infolinks

Jumat, 11 November 2011

[Short Review] THE TREE OF LIFE & MELANCHOLIA (2011)

Film art house seringkali menimbulkan penafsiran. To the point, saya bukan pecinta jenis film ini. Film art house pada dasarnya merupakan sebuah karya artistik yang serius, tidak jarang dijadikan eksperimental si sutradara dan tidak dirancang untuk menjadi daya tarik secara umum. Satu hal yang impresif dari pengerjaan kebanyakan art house adalah aspek visual yang indah dan diusahakan sebaik mungkin untuk dialegorikan dengan plot yang ada. Di short review saya ini ada dua film art house tahun ini yang paling banyak mengundang atensi tinggi di kalangan luas, yaitu The Tree of Life dan Melancholia.

THE TREE OF LIFE
Director Terrence Malick Writer Terrence Malick
 Cast Brad Pitt, Jessica Chastain, Hunter McCracken, Sean Penn
Distributor Fox Searchlight Pictures Genre Drama, Arthouse

Menonton The Tree of Life menyebabkan dua hal; mengantuk, atau memaksa kita menelan banyak air karena kehausan. Setelah layar berubah menjadi hitam, secepatnya kata-kata “written and directed by Terrence Malick” muncul, ada dua hal yang terjadi; desahan nafas orang dan keluh syukur orang ‘akhirnya!’. Ada apa dengan film ini? Ada dua pria dalam The Tree of Life yang terpisah zaman; sosok ayah yang keras dan pengontrol, Mr. O’Brien (Brad Pitt), di Texas tahun ’50-an. Pria kedua adalah Jack O’Brien (Sean Penn), sosok dewasa dari putra Mr. O’Brien di masa kini. Dengan dimulainya film, Jack dewasa menciptakan koneksi antara dirinya dengan sang ayah dan keluarga lewat imajinasi atau memori masa kecil, yang diselingi gambar-gambar abstrak terbentuknya jagat raya oleh Terrence Malick.

Saya belum nonton film Malick kecuali ToL ini. Adalah benar kalau Tree of Life agak membosankan seperti yang saya lebih-lebihkan tadi, in a good way. The Tree of Life adalah film yang challenging dan unconvensional, memompa kesanggupan orang untuk bersedia mengikuti sajian-sajian gambar ‘aneh’ bernarasi karya Malick yang tetap solid menyajikan cerita keluarga O’Brien yang touching dan enigmatis. Tidak sekedar main-main dalam ‘membingungkan’ orang lewat semua gambar yang secara kasat mata tidak nyambung sama film, performance yang solid dari para pemain juga baik, khususnya Hunter McCracken. Makna dari film ini terbuka untuk interpretasi, tapi sebaiknya cukup ditonton tanpa perlu men-decode, mentafsir, atau memaksakan pikiran sendiri untuk mencari tahu jawaban dari film yang penuh akan pertanyaan ini. 

Rate : 1 2 3 4 5

MELANCHOLIA
Director Lars von Trier Writer Lars von Trier
 Cast 
Kirsten Dunst, Charlotte Gainsbourg, Alexander Skarsgard, Kiefer Sutherland
Distributor Magnolia Pictures Genre Drama, Arthouse, Sci-Fi

Di saat The Tree of Life berjaya di Cannes tahun lalu dengan merebut Palme d’ Or dan menjadi perbincangan karena sajian visual yang mengagetkan diluar ekspektasi penonton untuk melihat ‘film Brad Pitt’, ada juga Melancholia yang serupa tapi beda dalam bertutur. Kalau The Tree of Life lebih mengaitkan komparasi antara keluarga yang agak bermasalah dengan awal mula terbentuknya jagat raya, Melancholia justru lebih main halus dengan mengaitkan bagaimana bencana jagat raya yang akan segera terjadi di current time bisa mempengaruhi karakter seseorang. Dibintangi oleh Kirsten Dunst, memerankan Justine, yang di sela-sela acara pernikahannya dengan Michael (Alexander Skarsgard) malah merubah keputusannya. Dan berpengaruh kepada sosok sang kakak, Claire (Charlotte Gainsbourg). Film ini bukanlah apocalyptic semacam jenis lainnya yang kebanyakan mengandalkan sense of character’s patriotism, cheesy script, atau aksi pahlawan semacam Bruce Willis.

