infolinks

Minggu, 27 Februari 2011

83rd Annual Academy Awards Winner List

Ajang penganugerahan perfilman paling bergengsi baru saja selesai dilaksanakan beberapa menit yang lalu. Acara yang dilaksanakan di Kodak Theatre, Los Angeles ini dipandu oleh pasangan aktor dan aktris yang pastinya telah dikenal publik. Mereka berdua tidak lain adalah James Franco, aktor yang kebetulan kali ini juga mendapat nominasi Best Actor atas penampilannya di film arahan Danny Boyle, 127 Hours. Ia ditemani oleh si cantik Anne Hathaway, aktris yang sebelumnya juga pernah meraih nominasi Best Actress atas perannya di Rachel Getting Married. Perhelatan yang berlangsung sekitar tiga jam ini dilaksanakan pada Senin, 28 Februari 2011 mulai pukul 06.00 WIB, pastinya diawali oleh red carpet dulu. Banyak yang mengkritik cara pembawaan acara yang dilakukan oleh kedua host tersebut. Bahkan parahnya tidak sedikit yang mempredikatkan Anne dan Franco sebagai worst-oscar-host-ever. Franco sendiri lewat akun twitter yang baru dibuatnya katanya (belom saya lihat sih) menanggapi segala kritikan pada dirinya dengan meng-upload beberapa foto. Ya, well, memang sih Franco gak berhenti-berhentinya mempublikasikan beberapa kejadian di backstage lewat akun twitternya. In my opinion, Franco memang gak bagus bawain acara. Kelihatan kaku, kaget, dan gak pede aja di panggung. Sedangkan Anne terlihat mau menyeimbangkan kejelekkan Franco, bagus sih, tapi malah kelihatan maksa. Mirisnya di acara-acara sebelum malam final mereka berdua terlihat siap dan berani untuk mengarahkan acara di atas panggung. Ya, kalau ini film, bisa dibilang chemistry mereka bener-bener gagal dan gak nyambung. Alhasil acara yang pada dasarnya membosankan jadi tambah datar.Pada dasarnya acara Oscar tahun ini saya rasa datar dan sedikit mudah untuk ditebak. Selain itu tidak ada penguasaan tersendiri oleh satu film seperti perhelatan tahun-tahun lalu. Dari awal acara tidak terlihat tanda-tanda The King's Speech akan merajai Oscar. Bagaimana tidak, di awal acara saja Inception dan Alice In Wonderland duluan memborong masing-masing dengan dua nominasi. Penghargaan yang awalnya banyak dikira sebagai media bagi Inception untuk sekali-kali menjadi 'raja' ludes sudah ketika The Social Network berhasil merebut tiga penghargaan dari delapan nominasi yang diperolehnya. Saat memasuki penghargaan di departemen akting, The King's Speech ternyata bisa juga menyusul keunggulan The Social Network dengan menggondol tiga piala sekaligus. Well, hal ini tetap saja tidak membuat The King's Speech berkuasa sebagaimana dikira. Film bersetting negara Inggris ini hanya mampu membawa empat piala, sama seperti Inception. Inception sendiri unggul di bidang 'persuaraan' dan juga efek visual. Kesamaan raihan piala yang dialami kedua film ini disusul oleh The Social Network yang menggondol tiga piala. Sedangkan Toy Story 3 , The Fighter, dan Alice in Wonderland berhasil membawa pulang dua piala. Ajang yang terhitung telah dilaksanakan sebanyak 83 kali ini tidak memberi hoki bagi beberapa film jagoan. True Grit contohnya, tidak satu pun piala yang bisa direbutnya. Begitu pula dengan Winter's Bone dan The Kids Are All Right yang mengalami nasib serupa. The Fighter sendiri merajai di departemen akting pembantu. Masih mengganjal bagi saya melihat kemenangan The King's Speech. Rasanya film yang satu ini tidak tampil semewah dan sekuat lawan utamanya, The Social Network. Bahkan 127 Hours dan The Fighter sekalipun masih lebih layak dikatakan film terbaik dibanding film 'gagap' The King's Speech. Bagi saya, Oscar tahun ini adalah Oscar yang berisi banyak penghinaan bagi beberapa insan terbaik. Sebut saja Andrew Garfield yang akting memikatnya harus rela tidak diberi satu nominasi Best Supporting Actor, anehnya Mark Ruffalo yang terlampau biasa malah terasa menggeser si calon spiderman ini. Tidak hanya itu, Christopher Nolan yang notabene adalah pengarah film Inception mengalami nasib serupa dengan Garfield, tidak mendapat jatah nominasi. Kemenangan Tom Hooper sendiri juga suatu penghinaan bagi lawannya di kategori Best Director. Rela kah anda dia mengalahkan si jenius Nolan? Atau si perfeksionis Arnofsky? Bahkan si brillian Fincher? Saya sih tidak rela. Colin Firth masih bisa saya terima akan kemenangannya, tapi tidak bisa mengelak, saya nilai Jesse Eisenberg memiliki kualitas akting lebih baik darinya. Seperti yang saya katakan tadi, departemen pemeran pendukung diwarnai oleh kejayaan The Fighter; suatu hal yang sangat saya suka dan pasti saya terima.

Well, inilah daftar pemenangnya:
  • Best Picture: The King's Speech -- should: The Social Network
  • Best Director: Tom Hooper -- should: David Fincher/ Nolan
  • Best Leading Actor: Colin Firth (The King's Speech) -- should: Jesse Eisenberg
  • Best Leading Actress: Natalie Portman (Black Swan)
  • Best Supporting Actor: Christian Bale (The Fighter)
  • Best Supporting Actress: Melissa Leo (The Fighter) -- should: Amy Adams
  • Best Animated Feature: Toy Story 3
  • Best Art Direction: Alice in Wonderland
  • Best Cinematography: Inception
  • Best Costume: Alice in Wonderland
  • Best Make-Up: The Wolfman
  • Best Editing: The Social Network -- could: 127 Hours
  • Best Original Song: We Belong Together (Toy Story 3) -- could: If I Raise
  • Best Original Score: The Social Network
  • Best Sound Mixing: Inception
  • Best Sound Editing: Inception -- should: Tron Legacy
  • Best Visual Effect: Inception
  • Best Adapted Screenplay: The Social Network
  • Best Original Screenplay: The King's Speech -- should: Inception
  • Best Foreign Language Film: In a Better World
  • Best Documentary: Inside Job
  • Best Documentary Short Subject: Strangers No More
  • Best Animated Short Film: The Lost Thing -- could: Day & Night
  • Best Live Action Short: God of Love
So, ajang ini adalah akhir dari perjalanan panjang perfilman dunia di tahun 2010, dari sekian panjangnya usaha film-film unggulan untuk memperlihatkan kualitasnya. Jujur sejujur-jujurnya sampai sekarang saya masih kecewa dan tidak menerima kekalahan The Social Network. Tapi setidaknya masih ada kelegaan tersendiri dengan kenyataan The King's Speech tidak berhasil mendominasi penghargaan--hanya empat dari dua belas. Semoga tahun depan Fincher bisa mencatat suatu kejayaan baginya, tidak lain lewat remakenya yang paling ditunggu, Girl With The Dragon Tattoo. Dan bagi saya, this is an official goodbye for 2010. Welcome 2011!
Recap:
Inception: 4
The King's Speech: 4
The Social Network: 3
Alice in Wonderland: 2
The Fighter: 2
Toy Story 3: 2

