infolinks

Jumat, 10 Juni 2011

[Double Shot] RISKY BUSINESS & MEAN GIRLS

Akhirnya setelah lama nggak mereview atau buat artikel, tiba-tiba timbul niat lagi. Masih sama seperti beberapa bulan lalu, saya sebenernya lagi sering-seringnya nonton film-film terutama film yang terbilang penting. Dan berhubung sangat banyaknya film yang saya tonton, dan tidak punya banyak waktu untuk ngetik, jadi agak susah juga ngebagi waktu *males*. Artikel saya ini bukan quick review. Dua film ini: Risky Business dan Mean Girls sengaja saya gabungkan karena kedua film berikut memiliki genre yang sama. Tidak hanya itu, pembahasan yang saya tulis memiliki keterkaitan yang relevan satu sama lain. Oiya, dan lagi, artikel saya kali ini mungkin terlihat lebih ke membicarakan persoalan yang disinggung/disindir mereka.

Kedua film ini adalah film teen coming-of-age comedy. Membahas sosialita kehidupan yang sangat mengena, terutama pada kaum remaja, Risky Business dan Mean Girls tidak hanya menawarkan hiburan semata. Adanya pesan dan sindiran pintar nan cerdik yang sangat dalam dengan jelas saya rasakan dan mengerti. 

RISKY BUSINESS (1983)
Director Paul Brickman
Cast Tom Cruise, Rebecca De Mornay, Curtis Armstrong, Joe Pantoliano
Distributor Warner Bros. Pictures
Genre Comedy
Rate *****
Joel Goodson, diperankan dengan baik oleh Tom Cruise, hanyalah seorang murid sekolah menengah atas. Eh, tidak 'hanya' sih, dia kaya dan bisa dibilang untuk di jaman itu hidupnya sangat mewah. Jangan menganggap Joel hanyalah anak kaya raya seperti karakter2 kaya yang bodoh nan sombong seperti di kebanyakan film. Di sekolahnya ia adalah anggota Future Enterprises, semacam club atau kalo disini sering disebul ekstrakurikuler yang memberikan latihan mengenai perbisnisan. Kedua orangtua Joel adalah tipe orang tua yang strict, segala keperluan berikut aktivitas Joel diatur dan diawasi sedemikian teliti dan seteratur mungkin.

Suatu hari kedua orang tua Joel berurusan dan pergi ke luar kota untuk seminggu dan meninggalkan Joel sendirian, dengan segala aturan dan beribu nasihat yang pasti agak enek buat seorang laki-laki seperti Joel. Nah sudah ketahuan kan apa yang akan dilakukan Joel demi mengambil keuntungan dari kebebasannya ini? Berawal dari ide usil temannya yang akhirnya ia patuhi, Joel mengisi hari-hari bebasnya tersebut dimulai dengan memanggil jasa pekerja seks komersial bernama Lana (Rebecca De Mornay). Having free sex, lalu masalah yang tidak diharapkan menghancurkan 'kebebasan' Joel tersebut. Kehadiran Lana yang tadinya diharapkan hanya untuk satu malam memanjang menjadi berhari-hari, demi membantu Joel membersihkan semua bukti kesalahan yang bisa tercium orang tuanya nanti.
Sebenernya nggak kepikiran untuk nonton film yang terbilang jadul ini. Satu kali baca review dari blog orang, nggak tau kenapa saya jadi tertarik. Mungkin daya tarik pertama adalah nama si Tom Cruise, aktor yang pasti agak mustahil kalo nggak ada yang tahu. Eh, belum lengkap, tidak hanya nama seorang Tom Cruise semata yang membuat saya tertarik. Faktor browsing info nih film, ternyata Risky Business adalah garis start atau awal dari gemilangnya karir aktor yang paling terkenal namanya lewat aksi misi rahasia dan loncat-loncat gedungnya itu loh. Walaupun film ini adalah pertama kali dia jadi lead actor, nggak tau kenapa kayaknya Tom Cruise lebih dikenal awal karirnya dengan Top Gun, iya nggak sih? Ato cuma saya aja yang dulu mikir seperti itu. Risky Business disutradarai oleh Paul Brickman yang sama sekali saya nggak tahu. 