Melancholia dibagi menjadi dua bagian, Part One: Justine yang menceritakan pernikahan si Justine dan perubahan yang perlahan namun pasti menggerogoti pikirannya. Yang awalnya terlihat senang, hingga terlihat bimbang dan tidak berani bahkan tidak bertanggung jawab akan pernikahannya sendiri. Sedangkan Part Two: Claire lebih menekankan flipping antara Claire dan Justine, dimana Claire yang tadinya tenang berbalik jadi panik akan hari yang mendekati waktu ramalan planet Melancholia akan menabrak bumi. Film dibuka potongan gambar slowmotion yang keren dan ‘bersifat ending’, maksud saya menekankan bahwa akhirnya planet itu memang akan menabrak bumi. Jadi keiistimewaan Lars von Trier disini adalah memanfaatkan planet Melancholia untuk menjerumuskan kedua karakter utamanya ke dalam studi karakter; bagaimana seseorang menyikapi suatu masalah. Kirsten Dunst bermain baik disini, walaupun Gainsbourg jauh lebih dahsyat. Skarsgard muda (‘Skarsgard tua’ juga turut ambil bagian dalam film) tidak sekedar berfungsi sebagai pelengkap ruang lingkup karakterisasi, karakternya menarik simpati saya dan for a moment membuat saya nge-blame Justine. Jujur saya lebih suka dan tertarik sama Melancholia ini ketimbang ToL, karena penuturannya yang lembut dan pas dibanding Tree of Life yang menurut saya pribadi terlalu hyperbola, but still great.

Rate : 1 2 3 4 5

Sabtu, 22 Oktober 2011

11 Reasons Why I Love TRUE BLOOD

It’s been quite a long time since I wrote a take of tv series, which is Glee, the only tv review I had before this one. The forth season of True Blood just ended one month ago, I knew this show but I barely didn’t know about good thing of why people should grab this one, until the beginning of October I tried to catching up and found the reasons people adore this vamp thing.

The first and only reason of why I really want to know about this show is a lot of accolades this show got so easily. So many, let’s say Golden Globes for the faerie barmaid and its nomination for the show itself but too bad that custom ended early this year when the third season didn’t get crowd pleasers like before. I know why but it still great.

True Blood created by Allan Ball, a fiftysomething guy who previously won Academy for his work; American Beauty, decade ago. He is also a guy who brought HBO to gloryness of watchers and rates through Six Feet Under. Based on Sookie Stackhouse Novel, also known as The Southern Vampire Mysteries by Charlaine Harris. TV version is broadcast on HBO and so far four season has been aired.

True Blood centers on a fictional small town in the state of Louisiana, Bon Temps, where a lot of supernatural thing happens. The main character is Sookie Stackhouse, a twentysomething blonde girl who can be able to read people’s thoughts. She is working as barmaid at local bar own by her shape-shifter friend; Merlotte’s. She falls in love with vampire Bill as she found she can’t hear his mind which strange and make herself more curious about him.

That’s how the first season began. The introduction of complexities of vampire society that leads so many problem towards her and also some doubt of their relationship. The following season tell something more dark about supernatural thing, comes with Greek myth. The good thing is, this season received acclaims more than its precedessor got. The show got more complex in the two season after this.

I hooked on True Blood like crazy, tweeted all this thing and never realized it was this dope. I still have one more episode left to watch, which is the season four finale; “And When I Die”. Despite people’s comment of how the current season not as great as before, I still love this show. Season four get me so emotionally. I have been thinking what I’m gonna do when I see how the finale ends, what toxic I need to get to replace True Blood of hooking me? Why on earth I act very crazy about this?

Quirky dark humor
Case in the point of Lafayatte, unlikely hero of Bon Temps, one idiot brother of Sookie; Jason Stackhouse, and so many satirical headlines like “Angelina Adopts A Vampire Baby”. I don’t know which season I seen the magazine with that line, but I can’t forget it.

Opening title sequence created by Digital Kitchen
Along with catchy song from Jace Everett; Bad Things (I downloaded the clip from YouTube and often play it on my iPad), the opening can be seen in all episodes and really sets the tone of True Blood. As addictive as the show itself. This sequence features images of sex, violence, and religion. From what I read, all frames express how fanaticism of faith and sexuality could make human animalistic.

More gore, more scary, and more sex
Vampire on the shit-Twilight got nothing to do on how to bite, on Vampire Diaries is a bit simple and not intense. But True Bloos’s blood-suckers are more into it. They drain, feed from human like hungry animal, and then do violent sex. Remember when Bill get mad and twist Lorena’s head 180degrees? And some heart rip-off? Scary. And don’t get them wrong about showing plenty of nudity. It has purpose and that is how to set True Blood its dark side. However, the sex scenes are engaging.

You don’t need to see lockers
Both Twilight and Vampire Diaries sets highschool as the place where love between human and vampire happens. Don’t you really sick about chick thing? While two things above centered towards teens, instead True Blood goes in terms of adult themes, along with great story.

Social and political allegories
Pro-contra of vampire presence amplifies the reality of racialism. Their struggle interpreted as allegory for LGBT right. Vampires in True Blood are minority and trying to get equality. Allan Ball is gay, I suddenly remember of how a gay creator would add this case on the show with a good way just like Ryan Murphy did with his musical.

The promo, taglines, merchandises, and icon in it.
“Waiting sucks”, yes it really does. I love the poster, most of it shows its sensuality. I want to buy merchandises, especially Tru Blood drink. And Fangtasia or Merlotte’s bars are iconic.

Southern accent and f-bombs
I don’t know how to describe their accent, I just love it and want to learn how to pronounce words properly, very cool isn’t it? I also love the use of f-bombs. It’s pretty funny word. It can be as expression of surprise, madness, passion, or just ordinary talking.

Interesting characters (great ensemble cast)
How to tell whether an ensemble is great or no? That you can spend times trying to choose your favorite character. Together they encapsulates what the show really is. I like the difference of quirk that each character has. Rutina Wesley as Tara was my favorite, although now she isn’t as sarcastic as she was, she still interesting. I love to see the childlike sense of Jason and Andy’s stubbornness, which always give me pleasure of laugh. Lafayette’s deep voice always comes with his dark humor, and his over-the-top costumes are ridiculous funny. Both Arlene and her cautious side are strangely great. I hate all antagonists, whenever they comes to fill up each season’s conflict I wanna bite them, if only I had fang. Maryann and Lorena are badasses!

The beautifully written story and cliffhanger
The story is mature as in you see naked people. True Blood offers people the good amount of suspense and horror, along with heartbreaking conflict between Sookie and Bill that always happens. I both love and hate endings of each season, which leave me depressing, heartbreaking, and wanting more. I’m so curious about the changes and which direction the show will go. Cliffhanger ending used in almost every episode even each season's finale and leaves me breathtaking. This way ensure audience will return to see how the ending will be resolved on the next. I wish they knew how depressing it does of one year waiting.

The vampires
I think Pam is the strongest. Besides her lesbian and outfit weirdness, she is really standing up to her maker. She would do anything as long as bring goodness to both her and Eric. The depth of her relationship with Eric is really deep. She speak whatever she want. Jessica and Bill comes with their vulnerability. I wanna slap The Queen and Lorena whenever in frame. Eric is a tough viking. Another thing I really admire about True Blood’s vampires is the writers consistent with vampire myth. They can’t sparkle under the sun like Edward does. They can’t do daywalking like in Twilight and Vampire Diaries with their stupid ring. And vampire afraid of silver and wood.

Sookie Stackhouse
I understand the reason Anna Paquin earned Golden Globes. Sookie always running into trouble. She is strong and will do whatever she think right for people she love. She isn’t ordinary blonde girl. She is funny and the biggest scene stealer. It’s kind of miracle that she still alive until now. So many of her relative murdered or disappeared around her, and it never set her down. She is fairy, can pull out strange light from her hand. I’m sure it can be depressing to read people’s thoughts. She fights myth creatures. And she love both Bill and Eric.


There are some missing and unnecessary subplot in season four that left me confused and I thought there was shown only to give promoted role their own story. I still wondering why they missed the fae thing, as a matter of fact season four begins with Sookie trapped in that riduculous land. Ok they didn't missed it, instead they brought one fairy to earth with a silly way. Other unnecessary things are werephanter, the twist returns of Steve Newlin and Rene, unexpected lesbian turned of Tara and her useless girlfriend, etc. I've got no idea where is Sam's feeling to Sookie has been gone? I loved Tommy, he was fit to filled up his storyline with Sam but it was just weird the character got killed. They chose to tell another complex shape-shifter trouble to Sam instead of giving Tommy more. I also loved to see Hoyt and Jessica relationship that never be lasts forever. I'm ok with Debbie shot Tara, I just hope they wouldn't turn her to be zombie, vampire, or ghost. Why so many people got confused of her presumed death? I think whether Eric or Bill will come directly to Sookie (remember they feels Sookie's fear) to feed Tara.