Minggu, 20 Februari 2011

THE KING'S SPEECH (2010)

"Let Courage Reign"
Director :
Tom Hooper

Cast :
Colin Firth
Geoffrey Rush
Helena Bonham Carter
Derek Jacobi
Guy Pearce

Distributor :
The Weinstein Company

Genre :
Drama, Biopic










Satu lagi film yang mengangkat kehidupan kerajaan negara monarki. Kali ini Tom Hooper (The Damned United, Longford) yang lebih dikenal mengarahkan beberapa serial televisi menghadirkan The King's Speech, film yang mengedepankan kehebatan penampilan para aktornya. Film yang menurut saya memiliki kelebihan dalam penataan artistiknya ini dibintang-utamai oleh Colin Firth (Love Actually, The Last Legion), Geoffrey Rush (Pirates of The Caribbean, Shine), dan Helena Bonham Carter (Terminator Salvation, Alice In Wonderland). Ini merupakan kedua kalinya Colin dan Geoffrey main dalam satu film, setelah pada tahun 1998 lalu bertemu dalam film nominasi Oscar, Shakespeare in Love. Siapa yang tidak kenal Helena? Layaknya Johnny Depp--yang juga sempat main bareng dengannya, ia kerap kali menghidupkan peran-peran unik nan eksentrik dan berbeda dalam beberapa filmnya, sebut saja franchise Harry Potter dan Charlie and The Chocolate Factory. The King's Speech adalah film yang sedang hangatnya diperbincangkan karena banyak yang menjagokan film ini untuk menang dalam beberapa nominasi di banyak ajang penghargaan awal tahun ini, sebut saja 14 nominasi untuk BAFTA Awards dan 12 nominasi untuk ajang paling bergengsi, Academy Awards. Yang menjadi saingan berat film ini adalah The Social Network--yang meraih penghargaan Best Picture pada Golden Globes beberapa waktu yang lalu.The King's Speech merupakan adaptasi dari kisah nyata kerajaan di Inggris tentang King George VI di awal masa perang dunia kedua--yang notabene adalah ayah dari Ratu Elizabeth yang sampai sekarang masih berkuasa. Sebelum memegang gelar King George-nya tersebut, ia hanyalah seorang Prince Albert (Colin Firth), anak dari King George V (Michael Gambon). Sosok yang kerap disapa dengan panggilan 'Bertie' atau 'The Duke of York' ini memiliki keterbatasan dalam kemampuan berbicaranya. Dari kecil ia mengidap suatu kelainan yang menyebabkan dirinya menjadi gagap dan tidak percaya diri untuk berbicara di depan umum. Keadaannya ini membuat istrinya, Elizabeth Bowes-Lyon (Helena Bonham Carter), membantu suaminya tersebut untuk menjalani pengobatan. Karena telah mencoba banyak pengobatan dan ternyata itu semua tidak memberikan pengaruh bahkan perubahan, pilihan jatuh kepada seorang terapis alternatif bernama Lionel Logue (Geoffrey Rush), seorang mantan aktor yang karena kegagalannya malah memutar arah kehidupannya di bidang per-terapi-an. Cobaan menghampiri Albert ketika ayahnya, King George V, meninggal dunia. Keadaan diperparah ketika kakak sekaligus ahli waris tahta ayahnya, Prince Edward VII (Guy Pearce), memutuskan memulai pernikahan kontroversial. Hal ini mengharuskan Albert menerima jabatan sebagai raja. Masalah berkembang saat masyarakat membutuhkan seorang pemimpin yang tegas dan bisa berpidato, apalagi di saat peperangan yang sangat sulit untuk dihadapi. Hubungan pasien-terapis pun kembali dijalankan oleh Albert dan Lionel, yang semakin lama berubah menjadi persahabatan. Begitu pula hubungannya dengan istri dan kedua putrinya. Apakah usaha dan hubungan mereka bisa menjadi jalan keluar bagi permasalahan yang harus Albert hadapi?Dengan durasi 110 menit, The King's Speech sanggup memberikan tontonan menarik dengan penyuguhan kisah di waktu jadul tapi terbalut oleh sinematografi yang sangat modern. Modern yang saya maksud adalah bagaimana pengemasan yang tertata sangat baik, dengan pengkolaborasian naskah sederhana dan penampilan ketiga tokoh utama yang eksentrik. Tiga orang ini tidak lain adalah Colin Firth, Helena Bonham Carter, dan Geoffrey Rush. Sebagai raja, secara sempurna dan sangat baik ia memberikan nyawa kepada karakternya ini. Tokoh yang kadang sangat kaku dan tidak pemberani, namun Colin mampu menyelaraskan segala kelemahan tersebut dengan sosok tabah lewat raut wajah dan dialog-dialognya. Tidak perlu diragukan lagi kemampuannya dalam berakting. Aktor yang tahun lalu meraih satu nominasi Oscar lewat penampilannya di A Single Man ini dengan charming membuat karakternya layak untuk mendapat simpati dari penonton. Tidak ketinggalan Geoffrey Rush yang memerankan tokoh unik sebagai terapis Lionel. Dari riang, bisa saja seorang Lionel berubah menjadi sosok yang menggurui kita lewat tingkah lakunya, tapi tetap mempertahankan ke-eksentrik-an dalam dirinya. Adegan terapi yang ia lakukan bersama Albert secara tidak langsung sering mengundang tawa saya. Saya yakin mereka tidak memasukkan ide humor dalam naskah cerita, tapi unsur komedi timbul sendirinya dari cara terapi alternatif yang terbilang unik--cara guling-guling di lantai dan goyang-goyang mulut misalnya. Dan yang pasti jangan lupakan kehadiran Helena sebagai ratu yang tabah dan pemerhati keluarga. Sosok keibuannya sangat hangat dan tegar ia mainkan, walau awalnya saya merasa ia bermain sangat kaku. Guy Pearce cukup melengkapi cerita dalam peran kecilnya sebagai kakak Albert yang digambarkan sebagai sosok yang dilematis. Naskah cerita tidak memberikan sesuatu yang sangat berkesan dan spesial bagi saya, tapi yang menjadi kemewahan film adalah pengemasannya. Saya suka cara pengambilan gambar dan pergerakan kamera, adegan demi adegan seringkali di shoot secara close-up dan pemanfaatan lapang ruangan sebagai scene-background--sangat menarik, indah, dan eye-candy. Tidak ketinggalan scoring yang menambah keunikkan dan membantu segi humor dalam film. Tidak heran film ini sering merajai berbagai ajang penghargaan awal tahun ini. Well, The King's Speech menunjukkan sebuah kesederhanaan cerita yang inspiratif dan berhasil dikembangkan lewat totalitas akting dari sebuah ensemble-cast yang baik. Tapi sayangnya film ini belum bisa menyaingi The Social Network yang buat saya hadir dengan naskah dan penampilan jajaran aktor yang lebih brillian, lebih inspiratif, lebih tajam, lebih emosional, dan yang pasti lebih Oscar!!

Rate :
4/5

LOVE AND OTHER DRUGS (2010)

"This is the part where we talk about where we come from"
Director :
Edward Zwick

Cast :
Jack Gyllenhaal
Anne Hathaway
Josh Gad
Oliver Platt
Gabriel Macht

Distributor :
20th Century Fox

Genre :
Drama, Romance, Comedy









Coba lirik dulu posternya--menampilkan seorang pria dan wanita telanjang dan tubuh mereka tertutupi oleh bantal di atas kasur--sudah jelas betul apa topik yang dijadikan fondasi utama dalam film ini. Film yang diadaptasi dari buku non-fiksi berjudul Hard Sell: The Evolution of Viagra Salesman buah pena Jamie Reidy ini disutradarai oleh Edward Zwick (Defiance, Last Samurai), yang untuk kedua kalinya menyuguhkan tontonan komedi setelah About Last Night. Zwick memang lebih dikenal menyutradarai beberapa film action maupun kolosal, dan bisa dibilang tidak terlalu berpengalaman dalam mengarahkan genre seperti yang satu ini. Nah, lalu siapa dua bintang utamanya? Mereka adalah Jack Gyllenhaal (Zodiac, Donnie Darko) dan Anne Hathaway (Princess Diaries, Bride Wars)--yang sebelumnya sempat bermain bersama dan juga berpasangan dalam Brokeback Mountain. Penampilan Jack di sebagian besar filmnya memang sering mendapat sorotan tajam dari berbagai lapisan yang menempatkan dirinya sebagai daya tarik utama film-film tersebut--begitu pula dengan Anne. Tidak jarang dari film-film mereka yang meraih keberhasilan karena performa akting keduanya yang bagus dan pastinya dibantu dengan tampang good-looking yang memanjakan mata. Itulah beberapa keberuntungan dari film yang menempatkan sosok Jack dan Anne sebagai peran utamanya. Dan begitu pula yang dialami oleh Love and Other Drugs. Selain dari poster yang mengundang rasa penasaran, publikasi film ini sangat terbantu dengan dipasangkannya mereka dalam satu frame. Jamie Randall (Jack Gyllenhaal) hanyalah seorang salesman biasa di sebuah toko elektronik kecil. Namun dengan modal tampang, banyak wanita yang sukses ia pikat. Penampilan dan sikap playboy-nya ini mengakibatkan dirinya harus dipecat karena ketahuan melakukan hubungan sex dengan pacar atasannya. Keberuntungan datang ketika adiknya, Josh Randall (Josh Gad), memberitahukan lowongan kerja sebagai salesman lagi, tapi di perusahaan yang lebih besar dan terkenal yaitu Pfizer yang bergerak di bidang farmasi. Jamie pun menjalankan aktivitas baru dan berbeda dengan singgah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain untuk mempromosikan produk obat-obatan. Strategi lamanya tidak ketinggalan dilakukan, yaitu menggaet para wanita yang mau ia pacari. Aksi tebar pesonanya tersebut berhenti ketika ia bertemu seorang wanita penyakitan penderita parkinson bernama Maggie Murdock (Anne Hathaway). Tidak seperti kebanyakan wanita lain, Maggie bukanlah tipe orang yang dengan mudah bisa langsung kepincut tampang dan pesona seorang pria. Jamie pun berkenalan dan berusaha mendekati Maggie. Tidak mempedulikan keadaan Maggie, Jamie akhirnya berhasil menaklukkan wanita itu. Hubungan mereka pun diwarnai kebiasaan dan kegemaran keduanya dalam melakukan hubungan sex. Namun mampukah Jamie bertahan dalam hubungan ini dengan kenyataan kesehatan Maggie yang perlahan namun pasti akan terus memburuk dan menjadi hambatan?
Walau mengusung genre rom-com, Love and Other Drugs berhasil menghindar dari kesederhanaan yang seringkali dimiliki banyak film dengan genre sejenis. Dibumbui banyak konten dewasa, film ini justru mampu berjalan dengan baik--meskipun kadang cerita terasa berjalan lambat. Justru lambatnya cerita berjalan rasanya disebabkan oleh ketelitian Ed Zwick dalam mengarahkan film ini. Dengan jeli film mampu menyuguhkan sebuah cerita yang pada dasarnya sederhana tapi dikembangkan dengan penjabaran inti masalah atau konflik dengan jelas, sehingga tidak terasa kaku atau monoton. Namun semua itu bisa saja tetap membuat film terasa boring bila Anne dan Jack tak memainkan kedua karakter utama. Mereka adalah pasangan yang sangat cocok. Chemistry dibentuk dengan sangat menawan--dibantu oleh jalinan cinta yang menyentuh dan yang pasti bantuan tampang keduanya. Dengan karakternya yang unik, Jack Gyllenhaal mampu menghidupkan karakter Josh--meskipun awalnya saya merasa keagresifannya akan sex terlalu berlebihan--namun ia bisa menutupi itu dengan pesona khasnya yang memikat dan tidak bisa dipungkiri kemampuan berdialognya. Namun Anne Hathaway lah yang main lebih baik disini. Ia mau tampil berani dengan banyak adegan dewasa yang malah membuat karakternya terbentuk sebagai wanita tangguh. Walau perannya adalah seorang pesakitan, tapi ternyata ada sosok kedewasaan dan kuat dibalik kekurangannya tersebut. Banyaknya adegan dewasa yang mendominasi durasi mungkin membuat film tidak layak untuk dijadikan tontonan bagi semua kalangan. Konten-konten tersebut diperhalus dengan baik berkat kekonyolan dan humor Jack dan Anne yang mereka hiasi disamping aksi ranjangnya. Cerita berubah lebih menyentuh berkat dialog-dialog penting dan romantis yang banyak mereka perbincangkan di tengah aksi-aksi tersebut--memperingatkan saya akan premis i-love-you-just-the-way-you-are yang cocok untuk mendeskripsikan konflik cinta film ini. Well, Love and Other Drugs bukan sekedar rom-com biasa, unsur drama berhasil diselipkan dengan baik sehingga banyak pesan heart-warming yang boleh saja kita torehkan dalam kehidupan.

Rate :

3.5/5

Selasa, 15 Februari 2011

NO STRINGS ATTACHED (2011)

"Friendship has its benefits"
Director :
Ivan Reitman

Cast :
Natalie Portman
Ashton Kutcher
Kevin Kline
Ben Lawson
Greta Gerwig

Distributor :
Paramount Pictures

Genre :
Comedy, Romance









Genre rom-com memang memiliki keunikan tersendiri. Walaupun rata-rata semua filmnya punya plot cerita yang sangat mudah ditebak, tapi masih banyak orang yang menggemari film seperti ini. Selain mudah untuk dijadikan hiburan, sebagian besar rom-com kerap menghadirkan pasangan aktor-aktris good-looking sebagai leading-rolenya. Kali ini Ivan Reitman (Up In The Air, Ghost Busters) menghadirkan No Strings Attached untuk mengawali tahun 2011 sekaligus sebagai ajang menyambut hari valentine. Film yang sarat akan unsur dewasa ini dibintangi oleh aktris cantik yang baru-baru ini sukses berkat akting brilliannya dalam Black Swan, Natalie Portman (The Other Boleyn Girl, Brothers). Tahun ini adalah tahun penuh sukacita baginya dengan mendapat banyak penghargaan seperti Golden Globes dan nominasi Best Actress di ajang Academy Awards. Portman lebih dikenal dengan membintangi banyak film drama berkualitas - film berdurasi 109 menit ini mungkin menjadi langkah awalnya dalam menjajal dunia rom-com. Lawan mainnya diperankan oleh Ashton Kutcher (Velentine's Day, Just Married). Dunia akting mungkin tidak membawa banyak keberhasilan bagi Mr. Moore ini. Selain daftar filmnya yang tidak banyak, ia kerap mendapat tanggapan negatif dari banyak kritikus. Tampangnya lah yang sering menjadi daya tarik utama bagi sebagian besar film yang ia bintangi. Ternyata pertengahan tahun ini ada film dengan storyline yang sangat mirip, yaitu Friends With Benefits. Awalnya No Strings Attached mau diberi judul Friends With Benefits, tapi ternyata sudah lebih dulu diambil oleh film yang dibintangi oleh Justin Timberlake dan Mila Kunis tersebut.Cerita dimulai dengan flashback ke hubungan pertemanan di masa kecil Adam (Ashton Kutcher) dan Emma (Natalie Portman) yang kala itu masih polos dan tidak mengerti akan keseriusan dalam menjalin hubungan apalagi perihal mengenai sex. Lima belas tahun kemudian mereka kembali bertemu dan menjalin hubungan persahabatan. Adam yang kini bekerja di sebuah proyek serial musikal itu adalah anak dari bintang komedi terkenal, Alvin (Kelvin Klein). Saat mendatangi rumah ayahnya itu, Adam mendapati bahwa kekasihnya, Vanessa (Ophelia Lovibond), ternyata malah berpaling hati ke ayahnya yang kekanakkan tersebut. Karena patah hati, Adam pun menghubungi banyak wanita untuk mau berhubungan sex dengannya. Suatu pagi sebangun Adam dari kemabukkannya, ia telah berada di sebuah apartmen Emma dan tiga orang temannya. Lalu Adam dan Emma tidak sengaja melakukan hubungan sex. 'Kecelakaan' tersebut menimbulkan rasa suka di sisi Adam, tapi tidak bagi Emma. Karena keduanya bersahabatan dan masih mempunyai trauma dalam hal percintaan, mereka pun berkomitmen untuk menjadi sex-buddy tanpa terikat rasa cemburu, cinta, perasaan, dll. Hubungan sex seterusnya sering mereka lakukan dimanapun dan kapanpun untuk memuaskan hasrat seksual masing-masing. Namun bisakah mereka terus mempertahankan hubungan seperti ini?Bila diulik, No Strings Attached tetap saja sama seperti kebanyakan rom-com, yaitu tumbuh dengan plot cerita yang predictable. Namun yang menjadikan film ini beda dari yang lainnya adalah dipasangkannya Portman dan Kutcher dalam satu frame. Bukan tampang yang saya maksud, tapi bagaimana mereka berdua dapat membentuk ikatan chemistry yang awalnya sempat diragukan. Seorang Ashton Kutcher sering dikritik performa aktingnya, bahkan di film yang tergolong 'mudah' untuk dimainkan sekalipun. Sedangkan Natalie Portman yang lebih banyak main film ketimbang Kutcher kerap mendapat pujian dan membintangi film-film kelas berat. Kalau tahun ini Portman dapat nominasi Oscar, sayangnya Kutcher malah dapat nominasi Razzies, miris bukan? Bagaimana bisa kedua orang ini saling berbaur dengan baik? Ternyata pemasangan mereka berdua menjadikan film ini lebih menarik. Awalnya saya sudah yakin pasti keberadaan Portman akan membantu si Kutcher. Bagaikan dua kutub berbeda yang saling tarik-menarik, itulah mereka. Portman bermain bagus disini dengan membangun nuansa humor dan banyak lelucon yang ia ucapkan. Walau hampir semua humor yang ia kembangkan sarat akan sex, namun penampilannya ini tidak membuat karakter Emma yang agresif dan sex-addict ini tidak terlihat murahan atau bitchy. Portman mampu memperlihatkan sisi kebimbangan dalam diri Emma dengan baik dan diseimbangi oleh banyak humor lucu yang mengundang tawa. Sedangkan Ashton Kutcher berhasil memerankan karakter Adam yang seolah mau dicap bad-boy tapi malah terlihat bodoh dan konyol. Walau karakternya tidak terlalu menarik, tapi ia dapat bermain dengan penjiwaan yang pas sehingga dapat bersatu dengan karakter Emma yang sebenarnya lebih mendominasi. Perbedaan ukuran badan keduanya justru membuat pasangan ini terlihat manis. Well, No Strings Attached tidak lain halnya dengan kebanyakan film sejenis, namun cara Ivan Reitman mengembangkan banyak humor unik ke dalam plot cerita dan chemistry Portman-Kutcher membuat film ini memiliki nilai lebih. Sayangnya dalam peredarannya di Indonesia--karena banyak konten dewasa--film ini mendapat banyak sensor yang sangat terlihat, menganggu, dan nanggung (terlihat dari adegan telanjang Adam yang seakan ketinggalan disensor).