Agak bingung juga sih mau ngomongin darimana dulu. Oiya, faktor lain saya mau nonton film ini adalah genrenya sendiri sebagai sebuah film coming-of-age comedy yang termasuk tipe film saya. Risky Business mungkin merupakan awal dari kebangkitan film bergaya remaja yang kemudian semakin marak setelahnya. Tapi agak jarang menemukan yang seperti ini, Risky Business memiliki kelebihan dalam mengemas satir yang sangat ngena ke anak-anak sekolahan, khususnya anak SMA, atau manusia2 yang sedang memasuki masa pubertas. Satu hal penting yang sangat diidam-idamkan dari karakter Joel itu sendiri yang pasti adalah kebebasan *mungkin kalimat-kalimat berikut agak sedikit dicampur curhat*. Satu hal penting yang hendak diperlihatkan Risky Business adalah sejauh mana obsesi seorang remaja membawa kita. Mungkin dengan jalan cerita yang mengalir kepada masalah2 dari kesalahan Joel seakan malah terlihat film ini mau menyindir berikut menasihati remaja2 untuk mematuhi orang tua, dengar-dengaran, kalau tidak malapetaka akan menghinggapimu. Bukan.  Malah menurut saya, justru kaum orang tua itu sendiri yang menjadi sasaran sindir dari film ini. Miris juga loh jadi anak yang baru2 mau masuk usia dewasa, rasanya menjengkelkan sekali apa-apa masih dikekang orangtua. Bukannya mau menolak ajaran orang tua ataupun kurang ajar, tapi kadang mereka harus bijak juga dong dengan memberi aturan yang kadang mereka lupakan apa hak kita. Oke, orang tua memang berkewajiban penuh menjaga anaknya yang masih dibawah umur. Tapi ingat, kewajiban harus dilakukan tanpa melupakan hak dari orang yang berkaitan dengan kewajiban tersebut.
Kadang orang tua cuma bisa marah-marah tanpa alasan yang jelas, hanya semata untuk memuaskan gairah marah2 mereka (nggak semuanya seperti ini mungkin, tapi saya mengalaminya). Intinya, walaupun kita sebenarnya ada di pihak atau sisi yang benar, dengan kata lain misalnya orang tua sebenernya yang salah, mereka nggak akan mungkin mengalah meskipun mereka tahu kita lah yang sesungguhnya benar. Yang namanya orang tua terlalu berpaku sama hukum alam yang mengharuskan mereka mengekang anak dibawah umur. Ugh screw that rule! Asal mereka tahu di keadaan orang yang mendekati batas umur tuh, pikiran orang tsb tidak jauh berbeda dari pemikiran dewasa, sudah tahu mana yang salah/benar. Yap, sekelumit curcol saya diatas pasti apa yang coba digambarkan Risky Business. Mungkin contoh yang ditunjukkan film ini sangat berseberangan dengan arah pemikiran bangsa timur, tapi itulah Amerika. Untuk kelas teen coming-of-age comedy, Risky Business tidak ketinggalan dalam penggarapannya, misalnya editing ataupun angle kamera yang memang ketebak jadulnya tapi masih asik ditonton dan tetep aja tidak menghilangkan kesan lucunya. Oiya jangan lupakan shoot camera di opening dan juga ending yang dimulai/diakhiri dari close-up wajah si Joel tepatnya di kacamatanya itu. Hal yang sampai kini menjadi ciri khas sebuah Risky Business, sampai di posternya juga. Tidak ketinggalan scene dance si Joel pas sendirian di rumah, hal yang identik sekali dari film ini. Hal yang menjadi ke-khas-an yang lain mungkin adegan having sex di kereta yang sebenernya agak lucu tapi memorable aja gitu.

Risky Business adalah sebuah komedi satir remaja yang gemilang. Gemilang dari penampilan bintang-bintangnya yang pertama. Menggunakan film ini sebagai ajang awal karir suksesnya hingga sekarang, bahkan mendapat nominasi Golden Globe pertamanya berkat film ini, Tom Cruise berhasil membawakan film ini dari titik awal film berjalan dengan banyak hal-hal penting yang sangat ngena ke orang2, remaja khususnya, hingga klimaks film yang berakhir dengan melegakan. Rebecca De Mornay juga bagus, karakternya yang ngeselin dan ngebuat hidup Joel merana sangat amat membuat saya kesel juga pada awalnya. Dia juga tampil frontal disini dengan adegan seksnya, anehnya sekarang dia nggak terlalu terdengar gaungnya. Ada quote yang paling saya suka dari Risky Business, "What the fuck" gives you freedom. Freedom brings opportunity. Opportunity makes your future. Ya nggak usah pusingin apa yang orang omongin tentang lo (dalam kisah Joel sendiri mungkin jangan peduli sama apa kekangan orang tua yang suka bikin enek). Intinya dengan bodo amat itu lagian siapapun bakal bisa meraih kebebasannya dengan bener, tanpa dipusingin pikiran jenuh/keresahan apa yang orang omongin. Risky Business menurut saya sendiri adalah sebuah masterpiece di kelasnya, sebuah karya Paul Brickman yang mendekati kesempurnaan di bilangan komedi satir. Untuk dicompare sama film sejenis yang lebih modern pun nggak kalah. Classic entertaining.


