infolinks

Minggu, 19 Juni 2011

Missed Ones in Early 2011 - Pt. 1

Tahun 2011 mungkin akan terus diingat, apalagi dengan peristiwa awal tahun-nya yang sangat mengagetkan para moviegoer bahkan semua orang yang suka nonton dan nunggu film-film baru muncul. Eits, hanya di Indonesia loh. Siapa sih yang nggak tahu masalah itu, film luar nggak bisa masuk Indonesia karena sekelumit masalah pajak yang sepertinya belum ditemukan jalan keluar yang bisa nguntungin dua pihak, yaitu pihak perpajakkan Indo sama MPAA. Yap, masalahnya kan emang langsung pada pihak MPAA, yang menjadi payung bagi enam penyalur film terbesar di Hollywood sana yang gemar menyodorkan banyak film bagus apalagi yang bernafas blockbuster.

Kadang suka sedih jadi masyarakat Indo, hmm, kadang udah nggak ngerti deh gimana cara menjalankan nasionalisme dan patriotisme (?). Oke keluar jalur kan. Meskipun nggak bisa nonton film-film luar yang paling ditunggu, tetep aja ada satu jalan pintas paling menyenangkan. Dvd bajakan dan download!! Hahaha, berikut lima film rilisan awal tahun 2011 yang pada akhirnya berhasil saya tonton. Masih ada banyak lagi sih, nanti saya posting-in sisanya. Lima dibawah ini termasuk film-film yang tergolong memuaskan/cukup bagus/keren, berikutnya akan saya post yang surprisingly bad.

THE ADJUSTMENT BUREAU
Director George Nolfi
Cast Matt Damon, Emily Blunt, Terence Stamp, Anthony Mackie
Distributor Universal Pictures
Genre Sci-Fi, Drama, Romance, Thriller
Release Date 4 March 2011 
Rate 3 out of 5
Mungkin Matt Damon belum bisa lepas dari bayang-bayang Bourne Trilogy-nya sehingga terlihat pasti mau banget menerima job membintangi film yang satu ini, The Adjustment Bureau. Diadaptasi dari cerita pendek berjudul The Adjustment Team, David Norris (Matt Damon) adalah politisi yg gagal mendapat kursi senator setelah dikalahkan rival kampanye-nya. Di saat-saat paska kekalahannya, secara tidak sengaja ia bertemu dgn seorang balerina bernama Elise (Emily Blunt). Di masa2 keduanya semakin dekat, hubungan mereka terancam oleh komplotan pria bertopi yang menganggap diri mereka sebagai agen takdir dan berusaha memisahkan David-Elise dgn alasan mereka keluar jalur dari takdir yang telah digariskan. Duduk di kursi sutradara, George Nolfi menjadikan The Adjustment Bureau sebagai debut karir penyutradaraannya yg pertama kali, setelah sebelumnya banyak menulis naskah u/ film-film sejenis seperti The Bourne Ultimatum dan Ocean's Twelve. Hmm, The Adjustment Bureau sendiri bukanlah sesuatu yg baru kalau dilihat sekilas. Kejar-kejaran, penguntit misterius, dll, mungkin hal yang sering dijumpai dalam film-film layaknya franchise Bourne dan Ocean's. Tapi melihat isi ceritanya sendiri, The Adjustment Bureau sedikit dibikin beda lewat pengembanan unsur sci-fi yang di-pak tidak berlebihan dan tetap "menghormati" banyak unsur lainnya seperti drama-romans itu sendiri. 

Menyinggung masalah George Nolfi yg menjadikan ini sebagai debut-nya, hasil adaptasi ini tergolong sebuah proyek yang berhasil mencapai garis kepuasan, tidak berarti sukses. Dengan mem-"blender" banyak genre ke dalamnya, semuanya berbaur dengan tidak berantakkan. Misalnya dari drama-romans yang selalu diberikan jatah tersendiri untuk mereka menikmati timingnya, lalu seketika disodorkan intens ketegangan lewat konflik antara agen takdir dan David Norris yang sebenernya pro-kontra, tidak ketinggalan lumayan banyaknya singgungan politik dan masalah kebimbangan dalam menentukkan tujuan hidup. Untung saja semuanya diatur dengan seimbang, walaupun kadang saya agak dikecewakan oleh minim-nya kejar-kejaran yang jarang muncul. The Adjustment Bureau sendiri masih memiliki banyak hal klise dimana-mana, contohnya fakta tiga tahun terpisahnya si David dan Elise. Agak ganjil loh dalam waktu sebegitu lama mereka nggak pernah ketemu sekalipun, okelah tau itu kota gede, tapi bukannya mereka suka pergi di jalur yang sama? Saya aja susah untuk nggak bisa "kebetulan ketemu" sama orang yang pernah ditemui. Hmm, selain itu, saya jg mendapati banyak hal yang harusnya bisa dilakukan para agen takdir untuk mencegah David, tapi nyatanya mereka nggak mampu, apalagi kalau disangkut-pautkan dengan ability yang mereka punya. So, kalau kata saya, film ini termasuk karya yang tergolong biasa. Nggak "wah", dan nggak "wooo". Oiya saya agak ngerasain sensasi Eagle Eye dicampur Butterfly Effect pas nonton The Adjustment Bureau!

LIMITLESS
Director Neil Burger
Cast Bradley Cooper, Abbie Cornish, Robert De Niro, Andrew Howard
Distributor Relativity Media
Genre Sci-Fi, Thriller
Release Date 8 March 2011 
Rate 2.5 out of 5
Setelah karirnya ngelonjak sejak Hangover-nya yang asli lucu tapi menurut saya orang-orang menanggapi agak berlebihan, Bradley Cooper sepertinya tambah naik lewat banyak film ber-script biasa tapi punya tingkat hiburan yang nggak terbantahkan. Kali ini di Limitless, lagi-lagi film yang jual muka tajamnya yang mencolok, Bradley Cooper memerankan seorang penulis yang sedang kelabakan dikejar deadline nulis. Tampang berantakan, hidup semrawut, sampai keadaan ekonomi yang terlihat cukup-cukupan jadi berubah drastis saat ia ketagihan mengkonsumsi NZT-48, sebuah "pil superhero" rujukan mantan adik-ipar nya yang bentuknya mini-bening. To the point aja, Limitless ngebosenin. Nggak berarti sampah, tapi alurnya sukses buat saya terobsesi untuk mendorong tubuh saya segera menggapai empuknya tempat tidur di sebelah ruangan tv. Premisnya sih menarik, berhasil buat saya penasaran dari awal tahun. Harapan saya tuh bisa melihat  tontonan yang saya kira sci-fi pinter, eh ternyata semua hal yang diceritakan terlalu ngasih fokus berat ke gimana karakter Bradley dari suffer-happy-struggle-dying. 

Saya sendiri tidak ngerti obat macam apa yang bisa ngubah pola pikir sampai pola hidup seseorang kayak di film ini, emang sih udah dijelasin, tapi tetep nggak logic aja gitu. Oke, namanya film,pasti fiksi, nggak logic, so buang aja akal pikir sehat kita bukan? Tapi anehnya udah tau Limitless sajian sci-fi yang didalamnya punya premis yang bener2 fantasi, tapi kenapa malah dilingkupin cerita yang ngarah ke arah problema kehidupan. Alhasil saya bertanya, "ini film mau nusuk arti penting dari kata humanis, ato mau semrawutin otak saya dengan misteri pil yang less-explained itu? Well, sekali lagi, nggak sampah kok. Tapi kalo disebut film pintar ya nggak bisa, kalo mau tepat anggap aja ini menghibur. Bradley, hmm, main cukup bagus. Ada karakter yang nggak penting disini, Robert DeNiro! Eits salah, karakternya sih nggak bisa dibilang nggak penting, tapi munculnya nama DeNiro sangatlah nggak penting. Hey, kenapa nggak kontrak aktor kelas C aja yang mungkin bisa lebih ngidupin karakter-nya DeNiro yang muncul kadang2 tsb. Hemat biaya dong! Aneh banget ngeliat nama DeNiro ikutan nampang di poster. Lagian nggak ngaruh kok sama arah cerita.  