Rate :
3/5

Minggu, 13 Februari 2011

THE FIGHTER (2010)

"Everything did happen for a reason"
Director :
David O. Russell


Cast :
Mark Wahlberg

Christian Bale
Amy Adams
Melissa Leo
Mickey O'Keefe


Distributor :
The Weinstein Company

Genre :
Drama, Biopic










Ajang penghargaan bergengsi bagi insan perfilman, Academy Awards, akan berlangsung dalam waktu dekat, tapatnya 27 Februari mendatang. Untuk memeriahkan 'bulan oscar' ini, dirilis beberapa film jagoan di tanah air, diantaranya adalah Black Swan, The King's Speech, True Grit, 127 Hours, dan yang akan saya bahas sekarang-The Fighter. Film yang disutradarai oleh David O. Russel (Three Kings, I Heart Huckabees) ini awalnya sempat beberapa kali tersendat. Halangan-halangan tersebut antara lain mundurnya Martin Scorsese dan Darren Aronofsky dari tim produksi, hingga penolakan Matt Damon dan Brad Pitt dalam mengisi peran pembantu. Sampai akhirnya David O. Russel bersedia untuk menggawangi proyek sport-movie ini dan Christian Bale (The Dark Night, Batman Begins) bersedia mengisi peran pembantu mendampingi Mark Wahlberg (The Other Guys, Entourage). Film yang diisi oleh jajaran pemain mumpuni ini diadaptasi dari kisah nyata kakak-adik petinju dari kota kecil Lowell, Massachusetts. Amy Adams (Enchanted, Leap Year) dan Melissa Leo (Conviction, Everybody's Fine) juga mengambil bagian peran pembantu.
Dikisahkan "Irish" Micky Ward (Mark Wahlberg) adalah seorang petinju kelas menengah WBA yang tidak jarang menerima kekalahan karena kerap dimanfaatkan petinju lain untuk dijadikan 'kelinci' sebagai alat kemenangan. Dengan dua orang manager, yaitu sang ibu Alice Ward (Melissa Leo) dan kakaknya Dicky Eklund (Christian Bale)--yang notabene adalah mantan petinju profesional dan digemari banyak orang--petinju berusia 30 tahun ini berusaha going-to-another-level. Segala usaha pasti ada rintangan, keinginan Micky ini dibayang-bayangi oleh kondisi gaya hidup Dicky yang kecanduan kokain dan sering masuk keluar penjara karena ulah nakalnya. Kondisi Dicky ini seakan menjadi penghalang bagi karir Micky. Keadaan diperparah dengan pemutaran film dokumenter Dicky di stasiun televisi HBO yang awalnya dikira menyunting sisi kehidupan positifnya tapi malah memasukkan beberapa kenyataan negatif seorang Dicky. Pintu harapan akhirnya terbuka saat Micky bertemu seorang gadis bar mantan atlit lompat tinggi yang di-DO dari kuliahnya, Charlene Fleming (Amy Adams). Kehadiran Charlene sebagai kekasihnya menjadi titik awal bagi perkembangan karir Micky. Tapi sayangnya ibunya, Alice, dan tujuh orang saudara perempuannya tidak menyukai sosok Charlene yang mereka anggap wanita tidak benar dan merusak karirnya. Micky Ward pun dilanda dilema, siapakah yang harus ia pilih untuk menjadi managernya? Dicky dan keluarganya, atau Charlene? Mengangkat tema boxing-movie, sebenarnya film berdurasi 115 menit ini tidak terlalu beda dari film sejenis seperti Million Dollar Baby dan Cinderella Man. Dengan premis 'from-zero-to-hero', The Fighter hadir dengan menitikberatkan perjuangan si peran utama. Jadi apa yang membuat film ini begitu menarik? Tidak lain tidak bukan adalah performa jajaran pemain lah yang menjadi jiwa film ini. The Fighter berkembang dengan empat karakter yang masing-masing memiliki porsi cerita penting, mereka adalah Mark Wahlberg, Christian Bale, Amy Adams, dan Melissa Leo. Namun yang menjadi peran penting disini adalah Christian Bale. Perannya sebagai Dicky berhasil membawa karakter ini menjadi nyawa film. Bale sanggup membangun perwatakkan yang sangat amat menarik dan terlihat betul-betul ia jiwai dengan apik. Yang unik adalah setelah sebelumnya ia sering bermain sebagai karakter-karakter kuat nan bugar dalam film seperti The Dark Night, kini ia rela menurunkan berat badannya sampai 30kg sebagai dedikasinya untuk karakternya yang kurus cungkring di film ini. Bale bermain dengan sangat baik--seolah dirasuki oleh the-original-dicky. Perannya disini tumbuh dengan dua jiwa, di satu sisi Dicky adalah sosok yang egois, arogan, pembawa masalah, bahkan pecundang. Tapi di lain sisi Dicky adalah sosok yang humoris, suka mencerahkan suasana, kekanakkan, dan berpostur tengil. Tidak heran ia berhasil meraih penghargaan Best Actor di ajang Golden Globes lalu, dan yang mutakhir ia mendapat nominasi Oscar di kategori yang sama. Intinya, Bale berhasil mengembangkan karakterisasi karakter dalam film yang sulit untuk saya benci dan lupakan. Selain itu ada juga Amy Adams yang tampil beda di sini. Bila sebelumnya ia lebih dikenal dalam peran-perannya yang cute atau girly, kini ia berhasil menjiwai si gadis bar Charlene yang berjiwa kuat, bermulut kasar, dan susah untuk ditentang. Tidak ketinggalan Melissa Leo yang dengan sangat baik menjiwai perannya sebagai seorang ibu pecinta keluarga dan kadang keras kepala. Dan tidak dilewatkan juga Mark Wahlberg sebagai peran utama. Walau kurang menonjol dibandingkan Bale, dialah yang sesungguhnya menyatukan semua peran di The Fighter sehingga terkolaborasi dengan apik. Jelas sudah empat karakter ini lah yang membuat film ini sempurna hingga dapat menutupi kelemahan cerita yang bisa dibilang umum. Dan jangan terlalu berharap The Fighter akan menampilkan banyak adegan pertandingan tinju, karena pada dasarnya film ini lebih berfokus ke segi hubungan kekeluargaan. Ya, tidak heran The Fighter terlihat mendominasi banyak ajang penghargaan dalam segi peran. Well, The Fighter merupakan sebuah film yang menggurui kita tentang usaha, pertobatan, kekeluargaan, pengampunan, kerelaan-hati, dengan dibantu ensemble-cast terbaik tahun 2010.

Rate :

4/5

Kamis, 10 Februari 2011

THE GREEN HORNET (2011)

"Breaking The Law To Protect It"
Director :
Michael Gondry

Cast :
Seth Rogen
Jay Chou
Cristoph Waltz
Cameron Diaz
David Harbour

Distributor :
Sony Pictures

Genre :
Action, Comedy, 3D







The Green Hornet merupakan acara serial radio produksi tahun 1932 dan semakin melejit di tahun-tahun berikutnya, sampai dibuat adaptasi komiknya. Tidak hanya itu, tahun 1966 dibuat juga adaptasi serial televisinya - dengan Van Williams sebagai Green Hornet sedangkan side-kicknya si Kato diperankan oleh aktor legendaris Bruce Lee. Yang unik adalah bukannya tokoh Green Hornet yang terkenal dan disukai, tapi malah si Kato yang malah banyak mendapat penggemar. Di tahun 1992 sebenarnya sudah direncanakan untuk dibuat adaptasi layar lebarnya. Tetapi karena kendala kekosongan kursi pemain dan sutradara, proyek ini terus mundur. Nama Nicolas Cage dan Jack Gylenhaal sempat dikabarkan akan memerankan karakter Green Hornet. Hingga akhirnya Michael Gondry dipastikan akan duduk di kursi sutradara, komedian Seth Rogen yang sukses dengan Superbad-nya pun ikut ambil bagian sebagai pemeran Green Hornet. Sementara itu aktor sekaligus penyanyi asal Taiwan, yaitu Jay Chou, dipercayakan untuk memerankan Kato.The Green Hornet sendiri bercerita mengenai Britt Reid - yang notabene merupakan anak dari pengusaha kaya James Reid. Karena kematian ayahnya tersebut, Britt dipercayakan untuk memimpin perusahaan surat kabar milik ayahnya, The Daily Sentinel. Kemudian Britt dipertemukan oleh seorang pelayan lewat peristiwa 'kopi'. Pelayan handal itu bernama Kato, tidak hanya jago membuat kopi, ia ternyata handal dalam urusan rakit-merakit mobil dan jago bela diri. Pertemuan mereka berlanjut hingga Kato dan Britt terlibat dalam aksi kejahatan di pinggir jalan. Didasari rasa ingin menolong orang akan kejadian itu, mereka pun memutuskan untuk menjadi superhero yang memerangi kejahatan dengan fasilitas mobil modifkasi canggih bernama 'Black Beauty' yang dibuat oleh Kato. Britt pun menamai dirinya dengan julukan 'Green Hornet' - yang selanjutnya terkenal ke seluruh penjuru kota karena aksi pahlawannya bersama Kato. Aksi Green Hornet ini ternyata meresahkan seorang mafia Jerman di LA, Benjamin Chudnofsky - yang ingin melenyapkan kedua superhero baru ini.The Green Hornet berhasil membuat saya ketawa terbahak-bahak dengan humor konyol yang banyak diucapkan oleh Britt. Seth Rogen terbukti mampu mengubah ekspetasi saya terhadap film ini yang awalnya saya kira full-packed-of-'high'-action. Ternyata film berdurasi 119 menit ini lebih mengutamakan sisi komedi ketimbang jalan cerita rumit yang banyak dihadirkan film superhero sejenis. Kehadiran humor yang mendominasi adegan demi adegan juga terbukti mampu menutup kesederhanaan plot ceritanya. Ya patut saya maklumi untuk film bergenre seperti ini memang tidak butuh sebuah jalan cerita berat - yang nantinya malah memusingkan penonton dan bisa mengubur kehebatan aksi dan humornya. Aksi bodoh yang dilakukan oleh Rogen mengubah image seorang Green Hornet yang mungkin banyak dikira sebagai superhero pemberani. Perlu ditekankan, Kato-lah sebenarnya yang menjadi pusat perhatian di film ini. Tidak hanya karena tampang orientalnya, ia lebih membangun sebuah image keren dibanding si Britt. Perannya terlihat natural dengan memancarkan kharisma seorang Jay Chou yang dikenal banyak orang. Mungkin ada sebagian orang yang menganggap karakter Kato disini cukup menjadi sorot utama film, menghancurkan sinar si Green Hornet. Untuk pemain pembantu lainnya seperti Cameron Diaz dan Cristoph Waltz terlihat biasa saja sebagai pemanis. Mereka bagaikan tempelan di film ini - hanya untuk melengkapi film superhero dengan kehadiran villain dan love interest ataupun pendamping wanita. Well, The Green Hornet terbukti enterntaining dengan dominasi suguhan adegan aksi yang keren dan humor konyol yang cukup berkualitas untuk film sejenis ini. Lagi-lagi film yang baik sebagai pembuka tahun 2011 :)



Rate :
3.5/5

Rabu, 09 Februari 2011

THE MECHANIC (2011)

"Someone has to fix the problems"
Director :
Simon West

Cast :
Jason Statham
Ben Foster
Tony Goldwyn
Donald Sutherland

Distributor :
CBS Films

Genre :
Action, Thriller, Remake











Siapa yang tidak tahu Jason Statham. Ya, pria berkepala botak plontos ini sangat terkenal dalam kiprahnya membintangi banyak judul film laga atau aksi. Sebut saja franchise The Transporter, Crank, sampai yang terbaru The Expendables - bersama para sekumpulan pria 'laga' lainnya. Statham memang ciri khas sendiri, bila aktor sejenisnya banyak yang tampil sangar sesuai porsi perannya, dia lebih terlihat tenang dengan raut wajah kalem bahkan tak terlihat seperti bad-ass. Nah kali ini ia membuka tahun 2011 dengan The Mechanic - sebuah film remake yang digawangi oleh sutradara Simon West. Lara Croft: Tomb Raider yang dibintangi Angelina Jolie adalah salah satu dari film arahannya. Oiya, film ini adalah film produksi 2011 pertama yang saya tonton :)
Menceritakan seorang mekanik bernama Arthur Bishop (Jason Statham). 'Mekanik' disini bukanlah dalam artian mekanis mesin atau bengkel, melainkan sebutan untuk pembunuh bayaran yang adalah pekerjaan Bishop. Bishop adalah mekanik terpercaya karena kehandalannya dalam melakukan pembunuhan yang sempurna dan bersih - tanpa meninggalkan jejak dan bisa membuat perbuatannya seolah terlihat seperti kecelakaan alami. Karena kemampuannya ini ia dipercaya oleh kedua bosnya, Dean (Tony Goldwyn) dan Harry McKenna (Donald Sutherland). Hingga suatu saat ia ditugasi oleh Dean untuk membunuh Harry, yang sebenarnya adalah teman dekat Bishop. Berusaha berkomitmen akan pekerjannya, dengan terpaksa Bishop berhasil membunuh Harry dengan baik sesuai permintaan Dean yang telah membohonginya. Seiring waktu berjalan, anak Harry yaitu Steve (Ben Foster) meminta Bishop untuk melatihnya untuk menjadi seorang pembunuh. Didasari keinginan balas dendam, Steve menjalani hari-harinya bersama Bishop dengan segala latihan kejahatan itu. Mirisnya Steve tidak tahu bahwa Bishop lah pembunuh asli ayahnya.
The Mechanic dibuka dengan baik oleh Jason Statham. Dengan aksi pembunuhan dan dibantu oleh narasi, langsung jelas siapa itu Arthur Bishop. Film berdurasi 93 menit ini berhasil diseimbangi oleh aksi Statham yang memerankan Bishop secara perfeksionis. Ia bermain blak-blakan tanpa basa-basi, menghidupi film yang memiliki plot pasaran film action ini. Adegan aksi yang brutal dan kejam memang daya tarik utama film ini. Semuanya terbalut langsung mengalir lancar dari awal sampai akhir. Statham berhasil membuktikan siapa dirinya, dengan paras tenang tidak bersalah ia memacu adrenalin penonton dengan aksi 'macan buas' nya. Semua peran stunt ia lakukan sendiri - layaknya seorang Angelina Jolie di Salt - Statham membuktikan yang namanya film action tidak butuh sebuah plot yang rumit, hanya skill action lah yang sebenarnya dibutuhkan, yang pasti yang sanggup menarik perhatian penonton tanpa membuat bosan. Sedangkan Ben Foster dengan baik dapat memainkan karakter Steve yang asal-asalan dalam melakukan aksinya. Dengan ugal-ugalan, Foster bisa memperlihatkan kesembronoannya yang berpadu dengan jiwa labilnya itu. Sangat bertolak belakang memang dengan karakter Bishop, tapi justru perbedaan jenis karakter inilah yang berhasil membentuk sebuah chemistry dalam film laga dengan baik. The Mechanic tampil lumayan kejam, dengan berbagai adegan bercipratan darah dan adegan frontal lainnya, film yang satu ini sepertinya tidak layak untuk dijadikan tontonan anak kecil. Well, The Mechanic adalah tontonan aksi yang dengan keras, segar, dan brutal membuka tahun 2011 yang manis ini.
Rate :
3.5/5

Minggu, 06 Februari 2011

BLUE VALENTINE (2010)

"Nobody Baby But You And Me"
Director :
Derek Cianfrance

Cast :
Michelle Williams
Ryan Gosling
Faith Wladyka
Mike Vogel
John Doman

Distributor :
Weinstein Company

Genre :
Drama, Romance









Satu lagi drama romantis menghiasi kancah perfilman. Kali ini Derek Cianfrance membalut kisah drama romansa percintaan sepasang kekasih yang diwarnai oleh konflik tragis layaknya Rabbit Hole. Selain duduk di kursi sutradara, Derek juga merangkap sebagai penulis naskah film berdurasi 112 menit ini. Naskahnya sendiri diakui Derek diinspirasi juga dari keadaan keluarganya dulu. Peran utama pria dipercayakan kepada Ryan Gosling – yang sebelumnya pernah membintangi drama serupa berjudul The Notebook bersama Rachel McAdams. Sedangkan Michelle Williams memerankan istri dari karakter Gosling. Michelle dikenal dalam perannya di Brokeback Mountain sebagai istri yang harus menerima kenyataan bahwa suaminya seorang gay. 
Cerita berfokus pada kedua karakter utama, yaitu Dean (Ryan Gosling) dan Cindy (Michelle Williams) – yang notabene diceritakan sebagai sepasang suami istri. Cerita berjalan bolak-balik dari ‘masa kini’ ke ‘masa lalu’, menuturkan perbedaan kehidupan saat mereka masih pacaran dan pasca pernikahan. Dean dan Cindy pertama kali bertemu di panti jompo, perkenalan pun berjalan – bertahap sampai memasuki hubungan sepasang kekasih. Hubungan mereka berjalan manis layaknya kebanyakan pasangan muda yang dimabuk cinta. Namun keromantisan hubungan mereka kandas setelah Dean harus menerima kenyataan bahwa Cindy malah hamil. Parahnya, ternyata bayi yang dikandung Cindy bukanlah anaknya, melainkan hasil dari hubungan sex Cindy dengan mantan kekasihnya, Bobby. Dengan terpaksa dan berlandaskan rasa sayang, Dean menerima kehadiran bayi dalam kandungan Cindy tersebut dengan menikahi Cindy dan memulai kehidupan suami-istri yang awalnya masih terlihat bahagia– walau awalnya ia sangat terpukul dan frustasi oleh keadaan ini. Enam tahun paska pernikahan mereka situasi berubah 180 derajat. Ditambah kehadiran anak perempuan mereka bernama Frankie - Dean yang kini hanya kerja serabutan sebagai tukang cat berubah menjadi pria yang seakan tak punya harapan, sedangkan Cindy hidup sebagai seorang ibu yang tenang tanpa impian seperti dirinya dulu. Segala cara dicoba Dean dan Cindy untuk memperbaiki pernikahannya yang kini di ambang kehancuran dan tanpa harapan. 
Michelle dan Gosling tidak usah diragukan lagi kualitas aktingnya. Bila kita lihat daftar filmografi mereka berdua, pasti didominasi oleh film sejenis ini. Mereka memang berpengalaman dalam memainkan karakter di genre drama romantis. Michelle sanggup memperlihatkan keputus-asaan seorang Cindy yang diwarnai oleh emosi kelamnya. Emosi yang membalut diri seorang Cindy sangat kental terasa dari raut wajahnya – tanpa dialog-dialog rumit yang berlebihan. Dengan detil Michelle menghidupkan karakter Cindy yang kaku dan mememndam sejuta masalah dalam hatinya – tanpa mempedulikan usaha Dean untuk mengobatinya. Berbeda dengan Cindy, karakter Dean yang ekspresif berhasil digambarkan oleh Gosling. Gosling berhasil memperlihatkan emosi seorang Dean dalam berbagai ekspresi, kadang terlihat dewasa bahkan bisa juga kekanakkan. Keromantisan Dean juga kadang mengudang senyum penonton di tengah cerita cinta yang gelap dan menyedihkan. Chemistry terbentuk kuat dengan percampuran emosi dan depresi keduanya – menjadikan mereka sebagai salah satu pasangan favorit saya tahun 2010. Blue Valentine sebenarnya sama seperti tipikal drama-romantis kebanyakan. Bedanya Derek menghadirkan kisah yang beda, ia benar-benar memfokuskan plot cerita untuk dua karakter utama ini. Dengan pengembangan karakterisasi yang baik melalui penuturan karakter dari sudut pandang yang berbeda ditambah pemilihan alur flashback yang sangat membantu - penonton terbawa ke dalam kepedihan percintaan ini. Penonton diajak ikut merasakan bagaimana ketidaknyamanan dari hubungan yang harus banyak memendam perasaan. Yang beda lagi, film yang katanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk pendalaman kedua karakter utama ini gambarnya di shoot mendekati cara dokumenter, sehingga terlihat seperti kameramen menggunakan handycam untuk pengambilan gambar. Cara seperti ini membuat penonton lebih merasakan emosional yang dikembangkan dalam cerita. Well, Blue Valentine adalah drama tragis yang diselaraskan dengan unsur emosi, depresi, kerapuhan, dan romansa dengan balutan chemistry kuat yang berkualitas dan layak disanjung. Michelle Williams for Oscar? Mungkin saja, tapi rasanya Portman lebih layak menggondol piala itu.


Rate :
4/5

Kamis, 03 Februari 2011

ALTITUDE (2010)

"Don't look down"
Director :
Kaare Andrews

Cast :
Jessica Lowndes
Julianna Guill

Landon Liboiron
Ryan Donowho
Jake Weary

Distributor :
Alliance Films

Genre :
Horror, Sci-Fi, Thriller










Mari kita flashback ke tahun 2010. Masih segar di pikiran kita bahwa tahun lalu banyak film-film yang gaungnya tak terdengar keras namun ternyata membawa kejutan besar dengan kualitasnya yang lebih baik dari ekspetasi banyak orang, katakan saja film kelas festival atau foreign film. Masih ingat Buried dan Devil? Ya, dua film ini cukup memberikan kejutan yang berarti bagi saya. Keduanya sama-sama mengambil satu lokasi sebagai setting sebagian besar cerita. Nah, ternyata ada juga Altitude yang mencoba hal serupa. Film produksi Kanada besutan Kaare Andrews ini hadir dengan setting kabin pesawat di sepanjang durasi. Film yang sebenarnya dirilis langsung dalam bentuk video ini pertama kali diperkenalkan trailernya pada Comic-Con San Diego 2010 lalu. Lucu juga ya masuk ke Indonesia malah ke bioskop dulu. Namanya juga straight-to-video, semua pemain yang ambil bagian di dalamnya pun tidak terkenal. Paling cuma Jessica Lowndes yang lebih eksis di Hollywood, dia dikenal dalam perannya di serial tv 90210. Mengangkat tema lovecraftian horror, Altitude bercerita mengenai sekelompok pemuda yang hendak berlibur akhir pekan menggunakan pesawat jet kecil. Pesat disewa sekaligus dipiloti oleh Sara. Mirisnya ia membawa jet tersebut tanpa sepengetahuan ayahnya. Sara pun memulai perjalanan bersama keempat temannya, yaitu Bruce, Sal, Mel, dan Cory. Dari awal Bruce sudah terlihat resah seakan takut akan terjadi sesuatu. Awalnya penerbangan berjalan lancar. Namun keadaan berubah parah ketika Sara tidak bisa mengendalikan pesawat yang pada akhirnya malah masuk ke awan gelap. Badai begerak kencang, mesin pesawat jadi rusak, bahan bakar menipis, dan lebih diperparah dengan kenyataan bahwa Sara tidak terlalu mengerti banyak mengenai teknis dan instruksi pesawat. Situasi tambah panik ketika mereka mendapati terdapat makhluk aneh di balik awan yang menginginkan kematian mereka. Perjuangan melawan maut pun dimulai.
Mengusung kejadian supernatural ke dalam plot cerita, Altitude tidak dapat memberikan ketegangan yang berarti. Dari awal mau nonton saya yakin Altitude tidak menawarkan sebuah tontonan berkualitas. Altitude terasa digarap 'setengah-setengah'. Akting para pemain tidak sanggup menyelamatkan cerita yang makin lama berjalan membosankan. Ya harus kita maklumi lagi, mungkin mereka belum cukup berpengalaman. Efek visual yang coba mereka tambahkan untuk mewarnai film bisa sedikit dipuji, walau kadang terlihat biasa bahkan murahan. Tapi masih bisa menambah intens ketegangan dan kepanikan saya. Cerita bergulir kaku dari awal sampai agak pertengahan, namun semakin membaik saat menuju akhir. Makhluk menyeramkan yang diharapkan untuk muncul kelihatan malu-malu kucing. Alhasil pemandangan layar kaca jadi berantakan karena kebanyakan naskah dialog yang tidak penting bahkan tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi. Tapi saya suka endingnya - agak berkelas, tidak seperti yang saya pikirkan. Well, harus kita ingat Altitude hakikatnya adalah sebuah home video - tidak perlu berkhayal banyak akan film ini, untuk ukuran film rumahan boleh lah dipilih.


Rate :
2.5/5