MEAN GIRLS (2006)
Director Mark Waters
Cast Lindsay Lohan, Rachel McAdams, Amanda Seyfried, Lachey Chabert
Distributor Paramount Pictures
Genre Comedy
Rate ****
Cady Heron (Lindsay Lohan) hanyalah gadis polos yang mungkin jumlah temannya terjangkau dalam hitungan jari. Tidak berarti ia adalah cewe kuper, semua ini hanya karena dirinya tidak pernah mengalami kehidupan sekolah reguler, melainkan mendapat didikan di homeschooling dari kecil. Menghabiskan sebagian besar kehidupannya di Africa, Cady beserta kedua orangtuanya (Ana Gasteyer dan Neil Flynn) memutuskan untuk pindah kembali ke kota asalnya di Illinois, Amerika Serikat. Memulai kehidupan baru, Cady akhirnya disekolahkan ke sekolah menengah atas reguler dan berkesempatan berbaur dengan sosialita pada umumnya. 

Kehidupan sekolah di North Shore High School tidak semudah yang ia bayangkan. Semua orang berpecah menjadi bagian-bagian dan sulit bagi Cady untuk mendapat teman bahkan mendapat kursi kosong yang memperbolehkan dirinya untuk makan bersama orang-orang. Cady pun mendapat teman, Janis (Lizzy Caplan) cewe gothic dan Damien (Daniel Franzese), dua orang ini mengerti akan keberagaman jenis maupun group2 di sekolah tersebut dan mengajari Cady bagaimana cara untuk 'bertahan hidup'. Suatu kali Cady diajak bergabung oleh geng cewe terkenal yang menamai diri mereka sebagai The Plastics yang diketuai oleh Regina George (Rachel McAdams) dan beranggotakan dua orang cewe yang malah kelihatan seperti pengikut atau kasarnya pembantu. Diterimanya Cady kedalam geng tersebut dimanfaatkan dirinya serta Janis dan Damien untuk melakukan konfrontasi diam2 yang bertujuan untuk memecahbelah mereka. Tidak semudah yang dipikirkan, rencana awal seakan berubah seiring perubahan yang dialami Cady.
Satu lagi teen comedy yang terbilang sukses di masanya. Kalau tahun '80-an punya Risky Business, sepertinya dekade 2000-an punya-nya Mean Girls. Yap, Mean Girls termasuk salah satu komedi remaja terbaik di kelasnya. Mungkin gaya yang dibawakan Mean Girls agak berbeda dengan Risky Business secara perbedaan masa yang terbilang cukup jauh sehingga menimbulkan kesan yang sangat berbeda antara keduanya. Film ini disutradarai oleh Mark Waters, pria yang memang lebih sering mengarahkan film-film seperti yang satu ini, tapi ada juga yang beda seperti The Spiderwick Chronicles yang sangat disayangkan berhenti hanya di seri pertama padahal filmnya termasuk bagus dan lumayan seru. Tahu Freaky Friday yang juga dibintangi oleh Lindsay Lohan setahun sebelum Mean Girls beredar? Nah itu juga filmnya pria ini. Contoh lainnya adalah Just Like Heaven, hingga Ghost of Girlfriends Past yang menurut saya agak bosenin, oiya ada juga film dia tahun ini tapi lupa namanya *males buka imdb lagi*. Mark Waters terbilang konsisten dalam mengeluarkan film-filmnya yang kebanyakan film ringan seperti Mean Girls, dan dari semua filmnya yang udah saya tonton kebanyakan fun-fun aja dan nggak berkesan rugiin waktu saya, termasuk Mean Girls pastinya.