HANNA
Director Joe Wright
Cast Saoirse Ronan, Eric Bana, Cate Blanchett, Tom Hallander
Distributor Focus Features
Genre Action, Crime, Thriller
Release Date 8 April 2011 
Rate 3.5 out of 5
Jarang rasanya untuk menemukan film bernyawa kuat di musim-musim awal tahun. Biasanya di masa caturwulan pertama dalam satu tahun, kebanyakan film yang beredar bisa dibilang sebagai penyejuk atau pemanasan untuk menunggu hadirnya film2 summer/blockbuster. Seperti yg saya bilang tadi, "jarang", berarti belum tentu "tidak ada". Nah, di tengah kejarangan tersebut, di tahun 2011 terhitung ada beberapa penyejuk yang saya maksud. Selain Source Code yang mengejutkan itu, ada Hanna yang rilis bulan April lalu. Bercerita mengenai Hanna (Saoirse Ronan), gadis tangguh yang hidup bersama sang "ayah", Eric Heller (Eric Bana) di tengah hutan terpencil daerah kutub. Hanna dilatih ayahnya sedari kecil layaknya militer, segala macam kekuatan fisik, otak, dan psikis disodori ayahnya untuk sesuatu yang pada dasarnya tidak terlalu dimengerti oleh Hanna hingga suatu saat ia dan sang ayah harus berpisah demi menjalani misi revenge pada musuh bebuyutan mereka, Marissa Wiegler (Cate Blanchett). Hmm, Joe Wright mungkin lebih terkenal dengan film2 melodrama-nya, misalnya Atonement yang turut dibintangi si "Hanna". Menilik track-record nya yang kelihatan lebih berfokus pada satu genre saja, Wright terbilang berhasil mengeksploitasi keberaniannya untuk tampil beda lewat Hanna ini. 

Dari awal sampai film berakhir, ada dua hal yang saya rasa memiliki similarity terhadap apa yang ditawarkan dalam film ini. Dengan karakternya yang "buta dunia", Hanna seakan mengingatkan saya terhadap film The Island thn 2005 lalu. Dan dengan sosok gadis tangguh yang dicap pada diri Hanna ini, sosok Hit-Girl lah yang pertama kali tercetus dalam pikiran saya. Sepertinya terlalu "munafik" bagi orang untuk berusaha menolak fakta adanya kesamaan antara dua karakter ini. Sebagai penyejuk di cawu awal tahun 2011, Hanna adalah suguhan yang menarik. Film ini beruntung memiliki isi yang di-pak sebegitu lengkap tanpa menimbulkan kesan berantakan. Pertama yang pasti penampilan ketiga tokoh sentral, ada Saoirse yang main gesit luar-dalam dan meyakinkan ketangguhannya lewat tatapan dingin menipunya tsb, ada juga Eric Bana yang hmm, yang walau tidak se-"pria" Hanna tapi tetap menaikkan tensi emosi dalam cerita, dan yang terakhir adalah Cate Blanchett beserta Tom Hallander sbg antagonis yg sukses membuat saya antipati. Unsur kedua yang menjadi kekuatan film ini adalah diaturnya shot demi shot kamera yang memiliki arti sendiri dari tiap adegannya, mungkin untuk menekankan detil kejujuran dari revenge dalam cerita. Semuanya berbaur jadi satu dengan rapi dan lebih mengesankan lewat scoring yang asik dan tidak se-seram ceritanya sendiri. Well, Hanna tergolong sebuah sajian yang forgettable dan tidak terlalu istimewa, terlihat dari naskah cerita yang tidak sedetil "pembantaian" teknik filmnya. But, dilihat dari pencapaian seorang Wright, Hanna rasanya boleh dijadikan salah satu film terbaik di cawu pertama tahun 2011.


DIARY OF A WIMPY KID:
RODRICK RULES
Director David Bowers
Cast Zachary Gordon, Devon Bostick, Robert Capron, Rachael Harris
Distributor 20th Century Fox
Genre Comedy
Release Date 25 March 2011 
Rate 3 out of 5
Setelah sukses dengan penghasilan yang nggak disangka sebelumnya, Diary of Wimpy Kid kembali lagi hanya berselang satu tahun dari rilisan film yang pertama. Dengan sub-title "Rodrick Rules" yang emang dari judul buku asli, film ini tetap menceritakan kehidupan belia Greg Heffley (Zachary Gordon). Kalo yang pertama ceritanya tentang gimana si Greg "menderita" di awal2 masa middle-school/smp, yang kedua ini tetep ngasih "penderitaan" ke dia lewat tingkah laku kakaknya yang jengkelin. Hmmm, saya sangat suka bukunya yang tidak susah2 tanpa hal rumit seperti kebanyakan novel standard yang sok tinggi. Cerita simple, guyonan2 kocak, sampai aksi heboh nan lebay Greg dkk yang divisualisasikan ke bentuk adapted movie book tergolong berhasil di tingkatannya. 

Agak bingung kenapa banyak kritikus2 pro diluar sana yang nganggep nih film ancur dan ruwet, pertanyaannya, ancur dimananya om?! Emang sih film pertama nggak konsisten mau ngasih jokes yang di beberapa scene banyak hal klise yang kayaknya mustahil aja gitu, ya namanya juga bo'ongan/fiksi atau lebih tepatnya pure hiburan. Saya bilang sih yang kedua ini lebih lucu, lengkap dengan karakter2 pelengkap yang nggak sekedar ramein, seperti si india Chirag yang berhasil buat saya kesel setengah mati. Bingung kalo mau cari kelemahannya, bukan maksud saya film ini sempurna, tapi agak maksa aja gitu kalo ngekritik film ini terlampau dalam. Oiya tapi saya makin nggak suka aja sama yang meranin Rodrick, kadang porsinya malah buat suasana agak hambar. Tetep lucu sih. Dan kalo mau bilang ngena ke saya sendiri, hmm, agak. Karena seperti saya bilang tadi, banyak hal klise di sana-sini yang pure fiksi (nggak tahu juga sih mungkin di amrik sana banyak terjadi). Dengan pendapatan yang menyenangkan bagi kedua filmnya, Diary of A Wimpy Kid punya potensi jadi franchise panjang yang sangat beda dilihat genre-nya. Kalo nggak salah novelnya berjumlah lima seri.


PAUL
Director Greg Mottola
Cast Seth Rogen, Simon Pegg, Nick Frost, Kristen Wiig
Distributor Universal Pictures
Genre Comedy, Adventure
Release Date 18 March 2011 
Rate 3 out of 5
Bicara Paul, pasti yang pertama tercetus di kepala adalah duo aktor yang membintanginya, siapa lagi kalo bukan Simon Pegg dan Nick Frost yang beken akan kolaborasi langganan mereka di beberapa film. Setelah Shaun of The Dead dan Hot Fuzz, dua orang ini main satu screen lagi dalam "komedi alien", Paul. Diceritakan Graeme Willy (Simon Pegg) dan Clive Gollings (Nick Frost) adalah dua sahabat dari Inggris yang sering liburan bersama. Terbang jauh dari kampung halaman ke Amerika untuk menghadiri Comic-Con (pameran komik akbar tahunan), sesosok alien bernama Paul terpaksa harus bergabung dgn RV mereka di tengah perjalanan malam yang mengejutkan. Perjalanan panjang penuh kejutan pun mau tidak mau harus mereka jalani demi menyelamatkan Paul dari bahaya misterius yang tengah mengejarnya, lengkap dengan kawan2 baru yg mereka bertiga temui di tengah perjalanan. Yang menjadi faktor bagi saya untuk mau cepet2 nonton Paul adalah nama-nama yang menghiasi jajaran pemain didalamnya. Hmm, sebut aja Pegg-Frost, Kristen Wiig, Blythe Danner, Jason Bateman, Jane Lynch, dll. Agak kaget awalnya liat nama-nama kayak mereka main bareng, jarang aja rasanya isinya bagus semua dan saya kenali untuk film yang bisa dibilang pemasarannya nggak kerasa heboh. Sayang sekali setelah nonton, bahkan pas lagi nonton, ternyata Paul nggak lucu-lucu amat seperti yang banyak orang kira, termasuk saya. Nggak tahu apa mungkin saya ngarep-nya terlalu berlebihan, tapi tetap aja Paul tidak memberikan pengalaman ngakak yang memuaskan.  Padahal film udah diawali dgn lumayan baik, lewat opening datang-nya alien ke bumi yang  agak kontras sama suasana film seiring berjalannya waktu. Dari mikir bakal dapet tontonan komedi ala Pegg/Frost yang seperti sy bilang tadi, kelihatan beda dari awal, eh semuanya seakan surut kayak ombak ketika film sudah berjalan sekitar setengah jam. Ada beberapa momen, bahkan lumayan banyak, yang mau dibuat lucu tapi sayangnya jadi canggung. Soo, kalo mau dihitung, saya lebih banyak ngeluarin senyum dibanding ngakak. 

Tapi Paul tidak jatuh gitu aja berkat adanya beberapa aktor yang sangat membantu meningkatkan tingkat kelucuan film ini. Dan yang paling ngundang perhatian tentu saja karakter-nya Kristen Wiig, yang digambarkan sbg "bible freak" tapi tergoyahkan imannya karena dipengaruhi Paul dan duo Pegg-Frost. Karakter Wiig ini mungkin agak nyindir orang-orang yang nggak bisa berdiri sendiri, yang gampang berubah tanpa peduli akibat dan nggak bisa pegang omongan sendiri (pesan ini lebih ditekankan di ending pas tepatnya omongan Paul "be yourself, speak to your heart"). Justru kalo boleh ngomong, Wiig tampil lebih lucu dibanding Pegg-Frost. Oiya hampir lupa, ada juga Seth Rogen sbg pengisi suara Paul, suaranya sih hmm, menurut saya mengomentari sebuah "suara" sepertinya agak nggak penting. Jane Lynch yang numpang lewat sampai cameo si bos misterius yg nggak saya duga turut memberikan momen unik tersendiri. Once again, bukannya jayus, tapi masih banyak kekurangan disana-sini yang menyebar dalam sebuah "Paul" (oiya banyaknya F-bomb saya rasa sedikit memberi kharisma lawak bagi film).

Selasa, 14 Juni 2011

[Feature] MY MOVIE LIFE

Sebelum memulai artikel ini, saya mau ngaku kalau sebenernya ini contekkan dari salah satu rubrik majalah film yang paling saya suka: TotalFilm. TotalFilm adalah satu dari dua majalah yang selalu saya beli tiap bulan, selain Cinem**s yang makin lama makin nggak jelas isinya. Bukannya gimana-gimana, apa yang dibahas oleh majalah film Indonesia tersebut banyak yang nggak penting. Apalagi setelah saya mendapat banyak sumber film yang lebih bagus dan berkualitas. Rasanya untuk sekelas majalah yang harusnya bisa saya cap sebagai "pro", majalah tersebut harus bisa dong bahas yang lebih penting, misalnya isi atau kualitas secara menyeluruh. Tuh majalah kalo nggak ngomongin budget film, cast film, dimana syuting dilaksanakan, siapa distributornya, dll. Wtf?!

Oke mungkin fakta bahwa TotalFilm adalah asli dari Inggris bisa jadi alasan. Tapi bila itu dijadikan alasan, sama aja ngaku orang indo nggak bisa menyamakan kemampuan berpikir orang inggris sana dong, hahahaha! Jadi nggak nyambung kan sama apa yang mau dibahas. Feature blog saya berikut ini saya 'adaptasi' dari rubrik Buzz: My Movie Life di TotalFilm. Mungkin yang langganan tahu lah. 

The films 
that make Daniel Putra forget about reality...

THE FIRST MOVIE THAT I REMEMBER SEEING
SHREK (2001)
Agak lupa sebenernya film apa tepatnya yang pertama kali saya tonton. Tapi yang paling saya ingat sih Shrek. Tepatnya tahun 2001 lalu pas saya masih SD, diajak temen gereja nonton bioskop di PIM (Pondok Indah Mall). Dan Shrek sekaligus menjadi film pertama yang saya tonton di bioskop atau lebih tepatnya pengalaman pertama saya masuk bioskop! Well, namanya juga sepuluh tahun lalu, ceritanya pun sebenernya agak lupa. Yang paling diingat mungkin adegan yang nari-nari di lumpur itu, iya nggak sih?

THE MOVIE I SHOULD HAVE SEEN BUT HAVEN'T
HARRY POTTER SAGA (2001-2011)
THE SHAWSHANK REDEMPTION (1994)
Belum pernah sekalipun saya tonton harpot dari yang pertama sampai yang mutakhir. Bahkan sampai pernah ada tayang marathon di tv apa gitu, saya tetep nggak nonton. Mungkin karena emang dari kecil nggak ngikutin, alhasil jadi males untuk ngejar tujuh filmnya. Harry Potter, well, franchise yang rasanya wajib tonton dan katanya salah satu film fantasi terbaik kan? Pernah ada yang bilang gini ke saya, " jangan ngaku manusia abad sekarang kalo nggak pernah nonton Harry Potter". Hahahaha mau diapain lagi. Oiya tidak hanya karena nggak ngikutin dari kecil, sebenernya dulu dilarang nonton beginian yang berbau sihir (orang tua saya memang oldschool sekali!). Di situs IMDB The Shawshank Redemption peringkat satu film terbaik sepanjang masa versi mereka. Di blog temen-temen, banyak yang masukkin nih film ke film favorit. Temen saya bulan lalu dateng ke sekolah heboh banget sama nih film. Udah saya download sih dari bulan lalu, tapi males aja sampe sekarang nontonnya, antara nggak ada waktu dan....ya itu, males.

THE MOVIES THAT ALWAYS MAKES ME CRY
Nah, bagian ini yang agak susah bagi saya. Saya tuh orangnya nggak bisa nangis sama film, sesedih, semiris, atau semenderita apapun orang di sebuah film. Nggak tahu kenapa kayaknya saya tipe orang hemat air mata kali ya. Tapi ada beberapa film yang sangat menyentuh saya, pengen nangis tapi nggak bisa. Ada tiga: Hachiko A Dog's Tale, Brokeback Mountain, sama Into The Wild. Walaupun begitu, ketiga film ini tetap saja tidak bisa memenuhi konteks "always makes me cry".

THE MOVIE EVERYONE HATES THAT I LOVE
THE CHRONICLES OF NARNIA (2005-....)
Narnia adalah film fantasi yang bisa dibilang sangat anak-anak, yang agak susah dinikmatin orang-orang pro ato yang nyari sensasi film tinggi. Dulu ada yang bilang narnia bisa jadi lawan harpot ke depannya. Hmm, saya akui nggak bisa. Walaupun saya blm nonton harpot, harus diakui banyak pengakuan positif untuk harpot. Tapi tetep aja saya suka Narnia, selain menghibur dan sebuah genre kesukaan saya dulu, yang jadi sisi lain bagi saya untuk suka Narnia adalah si C.S Lewis sendiri (salah satu author fav saya). Saya sudah baca versi novelnya, bener-bener menghibur. Dan lagi, Narnia terbentuk dari modifikasi dan penggabungan cerita Alkitab dan mitologi Yunani. Narnia yang paling bagus menurut saya yang kedua, sayangnya jadi anjlok pas Narnia 3.

THE MOVIE THAT I WOULD LOVE TO SEE REMADE
DEATH NOTE
DETECTIVE CONAN
Ini dia dua karya Asia yang saya suka. Dimulai dari versi komik yang emang 'kelahiran' mereka, kemudia dibuat versi kartunnya sampai dibuat live-action film yang saya bilang agak sampah. Walaupun tetep mereka-mereka yang buat, maksud saya orang asia juga, tapi kok kayaknya live-action nya jelek ya. Mungkin banyak yang nggak setuju dengan pikiran saya yang ngarep nih dua kartun di remake Hollywood. Maklum, banyak banget karya-karya Asia yang diubah jadi sampah sama mereka. Contoh yang paling gampang seperti Priest yang baru keluar bulan lalu (belum nonton tapi banyak yang bilang sampah), ada juga Dragonball Evolution yang bagaikan bantar gebang, bukan sampah. Di luar semua itu, saya pengen terlampau pengen untuk ngeliat versi bule dari semua kartun ini. Berhubung genrenya misteri dan termasuk dalam golongan manga smart yang pake otak dan ceritanya rumit, mungkin agak bagus kalo dipilih director yang nggak sampah. Fincher/Nolan? Ah pasti mereka nggak tertarik. (Andai saya punya kekuatan bisik setan jarak jauh)

THE MOVIE I'D TAKE TO A DESSERT ISLAND
DAVID FINCHER'S FILMS
Woo hoo, Fincher! Nonton film-filmnya bisa buat saya lupa mau minum ato ngambil cemilan untuk dijadikan sampingan. Cukup nonton filmnya, udah bisa buat saya puas. Kayaknya mau apapun keadaannya pas lagi nonton, tetep aja nggak bakal ganggu saya untuk nikmatin film-filmnya dia! Oke agak lebay ya.

THE MOVIE I'D SEE AS A LAST REQUEST
Mungkin sesuatu yang sejenis Risky Business bahkan Toy Story. Film2 yang memakai genre mereka sebagai cara terselubung untuk ngasih sesuatu yang udah mereka set sebagai isi utama film mereka.

THE MOVIE ALL KIDS SHOULD SEE AT SCHOOL
Untuk bagian ini, mungkin cukup nonton sesuatu berbau kartun kayak Toy Story yang emang salah satu masterpiece per-kartun-an yang wajib diliat dari kecil. Ada juga Diary of A Wimpy Kid yang masih tergolong baru. Menurut saya untuk konteks anak kecil, nggak perlu film tinggi-tinggi bagi mereka. Cukup satu kata "menghibur", bisa ngisi masa-masa kecil ya kan. Intinya, jangan paksakan anak kecil untuk nikmatin sesuatu yang nggak bisa mereka ngerti.

THE MOVIE I LOVE THAT NO ONE'S HEARD OF
ALL THE RIGHT MOVES (1983)
Sebuah classic '80-an tentang masalah standard anak-anak sekolahan jaman dulu. Hmmm love, pregnancy, sport, etc. Sebenernya filmnya standard dan nggak ada pesan yang terbilang penting. Tapi untuk sebuah film yang rilis masa itu, kayaknya yang ini tergolong jarang. Saya suka soundtracknya, apalagi yang judul "All The Right Moves" serta lagu-lagu lain yang buat saya nyaman nonton. This one is a good film to watch if you like teen-sport-drama which is rare 30years ago.

Jumat, 10 Juni 2011

[Double Shot] RISKY BUSINESS & MEAN GIRLS

Akhirnya setelah lama nggak mereview atau buat artikel, tiba-tiba timbul niat lagi. Masih sama seperti beberapa bulan lalu, saya sebenernya lagi sering-seringnya nonton film-film terutama film yang terbilang penting. Dan berhubung sangat banyaknya film yang saya tonton, dan tidak punya banyak waktu untuk ngetik, jadi agak susah juga ngebagi waktu *males*. Artikel saya ini bukan quick review. Dua film ini: Risky Business dan Mean Girls sengaja saya gabungkan karena kedua film berikut memiliki genre yang sama. Tidak hanya itu, pembahasan yang saya tulis memiliki keterkaitan yang relevan satu sama lain. Oiya, dan lagi, artikel saya kali ini mungkin terlihat lebih ke membicarakan persoalan yang disinggung/disindir mereka.

Kedua film ini adalah film teen coming-of-age comedy. Membahas sosialita kehidupan yang sangat mengena, terutama pada kaum remaja, Risky Business dan Mean Girls tidak hanya menawarkan hiburan semata. Adanya pesan dan sindiran pintar nan cerdik yang sangat dalam dengan jelas saya rasakan dan mengerti. 

RISKY BUSINESS (1983)
Director Paul Brickman
Cast Tom Cruise, Rebecca De Mornay, Curtis Armstrong, Joe Pantoliano
Distributor Warner Bros. Pictures
Genre Comedy
Rate *****
Joel Goodson, diperankan dengan baik oleh Tom Cruise, hanyalah seorang murid sekolah menengah atas. Eh, tidak 'hanya' sih, dia kaya dan bisa dibilang untuk di jaman itu hidupnya sangat mewah. Jangan menganggap Joel hanyalah anak kaya raya seperti karakter2 kaya yang bodoh nan sombong seperti di kebanyakan film. Di sekolahnya ia adalah anggota Future Enterprises, semacam club atau kalo disini sering disebul ekstrakurikuler yang memberikan latihan mengenai perbisnisan. Kedua orangtua Joel adalah tipe orang tua yang strict, segala keperluan berikut aktivitas Joel diatur dan diawasi sedemikian teliti dan seteratur mungkin.

Suatu hari kedua orang tua Joel berurusan dan pergi ke luar kota untuk seminggu dan meninggalkan Joel sendirian, dengan segala aturan dan beribu nasihat yang pasti agak enek buat seorang laki-laki seperti Joel. Nah sudah ketahuan kan apa yang akan dilakukan Joel demi mengambil keuntungan dari kebebasannya ini? Berawal dari ide usil temannya yang akhirnya ia patuhi, Joel mengisi hari-hari bebasnya tersebut dimulai dengan memanggil jasa pekerja seks komersial bernama Lana (Rebecca De Mornay). Having free sex, lalu masalah yang tidak diharapkan menghancurkan 'kebebasan' Joel tersebut. Kehadiran Lana yang tadinya diharapkan hanya untuk satu malam memanjang menjadi berhari-hari, demi membantu Joel membersihkan semua bukti kesalahan yang bisa tercium orang tuanya nanti.
Sebenernya nggak kepikiran untuk nonton film yang terbilang jadul ini. Satu kali baca review dari blog orang, nggak tau kenapa saya jadi tertarik. Mungkin daya tarik pertama adalah nama si Tom Cruise, aktor yang pasti agak mustahil kalo nggak ada yang tahu. Eh, belum lengkap, tidak hanya nama seorang Tom Cruise semata yang membuat saya tertarik. Faktor browsing info nih film, ternyata Risky Business adalah garis start atau awal dari gemilangnya karir aktor yang paling terkenal namanya lewat aksi misi rahasia dan loncat-loncat gedungnya itu loh. Walaupun film ini adalah pertama kali dia jadi lead actor, nggak tau kenapa kayaknya Tom Cruise lebih dikenal awal karirnya dengan Top Gun, iya nggak sih? Ato cuma saya aja yang dulu mikir seperti itu. Risky Business disutradarai oleh Paul Brickman yang sama sekali saya nggak tahu. 

Agak bingung juga sih mau ngomongin darimana dulu. Oiya, faktor lain saya mau nonton film ini adalah genrenya sendiri sebagai sebuah film coming-of-age comedy yang termasuk tipe film saya. Risky Business mungkin merupakan awal dari kebangkitan film bergaya remaja yang kemudian semakin marak setelahnya. Tapi agak jarang menemukan yang seperti ini, Risky Business memiliki kelebihan dalam mengemas satir yang sangat ngena ke anak-anak sekolahan, khususnya anak SMA, atau manusia2 yang sedang memasuki masa pubertas. Satu hal penting yang sangat diidam-idamkan dari karakter Joel itu sendiri yang pasti adalah kebebasan *mungkin kalimat-kalimat berikut agak sedikit dicampur curhat*. Satu hal penting yang hendak diperlihatkan Risky Business adalah sejauh mana obsesi seorang remaja membawa kita. Mungkin dengan jalan cerita yang mengalir kepada masalah2 dari kesalahan Joel seakan malah terlihat film ini mau menyindir berikut menasihati remaja2 untuk mematuhi orang tua, dengar-dengaran, kalau tidak malapetaka akan menghinggapimu. Bukan.  Malah menurut saya, justru kaum orang tua itu sendiri yang menjadi sasaran sindir dari film ini. Miris juga loh jadi anak yang baru2 mau masuk usia dewasa, rasanya menjengkelkan sekali apa-apa masih dikekang orangtua. Bukannya mau menolak ajaran orang tua ataupun kurang ajar, tapi kadang mereka harus bijak juga dong dengan memberi aturan yang kadang mereka lupakan apa hak kita. Oke, orang tua memang berkewajiban penuh menjaga anaknya yang masih dibawah umur. Tapi ingat, kewajiban harus dilakukan tanpa melupakan hak dari orang yang berkaitan dengan kewajiban tersebut.
Kadang orang tua cuma bisa marah-marah tanpa alasan yang jelas, hanya semata untuk memuaskan gairah marah2 mereka (nggak semuanya seperti ini mungkin, tapi saya mengalaminya). Intinya, walaupun kita sebenarnya ada di pihak atau sisi yang benar, dengan kata lain misalnya orang tua sebenernya yang salah, mereka nggak akan mungkin mengalah meskipun mereka tahu kita lah yang sesungguhnya benar. Yang namanya orang tua terlalu berpaku sama hukum alam yang mengharuskan mereka mengekang anak dibawah umur. Ugh screw that rule! Asal mereka tahu di keadaan orang yang mendekati batas umur tuh, pikiran orang tsb tidak jauh berbeda dari pemikiran dewasa, sudah tahu mana yang salah/benar. Yap, sekelumit curcol saya diatas pasti apa yang coba digambarkan Risky Business. Mungkin contoh yang ditunjukkan film ini sangat berseberangan dengan arah pemikiran bangsa timur, tapi itulah Amerika. Untuk kelas teen coming-of-age comedy, Risky Business tidak ketinggalan dalam penggarapannya, misalnya editing ataupun angle kamera yang memang ketebak jadulnya tapi masih asik ditonton dan tetep aja tidak menghilangkan kesan lucunya. Oiya jangan lupakan shoot camera di opening dan juga ending yang dimulai/diakhiri dari close-up wajah si Joel tepatnya di kacamatanya itu. Hal yang sampai kini menjadi ciri khas sebuah Risky Business, sampai di posternya juga. Tidak ketinggalan scene dance si Joel pas sendirian di rumah, hal yang identik sekali dari film ini. Hal yang menjadi ke-khas-an yang lain mungkin adegan having sex di kereta yang sebenernya agak lucu tapi memorable aja gitu.

Risky Business adalah sebuah komedi satir remaja yang gemilang. Gemilang dari penampilan bintang-bintangnya yang pertama. Menggunakan film ini sebagai ajang awal karir suksesnya hingga sekarang, bahkan mendapat nominasi Golden Globe pertamanya berkat film ini, Tom Cruise berhasil membawakan film ini dari titik awal film berjalan dengan banyak hal-hal penting yang sangat ngena ke orang2, remaja khususnya, hingga klimaks film yang berakhir dengan melegakan. Rebecca De Mornay juga bagus, karakternya yang ngeselin dan ngebuat hidup Joel merana sangat amat membuat saya kesel juga pada awalnya. Dia juga tampil frontal disini dengan adegan seksnya, anehnya sekarang dia nggak terlalu terdengar gaungnya. Ada quote yang paling saya suka dari Risky Business, "What the fuck" gives you freedom. Freedom brings opportunity. Opportunity makes your future. Ya nggak usah pusingin apa yang orang omongin tentang lo (dalam kisah Joel sendiri mungkin jangan peduli sama apa kekangan orang tua yang suka bikin enek). Intinya dengan bodo amat itu lagian siapapun bakal bisa meraih kebebasannya dengan bener, tanpa dipusingin pikiran jenuh/keresahan apa yang orang omongin. Risky Business menurut saya sendiri adalah sebuah masterpiece di kelasnya, sebuah karya Paul Brickman yang mendekati kesempurnaan di bilangan komedi satir. Untuk dicompare sama film sejenis yang lebih modern pun nggak kalah. Classic entertaining.


MEAN GIRLS (2006)
Director Mark Waters
Cast Lindsay Lohan, Rachel McAdams, Amanda Seyfried, Lachey Chabert
Distributor Paramount Pictures
Genre Comedy
Rate ****
Cady Heron (Lindsay Lohan) hanyalah gadis polos yang mungkin jumlah temannya terjangkau dalam hitungan jari. Tidak berarti ia adalah cewe kuper, semua ini hanya karena dirinya tidak pernah mengalami kehidupan sekolah reguler, melainkan mendapat didikan di homeschooling dari kecil. Menghabiskan sebagian besar kehidupannya di Africa, Cady beserta kedua orangtuanya (Ana Gasteyer dan Neil Flynn) memutuskan untuk pindah kembali ke kota asalnya di Illinois, Amerika Serikat. Memulai kehidupan baru, Cady akhirnya disekolahkan ke sekolah menengah atas reguler dan berkesempatan berbaur dengan sosialita pada umumnya. 

Kehidupan sekolah di North Shore High School tidak semudah yang ia bayangkan. Semua orang berpecah menjadi bagian-bagian dan sulit bagi Cady untuk mendapat teman bahkan mendapat kursi kosong yang memperbolehkan dirinya untuk makan bersama orang-orang. Cady pun mendapat teman, Janis (Lizzy Caplan) cewe gothic dan Damien (Daniel Franzese), dua orang ini mengerti akan keberagaman jenis maupun group2 di sekolah tersebut dan mengajari Cady bagaimana cara untuk 'bertahan hidup'. Suatu kali Cady diajak bergabung oleh geng cewe terkenal yang menamai diri mereka sebagai The Plastics yang diketuai oleh Regina George (Rachel McAdams) dan beranggotakan dua orang cewe yang malah kelihatan seperti pengikut atau kasarnya pembantu. Diterimanya Cady kedalam geng tersebut dimanfaatkan dirinya serta Janis dan Damien untuk melakukan konfrontasi diam2 yang bertujuan untuk memecahbelah mereka. Tidak semudah yang dipikirkan, rencana awal seakan berubah seiring perubahan yang dialami Cady.
Satu lagi teen comedy yang terbilang sukses di masanya. Kalau tahun '80-an punya Risky Business, sepertinya dekade 2000-an punya-nya Mean Girls. Yap, Mean Girls termasuk salah satu komedi remaja terbaik di kelasnya. Mungkin gaya yang dibawakan Mean Girls agak berbeda dengan Risky Business secara perbedaan masa yang terbilang cukup jauh sehingga menimbulkan kesan yang sangat berbeda antara keduanya. Film ini disutradarai oleh Mark Waters, pria yang memang lebih sering mengarahkan film-film seperti yang satu ini, tapi ada juga yang beda seperti The Spiderwick Chronicles yang sangat disayangkan berhenti hanya di seri pertama padahal filmnya termasuk bagus dan lumayan seru. Tahu Freaky Friday yang juga dibintangi oleh Lindsay Lohan setahun sebelum Mean Girls beredar? Nah itu juga filmnya pria ini. Contoh lainnya adalah Just Like Heaven, hingga Ghost of Girlfriends Past yang menurut saya agak bosenin, oiya ada juga film dia tahun ini tapi lupa namanya *males buka imdb lagi*. Mark Waters terbilang konsisten dalam mengeluarkan film-filmnya yang kebanyakan film ringan seperti Mean Girls, dan dari semua filmnya yang udah saya tonton kebanyakan fun-fun aja dan nggak berkesan rugiin waktu saya, termasuk Mean Girls pastinya.

Lagi-lagi membicarakan kehidupan anak-anak remaja. Bedanya kali ini Mean Girls langsung berfokus penuh kepada kehidupan di masa-masa SMA yang terkenal paling macem2 deh masalah serta keruwetannya yang tidak semata sibuk belajar. Ya saya sebagai anak ABG, dan juga masih SMA, sekali lagi merasa sangat ngena oleh apa yang dibicarakan film seperti ini. Bedanya Mean Girls lebih nyata dan emang terjadi sampai saat ini. Dan bedanya lagi film ini tidak secara langsung ngena ke saya secara pribadi, melainkan ke keadaan masa-masa SMA yang persis sama. Hmm, banyak yang bilang masa sekolah menengah atas tuh pengalaman yang paling nggak bisa dilupain, bahkan kata orang-orang masa kuliah aja masih kalah seru sama tingkat yang ini. Well, emang kelihatan sih dari cerita temen-temen saya yang lebih tua ataupun orang tua saya. Fakta penting yang ada di film ini: high school society. Yap, nggak cuman dalam kehidupan bermasyarakat aja ada tingkatan strata yang bisa membeda-bedakan orang seperti kaya-miskin. Memang sudah kenyataan hal seperti ini juga ada di dunia nyata, tidak hanya di film. Mean Girls jelas sangat menyindir dengan cara yang lugas terselubung lewat unsur lawakan yang dibawa. Saya bukannya cuma bisa ngomong, karena memang hal pembedaan ini sungguh terjadi di sekolah saya dan kami sebagai anak sekolahan zaman sekarang yakin ada di banyak sekolah, khususnya jakarta selatan yang lebih marak. Apalagi SMA *sensor* yang terkenal parah.

