinya yang dicekal oleh banyak negara karena kandungan subjek kekerasan dan seksualitas yang mendominasi sebagian besar durasi film. Saya belum menonton versi aslinya, jadi mungkin artikel saya ini agak berbeda karena hanya menilai dari sudut pandang saya yang hanya menonton versin remake-nya. Memakan waktu sepanjang 102 menit, I Spit On Your Grave nyatanya terlalu lambat dalam penceriteraan sehingga dibutuhkan waktu agak lama untuk kita menikmati point utama yang coba diangkat oleh sutradara Ste ven R Monroe. Hingga akhirnya keseluruhan inti cerita beserta bumbu-bumbu psycho muncul juga setelah saya menunggu sekitar satu jam. Tidak afdol memang kalau membicarakan sebuah slasher movie tanpa menyinggung adegan-adegan sadis dan seksualitasnya. Ketika saya menonton film dengan genre seperti ini, logika dan akal sehat saya buang jauh-jauh, karena pada hakekatnya slasher movie adalah sebuah genre yang harus diberikan perhatian lebih pada adegan-adegan sadis yang dijadikan fondasi kuat film tersebut. Adegan pemerkosaan terhadap Jennifer saya bilang agak nanggung, oke, bukannya saya tidak puas dengan konten seksnya yang 'memang nanggung', tapi setelah saya lihat potongan adegan dari film aslinya yang lebih frontal, harus saya katakan I Spit On Your Grave kali ini tidak sekontroversial versi dulunya, yang pasti dalam aspek adegan pemerkosaannya. Kelemahan lainnya datang dari eksploitasi pengembangan karakter Jennifer yang tidak dilakukan, sehingga timbul pertanyaan di benak saya, "Bagaimana bisa dia selamat dan baru datang berbulan-bulan?". Diluar semua itu, film remake ini sangat berhasil dalam menghadirkan aksi keji balas dendam yang dilakukan Jennifer. Walau digarap tanpa detail yang menjanjikan, semua kelemahan berhasil ditutupi berkat adegan bunuh-bunuhan ala Saw yang sukses membuat saya sakit perut. [***]
LET THE RIGHT ONE IN (2008)
Director Thomas Alfredson
Cast Lina Leandersson, Kare Hedebrant, Per Ragnar, Henrik Dahl, Karin Bergquist
Director Thomas Alfredson
Cast Lina Leandersson, Kare Hedebrant, Per Ragnar, Henrik Dahl, Karin Bergquist
Oskar (Kare Hedebrant) hanyalah seorang bocah laki-laki berumur 12 tahun yang kerap menjadi sasaran aksi bullying oleh anak-anak di sekolahnya. Bocah berkulit pucat tersebut seakan pantas menjadi sasaran jahil karena karakternya yang penyendiri dan badannya yang kurus. Ia tinggal di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota Stockholm bersama ibunya yang telah bercerai dengan sang ayah. Di sela waktu kosongnya di rumah, Oskar hanya bisa bermain sendiri di halaman gedung apartemennya. Suatu malam, Oskar melihat ada seorang anak perempuan pindah ke gedung tempatnya tinggal, bahkan tepat di sebelah apartemennya. Sosok gadis yang akhirnya diketahui bernama Eli (Lina Leandersson) tersebut tinggal bersama seorang pria dewasa yang diketahui sebagai ayahnya. Kehadiran Eli mengundang rasa penasaran dalam benak Oskar. Oskar pun mencoba mendekati Eli dan mengajaknya untuk berteman, meskipun awalnya Eli sudah memperingati Oskar bahwa ia tidak bisa berteman dengannya dan bukanlah sekedar gadis biasa secara kasat mata. Eli bukanlah manusia biasa, ia membutuhkan darah untuk bertahan hidup. Tiap malam manusia, eh, pria, eh, ayah yang tinggal dengan Eli membunuh orang-orang dan mengambil darahnya untuk keperluan nafsu Eli. Di sisi lain, Eli dan Oskar semakin dekat dan terbiasa bersama. Tanpa Oskar sadari, hubungan terlarang yang ia jalani itu lambat laun mengubah takdir kehidupannya.Akhirnya setelah penantian panjang saya berhasil nonton film adaptasi ini. Let The Right One In (Låt den rätte komma) diadaptasi dari novel dengan judul sama buah pena John Ajvide Lindqvist. Berkat respon positif yang diterima dari banyak pihak, tahun lalu Hollywood dengan percaya diri me-remake film ini dengan judul Let Me In dengan bintang Chloe Moretz. Mungkin banyak yang sudah mengerti jalan cerita bahkan kualitas plot cerita film ini karena telah nonton versi remakenya. Let The Right One In bukanlah horror vampir yang bertujuan untuk menakut-nakuti bahkan berisi adegan-adegan kekerasan atau kengerian ala kebanyakan horro lainnya. Film berdurasi 114 menit ini juga bukan film vampir yang mengetengahkan kisah cinta romantis antara manusia dan vampir konyol ala Twilight Saga. Sebagai sutradara, Thomas Alfredson mengadaptasi kisah dalam novel ke bentuk motion picture dengan sangat cantik. Kita tidak akan disuguhkan banyak dialog rumit, kisahnya sendiri tersuguhkan dengan sempurna oleh gaya penceriteraan yang kelam dan indah, berkat berbaurnya plot cerita dari novelnya sendiri yang memang sangat lambat namun kuat. Suasana kelam tercipta berkat sinematography yang diwarnai oleh pemandangan Swedia yang sepi dan klasik yang dijadikan setting lokasi cerita. Sepanjang durasi cerita mengalun dengan sunyi namun tegang, kental akan aspek drama yang tidak dilebih-lebihkan. Disamping fondasi film yang kuat dalam segi cerita, Let The Right One In pastinya berhasil mengumpulkan banyak respon positif berkat penampilan kedua karakter sentral yang sekelam plot cerita itu sendiri. Baik Lina maupun Kare tidak sekedar bermain dingin semata, tapi mereka berhasil menunjukkan sisi kemisteriusan seorang bocah yang masing-masing memiliki 'kelainan'. Walaupun bermain dengan baik, saya lebih menyukai Chloe Moretz dalam menjiwai karakter Eli, sedangkan karakter Oskar di versi asli ini tampil lebih baik daripada versi remake dengan menonjolkan keluguannya. [****]
TRIANGLE (2009)
Director Christopher Smith
Cast Melissa George, Michael Dorman, Liam Hemsworth, Henry Nixon, Rachael Carpani
Director Christopher Smith
Cast Melissa George, Michael Dorman, Liam Hemsworth, Henry Nixon, Rachael Carpani
Di hari yang sangat cerah, lima orang kawan berlayar dengan sebuah yacht untuk berlibur sekaligus mencari udara segar di tengah laut. Mereka adalah Greg (Michael Dorman), Victor (Liam Hemsworth), Downey (Henry Nixon), Sally (Rachel Carpani), dan Heather (Emma Lung). Mereka juga mengajak Jess (Melissa George), seorang wanita single parent yang kini tinggal dengan putra satu-satunya, Tommy. Membesarkan anak seorang diri bukanlah hal yang mudah bagi Jess, apalagi Tommy mengidap kelainan mental. Kehadiran Jess untuk ikut bergabung bersama lima orang itu awalnya sempat mengundang tanda tanya bagi mereka karena ekspresi Jess yang tidak wajar dan keraguan yang terus-terusan dipertanyakan Jess. Wanita beranak satu tersebut seakan merasa ada kesialan yang akan mereka hadapi di perjalanan nanti. Perjalanan mengarungi laut awalnya aman-aman saja, tidak ada keganjilan, kerusakan pada kapal, ataupun cuaca yang tidak mendukung. Namun sayangnya semua itu berubah saat yacht mereka memasuki daerah gelap dan hantaman badai. Cuaca buruk tersebut lalu pergi dan sialnya membuat Heather tenggelam dan tidak dapat ditemukan. Keadaan seakan terasa akan membaik ketika mereka berpapasan dengan sebuah kapal pesiar besar dan menaikinya. Kapal tanpa awak tersebut kembali menghadapkan mereka kedalam sebuah tanda tanya besar, terutama saat Jess merasa dirinya pernah menaiki kapal aneh itu. Sayangnya kesialan kembali terjadi, satu per satu dari mereka, kecuali Jess, dibunuh oleh seseorang misterius, dan anehnya lagi mereka menuduh Jess adalah pembunuh tersebut.Triangle, awalnya saya mengira plot film ini adalah sekelompok orang yang sedang berlayar di segitiga bermuda dan terhantam ombak misterius. Walaupun tidak disebutkan, ada kemungkinan segitiga bermuda adalah setting tempat bahkan inspirasi dari pembuatan film ini. Sepanjang film kita akan dihadapkan oleh sebuah tanda tanya besar layaknya yang dialami oleh tokoh dalam film. Triangle bukanlah sebuah slasher umum yang menjadikan aksi kejar-kejaran atau bunuh-bunuhan sebagai inti cerita. Rasa penasaran akan kisah misteri film ini tidak bosannya menghinggapi diri saya, menimbulkan pertanyaan besar di dalam benak saya. Triangle adalah sebuah horror-mistery yang digarap sangat baik dengan mengedepankan unsur misteri tanpa memberikan tanda cerah yang bisa membantu penonton untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Sebagai sutradara, Christopher Smith layak diancungi jempol berkat garapannya yang satu ini. Triangle berjalan sangat lihai mengombang-ambingkan otak saya dalam rasa penasaran, membuat saya ternganga bahkan tidak bisa beranjak dari depan televisi. Perlu ditekankan lagi, Triangle bukanlah film yang memusatkan adegan kekerasan, lihat saja begitu terburu-burunya semua tokoh di-'matikan'. Tapi jangan salah, justru tiga puluh menit awal akan terus-terusan diulang untuk memberikan detail yang mungkin saja bisa membantu kita siapakah pembunuh bertopeng kain tersebut, atau mengapa kejadian tersebut terus diulang-ulang dengan eksistensi Jess yang tak ada habisnya. Semua coba diterangkan Smith dengan beberapa clue, yang saya yakin susah untuk membantu memahami keseluruhan plot film. Intensitas ketegangan semakin terbantu berkat penampilan Melissa George yang lincah dan gesit. Eksplorisasi karakter Jess juga dilakukan sangat detail. Triangle berhasil membuat saya tidak berhenti bertanya sampai beberapa jam setelah selesai menonton. Mungkin artikel ini malah menambah penasaran, tapi harus saya tekankan, Triangle bukanlah misteri mengenai time-loop maupun time-traveler, melainkan misteri hasil gabungan pecahan-pecahan twist yang tercerai berai dan mengharuskan penonton untuk menyusunnya. [****]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar