infolinks

Selasa, 12 Juli 2011

[Review] SOMEWHERE (2010)

Director Sofia Coppola Cast Stephen Dorff, Elle Fanning, Chris Pontius
Distributor Focus Features Genre Drama

"Somewhere" adalah salah satu judul dari beribu judul yang tergolong sangat me-representasikan "sajian"-nya. Sebelum menyinggung banyak hal, beberapa poin (nggak penting) mau saya utarakan. Pertama, Somewhere adalah karya mutakhir dari sineas wanita Sofia Coppola. Kedua, Sofia Coppola merupakan putri dari si empunya The Godfather, yaitu Francis Ford Coppola. Mungkin diri sang ayah sebagai sosok sutradara legendaris menjadi legacy bagi Sofia sehingga terlihat mengikuti jejak ayahnya itu. Walau kenyataannya mereka berdua memiliki ciri dan cara tersendiri dalam berkarya, dan jelas sangat bertolak belakang.

Based on my fact, film-film Sofia sebelumnya belum ada yang saya tonton. Sebut aja Lost in Translation yang katanya paling "wah" itu, sampai Marrie Antoinette yang entah kenapa males banget nontonnya (faktor Kirsten Dunst yang nggak begitu saya suka). Padahal emang sih karya-karya wanita yang satu ini boleh dibilang pantas sebagai barang wajib, seperti yang banyak dicap orang-orang. Banyak hal yang bisa dan sangat mudah untuk membedakan sutradara seperti Sofia yang kelihatannya lebih memiliki nilai tinggi untuk membentuk sebuah naskah, dibanding sutradara lain yang kelihatannya lebih membuat sesuatu hanya berdasarkan "karir", bukan "rasa". Oke sebelum men-split kalimat disamping menjadi sebuah penjelasan, Somewhere tahun lalu rilis di Venice Int'l Film Festival dan wah-nya berhasil menyabet penghargaan khusus di festival tersebut.
Somewhere, menceritakan sisi lain dari seorang aktor Hollywood bernama Johny Marco (Stephen Dorff). Johny baru saja menyelesaikan film actionnya dan akan pergi ke Italia untuk premiere filmnya tsb. Apa sih yang tidak dimiliki oleh insan Hollywood yang sepertinya kaya adalah barang tentu. Tidak terkecuali si Johny. Walau terlihat standard, hampir semua sudah terpenuhi dalam kehidupannya, terutama dua hal penting: harta dan tampang. Dua hal yang pasti bisa menunjang orang untuk hidup enak dan tenang. Sosok Johny yang agak sederhana juga menjadikan dirinya agak berbeda dari public figure lainnya. Ia tidak membutuhkan rumah dan gaya hidup terlampau mewah untuk menjalani kehidupannya. Johny tinggal di hotel Chateau Marmont---hotel legendaris yang dikenal berkat banyaknya public figure yang suka menginap di sana. Tidak ketinggalan mobil Ferrari hitam juga dimilikinya.


Di luar segala kesuksesan material yang ia miliki, Johny ternyata sosok yang sangat berbeda luar-dalam. Kalau di luar (dalam konteks kehidupan figuritasnya) ia mungkin dianggap ceria dengan senyum dan cara bicaran yang tenang, tapi sebenarnya Johny hanyalah pria kesepian. Segalanya ia lakukan sendiri, bahkan sampai terlihat tidak menerima orang lain untuk diajak bergaul. Kebiasaan memanggil striptease-dancer sampai having sex dengan banyak wanita kerap kali ia lakukan. Ironis memang, semua hal yang harusnya "bisa dibuat fun" tersebut tidak bisa membantu Johny untuk keluar dari kehidupan aslinya yang sendiri dan galau. Ketakutan kadang turut menjajah otak dan perasaan Johny, hingga menjadikannya sebagai sosok yang discreet-depresive. Masa-masa suramnya menjadi lebih berwarna ketika sang putri, Cleo (Elle Fanning), dititipkan oleh mantan istrinya Layla (Lala Sloatman) yang pergi entah kemana. Kehadiran Cleo membuat hari-hari Johny lebih ceria sekaligus memberikan pelajaran hidup yang bisa membantu dirinya keluar dari masalah personal, yang sangat menderitakan sisa hidup seorang Johny.
Somewhere bisa dikatakan sebagai karya Sofia Coppola yang different from the others (berhubung belum nonton filmnya yg lain, saya cari info dari beberapa source). Ketiga film pendahulunya yang paling terkenal, yaitu Virgin Suicides, Lost in Translation, sampai Marrie Antoinette sama-sama memakai wanita sebagai perspektif ceritanya. Berbeda dengan Somewhere yang lebih tampil beda untuk menggunakan perspektif pria, yang disini disalurkan langsung oleh karakter Johny Marco. Sayang banget kalo dipikir-pikir saya belum nonton semua filmnya, jadi mungkin saya nggak bisa bicara lebih panjang lebar ya well nggak bisa melakukan komparasi lebih dalam. Ada satu poin bagus dari seorang Sofia Coppola yang saya suka. Sofia sering menggunakan kejadian nyata bersumber sampai hal-hal yang pernah ia alami untuk diteteskan ke cerita filmnya sendiri. Dan kali ini, ia mencoba menunjukkan kehidupan tenar tidak selamanya seperti apa yang publik kira.

Karakter Johny disini digambarkan sebagai penakut. Johny bukanlah orang yang suka kesendirian, tapi yang saya liat adalah, dirinya seakan pasrah dan malah kelihatan terpaksa untuk enjoy. Banyak hal awkward yang ditunjukkin mentah-mentah disini, misalnya kebiasaan Johny yang suka mengundang penari striptis ke kamar hotelnya tanpa sense-of-sex sama sekali. Pernah saya lihat tanggapan orang akan film ini, lupa kata-katanya tapi intinya orang itu mempertanyakan mana "kejantanannya" sampai bisa-bisanya nggak having sex sama escort itu, bahkan sampai ketiduran. Selain itu coba deh liat dark-scene pas Johny lagi foreplay, dan seketika dia malah ketiduran di saat-saat yang harusnya menjadi momen paling passionate untuk melakukan "itu". Hal-hal disamping menekankan tanggapan saya mengenai sosoknya, yaitu tidak suka kesendirian tapi ironis sekali malah kelihatan menikmati kesendiriannya itu a.k.a pasrah(mungkin faktor kelamaan sendiri kali ya). 

Apa yang mau diterangkan Sofia disini adalah "munafik"-nya kehidupan public figure kebanyakan, mungkin lebih halusnya sangat bertolak-belakangnya luar-dalam diri mereka semua. Saking banyaknya saya juga bingung mau kasih contoh yang mana. Satu contoh, ada beberapa adegan dimana Johny dan Cleo menghindari sorotan wartawan/public. Awalnya saya tidak menganggap penting hal ini, "ah namanya juga capek pasti males wawancara". Oh no, tidak segampang itu. Adegan yang terlihat biasa tersebut sesungguhnya salah satu hal yang mau ditekankan Sofia, bahwa mereka tidak sebaik dengan apa yang kita lihat di tv. Mungkin di tv mereka bisa bilang "ah I love my fans", tapi di belakang tidak sedikit yang meremehkan keberadaan publik. Nggak tahu sih di luar negeri sana, tapi saya yakin 70% hal ini terjadi di benak artis-artis tanah air. Judul "Somewhere" sendiri mewakili apa yang terkandung dalam diri Johny, yaitu suatu tempat/jalan yang harus dipilih Johny untuk mengatasi masalahnya. Walau susah bagi Johny untuk let-it-go atau mengintropeksi dan membetulkan his present life, toh di ending semuanya berubah. Johny pada akhirnya menyadari pentingnya kasih/cinta untuk bahagia (paska si Cleo pergi ke camp). Dan ia juga sadar kalau dirinya nggak boleh pasrah dan nge-stuck di satu masalah melainkan harus moving on. Johny pun check-out dari hotelnya dan nggak akan kembali, lalu nyetir Ferarri-nya as far as he can menuju nowhere, eits, menuju "Somewhere".

Saya agak nggak ngerti kenapa Somewhere terlihat disepelehkan, apalagi mengingat nama Sofia yang sebelumnya pernah mendapat piala Oscar. Somewhere masih punya banyak kelebihan lainnya. Saya suka establishing-shot/long-shot yang digunakan disetiap adegannya. Trik shot seperti ini sebenarnya memang tergolong agak membosankan, untungnya ada yang beda dari Somewhere yaitu sinematografinya yang lembut dan indah. Menonton Somewhere harus diiringi kejelian yang tinggi untuk memahami maksud dari shot demi shot yang sangat berarti. Satu adegan berjalan sangat panjang dan mengikuti arah si karakter berjalan/pergi, mungkin cara ini digunakan untuk mendalami ceritanya sendiri. Long-shot pada Somewhere me-representasikan pendalaman dari karakter Johny, sekaligus menegaskan sebagaimana galau sih seorang Johny itu (walau kadang terkesan repetitif). Adegan berlatar daily-activity pun turut membantu Somewhere untuk menjadi lebih kalem, tenang, dan lebih nyata. Nggak tahu kenapa saya merasa bahwa "opening Ferrari" hampir membuat opening panjang tersebut kelihatan mubazir, sekali lagi: nggak tahu kenapa (apa saya aja yang nontonnya nggak bener). Divisi akting sendiri turut membantu Somewhere menjadi sajian yang hebat. Stephen Dorff, walaupun tidak berdiri sendiri di sini, ia mampu mengekspresikan karakter Johny yang terjebak dalam krisis-eksistensial dengan penuh "semangat untuk nggak semangat" (hahaha ngerti maksud saya?). Dan Elle Fanning memberikan mood cerah tersendiri dalam alur cerita Somewhere. Chemistry-nya dapet banget dan amazingly-loveable. Oh iya, jauh hari sebelum syuting untuk film ini, Elle dan Stephen sering melakukan aktivitas bareng (yang pasti untuk membantu peran mereka). Bahkan Stephen sampai rela antar-jemput si Elle ke sekolah.
Talking point...
Banyak yang bisa dipelajarin dari Somewhere ini, diantaranya pentingnya berusaha dan move on. Jangan stuck like glue aja, pasrah nggak ada gunanya. Somewhere adalah salah satu film terbaik tahun lalu. Nol-nya hal klise dan penyaluran bakat akting yang sangat natural dari kedua aktor sentral memberikan nilai plus bagi karya mutakhir wanita bernama Sofia Coppola ini.

Rate :
4 out of 5

Jumat, 01 Juli 2011

THE VOICE - First Season (2011)

The Voice adalah vocal competition pendatang baru di tahun 2011 yang dengan cepat mendapat banyak penggemar. Mengapa?

First of all, kira-kira di penghujung April lalu lah saya mulai mendapati ada reality show baru yang muncul dan berhasil meraih respon dan hype tinggi di publik. Yes, Welcome to The Voice! The Voice adalah U.S singing-competition hasil adaptasi dari The Voice of Holland. Sebagai versi lain dari originalnya, The Voice ini mengeluarkan debut episode-nya pertama kali pada tanggal 26 April 2011 lewat tayangan off-air. The Voice sendiri merupakan reality show yang bernaung dan disiarkan oleh stasiun televisi NBC. Dan baru saja berakhir pada 29 Juni 2011 dengan satu pemenang yang dinamakan "The Voice"

FORMAT
Apa yang membuat The Voice sangat berbeda dari ajang kompetisi lainnya? Yang pasti tidak lain karena format kompetisinya yang sangat berbeda dan inovatif. Selain itu, The Voice memiliki empat orang yang menjadi daya tarik utama bagi suksesnya breakthrough-show ini. 

Acara dibawakan oleh tv host Carson Daly yang mengendalikan jalannya live-show maupun recorded-show, dan juga memberikan narasi dari acaranya sendiri. Dibantu oleh Alison Haislip, tv koresponden yang membawakan acara dari belakang panggung dan melaporkan respon orang-orang mengenai acara ini lewat berbagai media sosial. Dan siapa empat daya tarik utama tersebut? Mereka adalah empat musisi terkenal di dunia dan semuanya pernah meraih Grammy, yaitu vokalis band Maroon 5, Adam Levine, country singer Blake Shelton, singer dan produser Cee Lo Green, dan terakhir diva wanita paling menarik dekade terakhir ini Christina Aguilera, satu-satunya coach wanita. Empat orang ini menamai diri mereka sebagai "coach", menyeleksi para peserta untuk masuk ke dalam team mereka masing-masing dan akhirnya diberikan latihan untuk menjadi "The Voice".

Memiliki total dua belas episode dalam kurun waktu yang terbilang singkat (dua bulan), kompetisi dalam The Voice dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :

BLIND AUDITIONS 
(Eps. 1 - 2)
Lewat Blind Auditions, empat coach memulai tugas mereka untuk mencari delapan orang yang nantinya akan menjadi team masing-masing. Cara audisi dalam acara ini sangat berbeda dari kompetisi lainnya. Mereka diaudisi langsung untuk tampil di atas panggung dihadapan banyak penonton layaknya acara tv. Tidak hanya itu, empat coach tidak diperbolehkan untuk melihat langsung peserta yang sedang bernyanyi. Kursi semua coach diputar menghadap penonton, sehingga mereka hanya bisa mendengar suara peserta tanpa melihat langsung seperti apa rupa mereka. They'll know it when they hear it. Apabila suka dan mau mengambil peserta tsb untuk masuk ke dalam team, setiap coach boleh menekan tombol dan kursinya bertuliskan "I WANT YOU" akan berbalik pandang ke arah panggung. Dan bila yang menekan tombol lebih dari satu coach, peserta wajib memilih satu orang yang mau dijadikan coach mereka. Di akhir tahap, hanya Cee Lo Green yang mampu mengisi delapan anggota dan lainnya masih membutuhkan satu atau dua orang lagi. Tahap second chance pun dilakukan untuk mengisi tempat kosong tersebut.

BATTLE ROUNDS 
(Eps. 3 - 6)
Setelah sesi Blind Auditions, setiap coach pada akhirnya mendapat masing-masing delapan orang anggota. Coach bertugas mendevelop, melatih, dan juga memberikan some advice kepada semua anggota. Once the teams set, the battle is on. Pada Battle Rounds yang berlangsung selama empat minggu ini, tiap anggota dalam satu team akan diadu satu sama lain. Dari delapan orang, coach harus membaginya menjadi empat team yang masing-masing berisi dua orang. Tiap dua orang tersebut diharuskan melakukan duel-song di atas panggung seperti ring tinju, dan coach harus memilih hanya satu dari mereka untuk maju ke babak selanjutnya. Pada akhirnya, hanya tersisa empat anggota dalam satu team untuk melakukan tahap yang lebih tinggi.

LIVE SHOWS  
(Eps 7 - 12 end)
Setelah menjalani dua tahap awal yang disiarkan secara off-air, pada akhirnya enam belas peserta yang masih bertahan berkesempatan untuk tampil secara on-air di hadapan publik. Live Shows masih di-split menjadi tiga bagian

QUARTER FINALS (Eps 7 - 8)
Dalam quarter finals, 16 peserta (4 peserta masing-masing team) tampil diatas panggung live-show. Cara penyeleksian juga berubah, dengan diberlakukan public-vote untuk memilih satu peserta dan tetap memakai hak veto coach untuk memilih peserta kedua yang maju ke semifinal. Di minggu pertama, #TeamChristina dan #TeamBlake tampil untuk pertama kalinya secara langsung. Minggu berikutnya, kesempatan #TeamCeeLo dan #TeamAdam untuk tampil. Setiap peserta diberikan lagu untuk dinyanyikan oleh coach mereka, dan dalam show mereka juga menampilkan non-competition performance bersama masing-masing coach. Dari empat peserta di masing-masing team, harus dipilih orang untuk maju ke babak semifinal. Satu orang dipilih berdasarkan voting public terbanyak, dan yang satu lagi dipilih berdasarkan pilihan coach.

SEMI FINALS (Eps 9 - 10)
Memasuki tahap yang semakin tinggi dan sengit, dari enam belas peserta kini tersisa delapan peserta dengan dua peserta di masing-masing team. Semua peserta menampilkan lagu yang diberikan coach sebelum esok harinya memasuki Result Show. Di result show, tiap team akan dipilih satu orang terakhir untuk mewakili team masing-masing di tahap terakhir nanti, Finale Shows. Empat orang tersebut diputuskan melalui penggabungan dua cara, yaitu public-vote dijumlah poin dari coack mereka (tiap coach wajib men-split score 100 menjadi dua bagian).

FINALE SHOWS (Eps. 11 - 12)
Empat grandfinalis memberikan the very last performances on The Voice. Tiap finalis membawakan dua lagu, yaitu lagu original yang dinyanyikan sendiri dan duet bersama coach. Keesokkan harinya di Result Show, tiap finalis mengisi acara dengan tampil duet bersama empat orang musisi. Mengakhiri acara dan season pertama, The Voice pada akhirnya mendapat seorang "The Voice" yang didasari oleh public-vote saja dan berhak atas kontrak rekaman Universal Republic dan $100,000.


Mengapa The Voice lebih baik dari kompetisi lainnya?
Mengapa saya suka The Voice?

  • Hal pertama yang menjadi alasan saya yang pasti karena empat orang coach disini. Jujur, saya agak bosan dengan acara-acara kompetisi yang memilih untuk masang figur-figur jadul atau yang suka mereka katakan legendaris. Sosok legendaris, jadul, or whatever tentu tidak segampang itu saya jadikan alasan. Karena kebanyakan dari mereka terbukti nggak bisa membantu acara mendapat hype yang lebih kuat dan fun. Nggak tahu kenapa kok saya merasa nowadays banyak banget reality competition yang judgesnya nggak berubah-ubah ya ngasih comment? Kayaknya sama-sama aja gitu arah pandang dan cara menanggapi sesuatu. Beruntung banget The Voice punya empat coach yang duduk di atas kursi merah sepanjang acara. Anehnya kok Carson Daly bawain acara datar banget dan nggak ada kontribusi ngebuat TheVoice seru ya, kayaknya lebih seru Ryan Seacrest aja gitu yang bawain. But, it's ok lah. 

  • Christina Aguilera adalah salah satu penyanyi favourite saya dan dari dulu sampai sekarang saya berani mengatakan bahwa kualitasnya nggak pernah jatoh dan malah tambah kuat. Salah satu keunggulan Christina adalah personalitasnya yang baik di mata semua orang, nggak seperti kebanyakan artis yang sering banget buat masalah ini itu. Suaranya? Duh, you are just too stupid kalo nggak suka sama suara Christina. Tapi kok, di The Voice dia jadi lebih gemuk ya hahahaha. Berikutnya Adam Levine, frontman salah satu band fav saya, Maroon 5. Mungkin kehadiran Adam Levine disini dijadiakan passionate tersendiri kali ya bagi cewe-cewe hahaha. Ada juga Blake Shelton, yang jujur saya baru tahu dirinya gara-gara nonton The Voice. Dan pas download lagunya, ugh ternyata country song enak juga loh. Salah satu lagunya yang saya suka adalah Honey Bee. Terakhir adalah Cee Lo Green, yang saya tahu hanya karena lagu Forget You-nya yang fun dan seru itu. Itulah empat daya tarik utama dalam The Voice. Hal paling menyenangkan dari mereka adalah seringnya mereka mengeluarkan jokes dan bahasan yang seru dan membuat acara nggak datar seperti *oops* American Idol. Kadang mereka juga suka adu mulut seru yang pasti nggak serius, dan membuat saya jadi lebih enak nontonnya.
  • The voice is not about judgement. Empat orang tersebut bukanlah judges, melainkan coaches. Ini satu hal yang paling menarik untuk disukai dan dipuji dari The Voice. Mungkin selain mau memberikan cara berbeda dan lebih inovatif, The Voice mau menekankan bahwa dalam berkompetisi men-judge dan mengkritik bukanlah hal yang sangat benar. Saya nggak bilang dengan dipilihnya sistem judges di banyak acara merupakan suatu kesalahan, toh cara itu pasti masih akan terus dan terus dipakai dan nggak sepenuhnya salah. Diterapkannya sistem coach atau pelatih sepertinya lebih menunjukkan profesionalitas orang-orang terdepan dalam suatu kompetisi. Lucu juga loh kalo nonton banyak acara kompetisi, miris banget judgesnya orang-orang berbakat dan terkenal tapi cuma bisa memberi pendapat dan kritikkan pedas numpang lewat. Kadang saya suka kesel dan ngomong, "Kayak lo bisa aja?!". Hal inilah yang coba dikoreksi terang-terangan oleh The Voice. 

  • Dan jangan salah, coach disini tidak sekedar melatih pulang-pergi layaknya kursus private yang ibaratnya hanya seputar bayaran dan jasa. Sekali lagi, inilah hal negatif yang ada di banyak kompetisi. Seperti yang saya katakan tadi, judges di ajang lainnya terlihat seperti "just do a JOB", tidak memikirkan para peserta yang menjadikan ajang-ajang tersebut sebagai sebuah momen bersejarah dalam hidup mereka. The Voice berbeda, diluar melakukan JOB mereka untuk melatih vokal para anggota, mereka juga memberikan lots of advice dan trik-trik buat maju. Coaches juga memberikan ajaran untuk melatih self-confident mereka yang diperlukan untuk seorang "The Voice". Yang saya lihat dan saya yakin itu benar, tidak hanya hubungan sebatas acara aja yang terjadi dalam coach dan team. Tapi selama masa The Voice, timbul rasa kekeluargaan dalam semua team, yang menunjukkan betapa berhasilnya masa pelatihan. 

  • Personality para coaches juga menjadi fondasi kuat yang membangun hype megah publik kepada The Voice. Saya yakin dipilihnya empat orang tersebut dilakukan kreator dengan selektif layaknya memilih peserta. Dan saya bakal sedih banget kalo sampai ke depannya struktur empat orang ini dirombak atau diubah. Mungkin personality empat orang coach ini ada yang ragukan dan berpikir, "Ah palingan cuma sekedar numpang lewat doang omongan mereka". Hell No!! Nggak bermaksud untuk sok tau, tapi apa yang saya lihat dari cara mereka bertindak, raut muka, sampai omongan mereka, saya yakin semua itu nggak fake. Kalau mau semakin yakin, coba follow twitter semua kontestan dan liat segembira apakah mereka di The Voice, nggak sekedar kontrak kerja. Di babak quarterfinals juga dikasih liat tiap team pergi hang-out sama coach masing-masing, seperti dinner, massage, etc. Bahkan Blake Shelton ngajak Dia dan Xenia untuk ikut tour konsernya sampai tampil bareng di atas panggung. What a family?!
  • Team Blake. Ya, team jagoan saya disini adalah Team Blake yang dipimpin oleh Blake Shelton sebagai coach. Easily, saya sangat suka dengan figur Blake ini walaupun saya baru tahu nama dia pas nonton The Voice. Blake memiliki personality yang sangat baik, jujur, membangun relationship paling baik dari semua coach, dan pay attention for every single time. Lagu-lagunya pun saya juga suka, nggak cuman karena suka The Voice lalu saya suka lagunya loh, tapi emang pas saya download ternyata musiknya enak aja didenger. Kayaknya Team Blake udah sempurna banget bagi saya, di dalamnya juga berisi peserta-peserta paling likeable, khususnya jagoan saya Dia Frampton yang paling unik dan sayangnya cuma bisa jadi runner-up (coba download lagunya yang Heartless deh, enak banget). Ada juga Xenia dan Elenowen yang wajib didenger suaranya!
  • Coaches' performances! Inilah keuntungan dari acara yang punya artists/judges/coaches asik-asik. Nggak cuma asik di backstage dan kursi, empat coach ini sering banget tampil di atas panggung bareng dan nggak usah basa-basi: KEREN!. Performance pertama mereka ada di episode paling pertama. Performance pertama mereka lah yang meyakinkan saya untuk mau nonton The Voice, dan bener-bener ngasih feel asik ke diri saya.
  • Hal inovatif lainnya ada di cara memberikan voting ke setiap peserta. Tidak sekedar SMS dan telepon seperti kompetisi lainnya, yang nggak jarang membuat acara memilih pemenang yang nggak banget. Voting The Voice dibedakan menjadi dua, yaitu public vote dan hak pilih masing-masing coach. Dari tahap blind auditions sampai battle rounds, hak memilih diberikan sepenuhnya oleh semua setiap coach untuk memilih representer di tahap selanjutnya. Cara voting sedikit berubah di tahap quarter finals sampai semifinals. Di quarterfinals, setiap team dipilih dua peserta untuk maju ke semifinals dimana satu orang berdasarkan public-vote dan satunya lagi berdasarkan hak pilih coach. Dan di final keputusan hanya didasarkan oleh public-vote, agak miris sih tapi mau diapakan lagi hmmm namanya juga sisa satu peserta tiap team. Jarang loh ada kompetisi komersial yang masih mau memakai cara hak pilih penilai (yang disini adalah coaches). Cara ini menekankan sekali lagi, selain inovatif, The Voice adalah acara yang tidak sekedar mencari keuntungan belaka lewat public-vote yang seringkali tidak memperhatikan mana yang bagus mana yang tidak. The Voice masih memegang teguh arti dari sebuah "kompetisi", dengan memperhatikan kualitas dari semua peserta yang sangat berkualitas. Oh iya uniknya lagi, public-voting bisa dilakukan dengan banyak cara, yaitu SMS, telepon, web vote, sampai iTunes downloads.
  • Format acaranya yang berbeda. Emang sih ada X-Factor dan Got Talents yang sedikit berbeda dari American Idol, etc, tapi sayangnya tetep aja masih sejenis dan nggak bisa ngasih perbedaan yang signifikan. Tidak hanya itu, semua peserta The Voice bagus semua! Dari 32 besar sekalipun, susah loh saya milih mana yang jelek dan mana yang bagus. Kalo di American Idol tuh gampang banget untuk cari yang jelek, tapi di The Voice bagus semua. Agak bingung itu semua peserta datang darimana ya suaranya bagus gitu. Well, The Voice is totally worth it to watch. Go try to download then catching up this show, and you will be loving this show. Oh iya, di akhir Juli nanti bakal ada The Voice Live Concert. Pengen banget nonton, daripada American Idol Tour mendingan nonton ini sih kalo saya. Oh iya (lagi), season kedua sudah dimulai castingnya (kok disebut casting ya?) dan mungkin akan muncul akhir tahun ini atau awal tahun depan.
  • No theme nights. Saya termasuk orang yang nggak terlalu suka sama pemilihan tema lagu yang terlalu diatur, kayaknya dengan tidak dipakainya tema-tema di The Voice, memungkinkan semua finalis untuk memberi langkah terbaik ke depannya menurut cara mereka sendiri. Bromance among guy coaches juga buat show jadi seru loh. Hal penting lainnya adalah nggak ada dramatisasi yang sering banget dilebay-lebayin di banyak acara, ya taulah sekalian nyari untung. Durasi yang terbilang singkat juga cara yang bagus, nggak bertele-tele isi acaranya. Just go to the point. Oh iya jumlah episode yang cuma 12 juga menjadi kelebihan tersendiri disini. The Voice tidak bertele-tele dengan tidak memakai result show yang suka makan waktu (walaupun tetap ada dua result show). 
  • Semua performance dari Blind Auditions sampai Finale dibuat versi Studio Recordingnya. Nggak cuma yang maju ke babak yang lebih tinggi, tapi yang kalah-kalah dikasih kesempatan untuk recording lagu yg mereka bawain di The Voice ini. Bagus juga loh, selain ngasih semua orang kesempatan buat nyoba gimana sih recording, sekalian nggak usah pusing-pusing buat album kompilasi seperti American Idol, etc. So, tinggal download di iTunes. Hampir semua performance dari Blind Auditions sampai Finale udah saya download. Keren!

    LIST

    Favourite Episode 
    1. Episode 9: Live Rounds, Week 3 - Semi Finals
    2. Episode 7: Live Rounds, Week 1 - Quarter-Finals, Week 1
    3. Episode 12: Live Rounds, Week 4 - Finals Results

    Favourite Contestants 
    1. Dia Frampton
    2. Frenchie Davis
    3. Casey Weston
    4. Beverly McLellan
    5. Xenia

    Favourite Team 
    1. Team Blake
    2. Team Adam
    3. Team Christina
    4. Team Cee Lo

    Best Personality 
    1. Blake Shelton
    2. Christina Aguilera
    3. Beverly McLellan

    Best Performance 
    1. Christina and team - Lady Marmalade
    2. Very first coaches' performance on the first episode
    3. Dia Frampton - Heartless
    4. Frenchie Davis - Like A Prayer
    5. Blake, Xenia, Dia - Honey Bee
    Remarkable & Unforgettable Battle
      1. Cherie Oakley vs Lily Elise - Since U Been Gone
      2. Emily Valentine vs Curtis Grimes - Need You Now
      3. Dia Frampton vs Serabee - You Can't Hurry Love
      Watch out American Idol, The Voice just took over!

      Minggu, 19 Juni 2011

      Missed Ones in Early 2011 - Pt. 1

      Tahun 2011 mungkin akan terus diingat, apalagi dengan peristiwa awal tahun-nya yang sangat mengagetkan para moviegoer bahkan semua orang yang suka nonton dan nunggu film-film baru muncul. Eits, hanya di Indonesia loh. Siapa sih yang nggak tahu masalah itu, film luar nggak bisa masuk Indonesia karena sekelumit masalah pajak yang sepertinya belum ditemukan jalan keluar yang bisa nguntungin dua pihak, yaitu pihak perpajakkan Indo sama MPAA. Yap, masalahnya kan emang langsung pada pihak MPAA, yang menjadi payung bagi enam penyalur film terbesar di Hollywood sana yang gemar menyodorkan banyak film bagus apalagi yang bernafas blockbuster.

      Kadang suka sedih jadi masyarakat Indo, hmm, kadang udah nggak ngerti deh gimana cara menjalankan nasionalisme dan patriotisme (?). Oke keluar jalur kan. Meskipun nggak bisa nonton film-film luar yang paling ditunggu, tetep aja ada satu jalan pintas paling menyenangkan. Dvd bajakan dan download!! Hahaha, berikut lima film rilisan awal tahun 2011 yang pada akhirnya berhasil saya tonton. Masih ada banyak lagi sih, nanti saya posting-in sisanya. Lima dibawah ini termasuk film-film yang tergolong memuaskan/cukup bagus/keren, berikutnya akan saya post yang surprisingly bad.

      THE ADJUSTMENT BUREAU
      Director George Nolfi
      Cast Matt Damon, Emily Blunt, Terence Stamp, Anthony Mackie
      Distributor Universal Pictures
      Genre Sci-Fi, Drama, Romance, Thriller
      Release Date 4 March 2011 
      Rate 3 out of 5
      Mungkin Matt Damon belum bisa lepas dari bayang-bayang Bourne Trilogy-nya sehingga terlihat pasti mau banget menerima job membintangi film yang satu ini, The Adjustment Bureau. Diadaptasi dari cerita pendek berjudul The Adjustment Team, David Norris (Matt Damon) adalah politisi yg gagal mendapat kursi senator setelah dikalahkan rival kampanye-nya. Di saat-saat paska kekalahannya, secara tidak sengaja ia bertemu dgn seorang balerina bernama Elise (Emily Blunt). Di masa2 keduanya semakin dekat, hubungan mereka terancam oleh komplotan pria bertopi yang menganggap diri mereka sebagai agen takdir dan berusaha memisahkan David-Elise dgn alasan mereka keluar jalur dari takdir yang telah digariskan. Duduk di kursi sutradara, George Nolfi menjadikan The Adjustment Bureau sebagai debut karir penyutradaraannya yg pertama kali, setelah sebelumnya banyak menulis naskah u/ film-film sejenis seperti The Bourne Ultimatum dan Ocean's Twelve. Hmm, The Adjustment Bureau sendiri bukanlah sesuatu yg baru kalau dilihat sekilas. Kejar-kejaran, penguntit misterius, dll, mungkin hal yang sering dijumpai dalam film-film layaknya franchise Bourne dan Ocean's. Tapi melihat isi ceritanya sendiri, The Adjustment Bureau sedikit dibikin beda lewat pengembanan unsur sci-fi yang di-pak tidak berlebihan dan tetap "menghormati" banyak unsur lainnya seperti drama-romans itu sendiri. 

      Menyinggung masalah George Nolfi yg menjadikan ini sebagai debut-nya, hasil adaptasi ini tergolong sebuah proyek yang berhasil mencapai garis kepuasan, tidak berarti sukses. Dengan mem-"blender" banyak genre ke dalamnya, semuanya berbaur dengan tidak berantakkan. Misalnya dari drama-romans yang selalu diberikan jatah tersendiri untuk mereka menikmati timingnya, lalu seketika disodorkan intens ketegangan lewat konflik antara agen takdir dan David Norris yang sebenernya pro-kontra, tidak ketinggalan lumayan banyaknya singgungan politik dan masalah kebimbangan dalam menentukkan tujuan hidup. Untung saja semuanya diatur dengan seimbang, walaupun kadang saya agak dikecewakan oleh minim-nya kejar-kejaran yang jarang muncul. The Adjustment Bureau sendiri masih memiliki banyak hal klise dimana-mana, contohnya fakta tiga tahun terpisahnya si David dan Elise. Agak ganjil loh dalam waktu sebegitu lama mereka nggak pernah ketemu sekalipun, okelah tau itu kota gede, tapi bukannya mereka suka pergi di jalur yang sama? Saya aja susah untuk nggak bisa "kebetulan ketemu" sama orang yang pernah ditemui. Hmm, selain itu, saya jg mendapati banyak hal yang harusnya bisa dilakukan para agen takdir untuk mencegah David, tapi nyatanya mereka nggak mampu, apalagi kalau disangkut-pautkan dengan ability yang mereka punya. So, kalau kata saya, film ini termasuk karya yang tergolong biasa. Nggak "wah", dan nggak "wooo". Oiya saya agak ngerasain sensasi Eagle Eye dicampur Butterfly Effect pas nonton The Adjustment Bureau!

      LIMITLESS
      Director Neil Burger
      Cast Bradley Cooper, Abbie Cornish, Robert De Niro, Andrew Howard
      Distributor Relativity Media
      Genre Sci-Fi, Thriller
      Release Date 8 March 2011 
      Rate 2.5 out of 5
      Setelah karirnya ngelonjak sejak Hangover-nya yang asli lucu tapi menurut saya orang-orang menanggapi agak berlebihan, Bradley Cooper sepertinya tambah naik lewat banyak film ber-script biasa tapi punya tingkat hiburan yang nggak terbantahkan. Kali ini di Limitless, lagi-lagi film yang jual muka tajamnya yang mencolok, Bradley Cooper memerankan seorang penulis yang sedang kelabakan dikejar deadline nulis. Tampang berantakan, hidup semrawut, sampai keadaan ekonomi yang terlihat cukup-cukupan jadi berubah drastis saat ia ketagihan mengkonsumsi NZT-48, sebuah "pil superhero" rujukan mantan adik-ipar nya yang bentuknya mini-bening. To the point aja, Limitless ngebosenin. Nggak berarti sampah, tapi alurnya sukses buat saya terobsesi untuk mendorong tubuh saya segera menggapai empuknya tempat tidur di sebelah ruangan tv. Premisnya sih menarik, berhasil buat saya penasaran dari awal tahun. Harapan saya tuh bisa melihat  tontonan yang saya kira sci-fi pinter, eh ternyata semua hal yang diceritakan terlalu ngasih fokus berat ke gimana karakter Bradley dari suffer-happy-struggle-dying. 

      Saya sendiri tidak ngerti obat macam apa yang bisa ngubah pola pikir sampai pola hidup seseorang kayak di film ini, emang sih udah dijelasin, tapi tetep nggak logic aja gitu. Oke, namanya film,pasti fiksi, nggak logic, so buang aja akal pikir sehat kita bukan? Tapi anehnya udah tau Limitless sajian sci-fi yang didalamnya punya premis yang bener2 fantasi, tapi kenapa malah dilingkupin cerita yang ngarah ke arah problema kehidupan. Alhasil saya bertanya, "ini film mau nusuk arti penting dari kata humanis, ato mau semrawutin otak saya dengan misteri pil yang less-explained itu? Well, sekali lagi, nggak sampah kok. Tapi kalo disebut film pintar ya nggak bisa, kalo mau tepat anggap aja ini menghibur. Bradley, hmm, main cukup bagus. Ada karakter yang nggak penting disini, Robert DeNiro! Eits salah, karakternya sih nggak bisa dibilang nggak penting, tapi munculnya nama DeNiro sangatlah nggak penting. Hey, kenapa nggak kontrak aktor kelas C aja yang mungkin bisa lebih ngidupin karakter-nya DeNiro yang muncul kadang2 tsb. Hemat biaya dong! Aneh banget ngeliat nama DeNiro ikutan nampang di poster. Lagian nggak ngaruh kok sama arah cerita.  

      HANNA
      Director Joe Wright
      Cast Saoirse Ronan, Eric Bana, Cate Blanchett, Tom Hallander
      Distributor Focus Features
      Genre Action, Crime, Thriller
      Release Date 8 April 2011 
      Rate 3.5 out of 5
      Jarang rasanya untuk menemukan film bernyawa kuat di musim-musim awal tahun. Biasanya di masa caturwulan pertama dalam satu tahun, kebanyakan film yang beredar bisa dibilang sebagai penyejuk atau pemanasan untuk menunggu hadirnya film2 summer/blockbuster. Seperti yg saya bilang tadi, "jarang", berarti belum tentu "tidak ada". Nah, di tengah kejarangan tersebut, di tahun 2011 terhitung ada beberapa penyejuk yang saya maksud. Selain Source Code yang mengejutkan itu, ada Hanna yang rilis bulan April lalu. Bercerita mengenai Hanna (Saoirse Ronan), gadis tangguh yang hidup bersama sang "ayah", Eric Heller (Eric Bana) di tengah hutan terpencil daerah kutub. Hanna dilatih ayahnya sedari kecil layaknya militer, segala macam kekuatan fisik, otak, dan psikis disodori ayahnya untuk sesuatu yang pada dasarnya tidak terlalu dimengerti oleh Hanna hingga suatu saat ia dan sang ayah harus berpisah demi menjalani misi revenge pada musuh bebuyutan mereka, Marissa Wiegler (Cate Blanchett). Hmm, Joe Wright mungkin lebih terkenal dengan film2 melodrama-nya, misalnya Atonement yang turut dibintangi si "Hanna". Menilik track-record nya yang kelihatan lebih berfokus pada satu genre saja, Wright terbilang berhasil mengeksploitasi keberaniannya untuk tampil beda lewat Hanna ini. 

      Dari awal sampai film berakhir, ada dua hal yang saya rasa memiliki similarity terhadap apa yang ditawarkan dalam film ini. Dengan karakternya yang "buta dunia", Hanna seakan mengingatkan saya terhadap film The Island thn 2005 lalu. Dan dengan sosok gadis tangguh yang dicap pada diri Hanna ini, sosok Hit-Girl lah yang pertama kali tercetus dalam pikiran saya. Sepertinya terlalu "munafik" bagi orang untuk berusaha menolak fakta adanya kesamaan antara dua karakter ini. Sebagai penyejuk di cawu awal tahun 2011, Hanna adalah suguhan yang menarik. Film ini beruntung memiliki isi yang di-pak sebegitu lengkap tanpa menimbulkan kesan berantakan. Pertama yang pasti penampilan ketiga tokoh sentral, ada Saoirse yang main gesit luar-dalam dan meyakinkan ketangguhannya lewat tatapan dingin menipunya tsb, ada juga Eric Bana yang hmm, yang walau tidak se-"pria" Hanna tapi tetap menaikkan tensi emosi dalam cerita, dan yang terakhir adalah Cate Blanchett beserta Tom Hallander sbg antagonis yg sukses membuat saya antipati. Unsur kedua yang menjadi kekuatan film ini adalah diaturnya shot demi shot kamera yang memiliki arti sendiri dari tiap adegannya, mungkin untuk menekankan detil kejujuran dari revenge dalam cerita. Semuanya berbaur jadi satu dengan rapi dan lebih mengesankan lewat scoring yang asik dan tidak se-seram ceritanya sendiri. Well, Hanna tergolong sebuah sajian yang forgettable dan tidak terlalu istimewa, terlihat dari naskah cerita yang tidak sedetil "pembantaian" teknik filmnya. But, dilihat dari pencapaian seorang Wright, Hanna rasanya boleh dijadikan salah satu film terbaik di cawu pertama tahun 2011.


      DIARY OF A WIMPY KID:
      RODRICK RULES
      Director David Bowers
      Cast Zachary Gordon, Devon Bostick, Robert Capron, Rachael Harris
      Distributor 20th Century Fox
      Genre Comedy
      Release Date 25 March 2011 
      Rate 3 out of 5
      Setelah sukses dengan penghasilan yang nggak disangka sebelumnya, Diary of Wimpy Kid kembali lagi hanya berselang satu tahun dari rilisan film yang pertama. Dengan sub-title "Rodrick Rules" yang emang dari judul buku asli, film ini tetap menceritakan kehidupan belia Greg Heffley (Zachary Gordon). Kalo yang pertama ceritanya tentang gimana si Greg "menderita" di awal2 masa middle-school/smp, yang kedua ini tetep ngasih "penderitaan" ke dia lewat tingkah laku kakaknya yang jengkelin. Hmmm, saya sangat suka bukunya yang tidak susah2 tanpa hal rumit seperti kebanyakan novel standard yang sok tinggi. Cerita simple, guyonan2 kocak, sampai aksi heboh nan lebay Greg dkk yang divisualisasikan ke bentuk adapted movie book tergolong berhasil di tingkatannya. 

      Agak bingung kenapa banyak kritikus2 pro diluar sana yang nganggep nih film ancur dan ruwet, pertanyaannya, ancur dimananya om?! Emang sih film pertama nggak konsisten mau ngasih jokes yang di beberapa scene banyak hal klise yang kayaknya mustahil aja gitu, ya namanya juga bo'ongan/fiksi atau lebih tepatnya pure hiburan. Saya bilang sih yang kedua ini lebih lucu, lengkap dengan karakter2 pelengkap yang nggak sekedar ramein, seperti si india Chirag yang berhasil buat saya kesel setengah mati. Bingung kalo mau cari kelemahannya, bukan maksud saya film ini sempurna, tapi agak maksa aja gitu kalo ngekritik film ini terlampau dalam. Oiya tapi saya makin nggak suka aja sama yang meranin Rodrick, kadang porsinya malah buat suasana agak hambar. Tetep lucu sih. Dan kalo mau bilang ngena ke saya sendiri, hmm, agak. Karena seperti saya bilang tadi, banyak hal klise di sana-sini yang pure fiksi (nggak tahu juga sih mungkin di amrik sana banyak terjadi). Dengan pendapatan yang menyenangkan bagi kedua filmnya, Diary of A Wimpy Kid punya potensi jadi franchise panjang yang sangat beda dilihat genre-nya. Kalo nggak salah novelnya berjumlah lima seri.


      PAUL
      Director Greg Mottola
      Cast Seth Rogen, Simon Pegg, Nick Frost, Kristen Wiig
      Distributor Universal Pictures
      Genre Comedy, Adventure
      Release Date 18 March 2011 
      Rate 3 out of 5
      Bicara Paul, pasti yang pertama tercetus di kepala adalah duo aktor yang membintanginya, siapa lagi kalo bukan Simon Pegg dan Nick Frost yang beken akan kolaborasi langganan mereka di beberapa film. Setelah Shaun of The Dead dan Hot Fuzz, dua orang ini main satu screen lagi dalam "komedi alien", Paul. Diceritakan Graeme Willy (Simon Pegg) dan Clive Gollings (Nick Frost) adalah dua sahabat dari Inggris yang sering liburan bersama. Terbang jauh dari kampung halaman ke Amerika untuk menghadiri Comic-Con (pameran komik akbar tahunan), sesosok alien bernama Paul terpaksa harus bergabung dgn RV mereka di tengah perjalanan malam yang mengejutkan. Perjalanan panjang penuh kejutan pun mau tidak mau harus mereka jalani demi menyelamatkan Paul dari bahaya misterius yang tengah mengejarnya, lengkap dengan kawan2 baru yg mereka bertiga temui di tengah perjalanan. Yang menjadi faktor bagi saya untuk mau cepet2 nonton Paul adalah nama-nama yang menghiasi jajaran pemain didalamnya. Hmm, sebut aja Pegg-Frost, Kristen Wiig, Blythe Danner, Jason Bateman, Jane Lynch, dll. Agak kaget awalnya liat nama-nama kayak mereka main bareng, jarang aja rasanya isinya bagus semua dan saya kenali untuk film yang bisa dibilang pemasarannya nggak kerasa heboh. Sayang sekali setelah nonton, bahkan pas lagi nonton, ternyata Paul nggak lucu-lucu amat seperti yang banyak orang kira, termasuk saya. Nggak tahu apa mungkin saya ngarep-nya terlalu berlebihan, tapi tetap aja Paul tidak memberikan pengalaman ngakak yang memuaskan.  Padahal film udah diawali dgn lumayan baik, lewat opening datang-nya alien ke bumi yang  agak kontras sama suasana film seiring berjalannya waktu. Dari mikir bakal dapet tontonan komedi ala Pegg/Frost yang seperti sy bilang tadi, kelihatan beda dari awal, eh semuanya seakan surut kayak ombak ketika film sudah berjalan sekitar setengah jam. Ada beberapa momen, bahkan lumayan banyak, yang mau dibuat lucu tapi sayangnya jadi canggung. Soo, kalo mau dihitung, saya lebih banyak ngeluarin senyum dibanding ngakak. 

      Tapi Paul tidak jatuh gitu aja berkat adanya beberapa aktor yang sangat membantu meningkatkan tingkat kelucuan film ini. Dan yang paling ngundang perhatian tentu saja karakter-nya Kristen Wiig, yang digambarkan sbg "bible freak" tapi tergoyahkan imannya karena dipengaruhi Paul dan duo Pegg-Frost. Karakter Wiig ini mungkin agak nyindir orang-orang yang nggak bisa berdiri sendiri, yang gampang berubah tanpa peduli akibat dan nggak bisa pegang omongan sendiri (pesan ini lebih ditekankan di ending pas tepatnya omongan Paul "be yourself, speak to your heart"). Justru kalo boleh ngomong, Wiig tampil lebih lucu dibanding Pegg-Frost. Oiya hampir lupa, ada juga Seth Rogen sbg pengisi suara Paul, suaranya sih hmm, menurut saya mengomentari sebuah "suara" sepertinya agak nggak penting. Jane Lynch yang numpang lewat sampai cameo si bos misterius yg nggak saya duga turut memberikan momen unik tersendiri. Once again, bukannya jayus, tapi masih banyak kekurangan disana-sini yang menyebar dalam sebuah "Paul" (oiya banyaknya F-bomb saya rasa sedikit memberi kharisma lawak bagi film).

      Selasa, 14 Juni 2011

      [Feature] MY MOVIE LIFE

      Sebelum memulai artikel ini, saya mau ngaku kalau sebenernya ini contekkan dari salah satu rubrik majalah film yang paling saya suka: TotalFilm. TotalFilm adalah satu dari dua majalah yang selalu saya beli tiap bulan, selain Cinem**s yang makin lama makin nggak jelas isinya. Bukannya gimana-gimana, apa yang dibahas oleh majalah film Indonesia tersebut banyak yang nggak penting. Apalagi setelah saya mendapat banyak sumber film yang lebih bagus dan berkualitas. Rasanya untuk sekelas majalah yang harusnya bisa saya cap sebagai "pro", majalah tersebut harus bisa dong bahas yang lebih penting, misalnya isi atau kualitas secara menyeluruh. Tuh majalah kalo nggak ngomongin budget film, cast film, dimana syuting dilaksanakan, siapa distributornya, dll. Wtf?!

      Oke mungkin fakta bahwa TotalFilm adalah asli dari Inggris bisa jadi alasan. Tapi bila itu dijadikan alasan, sama aja ngaku orang indo nggak bisa menyamakan kemampuan berpikir orang inggris sana dong, hahahaha! Jadi nggak nyambung kan sama apa yang mau dibahas. Feature blog saya berikut ini saya 'adaptasi' dari rubrik Buzz: My Movie Life di TotalFilm. Mungkin yang langganan tahu lah. 

      The films 
      that make Daniel Putra forget about reality...

      THE FIRST MOVIE THAT I REMEMBER SEEING
      SHREK (2001)
      Agak lupa sebenernya film apa tepatnya yang pertama kali saya tonton. Tapi yang paling saya ingat sih Shrek. Tepatnya tahun 2001 lalu pas saya masih SD, diajak temen gereja nonton bioskop di PIM (Pondok Indah Mall). Dan Shrek sekaligus menjadi film pertama yang saya tonton di bioskop atau lebih tepatnya pengalaman pertama saya masuk bioskop! Well, namanya juga sepuluh tahun lalu, ceritanya pun sebenernya agak lupa. Yang paling diingat mungkin adegan yang nari-nari di lumpur itu, iya nggak sih?

      THE MOVIE I SHOULD HAVE SEEN BUT HAVEN'T
      HARRY POTTER SAGA (2001-2011)
      THE SHAWSHANK REDEMPTION (1994)
      Belum pernah sekalipun saya tonton harpot dari yang pertama sampai yang mutakhir. Bahkan sampai pernah ada tayang marathon di tv apa gitu, saya tetep nggak nonton. Mungkin karena emang dari kecil nggak ngikutin, alhasil jadi males untuk ngejar tujuh filmnya. Harry Potter, well, franchise yang rasanya wajib tonton dan katanya salah satu film fantasi terbaik kan? Pernah ada yang bilang gini ke saya, " jangan ngaku manusia abad sekarang kalo nggak pernah nonton Harry Potter". Hahahaha mau diapain lagi. Oiya tidak hanya karena nggak ngikutin dari kecil, sebenernya dulu dilarang nonton beginian yang berbau sihir (orang tua saya memang oldschool sekali!). Di situs IMDB The Shawshank Redemption peringkat satu film terbaik sepanjang masa versi mereka. Di blog temen-temen, banyak yang masukkin nih film ke film favorit. Temen saya bulan lalu dateng ke sekolah heboh banget sama nih film. Udah saya download sih dari bulan lalu, tapi males aja sampe sekarang nontonnya, antara nggak ada waktu dan....ya itu, males.

      THE MOVIES THAT ALWAYS MAKES ME CRY
      Nah, bagian ini yang agak susah bagi saya. Saya tuh orangnya nggak bisa nangis sama film, sesedih, semiris, atau semenderita apapun orang di sebuah film. Nggak tahu kenapa kayaknya saya tipe orang hemat air mata kali ya. Tapi ada beberapa film yang sangat menyentuh saya, pengen nangis tapi nggak bisa. Ada tiga: Hachiko A Dog's Tale, Brokeback Mountain, sama Into The Wild. Walaupun begitu, ketiga film ini tetap saja tidak bisa memenuhi konteks "always makes me cry".

      THE MOVIE EVERYONE HATES THAT I LOVE
      THE CHRONICLES OF NARNIA (2005-....)
      Narnia adalah film fantasi yang bisa dibilang sangat anak-anak, yang agak susah dinikmatin orang-orang pro ato yang nyari sensasi film tinggi. Dulu ada yang bilang narnia bisa jadi lawan harpot ke depannya. Hmm, saya akui nggak bisa. Walaupun saya blm nonton harpot, harus diakui banyak pengakuan positif untuk harpot. Tapi tetep aja saya suka Narnia, selain menghibur dan sebuah genre kesukaan saya dulu, yang jadi sisi lain bagi saya untuk suka Narnia adalah si C.S Lewis sendiri (salah satu author fav saya). Saya sudah baca versi novelnya, bener-bener menghibur. Dan lagi, Narnia terbentuk dari modifikasi dan penggabungan cerita Alkitab dan mitologi Yunani. Narnia yang paling bagus menurut saya yang kedua, sayangnya jadi anjlok pas Narnia 3.

      THE MOVIE THAT I WOULD LOVE TO SEE REMADE
      DEATH NOTE
      DETECTIVE CONAN
      Ini dia dua karya Asia yang saya suka. Dimulai dari versi komik yang emang 'kelahiran' mereka, kemudia dibuat versi kartunnya sampai dibuat live-action film yang saya bilang agak sampah. Walaupun tetep mereka-mereka yang buat, maksud saya orang asia juga, tapi kok kayaknya live-action nya jelek ya. Mungkin banyak yang nggak setuju dengan pikiran saya yang ngarep nih dua kartun di remake Hollywood. Maklum, banyak banget karya-karya Asia yang diubah jadi sampah sama mereka. Contoh yang paling gampang seperti Priest yang baru keluar bulan lalu (belum nonton tapi banyak yang bilang sampah), ada juga Dragonball Evolution yang bagaikan bantar gebang, bukan sampah. Di luar semua itu, saya pengen terlampau pengen untuk ngeliat versi bule dari semua kartun ini. Berhubung genrenya misteri dan termasuk dalam golongan manga smart yang pake otak dan ceritanya rumit, mungkin agak bagus kalo dipilih director yang nggak sampah. Fincher/Nolan? Ah pasti mereka nggak tertarik. (Andai saya punya kekuatan bisik setan jarak jauh)

      THE MOVIE I'D TAKE TO A DESSERT ISLAND
      DAVID FINCHER'S FILMS
      Woo hoo, Fincher! Nonton film-filmnya bisa buat saya lupa mau minum ato ngambil cemilan untuk dijadikan sampingan. Cukup nonton filmnya, udah bisa buat saya puas. Kayaknya mau apapun keadaannya pas lagi nonton, tetep aja nggak bakal ganggu saya untuk nikmatin film-filmnya dia! Oke agak lebay ya.

      THE MOVIE I'D SEE AS A LAST REQUEST
      Mungkin sesuatu yang sejenis Risky Business bahkan Toy Story. Film2 yang memakai genre mereka sebagai cara terselubung untuk ngasih sesuatu yang udah mereka set sebagai isi utama film mereka.

      THE MOVIE ALL KIDS SHOULD SEE AT SCHOOL
      Untuk bagian ini, mungkin cukup nonton sesuatu berbau kartun kayak Toy Story yang emang salah satu masterpiece per-kartun-an yang wajib diliat dari kecil. Ada juga Diary of A Wimpy Kid yang masih tergolong baru. Menurut saya untuk konteks anak kecil, nggak perlu film tinggi-tinggi bagi mereka. Cukup satu kata "menghibur", bisa ngisi masa-masa kecil ya kan. Intinya, jangan paksakan anak kecil untuk nikmatin sesuatu yang nggak bisa mereka ngerti.

      THE MOVIE I LOVE THAT NO ONE'S HEARD OF
      ALL THE RIGHT MOVES (1983)
      Sebuah classic '80-an tentang masalah standard anak-anak sekolahan jaman dulu. Hmmm love, pregnancy, sport, etc. Sebenernya filmnya standard dan nggak ada pesan yang terbilang penting. Tapi untuk sebuah film yang rilis masa itu, kayaknya yang ini tergolong jarang. Saya suka soundtracknya, apalagi yang judul "All The Right Moves" serta lagu-lagu lain yang buat saya nyaman nonton. This one is a good film to watch if you like teen-sport-drama which is rare 30years ago.