Pasti ada juga yang nggak ngerti apa aja sih golongan-golongan di sekolahan jaman sekarang. Yang saya ketahui dan sungguh ada di sekolah saya *no offense guys if i mention your label*: sporty guy, popular girls, nerds, bullied ones (yang paling umum sih empat itu). Dalam satu lingkup angkatan pasti ada aja anak-anak sporty yang biasanya anggota tim basket/futsal dan nggak jarang 'merangkap' sebagai tukang iseng atau ngerjain anak-anak yang tergolong lemah dan penakut. Kadang saya juga berpikir, apa sih salah mereka dan maksud tuh tukang bully melakukan that dumb shit? Biasanya sih nggak lain supaya terlihat keren, alhasil jadi terkenal dan bisa dibilang jadi jeger/ikon angkatan. Ada juga  cewe-cewe popular, disini digamabarin oleh The Plastics, yang kayaknya tuh sekolah emang nyari tuh label eksis/popular dan menyingkirkan arti sekolah sebenernya. Dan biasanya sih ya cewe-cewe kayak gini nggak jarang bodoh-bodoh dan tukang nyontek *ehem saya sering sih sebenernya hahaha*. Dan yap, sama halnya seperti di The Plastics yang isinya ada Regina sebagai pemimpin yang ibaratnya emang paling terkenal dari orang-orang terkenal. Ada juga cewe popular seperti Gretchen dan Karen yang terlihat seperti penguntit. Terlihat fiksi sih emang, tapi mau dibilang apa hal itu memang ada. Kadang orang-orang seperti ini terlihat bangga aja gitu dengan sikap dan kebodohan mereka, apa yang mau disanjung coba? Dan lebih enek lagi kalo orang seperti mereka pacaran, cewe blo'on-cowo blo'on, ugh, koreksi diri dulu dong. Semuanya digambarkan dengan sangat baik lewat Mean Girls. Dulu pas pertama kali nonton saya nggak terlalu ngerti sama segala satirnya, tapi tiap nonton berulang-ulang dan saya sendiri yang makin dewasa dan mengerti, suatu pemikiran timbul dan saya emang akui semua itu nyata bukan fiksi belaka.  
Kadang saya suka ragu apa benar apa yang ada di film-film kebanyakan seperti Mean Girls sungguh terjadi di luar sana, dalam hal ini adalah negeri paman sam. Apa yang terjadi di kehidupan SMA indonesia jelas masih jauh lebih baik daripada yang suka kita lihat di film. Dan ternyata, saat saya tanya keluarga saya yang sudah lama hidup di sana, memang benar apa yang sering diperlihatkan film adalah nonfiksi. Katanya bullying di sana terlewat parah, malah katanya yang namanya orang makan di wc emang sering ada. Nggak tahu apa yang harus dilakukan untuk merubah semua ini, memang salah dari akarnya dan sulit untuk melakukan perubahan. Pola hidup dengan pembagian tingkatan strata seperti ini sepertinya sudah tertanam di pikiran manusia dalam-dalam. Saya tidak mengatakan bahwa saya termasuk orang yang bersih dan layaknya malaikat. Hahaha tidak, kadang emang suka ketawa melihat aksi penekanan yang embel-embelnya cuma buat bercanda. Makanya itu, seperti saya bilang tadi, susah untuk diperbaiki. Kembali ke bahasan mengenai filmnya sendiri, Mean Girls tidak hanya bicara mengenai tingkatan-tingkatan di SMA yang makin lama terkesan universal. Mean Girls juga berbicara mengenai obsesi akan kesempurnaan, yang disini diperlihatkan lewat obsesi si Regina akan badan yang sempurna *kirimin lagu born this way*. Ada juga sindiran tentang orang tua ceroboh yang terlalu memperbolehkan anaknya melakukan apa saja. Berkaitan dengan artikel Risky Business saya, saya bukannya ingin orang tua tuh memberikan kebebasan yang terlalu berlebihan. Tetapi seorang orang tua cukup menyetarakan kewajiban mereka dan hak seorang anak dengan adil ya kan. Ada juga sindiran mengenai eksistensi kaum gay (pasti banyak di amerika sana) yang kadang susah untuk berbaur. Saya bukanlah orang yang setuju dengan orientasi seksual seperti itu, tapi bukan berarti kita boleh mengatur seenaknya kaum tersebut kan? Toh mereka manusia, selama nggak mengganggu ya nggak apa-apa lah.

Oiya, ada lagi isu tentang rumor yang saya tangkap. Poin penting disini adalah menghargai perbedaan. Segimana-mananya orang, sejelek apapun mereka physically, ataupun perilaku memalukan mereka mungkin yang suka terlihat, apa untungnya untuk lo buat nyebarin segala cap ke orang-orang tersebut? Semua hal sindiran tersebut dikemas dengan sangat baik lewat naskah yang dirangkai ulang oleh Tina Fey yang turut mengambil peran sebagai guru Cady. Walaupun aslinya diadaptasi dari novel orang berjudul Queen Bees and Wannabes, naskah yang disusun ulang oleh Tina Fey terbukti sangat menggigit dan sukses mengena lewat filmnya sendiri. Dengan menyamarkan segala satir demi satir ke dalam ruang lingkup komedi remaja, semuanya tidak hilang begitu saja lewat dialog-dialog tajam yang berubah-ubah sasarannya, kadang mengarah langsung ke problema sekolahan itu sendiri dan kadang juga tetap mempertahankan unsur lawakan yang dibawa. Bicara Mean Girls siapa sih yang lupa sama Lindsay Lohan? Dia bermain dengan baik disini. Suka sedih kalo ngeliat perbedaan seorang Lohan dulu yang innocent dan sekarang yang jadi bitchy dan bener-bener nakal. Bagaimanapun, Lohan di Mean Girls bermain sangat tegas dalam mengatur suasana dan membangun karakternya dari invisible jadi popular dengan cara yang fun. Yang berbeda dari Lohan dalam penampilannya disini adalah, kalau kebanyakan bintang remaja bermain terlalu spontan dan riangnya menjadi berlebihan hingga jadi nggak jelas karakter mereka mau ngarah ke mana, Lohan disini lebih tenang dan confident dalam berekspresi. 

Dengan menonton Mean Girls, tidak akan semudah itu membantu kita merubah pola pikir atau pola hidup dalam menjalani masa-masa seperti yang digambarkan: tingkat strata, rumor, kepercayaan diri, acceptance. Tidak semudah itu. Tapi setidaknya Mean Girls memberi kita gambaran kecil untuk sedikit membantu kita belajar dan berusaha untuk keluar dari budaya seperti itu, paling tidak usahakan sebisa mungkin. Perubahan justru timbul dari usaha kecil dan konsistensi dalam mencapainya. Berhenti deh peduli sama tingkat strata atau apalah itu. Mengutip pikiran Vampibots di artikel The Breakfast Club nya, semua orang punya kelebihan dan kekurangan. Buktinya seorang sporty guy dan popular girl nggak jarang ada yang bodoh (kenyataan). Dan kaum nerds, diluar penampilan mereka itu, mereka bisa ngebanggain orang kok dengan otak smart mereka. Justru mereka yang nantinya berkemungkinan mengubah dunia. Who knows? Siapa yang tahu kalo orang yang suka lo siksa ke depannya lebih sukses daripada lo dan lo malah bisa jatoh. Inget, hukum karma/ tabur-tuai. Soo, Mean Girls adalah tontonan pintar dalam memberi pelajaran bagi kita lewat embel-embel komedinya. Buktinya, saya sampai celoteh sepanjang ini. [Daniel Putra]

Selasa, 07 Juni 2011

[Top List Update] BEST MOVIE - 2010

Mungkin yang suka baca blog saya bingung melihat postingan film terbaik tahun 2010 yang sering banget saya post ulang. Mmmm ini sih kali ketiganya saya ulang lagi ngepost top list film terbaik tahun lalu. Keputusan saya sangat beralasan, dari sebegitu banyak film-film yang bertebaran di suatu tahun, yang disini adalah 2010, masih ada banyak yang belum saya tonton, anda juga kan?. Nah, kebetulan dan untungnya, beberapa film akhirnya saya tonton. Tapi untuk re-post list saya yang satu ini, sebenernya semuanya udah saya tonton dari tahun lalu atau bisa dibilang memang udah saya tonton sebelum saya ngepost top list pertama saya di bulan januari lalu. Soo alasan paling tepat untuk saya kali ini adalah, setelah saya nonton ulang beberapa film bagus taun lalu, ternyata banyak yang merubah pikiran saya untuk kembali merombak list saya dulu. Repost top list udah saya lakukan beberapa bulan lalu, tapi hanya saya tambahkan The Fighter dan ngedit sedikit worst list. Selain itu, alasan yang lain adalah, saya ngerasa postingan saya kayaknya 'gersang' aja gitu, nggak kreatif dikit hahaha jadi saya tambahin sedikit opini saya disini.

Oiya, mungkin jumlah top list saya agak berbeda dari biasanya, yaitu 15. Posisi 11-15 bukan untuk sekedar embel-embel tambahan atau honorable mention. Tetapi memang saya agak susah untuk menyusutkan list dengan jumlah 10 film. Berhubung tahun lalu lumayan banyak film-film bagus, jadi saya agak susah gitu milihnya hehehe. Soo, berikut film terbaik bagi saya, dimulai dari posisi #15.

Dimulai dari film animasi. Yap, Despicable Me adalah salah satu film terbaik tahun lalu yang saya tonton. Mungkin beberapa tahun belakangan ini (bagi saya) agak sulit untuk menemukan film animasi yang emang pure maksa saya buat ketawa, dan kali ini ada Despicable Me yang (bagi saya lagi) surprisingly-funny. Jujur, awalnya saya nggak berminat nonton nih kartun. Karena berhubung terlalu banyak film kartun dengan animasi semacam ini seperti Monsters vs Aliens atau Planet 51 yang sangat teramat mengecewakan. And then, saya coba untuk nonton, ternyata keren! Satu hal yang paling menarik disini adalah minions dan juga orang2 yang mengisi suara di semua karakter. Tidak hanya dari segi komedia ataupun visualnya, naskah yang ditawarkan pun terbilang unggul dan terbukti menyentuh (yang berhubungan dengan kekeluargaan). Kalau mau dibilang (bagi saya), ketawa saya lebih parah pas nonton ini drpd Toy Story 3.

The Kids Are All Right adalah film yang jarang ada dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, bahkan kayaknya di dekade belakangan ini lumayan susah untuk menemukan film semacam ini. Dengan masalah keluarga yang diangkat, film ini tidak hanya main-main dalam mendramatisasi naskah yang ada. Dibalut dengan unsur komedi yang terlihat sangat nyata dan natural, layaknya kebanyakan keluarga yang pernah kita lihat, emosi kita akan terombang-ambing dalam campuran momen-momen yang sangat beragam disini. Faktor lain yang menjadi keunggulan TKAAR adalah suasana yang tergambar disini. Nggak tau kenapa enak aja gitu nontonnya, misalnya saat family dinner, dll. Oiya, tadinya saya masukkin nih film dalam top ten list, tapi setelah nonton dua kali nggak tau kenapa ada feeling yang hilang dari pikiran saya mengenai komedi drama yang satu ini.

Satu film lagi yang saya geser dari sepuluh besar, Buried. I'm sorry, Reynolds, beberapa film terpaksa harus saya jadikan pengganti filmmu! Well, Buried tetep aja nggak bisa pergi dari otak saya. Salah satu thriller paling menegangkan tahun 2010. Udah pernah nonton Phone Booth? Pasti nggak asing lagi dengan film yang satu ini. Walau tidak sehebat Phone Booth dalam menyampaikan isi cerita berikut dibalut satir yang sangat ngena ke orang-orang, Buried sangat ampuh dalam menguji adrenalin saya cukup dengan satu aktor dan satu peti mati. Ryan Reynolds makin lama makin terlihat kemajuannya, tidak diam di situ-situ saja seperti kebanyakan aktor kelas B. Masuk ke dalam A-list-actor? Bagi saya memang pantas.

Untuk kesekian kali perfilman Hollywood me-remake film international keren dengan sangat baik dan terbukti mampu menyamai film aslinya. Kali ini Let Me In, yang diremake sekaligus diadaptasi dari karya dari Eropa. Faktor utama saya pertama kali untuk nonton ini, jujur, Chloe Moretz. Dan remake yang satu ini, harus saya akui, agak sedikit lebih unggul dari yang asli. Saya lebih suka penggambaran sosok Eli/Abby yang dilakukan Chloe, lebih misterius dan kalem. 

Black Swan adalah salah satu film paling 'menakutkan' sekaligus 'menggelikan' tahun lalu. Menakutkan, maksud saya bukannya takut karena film ini serem. Melainkan obsesi dari karakter utama di film ini yang sangat teramat menakutkan. Menggelikan, bukannya karena jijik akan jalan ceritanya, melainkan adanya beberapa scene yang agak disturbing disini. Semuanya dibalut dengan sangat rapi oleh Darren Aronofsky lewat penampilan Natalie Portman yang sangat istimewa (walaupun ada kabar bahwa sebagian besar karakter portman dilakukan oleh body-double nya). Berkat sinematografi yang sangat membantu mengangkat emosi kita, dan juga scoring yang kelam dan membuat kesan menakutkan, Black Swan adalah thriller psikologi, yang lagi-lagi harus saya kategorikan sebagai 'jarang ditemukan'.

Ayo, lupakan Kung Fu Panda. Yap, animasi jagoan DreamWorks tersebut harus rela direbut posisinya oleh How To Train Your Dragon, yang juga anaknya DreamWorks. Saya sendiri sudah baca bukunya, yang sangat kocak dan buat saya ketawa terbahak-bahak. Berbeda dengan versi buku, filmnya sendiri tampil begitu mempesona dengan momen-momen indah dan cantik yang dibalut dengan visual animasi yang menawan dan termasuk ke dalam visual animasi terbaik yang pernah ada. Momen-momen persahabatan Hiccup dan Night Furry adalah nilai plus untuk film ini. Sebagai kontender animasi terbaik di banyak ajang termasuk Oscar (bahkan scoringnya juga dapet nominasi, secara yang racik si Hans Zimmer), animasi adaptasi ini layak disandingkan dengan Toy Story 3 dan film Pixar lainnya. Oiya, cerita yang di film mengalami banyak sekali perubahan dari bukunya sendiri. Nama Night Furry sebenarnya adalah Toothless.

Ben Affleck, tampil sebagai karakter utama di The Town dan juga merangkap sebagai orang utama yang mengarahkan terbentuknya action thriller terbaik tahun lalu. Dengan track-record dirinya yang sangat beragam. Pernah dicaci maki kritikus karena beberapa penampilan di film-film yang katanya jelek tapi sebagian masih saya katakan biasa aja ah. Bertolak belakang dengan nasibnya itu, ia sukses dengan karir sutradaranya dengan mengarahkan Gone Baby Gone dan kali ini The Town. Dengan naskah adaptasi yang bagus, Affleck sangat berhasil dalam merangkai plotline dengan rapi dan mendebarkan berkat adegan-adegan aksi yang disusun dengan baik. Tidak dilupakan juga sisi dramatisasi yang merupakan tema utama film ini yang tidak berlebihan. Dengan kapabilitas seorang Affleck dalam mengambil dua posisi, dan juga berkat kemampuan mengagumkan dari para pemain, The Town adalah action-thriller yang bersatu padu dengan kesuksesan ensemble cast berikut multiple-role si Affleck sendiri.

Woohoo, Danny Boyle kembali. Namanya jelas tidak asing berkat Slumdog Millionaire yang sukses di tahun 2009 lalu. Kalau anda suka Slumdog pasti bakal suka dengan film ini. 127 Hours sebenernya memiliki dasar cerita yang kalo dibaca sekilas terlihat biasa dan agak umum, menilik keberadaan Phone Booth, Buried, bahkan Devil ditahun yang sama. Tapi pas saya nonton, 127 Hours memiliki perbedaan yang sangat jauh dari semua film tadi. Danny Boyle dan James Franco adalah duo utama bagi film ini. Boyle berhasil dengan kinerja nya mengarahkan filmnya sendiri, sedangkan Franco menghidupkan film ini sehingga terasa 'nyala' lewat embel-embel halusinasi yang mengangkat kesederhanaan premis cerita. Franco bermain dengan penuh responsibel, menanggung semua hal yang mungkin dilimpahkan ke dirinya dan harus dia lakukan semaksimam mungkin. Editing dan scoring 127 Hours mungkin agak mirip dengan slumdog. Kalau boleh memilih, editing 127 Hours sedikit lebih ampuh menghidupkan suasana dibanding kompetitor lainnya di Oscar.

The Fighter adalah salah satu film yang paling mengadu emosi saya saat nonton. Dan film ini adalah filmnya Christian Bale, bukan Wahlberg. Bukan berarti Wahlberg main jelek dan Bale bisa menimpanya karena ia lebih baik, bukan. Tapi Bale membuktikan totalitas aktingnya yang sangat maju tahun demi tahun dan klimaksnya di The Fighter saat dirinya diganjat oscar. Tidak hanya itu, film ini memiliki ensemble-cast sempurna. Semuanya tampil sangat kuat, memompa dan menaikkan tensi drama yang mengharukan berikut menegangkan. Momen-momen indah nan emosional  nya pun berhasil membuat saya menyukai film ini. But, mmm, bagi saya Amy Adams tampil lebih menyala dibanding Melissa Leo yang juga sangat tajam keberadaannya.

Saya nonton Blue Valentine dua kali, dan harus setuju dengan sebuah artikel di TotalFilm yang menyatakan best actor harus disematkan dalam diri seorang Ryan Gosling (walaupun di lubuk hati saya yang lebih dalam lagi mengatakan "Jesse Eisenberg"). Dan untuk best picture sendiri, seharusnya Blue Valentine termasuk ke dalam sepuluh besar itu. Screw The King's Speech! Sama seperti Brokeback Mountain, film ini juga memaparkan bagaimana penderitaan dari hubungan yang menemukan jalan buntu. Bagaimana cara menghadapinya dengan benar, penuh tanggung jawab, dan bijak? Semuanya digambarkan oleh sosok Gosling yang bermain sangat amat jujur layaknya kehidupan nyata. Penggambaran sisi dilematis dilakukan dengan ajaib dan sempurna olehnya. Segala momen didramatisasi begitu baik dengan editing yang agak confusing tapi ternyata adalah salah satu jiwa dari film ini sendiri.

Memasuki top five, saya mulai dengan Easy A! Woohoo, Emma Stone! Pernah nonton Mean Girls? Pasti nggak asing sama yang satu ini. Komedi kocak yang dipenuhi dengan dialog-dialog brillian yang harus didengarkan semua orang khususnya anak-anak sekolahan. Dan anda tau Juno? Pasti suka juga dengan Easy A. Emma Stone adalah nyawa film ini, memaparkan kehidupannya di sekolah, sebenarnya yang ia lakukan adalah menyampaikan pesan-pesan bijak kepada kita. Dialog-dialog satir yang kayaknya lebih ngena ke anak-anak amerika dimanfaatkan dengan smart oleh Emma Stone untuk menunjukkan keistimewaannya dalam berakting, tanpa memerlukan peran serius yang kayaknya banyak orang pikir sebagai peran yang 'lebih oscar'. Sindiran utama Easy A mungkin adalah, apapun yang kita lakukan, mau orang ngomong apa ya bodo amat. Mau lo hamil di luar nikah, mau lo bintang porno, mau lo suka banget sama sex bebas, ya itu urusan lo, dan kalo lo menemukan orang seperti itu disekitar lo, ya itu bukan urusan lo dan jangan ikut campur. Mungkin contoh disamping sulit untuk diterima di negeri ini dan harusnya saya pake contoh yang lebih lembut, tapi sepertinya contoh disamping emang lebih ngena ke orang2 yang suka ikut campur, apalagi di Indonesia seperti *oops* FPI.

Nolan did it again, yap, again. Nolan adalah sutradara papan atas berotak papan atas yang kalau kita lihat track-recordnya pasti susah bagi kita untuk menemukan film sampahnya. Tidak ada. Nolan dikenal berkat kejeniusannya dalam membuat naskah cerita dan suntingan film yang smart dan pemaparan cerita yang sedetail-detailnya. Kali ini ia membuktikan kredibilitasnya dalam meramu jamuannya yang tidak asing lewat Inception, yang mungkin lebih rumit. Butuh dua kali nonton bagi saya untuk mengerti jalan ceritanya, dan tiga kali nonton untuk menyukainya. Nolan memukau saya dalam caranya memblender otak saya dan menyematkan kebingungan dalam otak saya untuk bisa berpikir dengan baik. Inception menegaskan bahwa tidak hanya film itu sendiri yang harus pintar dan cermat, tapi penonton sendiri harus lebih pintar dalam menyaksikan sebuah karya, yang disini adalah karya Nolan. Beruntung Inception punya jajaran pemain yang sangat keren (nggak usah saya sebutin satu2, kalo nggak tau ya kebangetan). Once again, screw the king's speech. Screw tom hooper!

Kick-Ass adalah film paling berani dan 'membahayakan' tahun lalu. Tema superhero yang dibawakan sekali lagi berbeda dengan kebanyakan film sejenis. Tampil dengan kesadisan yang bener-bener sadis tapi sangat saya sukai, semuanya diracik dengan sangat fun!. Jarang-jarang ada film seperti ini. Premis from-zero-to-hero ditekankan dengan sangat buka-bukaan dan lugas, berikut juga premis mengenai superhero tidak harus punya supernatural-ability, melainkan kemampuan yang harus diasah sebaik mungkin maka kita bisa menjadi superhero tersebut. Satu karakter yang mencuri perhatian saya, Chloe Moretz. Agak disayangkan memang si Kick-Ass nya sendiri agak ketutup sama HitGirl. Bukannya simpati yang saya rasakan pada si HitGirl yang tidak selayaknya jadi gitu, tapi saya rasanya pengen dia beraksi lebih kejam, kejam, dan kejam. Kick-Ass membuat tahun 2010 lebih berwarna dan lebih bervariasi.

Toy Story 3 adalah film terbaik yang sejauh ini pernah ditunjukkan Pixar ke mata publik. Digampar label 'animasi terbaik sepanjang masa' bahkan layak juga bagi Toy Story 3. Sebagai titik akhir dari installment Toy Story, franchise ini tumbuh semakin dewasa. Mungkin Toy Story 3 bisa dibilang tidak terlalu ngena untuk ditonton anak kecil, maksud saya bukannya film ini tidak baik bagi anak kecil, melainkan banyaknya pesan-pesan yang coba diberikan kepada kita yang sudah dewasa. TS3 pun tampil lebih berwarna dan lebih bergenre sebagai sebuah adventure. Tidak hanya itu, kisah perjalanan Andy's Toys berakhir dengan sangat menyentuh disini. Sebuah tema universal yang diangkat berhasil disandingkan dengan quotes/pesan yang ada, misalnya tentang bertumbuh dewasa. Dalam mengalami pertumbuhan atau mungkin saat kita telah tumbuh dewasa, sudah seharusnya kita semakin berubah, tidak hanya dewasa fisik semata, melainkan dewasa didalam. Oiya jangan pernah ngebuang mainan waktu kecil, karena menurut saya, lagian ngapain coba dibuang, kayaknya lebih bermakna aja gitu kalo kita simpen dan suatu saat kita liat2 lagi untuk sekedar memorabilia masa lalu, ya kan? 

Sangat susah untuk memilih mana yang terbaik antara Toy Story 3 dan film arahan David Fincher paling mutakhir ini. And well, berhubung faktor diri saya sebagai fans fincher, ahahaha, dengan sangat bijak saya menempatkan The Social Network di posisi pertama. Kalau dibilang sebagai masterpiece seorang Fincher, agak sulit juga, karena sekali lagi agak sulit untuk saya untuk memilih mana yang lebih baik dari TSN dan Fight Club. Ada kalanya saya menyanjung-nyanjung sebuah karya, memberinya nilai yang bagus, tapi tidak berarti akan menyukainya. Tapi ada yang berbeda dari seorang David Fincher, karya-karyanya sangat mudah untuk disanjung dan juga disukai. TSN tampil sangat mewah. Mewah? Naskah pintar, akting pintar nan 'bacot' dari seorang Jesse Eisenberg sebagai si pembuat facebook, editing dan sinematografi yang sangat menawan dan berkelas, dan semuanya bersatu padu dan semakin seru berkat scoring yang diisi Trent Reznor, komposer langganan si Fincher. Jesse Eisenberg mungkin akan menjadi the next christian bale ke depannya, yap, dari kualitas aktingnya sangat terlihat masa depan yang sangat menjanjikan. Hahaha mungkin agak menggelikkan bahasa saya, tapi itulah kenyataan. Oiya seperti yang saya katakan di awal artikel tadi, faktor saya merombak top list saya adalah karena telah beberapa kali nonton film2 yang ada di list saya. Dan yang paling sering saya tonton adalah The Social Network, tidak bohong, sudah lebih dari lima kali dan nggak pernah bosen :)


Honorable Mentions :
1. Shutter Island (see this if you like The Others)
2. Scott Pilgrim vs The World (see this if you like Kick-Ass)
3. Rapunzel (see this if you like Princess and The Frog)
4. Salt
5. Knight and Day 
6. The A-Team (see this if you like Mission: Impossible)
7. You Again (see this if you like Easy A & Glee)
8. Hachiko: A Dog's Tale
9. Percy Jackson & The Olympians: The Lightning Thief
10. Monsters
11. Date Night (see this if you like Pineapple Express)
12. Daybreakers
13. Iron Man 2 
14. Somewhere
15. Flipped

Worst List :
1. Predators
2. The Romantics
3. Legion
4. Bounty Hunter
5. Splice
6. Vampires Suck
7. The Last Airbender
8. Piranha 3D
9. Twilight Saga: Eclipse
10. The Warrior's Way