Lagi-lagi membicarakan kehidupan anak-anak remaja. Bedanya kali ini Mean Girls langsung berfokus penuh kepada kehidupan di masa-masa SMA yang terkenal paling macem2 deh masalah serta keruwetannya yang tidak semata sibuk belajar. Ya saya sebagai anak ABG, dan juga masih SMA, sekali lagi merasa sangat ngena oleh apa yang dibicarakan film seperti ini. Bedanya Mean Girls lebih nyata dan emang terjadi sampai saat ini. Dan bedanya lagi film ini tidak secara langsung ngena ke saya secara pribadi, melainkan ke keadaan masa-masa SMA yang persis sama. Hmm, banyak yang bilang masa sekolah menengah atas tuh pengalaman yang paling nggak bisa dilupain, bahkan kata orang-orang masa kuliah aja masih kalah seru sama tingkat yang ini. Well, emang kelihatan sih dari cerita temen-temen saya yang lebih tua ataupun orang tua saya. Fakta penting yang ada di film ini: high school society. Yap, nggak cuman dalam kehidupan bermasyarakat aja ada tingkatan strata yang bisa membeda-bedakan orang seperti kaya-miskin. Memang sudah kenyataan hal seperti ini juga ada di dunia nyata, tidak hanya di film. Mean Girls jelas sangat menyindir dengan cara yang lugas terselubung lewat unsur lawakan yang dibawa. Saya bukannya cuma bisa ngomong, karena memang hal pembedaan ini sungguh terjadi di sekolah saya dan kami sebagai anak sekolahan zaman sekarang yakin ada di banyak sekolah, khususnya jakarta selatan yang lebih marak. Apalagi SMA *sensor* yang terkenal parah.

Pasti ada juga yang nggak ngerti apa aja sih golongan-golongan di sekolahan jaman sekarang. Yang saya ketahui dan sungguh ada di sekolah saya *no offense guys if i mention your label*: sporty guy, popular girls, nerds, bullied ones (yang paling umum sih empat itu). Dalam satu lingkup angkatan pasti ada aja anak-anak sporty yang biasanya anggota tim basket/futsal dan nggak jarang 'merangkap' sebagai tukang iseng atau ngerjain anak-anak yang tergolong lemah dan penakut. Kadang saya juga berpikir, apa sih salah mereka dan maksud tuh tukang bully melakukan that dumb shit? Biasanya sih nggak lain supaya terlihat keren, alhasil jadi terkenal dan bisa dibilang jadi jeger/ikon angkatan. Ada juga  cewe-cewe popular, disini digamabarin oleh The Plastics, yang kayaknya tuh sekolah emang nyari tuh label eksis/popular dan menyingkirkan arti sekolah sebenernya. Dan biasanya sih ya cewe-cewe kayak gini nggak jarang bodoh-bodoh dan tukang nyontek *ehem saya sering sih sebenernya hahaha*. Dan yap, sama halnya seperti di The Plastics yang isinya ada Regina sebagai pemimpin yang ibaratnya emang paling terkenal dari orang-orang terkenal. Ada juga cewe popular seperti Gretchen dan Karen yang terlihat seperti penguntit. Terlihat fiksi sih emang, tapi mau dibilang apa hal itu memang ada. Kadang orang-orang seperti ini terlihat bangga aja gitu dengan sikap dan kebodohan mereka, apa yang mau disanjung coba? Dan lebih enek lagi kalo orang seperti mereka pacaran, cewe blo'on-cowo blo'on, ugh, koreksi diri dulu dong. Semuanya digambarkan dengan sangat baik lewat Mean Girls. Dulu pas pertama kali nonton saya nggak terlalu ngerti sama segala satirnya, tapi tiap nonton berulang-ulang dan saya sendiri yang makin dewasa dan mengerti, suatu pemikiran timbul dan saya emang akui semua itu nyata bukan fiksi belaka.  
Kadang saya suka ragu apa benar apa yang ada di film-film kebanyakan seperti Mean Girls sungguh terjadi di luar sana, dalam hal ini adalah negeri paman sam. Apa yang terjadi di kehidupan SMA indonesia jelas masih jauh lebih baik daripada yang suka kita lihat di film. Dan ternyata, saat saya tanya keluarga saya yang sudah lama hidup di sana, memang benar apa yang sering diperlihatkan film adalah nonfiksi. Katanya bullying di sana terlewat parah, malah katanya yang namanya orang makan di wc emang sering ada. Nggak tahu apa yang harus dilakukan untuk merubah semua ini, memang salah dari akarnya dan sulit untuk melakukan perubahan. Pola hidup dengan pembagian tingkatan strata seperti ini sepertinya sudah tertanam di pikiran manusia dalam-dalam. Saya tidak mengatakan bahwa saya termasuk orang yang bersih dan layaknya malaikat. Hahaha tidak, kadang emang suka ketawa melihat aksi penekanan yang embel-embelnya cuma buat bercanda. Makanya itu, seperti saya bilang tadi, susah untuk diperbaiki. Kembali ke bahasan mengenai filmnya sendiri, Mean Girls tidak hanya bicara mengenai tingkatan-tingkatan di SMA yang makin lama terkesan universal. Mean Girls juga berbicara mengenai obsesi akan kesempurnaan, yang disini diperlihatkan lewat obsesi si Regina akan badan yang sempurna *kirimin lagu born this way*. Ada juga sindiran tentang orang tua ceroboh yang terlalu memperbolehkan anaknya melakukan apa saja. Berkaitan dengan artikel Risky Business saya, saya bukannya ingin orang tua tuh memberikan kebebasan yang terlalu berlebihan. Tetapi seorang orang tua cukup menyetarakan kewajiban mereka dan hak seorang anak dengan adil ya kan. Ada juga sindiran mengenai eksistensi kaum gay (pasti banyak di amerika sana) yang kadang susah untuk berbaur. Saya bukanlah orang yang setuju dengan orientasi seksual seperti itu, tapi bukan berarti kita boleh mengatur seenaknya kaum tersebut kan? Toh mereka manusia, selama nggak mengganggu ya nggak apa-apa lah.

Oiya, ada lagi isu tentang rumor yang saya tangkap. Poin penting disini adalah menghargai perbedaan. Segimana-mananya orang, sejelek apapun mereka physically, ataupun perilaku memalukan mereka mungkin yang suka terlihat, apa untungnya untuk lo buat nyebarin segala cap ke orang-orang tersebut? Semua hal sindiran tersebut dikemas dengan sangat baik lewat naskah yang dirangkai ulang oleh Tina Fey yang turut mengambil peran sebagai guru Cady. Walaupun aslinya diadaptasi dari novel orang berjudul Queen Bees and Wannabes, naskah yang disusun ulang oleh Tina Fey terbukti sangat menggigit dan sukses mengena lewat filmnya sendiri. Dengan menyamarkan segala satir demi satir ke dalam ruang lingkup komedi remaja, semuanya tidak hilang begitu saja lewat dialog-dialog tajam yang berubah-ubah sasarannya, kadang mengarah langsung ke problema sekolahan itu sendiri dan kadang juga tetap mempertahankan unsur lawakan yang dibawa. Bicara Mean Girls siapa sih yang lupa sama Lindsay Lohan? Dia bermain dengan baik disini. Suka sedih kalo ngeliat perbedaan seorang Lohan dulu yang innocent dan sekarang yang jadi bitchy dan bener-bener nakal. Bagaimanapun, Lohan di Mean Girls bermain sangat tegas dalam mengatur suasana dan membangun karakternya dari invisible jadi popular dengan cara yang fun. Yang berbeda dari Lohan dalam penampilannya disini adalah, kalau kebanyakan bintang remaja bermain terlalu spontan dan riangnya menjadi berlebihan hingga jadi nggak jelas karakter mereka mau ngarah ke mana, Lohan disini lebih tenang dan confident dalam berekspresi. 

Dengan menonton Mean Girls, tidak akan semudah itu membantu kita merubah pola pikir atau pola hidup dalam menjalani masa-masa seperti yang digambarkan: tingkat strata, rumor, kepercayaan diri, acceptance. Tidak semudah itu. Tapi setidaknya Mean Girls memberi kita gambaran kecil untuk sedikit membantu kita belajar dan berusaha untuk keluar dari budaya seperti itu, paling tidak usahakan sebisa mungkin. Perubahan justru timbul dari usaha kecil dan konsistensi dalam mencapainya. Berhenti deh peduli sama tingkat strata atau apalah itu. Mengutip pikiran Vampibots di artikel The Breakfast Club nya, semua orang punya kelebihan dan kekurangan. Buktinya seorang sporty guy dan popular girl nggak jarang ada yang bodoh (kenyataan). Dan kaum nerds, diluar penampilan mereka itu, mereka bisa ngebanggain orang kok dengan otak smart mereka. Justru mereka yang nantinya berkemungkinan mengubah dunia. Who knows? Siapa yang tahu kalo orang yang suka lo siksa ke depannya lebih sukses daripada lo dan lo malah bisa jatoh. Inget, hukum karma/ tabur-tuai. Soo, Mean Girls adalah tontonan pintar dalam memberi pelajaran bagi kita lewat embel-embel komedinya. Buktinya, saya sampai celoteh sepanjang ini. [Daniel Putra]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar