infolinks

Rabu, 23 Maret 2011

[Review] GNOMEO & JULIET (2011)

"A little adventure goes a lawn way"
Director :
Kelly Asbury

Cast :
James McAvoy
Emily Blunt
Michael Caine
Maggie Smith
Ashley Jensen

Distributor :
Touchstone Pictures

Genre :
Animation, Comedy, Family, Romance, 3D








Setelah berpuluh-puluh kali karyanya dijadikan referensi maupun naskah dasar suatu adaptasi film, kali ini untuk kesekian kalinya karya William Shakespeare diadaptasi kedalam bentuk motion picture. Adalah Gnomeo & Juliet, animasi keluarga yang perilisannya memanfaatkan momen sebelum hari Valentine tahun ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah film akan lebih diuntungkan bila mengatur tanggal rilis bertepatan atau disekitar hari-hari penting dan memorable. Tetapi disamping hal tersebut, Gnomeo & Juliet menset momen itu juga sebagai pendukung plot cerita yang mengetengahkan kisah cinta. Kembali ke topik pembuka, dari judul saja sudah terbesit dengan jelas karya Shakespeare apa yang menjadi fondasi kuat animasi awal tahun 2011 ini, tak usah saya sebutkan pasti anda tahu kan apa yang saya maksud. Walau sebelumnya sudah dibuat adaptasi layar lebar dengan bintang Leonardo DiCaprio, Kelly Asbury (Shrek 2, Spirit: Stallion of Cimarron) sepertinya masih bisa percaya diri membuat ulang dengan bentuk animasi. Tidak mau sendirian, ia mengajak delapan orang lainnya untuk bersama-sama 'mengeroyok' naskah tragis Romeo and Juliet yang dewasa menjadi sebuah cerita ringan, lucu, dan menarik bagi semua kalangan. Nama-nama terkenal bahkan legendaris berjejer satu persatu sebagai pengisi suara film ini. Dipimpin James McAvoy (Wanted, Atonement) dan Emily Blunt (The Wolfman, The Young Victoria) yang mengisi suara kedua karakter sentral, Gnomeo & Juliet coba 'pamer' dengan menggandeng beberapa nama besar seperti Jason Statham (Transporter, Crank) sampai bintang rock legendaris Ozzy Osbourne.
Memiliki rumah bersebelahan tidak selalu mendukung timbulnya keakuran. Itulah yang dialami Mrs. Montague (Julie Waters) dan Mr. Capulet (Richard Wilson) dari dulu sampai sekarang. Sekali saja mereka bertemu atau berpapasan, pasti ada saja yang diperdebatkan. Namun perseteruan mereka tidak pernah berakhir walaupun keduanya sedang tidak bertemu, ternyata gnome atau hiasan kebun kedua orang itu mengalami hal serupa. Gnome-gnome kecil itu akan berubah menjadi hidup layaknya manusia kalau majikan mereka sedang tidak mengawasi. Layaknya Mrs. Montague dan Mr. Capulet, kubu terbagi menjadi dua. Ada gnome biru milik Mrs. Montague, ada juga gnome merah milik Mr. Capulet. Gnome biru diketuai oleh Lady Bluebury (Maggie Smith), sedangkan gnome merah diketuai oleh Lord Redbrick (Michael Caine). Setiap waktu pasti ada saja yang dipermasalahkan kedua kubu ini, yang penting tercipta kepuasan tersendiri di masing-masing kubu. Perselisihan turun temurun ini seakan 'tercoreng' oleh pertemuan tidak sengaja yang terjadi antara Gnomeo (James McAvoy) dan Juliet (Emily Blunt) yang berubah menjadi cinta. Gnomeo adalah putra dari pemimpin gnome biru, sedangkan Juliet adalah putri dari pemimpin gnome merah. Miris memang, disaat cinta terlarang ini tumbuh semakin kuat di benak masing-masing pihak, permusuhan yang terjadi antara kedua kubu gnome berlangsung semakin panas dan tak terkendali.
Jangan mengharapkan kisah tragis dan kelam Romeo and Juliet akan kembali mewarnai plot cerita animasi yang satu ini. Sebaliknya, Gnomeo & Juliet berjalan dengan kisah yang malahan lucu dan lebih ringan, walaupun kisah cinta dilematis tetap mendasari hubungan antara Gnomeo dan Juliet. Memang tidak mengejutkan hal ini terjadi, karena pada dasarnya film ini adalah animasi yang ditujukkan bagi penikmat film ringan nan menghibur. Tidak bisa dipungkiri keberhasilan tim yang mengurusi segala hal teknik film ini. Gnomeo & Juliet terbukti berhasil menghadirkan desain animasi yang sangat memanjakkan mata dengan tekstur warna yang sedemikian cerah dan detail-detail pencahayaan terang benderang yang berpadu dengan baik sehingga membantu kesempurnaan teknik animasi. Keberhasilan hal teknik ini semakin terasa berkat tembang-tembang lagu Sir Elton John dalam mengiringi banyak adegan. Suasana pun berpadu menjadi ceria dan berwarna sehingga durasi 82 menit yang terbilang singkat tidak terasa barjalan sedemikian cepat. Gnomeo & Juliet bukanlah film Pixar bahkan DreamWorks yang terkenal dengan gaya penceritaan dan teknik animasi berkualitas dan tidak jarang dijuluki 'kelas Oscar'. Tapi sangat disayangkan cerita berjalan tanpa improvisasi besar yang menjanjikan sehingga naskah tidak terlihat sebagai fondasi utama penambah nilai plus. Oke, saya tidak mengharapkan kemajemukkan cerita dan visual mahakarya layaknya Toy Story atau Avatar bahkan kedewesaan kisah berbalut visual kelam layaknya 9 atau The Illusionist. Tapi jangan lupakan tim 'perombak' naskah yang beranggotakan sembilan orang itu, apa yang mereka kerjakan? Rasanya jumlah orang seekstrim itu harusnya mampu membuat film dieksplorisasi lebih tinggi dengan eksploitasi cerita yang jauh lebih kuat dan berkualitas. Lupakan hal tersebut, karena mungkin mereka punya alasan bahwa Gnomeo & Juliet ditujukkan bagi anak-anak yang hanya peduli oleh segi visual dan lelucon maupun tingkah laku karakter yang humoris. Diluar kelemahan naskah yang telah saya singgung, film animasi ini mampu mengeksploitasi sisi humoris cerita dengan banyak dialog berisi lelucon yang tidak bisa dipungkiri kelucuannya dalam membuat saya mengeluarkan tawa besar. Dari segi pengisi suara, hmm, rasanya tidak penting disinggung, karena menurut saya pribadi siapapun yang mengisi tetap saja tidak bisa memberikan kontribusi besar bagi peningkatan kualitas film. Oke, Nanette adalah tokoh yang paling mengundang perhatian saya, bukan karena suaranya melainkan dialog-dialognya yang mendominasi sisi humoris dalam film. Ada juga sekumpulan gnome supermini dari kubu merah yang mengundang tawa lewat gerak-gerik dan suara mereka yang unik dan konyol, hmm, mirip minions-nya Despicable Me.
Talking point...
Diluar kemiskinan eksploitasi naskah yang seharusnya dilakukan dan premis sederhana maupun ending yang predictable, Gnomeo & Juliet tetaplah animasi wajib tonton berkat dukungan dominasi visual animasi yang eye-candy dan lelucon-lelucon yang melahirkan citra dan pesona yang sangat menyenangkan.

Rate :
3 out of 5

Kamis, 17 Maret 2011

[Review] MORNING GLORY (2010)

"Breakfast TV just got interesting"
Director :
Roger Michell

Cast :
Rachel McAdams
Harrison Ford
Diane Keaton
Patrick Wilson
Jeff Goldblum

Distributor :
Paramount Pictures

Genre :
Comedy, Romance









Dari sutradara Notting Hill, Roger Michell, dan penulis naskah The Devil Wears Prada, Aline Brosh McKenna--dua kedudukan ini mungkin yang dijadikan daya tarik tersendiri untuk menarik minat penonton. Bukti utama bisa dilihat dari poster yang jelas-jelas menampangkan kedua kedudukan tersebut. Masih mengusung komedi yang agaknya boleh dibilang komedi berkualitas, Morning Glory nyatanya tidak jauh beda dengan The Devil Wears Prada, masih mengulang unsur dan suasana plot serupa. Inti cerita yang diusung pun memiliki 'aroma' yang sama, ketidakcocokkan antara atasan dan bawahan. Bedanya kalau The Devil Wears Prada mengambil setting cerita di perkantoran biasa sebagai inti konflik yang mendasari jalannya film, Morning Glory tampil agak beda dengan menggunakan lingkungan produksi pertelevisian sebagai tempat munculnya segala hal yang menjadi perbincangan dalam film. Dibintangi oleh beberapa aktor terkenal, sebut saja Rachel McAdams (The Notebook, Sherlock Holmes), aktris yang namanya semakin melejit lewat peran antagonisnya di Mean Girls, dan lebih melejit lagi dengan kualitas sebagai imbangannya lewat The Notebook. Selain setting pertelevisian yang menjadi daya pikat saya untuk nonton Morning Glory, Rachel yang menurut saya agak mirip Anne Hathaway adalah megnet primer yang semakin membentuk gaya tarik-menarik bagi khalayak banyak. Ia ditemani oleh dua aktor senior, Harrison Ford (Indiana Jones chronicles, The Devil's Own) dan Diane Keaton (The Godfather, Plan B). Tidak ketinggalan Patrick Wilson (Watchmen, The Switch) turut melengkapi film untuk menambah sedikit 'keramaian'. Rachel McAdams adalah Becky Fuller, seorang wanita karir yang bekerja sebagai produser acara televisi pagi, Good Morning New Jersey. Bekerja tanpa masalah dan beban, mungkin itulah yang membuat dia menikmati pekerjaan yang mengharuskan dirinya bangun tiap jam satu pagi, eh, malam. Nasib berkata lain pada dirinya, walaupun menjalankan tugasnya dengan rapi, perusahaan terpaksa memberhentikan Becky dari pekerjaannya alias di-PHK dengan alasan pengurangan budget pengeluaran. Hari demi hari ia jalani dengan kosong tanpa aktivitas rutin hingga akhirnya ia mencoba melamar kerja di beberapa perusahaan televisi. Usaha berbuah manis saat tawaran datang pada dirinya untuk memproduseri acara televisi pagi yang sedang mengalami kemunduran, Daybreak. Daybreak mungkin dipadang sebelah mata, selain ratingnya yang merosot tajam, morning show ini tidak memiliki kepopuleran yang tinggi. Becky Fuller pun bertanggung jawab untuk menaikkan pamor dan kualitas Daybreak. Tindakan pertamanya yang memecat Paul McVee (Ty Burrell) ternyata malah menambah masalah bagi dirinya saat terjadi kekosongan pembawa acara. Ia pun memilih seorang pembawa acara senior terkenal, Mike Pomeroy (Harrison Ford), untuk mendampingi Colleen Peck (Diane Keaton). Mike yang tidak bisa akur dengan Colleen memberi imbasnya pada acara pagi itu dan Becky sendiri yang tambah sulit untuk mengatur Daybreak. Tidak mau gagal lagi, ia pun mencoba segala trik untuk menaikkan rating Daybreak dan membuat Mike dan Colleen akur. Di sisi lain Becky manjalin hubungan dengan Adam Bennett (Patrick Wilson), produser acara lain di televisi yang sama. Adalah kenyataan bahwa Morning Glory mengusung jalan dan setting cerita yang agak mirip dengan The Devil Wears Prada (TDWP). Wajar saja kalau film berdurasi 107 menit ini berdiri dibalik bayang-bayang TDWP. Lihat saja konflik yang dijadikan plot cerita, ketidakcocokkan antar sesama pekerja. Tapi bedanya kalau TDWP lebih menekankan seorang bawahan yang harus menghadapi atasannya yang ribet, Morning Glory berfokus pada seorang atasan yang mau tidak mau harus memerangi kedua bawahannya yang saling 'tolak-menolak'. Saya ngga tahu apa yang ada dipikiran para kritikus maupun orang-orang yang mengkritik negatif film ini, apa mungkin banyak orang yang hanya sekedar ikut-ikutan dalam menilai kualitas film ini? Morning Glory nyatanya masih bisa memberikan sebuah komedi ringan yang sangat menghibur dan manis untuk ditonton. Dengan plot yang tidak rumit dan naskah yang sederhana, Morning Glory adalah tontonan yang memiliki garis penceriteraan yang mulus tanpa dirumit-rumitkan. Secerah dengan waktu tayang Daybreak di pagi hari, film ini tampil sedemikian cerah dengan tampilan film yang segar berkat editing yang bisa dibilang eye-candy lewat tampilan-tampilan scene berita yang menyenangkan dan membuat film lebih hidup. Mungkin sisi dalam kehidupan pertelevisian yang diangkat dan diulik Morning Glory menjadi pesona tersendiri yang tumbuh sepanjang durasi. Tidak hanya sekedar menghibur, di sisi lain film berhasil menggambarkan bagaimana seluk beluk dan apa saja sih yang terjadi di balik layar acara-acara televisi yang sering kita tonton seperti Daybreak. Suatu nilai plus yang tidak hanya menaikkan rating acara televisi fiktif Daybreak, tapi juga memberikan rating positif bagi film Morning Glory sendiri. Membicarakan pesona film jangan dilupakan performa akting para pemain. Rachel McAdams adalah daya tarik utama yang sukses menunjukkan ketegasan dan kekuatan seorang wanita pemimpin yang dipadukan oleh watak humoris yang terkadang konyol dalam diri seorang Becky Fuller. Karakter ini seakan menjadi fondasi kuat yang tidak ubahnya adalah nyawa film itu sendiri. Sedangkan Diane Keaton dan Harrison Ford cukup memberikan kontribusi pentingnya dengan tidak menghilangkan kharisma senior mereka yang juga lucu, walau kadang Ford bermain agak kaku dan tidak selincah Diane. Kehadiran Patrick Wilson tidak bisa terlalu dinilai negatif, walau kurang signifikan, karakternya yang melengkapi sub-plot cerita cukup membantu keragaman konflik sehingga tercipta kemajemukkan dan pengimbangan cerita. Morning Glory adalah komedi segar dengan lelucon-lelucon 'plong' yang berhasil menghibur lewat penggambaran asli kehidupan pertelevesian dan perekonomian Amerika masa kini.
Talking point...
Morning Glory adalah komedi segar dengan lelucon-lelucon 'plong' yang berhasil menghibur lewat penggambaran asli kehidupan pertelevesian dan perekonomian Amerika masa kini.

Rate :
3.5 out of 5

Selasa, 15 Maret 2011

DRIVE ANGRY (2011)

"All Hell Breaks Loose"
Director :
Patrick Lussier

Cast :
Nicolas Cage

Amber Heard
Billy Burke

William Fichtner
David Morse

Distributor :
Summit Entertainment

Genre :
Action, Thriller, Supernatural, 3D









Lirik dulu posternya; Yap, Nicolas Cage (National Treasure, Sorcerer's Apprentice). Jangan sampai salah mengenali pria berambut gondrong nanggung ini. Lalu siapa 'pajangan' yang duduk di sebelah jok Cage? Yap, Amber Heard (Zombieland, Pineapple Express). Cewe yang mungkin menjadi nilai tambah apalagi bagi kalangan pria ini--shit, hate to say this--baru-baru ini mengaku bahwa dirinya adalah seorang lesbian. Tidak hanya mereka berdua, film yang lebih layak dimasukkan ke dalam 'perbendaharaan' film kelas-B ini juga dipermanis oleh beberapa aktor yang tidak setenar Cage, sebut saja Billy Burke (Twilight, New Moon) dan William Fichtner (Crash, Armageddon). Diarahkan oleh Patrick Lussier (Dracula 2000, White Noise 2: The Light), Drive Angry ikutan unjuk gigi lewat teknologi 3D yang juga disematkan ke dalam film ini, ya, selain menambah pundi-pundi uang mungkin juga agar film tambah 'dikenal' kemunculannya. Saya tak terlalu mengerti mengapa ada 'film bule' bisa masuk ke Indonesia, tapi menurut beberapa penjelasan yang saya baca hal ini dikarenakan Drive Angry tidak termasuk 'film MPAA'. Tapi semoga saja direktorat pajak negeri Indonesia yang menyedihkan ini, dan juga pihak Hollywood membuka jalan keluar yang lebar bagi masuknya film-film Hollywood yang masih saya tunggu sampai sekarang. Sebagai tambahan, anda yang nonton film ini di bioskop Indo mungkin mengalami hal yang sama dengan saya; subtitle dengan font besar, aneh, dan kadang beberapa dialog tidak diterjemahkan. John Milton (Nicolas Cage) adalah sosok misterius, berambut aneh, dan tiba-tiba saja muncul di permukaan bumi ini--ya, Milton merupakan orang yang sesungguhnya telah mati dan masuk ke neraka, dan kembali ke bumi untuk menjalankan suatu misi. Misi kedatangannya ke bumi tidak lain adalah untuk menyelamatkan ekistensi satu-satunya sisa keturunannya, yaitu sang cucu. Dikisahkan anak Milton dibunuh oleh seorang pemimpin sekte aliran sesat pemuja setan bernama Jonah King (Billy Burke). Pria sadis itu tidak enggan menculik bayi wanita tersebut, alias cucu Milton, untuk dijadikan tumbal dan akan dibunuh tepat di hari bulan purnama. Menurut mereka bayi tidak bersalah ini adalah kunci terbukanya jalan menuju neraka dan menguasai seluruh dunia. Di bumi Milton bertemu dengan Piper (Amber Heard), wanita yang baru saja berhenti bekerja sebagai pramusaji sebuah kafe kecil. Berawal dari Milton numpang mobil Piper, lalu ikut campur dalam permasalahan cinta wanita tersebut dengan pacarnya, Piper terpaksa ikut Milton berkelana dan setelahnya Piper merasa dirinya terpanggil untuk menemani Milton. Sambil berusaha memburu sekte sesat yang menculik cucunya, ternyata ada orang, eh, pihak lain yang memburu Milton. Ia adalah sosok tanpa nama yang menamai dirinya dengan sebutan The Accountant (William Fichtner), 'sipir' neraka dengan misi menangkap Milton yang kabur dari 'penjara'. Perburuan berantai pun dimulai--sipir mengejar tahanan, tahanan mengejar penculik. Tidak ketinggalan Piper yang mempertanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hari yang sangat sial itu. Jujur sampai sekarang saya belum lihat trailer film ini, hanya sebatas poster yang saya jadikan informasi utama. Dilihat dari posternya mungkin tidak tertebak apa tema maupun inti cerita film ini. Tapi kalau dilihat dari Nic Cage di poster film ini, cerita semacam Ghost Rider yang terlintas di pikiran saya. Jawabannya; hampir. Drive Angry ternyata mengusung tema yang mirip dengan Ghost Rider. Sosok dari neraka datang ke bumi, tapi bedanya kendaraan yang hadir di Drive Angry murni made in earth. Meskipun banyak yang menganggap Drive Angry terlalu berlebihan dalam mengeksploitasi sex dan kekerasan tanpa mempedulikan segi cerita, Drive Angry nyatanya masih bisa dikategorikan sebagai film yang menghibur. Jika ditelusuri plot ceritanya, mungkin penonton, termasuk saya, menganggap film berdurasi 104 menit ini menghadirkan jalan cerita yang terlampau aneh dan gampang dijumpai dalam beberapa film. Di luar kedangkalan jalan cerita yang konyol, Drive Angry mampu menghibur kita dengan komposisi action yang hampir mendominasi durasi film. Dari awal sampai akhir film terus berjalan dengan mengeksploitasi action blak-blakkan dan kekerasan di adegan demi adegan. Ya, semua fitur ini terus-terusan dieksploitasi diluar batas tanpa henti, tapi tetap saja menciptakan suatu hiburan yang sangat baik dan tidak tanggung-tanggung. Kehebatan fitur action yang digarap baik oleh Patrick Lussier ini mungkin pengaruh dari pengalaman Patrick yang sebelumnya sering menggarap ataupun bergabung dalam tim di film-film sejenis seperti My Bloody Valentine 3D dan Scream. Secara keseluruhan, semua hal ini berhasil menutupi kedangkalan unsur cerita. Teknologi 3D yang dipakai juga tidak murahan, menggunakan embel-embel 'shot-in-3D', lagi-lagi eksploitasi 3D disematkan dengan baik lewat adegan berdarah-darah, ledakan-ledakan, hingga balapan mobil. Ya, namanya juga film kelas-B--sebuah cap bagi film-film yang mengandung eksloitasi besar-besaran terhadap unsur sex, kekerasan, dan banyak subjek ekstrim. Dari departemen akting tidak ada yang menonjol, walau bermain cukup baik namun Nic Cage tetap saja tidak memberikan perubahan besar bagi kualitas karirnya yang semakin menurun. Selain itu dengan berani dan sangar Amber Heard bermain cukup baik, malah Billy Burke rasanya yang lebih pantas di cap sebagai pemanis film. Dan jangan tertipu oleh posternya, Drive Angry bukanlah film yang pantas dipelototi anak kecil, walau beberapa nudity dan sex scene telah disensor, tetap saja kata-kata kasar dan kekerasan bersebaran dimana-mana. Well, walau plot cerita yang diusung terlihat murahan, Drive Angry terbukti unggul dalam mengeksploitasi semua unsur penting dalam kelas-B yang berhasil sampai di garis finish; menghibur.

Rate :
3/5

Kamis, 10 Maret 2011

[Quick Five] Random Average Movies

Well, namanya juga demen nonton kayak saya, pasti ngga ada berhentinya nonton film. Dari yang honorable mention sampai yang sampah pun tetap aja saya tonton. Nah, tapi masalahnya ada nih. Namanya juga suka nulis kayak saya, pasti ngga ada berhentinya mau bagi artikel di blog ini. Tapi ada lagi nih masalahnya, namanya juga anak sekolahan kayak saya, pasti ada waktunya capek dan males nulis review. Makanya itu lima film yang saya tulis di post ini disatukan dan dipersingkat aja ya, lumayan, hemat waktu. Ngomong-ngomong ini semua film ini ngga saya tonton dalam rentang waktu singkat, ada yang udah saya tonton lama dan baru kepikiran di post sekarang.

Sekelompok orang-orang jail nan kreatif melakukan banyak aksi ekstrim dan frontal. Mereka tidak lain adalah sekelompok stunt 'handal' di bidang ini yang sebelumnya terkenal lewat serial dan kedua prekuelnya. Hadir tanpa naskah/plot cerita, mungkin bisa dibilang semi-documentary, cukup kegilaan yang menghidupkan durasi film.

Jackass is back! Yap, acara gila nan sinting yang menampilkan berbagai aksi konyol dan gila para krunya ini kembali setelah lama tidak dijumpai di layar kaca. Jackass sendiri sebelumnya muncul pertama kali sebagai serial gokil di stasiun MTV. Tidak ketinggalan pula dua versi film yang mendahului Jackass arahan Jeff Tremaine ini. Mengusung format 3D--mungkin sebagai media penambah intensitas keseruan, Jackass 3D tetap mengajak kru gila teranyar seperti Johnny Knoxville dan Steve-O untuk kembali beraksi di depan kamera. Bedanya kali ini Jackass hadir lebih gila dengan banyak media jahil yang lebih sinting dan menjijikan! Intensitas kegilaan dikembangkan perlahan dari awal durasi hingga klimaksnya tercapai di pertengahan. Well, tidak usah menggali kualitas Jackass 3D, cukup tonton dan nikmati, satu kata yang akan terlintas di pikiran anda...GILA! And beware, the shits they brought to us is very...disgusting. [***]

Dua detektif tidak dianggap atau bisa dibilang loser di kalangan lingkungan kerjanya, Allan Gamble (Will Ferrell) dan Terry Hoitz (Mark Wahlberg), berusaha memperbaiki status dan popularitas mereka. Peluang terbuka saat dua detektif terhormat kebanggan NYPD, Cristopher Danson (Dwayne Johnson) dan PK Highsmith (Samuel L. Jackson) tewas di dalam tugasnya. Di luar kedukaan yang sedang terjadi, semua polisi pun berusaha untuk menjadi tenar seperti dua orang itu, termasuk Allan dan Terry. Tapi yang namanya usaha pasti ada aja penghalangnya, antara lain perbedaan watak kedua loser ini.

The Other Guys tumbuh dengan naskah yang, bisa saya bilang sangat sederhana dan ringan. Tidak terlalu memanfaatkan unsur komedi, film menjadi menjenuhkan untuk diikuti. Suasana yang tercipta di film sendiri kaku dan tidak berwarna. Kalau diibaratkan, film bagaikan padang pasir; tandus. Ya, despite all the good reviews people wrote, menurut saya film ini kurang menarik dan membosankan. Humor dan lelucon yang mewarnai dialog antar pemain juga agak jayus dan bertele-tele. Kalau urusan chemistry, Ferrel dan Wahlberg boleh lah dipuji, tapi komedi yang diusung sebagai genre film ini agak gagal dan dipaksakkan. Dari awal saya emang tidak tertarik untuk nonton film ini, tapi ya namanya juga penasaran. Well, The Other Guys hanyalah komedi sederhana nan ringan yang terlalu merumit-rumitkan jalan cerita. [**]

Bercerita mengenai tujuh orang sahabat di masa SMA yang kembali berkumpul setelah enam tahun tidak bertemu. Momen bahagia ini selain dijadikan ajang reuni sekalian untuk menghadiri pernikahan antara Lila (Anna Paquin) dan Tom (Josh Duhamel); yang merupakan anggota dari tujuh orang yang menyebut mereka dengan nama The Romantics. Konflik mulai muncul saat Laura (Katie Holmes)--salah satu dari mereka yang juga mantan kekasih Tom--ternyata masih memendam perasaan kepada Tom.

Bisa kita tebak apa premis yang menjadi bahasan utama di film romansa ini; love-triangle atau cinta segitiga. Premis yang bagus bukan untuk sebuah film independen kelas festival? Apalagi dihiasi oleh nama-nama yang tidak asing lagi di kancah perfilman apalagi di genre seperti ini. Sebut saja ketiga tokoh utama yang sudah saya sebut diatas. Sayangnya Galt Neiderhoffer gagal mengembangkan premis ini menjadi sebuah plot yang menarik untuk diikuti. Alhasil film sangat membosankan dan arah ceritanya sangat tertebak. Walaupun begitu pengembangan naskah yang dilakukan sutradara boleh dikatakan lumayan sehingga waktu satu hari yang dijadikan setting jalannya cerita cukup logis, tapi tetap saja kaku. Harus ditekankan, semua tokoh diperankan setengah-setengah, mungkin kesalahan ada di tangan Galt yang tidak melakukan pengembangan karakterisasi tokoh, bahkan empat kawan lainnya terasa hanya sebagai tempelan pelengkap. Well, The Romantics tidak memberikan suatu tontonan menarik dan hanya membuang waktu 92 menit yang dimakan durasi, andai saja filmnya dibagusin dikit mungkin aja ada Team Lila / Team Laura, ha! [**]

Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist) adalah seorang jurnalis media Millenium yang divonis tiga bulan penjara karena kalah melawan seorang konglomerat di pengadilan. Di sisi lain ada juga Lisbeth Salander (Noomi Rapace), seorang hacker wanita berpenampilan sangat eksentrik yang sedang menguntit keseharian Mikael dengan meng-hack komputernya dalam rangka menyelidiki kasus yang tengah dirundung oleh pria itu. Karena suatu kebetulan mereka berdua malah bekerjasama menyelidiki kasus hilangnya Harriet Vanger (Ewa Fröling)--keponakan konglomerat Henrik Vanger (Sven-Bertil Taube). Mereka pun bekerja sama untuk mengungkap kasus lama yang sampai kini belum mencapai titik terang.

The Girl With The Dragon Tattoo adalah salah satu film ter-detail yang pernah saya tonton sampai sekarang, saya tekankan lagi; detail. Semua hal dijelaskan sangat detail dengan memaparkan akar permasalahan sampai inti dan mencapai klimaks. Film dimulai sangat baik dengan menjelaskan latar belakang tiga cerita karakter yang nantinya akan melebur jadi satu dalam satu konflik. Durasi 152 menit dimanfaatkan sangat bijak dengan menceritakan segala seluk beluk masalah yang didera ketiga karakter yang awalnya terpisah. Salah satu phsycology-thriller terbaik yang pernah ada dengan penampilan Noomi Rapace yang sangat rapi, memaparkan misteri seru yang membuat saya ikutan emosi menjalani detik demi detik waktu berjalan. Atmosfir keseruan berhasil tercipta layaknya sebuah labirin dimana saya berperan sebagai pencari jalan di labirin tersebut untuk berusaha mencapai pintu keluar atau puncak cerita. Memang sih awalnya cerita bergulir agak lambat, tapi ya itulah harga yang harus dibayar kalau mau tau secara jelas segala faktor dan tujuan plot cerita. Well, mungkin ada beberapa hal tidak dijelaskan disini hingga terasa ganjal, tapi tenang, kan ada lanjutannya; The Girl Who Played With Fire. [****]
Yang pertama menceritakan sekelompok pelajar dari sekolah elit yang terpilih untuk menjalani bimbingan belajar khusus yang diberikan sekolah untuk membantu masuk ke universitas bagus. Mereka hanyalah siswa-siswi peringkat teratas yang dapat ikut program khusus ini. Nasib berkata lain kepada semua orang ini, mereka terjebak dalam permainan hidup-mati oleh seorang misterius. Pembunuhan berantai berjalan dimulai dari ranking satu. Sedangkan yang kedua bersetting dua tahun kemudian, di lain sekolah, dimana tiga puluh pelajar berprestasi mengikuti study-camp di musim panas untuk latihan masuk ke universitas. Kejadian di film pertama pun kembali terulang, agak sama seperti yang pertama; kejadian dihubung-hubungkan dengan past-case kematian seorang murid di sekolah tersebut.
Bagi anda penggemar slasher-horror jangan lupakan film Korea yang satu ini, eh, saya koreksi, yang pertama saja. Death Bell adalah salah satu slasher produksi Asia terbaik yang pernah saya tonton. Menggabungkan beberapa aliran, dimulai dengan unsur horror hingga merubah atmosfir horror itu dengan sebuah misteri yang dibalut dengan aksi bunuh-bunuhan ala franchise SAW, cukup bagus dan mengerikan. Misteri yang ditawarkan berhasil membuat saya ikutan main tebak-tebakan siapa pelaku dibalik kecerdikan jahat ini. Film tidak membosankan dan seru. Kalau diibaratkan, slasher ini hasil sama dengan SAW+Final Destination+Detective Conan. Seperti yang saya katakan tadi, seri pertama saja yang saya rekomendasikan. Yang kedua jelas tidak. Tidak adanya benang merah yang menghubungkan plot cerita antar seri pertama dan kedua bisa saja dieksplor lebih jauh dan lebih bagus, tapi sayang Death Bell: Bloody Camp tidak memiliki sebagian unsur yang saya rasakan di pendahulunya. Yang saya rasakan? Tidak ada tebak-tebakan, misteri, bahkan SAW-experience tidak dimasukkan dengan dahsyat disini. All the good point the first film had totally gone. Well, Death Bell berhasil menawarkan gairah horror dan dibaurkan dengan misteri tegang didalamnya, sedangkan sekuelnya harus saya bilang gagal dan terlalu dipaksakan. [1***] [2**]

Sabtu, 05 Maret 2011

LIFE AS WE KNOW IT (2010)

"A comedy about taking it one step at a time"
Director :
Greg Berlanti

Cast :
Katherine Heighl
Josh Duhamel
Clagett Sisters
Josh Lucas
Christina Hendricks

Distributor :
Warner Bros. Pictures

Genre :
Comedy, Drama









Tahun 2010 memang tahun penuh warna. Berbagai jenis film menyemarakkan tahun terakhir di dasawarsa pertama milenium ketiga ini. Mulai dari sekuel, remake, adaptasi, animasi, hingga yang paling heboh adalah penggunaan teknologi 3D yang pastinya dimanfaatkan untuk menambah angka pendapatan pihak distributor--mirisnya banyak dari film berembel-embel 3D yang ternyata 'membohongi' publik. Oke kembali ke topik, tidak ketinggalan genre rom-com untuk kesekian kalinya berlomba-lomba untuk menarik perhatian khalayak banyak. Salah satunya adalah Life As We Know It. Film ini merupakan karya penyutradaraan Greg Berlanti yang kedua, setelah sebelumnya mengarahkan film debutnya yang berjudul The Broken Hearts Club: A Romantic Comedy. Untuk pertama kalinya Katherine Heighl (Knocked Up, The Ugly Truth) main bareng Josh Duhamel (Transformers, Turistas) dalam satu frame. Dua orang ini pastinya sudah terkenal langganan di kancah rom-com. Selain itu dua orang ini sama-sama 'tumbuh' di bidang pertelevisian, sebut saja Grey's Anatomy yang Katherine bintangi dan serialnya Duhamel, All My Children. Film ini didukung oleh beberapa pemain seperti Josh Lucas (Poseidon, Hulk).Diceritakan Holly Berenson (Katherine Heigl) adalah wanita pemilik sebuah kafe roti dan hidup dengan teratur dan rapi. Sedangkan Eric Messer (Josh Duhamel) adalah pria yang bekerja di stasiun tv dan hidup bebas dan tidak sebagaimana yang Holly jalani. Mereka berdua adalah sahabat karib dari pasangan Peter Novak (Hayes MacArthur) dan Alison (Christina Hendricks) yang telah menikah dan kini memiliki seorang putri, Sofie (Clagett Sisters). Sampai pernikahan mereka Holly dan Eric tak kunjung dapat pasangan hidup. Hal ini membuat Novak dan Alison berniat untuk menjodohkan mereka berdua. Tapi nyatanya karena perbedaan sifat dan watak, dua orang ini pun tidak bisa dipersatukan. Perjodohan tersebut malah membuat keduanya sering berantem kalau ketemu. Suatu hari musibah menimpa diri Novak dan Alison, mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Hal ini membuat Sofie menggoyong status 'yatim-piatu'. Tak disangka Holly dan Eric pun tertimpa 'sial' karena kejadian ini. Mereka didaulat menjadi orang tua asuh dari Sofie--berdasarkan surat wasiat yang dibuat sendiri oleh orang tua Sofie yang malang tersebut. Tanpa memperdulikan ketidakcocokkan masing-masing, mereka berdua harus tinggal satu atap untuk melaksanakan permintaan sahabat karibnya tersebut. Namun bisakah mereka hidup tentram dengan kenyataan yang tidak diharapkan seperti ini?Pada dasarnya kebanyakan film bergenre rom-com hadir dengan klise sejenis dan premis yang sama; happily-ever-after maupun benci jadi cinta. Memperoleh berbagai macam kritik, genre yang satu ini tidak ada matinya untuk mewarnai semarak perfilman tiap tahun. Life As We Know It salah satunya. Tidak ada yang spesial di film yang satu ini. Dari segi cerita, tetap saja mengutamakan kehidupan percintaan seorang pria dan wanita; kadang pahit kadang juga berubah jadi manis. Sedangkan unsur komedi tidak ditempel terlalu dalam sebagaimana yang diharuskan bagi film sejenis. Tidak banyak aksi konyol dan bodoh serta lelucon maupun humor yang dengan spontan bisa membuat saya ketawa terbahak-bahak. Tapi nyatanya Life As We Know It masih bisa memberikan hiburan lewat kisah yang manis dan terkadang bisa saja menggurui. Film berdurasi 114 menit ini berdiri dengan naskah yang terbilang lebih dewasa dari kebanyakan film sejenis. Penuturannya yang baik dan tidak memusingkan terbukti membuat saya tidak bosan untuk mengikuti jalannya cerita dari awal sampai akhir durasi. Katherine Heighl dan Josh Duhamel unjuk gigi lewat chemistry baik yang melebihi standard sebagian besar komedi romantis. Katherine sanggup membuat suatu ikatan chemistry dengan Josh yang walau dihiasi oleh beberapa aksi konyol tapi mampu membangun pesan-pesan menyentuh dan yang tadi saya katakan; dewasa. Mereka membuktikan totalitas akting secara natural dan tidak terlalu dibuat-buat--di bidang mereka sendiri pastinya. Tapi ada sayangnya, menurut saya, semua peran yang diambil jajaran pemain dari tokoh sentral sampai pendukung terlalu 'aman' untuk dimainkan. Alhasil tidak ada kesusahan yang bakal dialami saat memainkannya. Dilihat dari track-record perfilman Heighl, pasti semua perannya punya ciri karakter yang gak jauh-jauh beda, ya jadi kelihatan main aman deh dia--begitu pula dengan Duhamel. Mungkin banyak orang yang beranggapan buruk mengenai aktor/aktris yang keseringan bolak-balik main film seperti ini. Tapi menurut saya apa salahnya kalau memang itu kemampuan mereka? Rasanya banyak aktor/aktris seperti ini yang bisa tampil baik dan mengesankan dan yang pasti mencapai titik pengharapan banyak orang; menghibur. Komedi yang disematkan di film ini sendiri menurut saya didominasi oleh aksi mengesalkan sang bayi yang diperankan oleh Clagett bersaudara, walaupun kadang tidak seperti ekspetasi yang sebelumnya. Alhasil film yang pastinya ditujukan pada kalangan tertentu, jadi cocok sebagai tontonan keluarga. Ya tidak lain tidak bukan karena arah ceritanya yang tidak rumit atau bisa saya katakan ringan. Dan bagusnya lagi di tengah kesederhanaan cerita, jajaran pemain dan kru tidak membuat film jadi buruk bahkan datar. Namun film ini tidak bisa saya katakan sempurna, kadang di momen-momen tertentu film terasa membosankan dan menurun tingkat entertaining-nya, selain itu kata 'predictable-ending' tetap tidak bisa dihindari. Well, Life As We Know It merupakan sebuah tontonan romantis yang walau tidak banyak mengandung unsur komedi namun mampu tampil dewasa lewat beberapa selingan drama dan lebih bersinar lewat pesan-pesan memorable yang tidak basi.

Rate :
3/5

DUE DATE (2010)

"Check yourself before you wreck yourself"
Director :
Todd Phillips

Cast :
Robert Downey Jr.
Zach Galifianakis
Michelle Monaghan
Jamie Foxx
Juliette Lewis


Distributor :
Warner Bros. Pictures

Genre :
Comedy










Setelah tahun lalu berhasil dengan The Hangover yang sukses dari segi finansial maupun kualitasnya, Todd Phillips (Old School, School for Scoundrels) kembali menghadirkan sebuah komedi di penghujung tahun lalu. Sutradara yang sering mengarahkan film bertema komedi tersebut kali ini menambahkan unsur road-movie ke dalam cerita. Tidak hanya itu, terhitung dalam lima film arahannya ia turut ambil bagian peran sebagai cameo. Pria yang tahun ini mencoba mengulang kesuksesan The Hangover dengan membuat sekuelnya ini menggandeng dua nama bersinar yang belakangan ini lagi di puncak ketenaran di bidangnya masing-masing. Mereka adalah Robert Downey Jr. (Sherlock Holmes, Kiss Kiss Bang Bang) dan Zach Galifianakis (Into The Wild, G-Force). Downey yang namanya semakin terangkat berkat perannya dalam Iron Man ini tahun depan akan kembali menghidupkan peran Tony Stark-nya tersebut dalam film 'kumpulan' superhero Marvell, The Avengers. Sedangkan Zach tahun ini terhitung dua film saja yang akan ia bintangi, yaitu sekuel The Hangover dan The Muppets. Kembali ke topik, film berjudul Due Date ini tidak ketinggalan menampilkan beberapa pemain pendukung dalam peran kecil maupun cameo. Sebut saja Michelle Monaghan (Eagle Eye, Gone Baby Gone), Jamie Foxx (Law Abiding Citizen, Dream Girls), dan Juliette Lewis (Conviction, Cape Fear). Film ini merupakan kali keduanya Monaghan dan Downey bertemu dalam satu film, setelah sebelumnya main bareng dalam Kiss Kiss Bang Bang. Sedangkan Juliette dan Zach tercatat beberapa kali bekerja sama dengan Todd, diantaranya Old School dan Hangover.Cerita Due Date diawali dengan pertemuan tak diharapkan antara Peter Highman (Robert Downey Jr.) dan Ethan Tremblay (Zach Galifianakis) di depan bandara. Pintu mobil Peter tertabrak oleh mobil Ethan yang seenaknya lewat, lalu tas mereka tertukar satu sama lain. Di tempat pemeriksaan barang, Peter sempat dicurigai petugas karena dalam tas Ethan yang terbawanya itu ditemukan sebuah pipa mariyuana. Peter adalah seorang pria eksekutif yang akan berangkat menuju Los Angeles untuk menemani istrinya, Sarah Higman (Michelle Monaghan), yang diperkirakan akan melahirkan dalam lima hari ini. Sedangkan Ethan adalah pria ambisius bertujuan sama yang katanya akan menjadi aktor di kota sentral industri hiburan tersebut. Pertemuan yang awalnya tidak terlalu dihiraukan oleh keduanya itu kembali terulang ketika Peter mendapati dirinya berada satu kabin dengan orang itu. Tidak hanya itu, ternyata pria gemuk dan brewok tersebut duduk di belakangnya dan jelas sangat menganggu ketenangan karena tak henti bicara. Permasalahan pun timbul karena ke-cerewet-an Ethan yang membicarakan teroris kepada Peter. Omongan Ethan yang keras itu membuat awak pesawat mengira Peter teroris beneran, ditambah Peter sedang memegang ponselnya--mungkin mereka kira ia menggunakan ponsel sebagai pemicu peledak pesawat. Peter dan Ethan kemudian diturunkan dari pesawat dan masuk dalam black-list penerbangan sehingga mereka tidak bisa mencapai Los Angeles dalam waktu yang diharapkan. Tidak mau kelewatan momen bahagia bersama istrinya, Peter terpaksa numpang mobil Ethan menuju LA--tanpa berbekal uang dan koper, bersama seekor anjing bernama Sonnie. Serentetan masalah dan kesialan menimpa mereka berdua di sepanjang perjalanan yang pastinya akan menghadang mereka untuk mencapai tenggang waktu yang telah direncanakan. Tidak sedikit orang yang membandingkan film ini dengan The Hangover. Ya, film rilisan 2009 tersebut memang memiliki kesamaan tema maupun plot dengan Due Date. Apalagi kedua film ini digarap oleh sutradara yang sama; Todd Philips. Jadi jangan heran bila film berdurasi 95 menit ini dibayang-bayangi oleh keberhasilan The Hangover, dan banyak kata 'hangover' di tulisan saya kali ini. Harus diakui memang The Hangover tampil dengan lelucon yang lebih maksimal dan pencitraan karakter lucu dan humoris yang secara alami mengundang tawa banyak orang. Bahkan kualitasnya terbuktikan dengan berbagai penghargaan yang berhasil disabtnya. Tapi jangan terlalu merendahkan film ini dulu. Dengan formula yang terbilang lama, Due Date tergolong lucu dan masih bisa membawa kita dari awal sampai ending film dengan beragam aksi dan lelucon khas Todd. Sepanjang film Todd menyajikan sebuah road trip yang tidak menjemukkan dan membosankan, yang pasti berkat dibumbui humor tipikal Amerika yang akhir-akhir ini banyak disematkan dalam banyak komedi dari negara adidaya tersebut. Semua hal ini tidak lain dilakukan berkat penampilan dua karakter sentral; Robert Downey Jr. dan Zach Galifianakis. Watak yang dimiliki oleh karakter yang dimainkan Robert sangat jelas berbanding terbalik dengan yang Zach miliki. Zach yang lagi-lagi memerankan seorang konyol nan menyebalkan ini tampil cukup mencuri perhatian. Ia memberikan suatu hal yang membuat cerita lebih seru dan enak untuk diikuti sepanjang durasi. Perbuatan Ethan sepanjang film yang sangat menyebalkan dan pasti menyusahkan Peter mungkin berhasil membuat kita gereget. Agak berbeda dengan Zach, Robert kadang terlihat agak canggung memerankan karakter komedinya ini. Namun ia baik dalam mengimbangi lawan mainnya yang jelas dibentuk lebih humoris dibanding karakternya. Dilihat dari cerita, karakternya sudah ketebak direncanakan shit-receiver, jadi jangan terlalu mengharapkan timbul kepribadian humoris dalam diri Peter. Layaknya Tony Stark yang pada dasarnya bukanlah sosok humoris, secara alami Robert mampu memberikan porsi humor dalam cerita untuk sekedar melengkapi. Beberapa pemain pendukung yang tampil numpang lewat cukup melengkapi cerita dalam hal relasi antar tokoh sentral. Sang sutradara pun ternyata juga memberikan dukungannya sebagai cameo--jujur pada awalnya tidak saya sadari. Well, dengan naskah yang lumayan dan tanpa merumitkan plot cerita, Due Date mampu tampil meriah dengan aksi kocak nan menghibur kedua tokoh utama dengan jokes yang pas.


Rate :
3/5