So, whatever your reasons of liking True Blood are, I can agree on one thing: 
This is a f**ckin addictive dope, baby!

Sabtu, 08 Oktober 2011

[Review] DRIVE (2011)

Director Nicolas Winding Refn Writers Hossein Amini
 Cast Ryan Gosling, Carey Mulligan, Albert Brooks, Bryan Cranston
Distributor Film District Genre Action, Crime, Drama, Thriller

Banyak factor yang membuat film bisa jadi menarik dan menaikkan pamor film tersebut. Entah itu dari sisi teknikal promosi seperti poster, trailer, dll, bahkan sampai nama sutradara atau actor di dalamnya. Kali ini factor leading-actor lah yang berperan sebagai factor itu, yaitu Ryan Gosling. Setelah beberapa filmnya yang sebagian besar mendapat critical acclaim berkat penampilannya, kali ini di Drive ia kembali menunjukkan bahwa ia layak dicap sebagai promising actor.

Dari sekian banyaknya festival film yang diadakan per tahun, hanya beberapa yang memiliki prospek berkualitas, sebut saja Toronto Film Festival, Tribeca, Sundance di awal tahun, dan Cannes Film Festival di awal summer season. Di Cannes tahun ini ada beberapa film yang mendapat perhatian lebih, khususnya karena mendapat awards khusus in competition. Empat film paling mengundang perhatian antara lain The Artist dan Melancholia dengan P d’interpretation (best performance), The Tree of Life yang diganjar Palme d’Or (best picture), dan juga Drive dengan Prix de la mise en scene nya (best director). Empat film diatas adalah film-film yang berjaya di Cannes tahun ini dan sukses meraih atensi publik serta kritikus yang nantinya berkemungkinan besar untuk ikut bertarung di awards season, bergabung dengan film-film fall season yang memiliki prospek oscar lebih besar.
 Ryan Gosling bermain sebagai karakter tanpa nama, dengan sebutan ‘Driver’. Driver berkerja sebagai mekanik di garasi milik temannya Shannon (Bryan Cranston). Ia juga melakukan dua part-time job, yaitu sebagai stuntman untuk film seperti adegan car chase, di malam hari ia adalah seorang getaway driver. Shannon memiliki hubungan dengan mafia bernama Bernie Rose (Albert Brooks) yang membayar dirinya atas pembelian mobil balap NASCAR beserta Driver dengan driving skill nya yang baik. Bernie memiliki hubungan dengan Nino (Ron Perlman), yang juga seorang mafia.

Driver hidup sendiri di sebuah low rent apartment. Ia memiliki tetangga bernma Irene (Carey Mulligan), ibu muda yang tinggal berdua bersama sang anak. Driver dan Irene bertemu dan perlahan jadi suka sama suka walaupun in fact Irene sudah mengingatkan bahwa ia mempunyai suami yang berada di penjara. Suaminya, Standard (Oscar Isaac), memiliki hutang dengan seorang mafia dan harus segera melunaskannya dengan ancaman keselamatan Irene dan anaknya. Si Driver pun ikut campur untuk menyelamatkan mereka, sayangnya masalah jadi rumit karena adanya konspirasi yang dilakukan para mafia. 
 Banyak aspek yang membuat saya paling excited dengan film ini. Diluar nama Ryan Gosling yang makin bersinar, aspek promosional film juga mengundang atensi besar saya. Dimulai dari trailer yang lumayan bagus, sampai design poster retro dengan font berwarna pink yang kalau boleh dibilang termasuk poster terbaik tahun ini. Film dibuka dengan opening title yang sangat sederhana dengan font pink seperti di poster, dilanjutkan opening sequence si Driver dalam memperkenalkan dirinya sebagai getaway driver. Dimulai dengan pembicaraan si Driver dalam memberikan instruksi, dalam 20 menit berikutnya tidak banyak bahkan hampir tidak ada line yang diberikan kepada karakter Gosling tersebut. Penonton diperlihatkan sosok Driver yang sangat dingin, menakutkan, sekaligus questionable. Siapa orang ini? Apa latar belakangnya? Saya sangat suka opening sequence Drive ini, salah satu opening film terbaik yang pernah ada. Sebuah muted-sequence yang breathtaking dan memperlihatkan ketelitian seorang Driver.

Nama lain yang memiliki andil besar dalam Drive tidak lain adalah sutradaranya sendiri, yaitu Nicolas Winding Refn. Berkat film ini ia diganjar penghargaan setingkat best director pada Cannes bulan May lalu. Nama Refn dikenal lewat film-filmnya yang kebanyakan bergenre sejenis seperti Valhalla Rising dan Bronson. Belum ada film Refn selain Drive yang pernah saya tonton.  Apa yang menarik dari penyutradaraan Refn? Dari detik pertama Drive saya sudah merasakan jawaban dari pertanyaan disamping. Refn unggul dalam membuat sebuah contemporary film menjadi terlihat beda. Dalam Drive, Refn memberikan sentuhan feel retro dalam berbagai aspek, mulai dari kesederhanaan opening title yang cukup dengan font pink yang sangat hot sampai betapa asiknya ia memberikan mood dari awal sampai penghujung film yang mengingatkan saya akan ’80 noir. Walaupun tidak mencolok, sinematografi dalam Drive adalah nilai plus yang juga membuat mood retronya lebih terasa. Dibantu sinematografer Newton Thomas Sigel, Refn memperlihatkan immersive vision kota Los Angeles lengkap dengan neon eighties dan cara pengambilan gambar yang gampang ditemukan dalam film-film jadul tahun ’80-an. Saya paling suka dengan long-shot yang dipadukan dengan mood calm dan sentuhan efek sudden shift sampai slow motion.

Just as important as its other technical atmosphere, scoring film yang dikerjaan oleh Cliff Martinez, orang yang juga bekerja di film Contagion, sangatlah impresif. Diluar pengambilan gambar yang sangat baik di Drive, scoring beserta soundtrack yang menghiasi banyak scene disinilah yang membangkitkan mood ’80-an paling kental. Kadang saya suka membayangkan gimana ya kalau mereka lebih memilih untuk menggunakan lagu-lagu modern, pasti hilang feel-nya. Baik scoring maupun soundtrack, keduanya menciptakan atmosfir yang sedingin si Driver itu sendiri.

Saya sangat yakin ke depannya Drive akan menjadi sesuatu yang ikonik. Banyak factor yang masuk akal untuk membuat hal ini terjadi, mulai dari mood ’80-an yang kental, long-shot sequence yang masih lekat di ingatan saya, atmosfir retro yang dibangkitkan mulai dari credit title, sampai art direction yang lagi-lagi sangat saya suka. Hal ikonik lainnya? Yang pasti scorpion white satin jacket yang dipakai Gosling sepanjang film, beserta denim jeans tusuk gigi yang tidak kunjung lepas dari mulut sang Driver. I love every single piece in this film, tidak ada satupun adegan yang dibuat sekedar melama-lamakan durasi atau terbilang tidak perlu. Jelas durasi film ini hanyalah sebatas 1jam 30menit. Ada banyak adegan yang sangat memorable dan paling ‘berjiwa’. Favorit saya ialah ending film dimana Irene mengetuk pintu apartemen Driver dan akhirnya pergi dengan tatapan hopeful diikuti shot wajah si Driver, yang menurut saya sangatlah heartbreaking dan strong. Adegan dimana Driver diajak ngobrol seorang former client nya di bar mulai menunjukkan transformasi cold-character nya menjadi ganas, tetap dingin, tapi menakutkan. Favorit saya lainnya tentu saat Driver dengan stuntman mask nya mendatangi Nino dengan tatapan kosong, diiringi lagu soul ’80-an lagi serta slowmotion shot. Saat itu satu hal yang muncul di pikiran saya, this Driver is one of the greatest avenger all the time.

Diluar kesan stylish yang menyelubungi, seperempat jiwa Drive berada dalam tangan Ryan Gosling. Saya yakin dari panjangnya film ini, tidak lebih dari 50 lines diberikan pada dirinya. Gosling bermain sangat baik disini, ketimbang memainkan kata-kata, ia lebih memilih untuk membangkitkan jiwa seorang Driver lewat mimik muka dan bahasa tubuh yang quiet dan calm. Sekalinya ia menunjukkan sisi gelap yang ia timbun dalam dirinya, jujur sangatlah menakutkan. Bukannya berlebihan, tapi the way he look through his eyes is really mesmerizing.  Driver adalah karakter yang misterius, hanya berbicara kalau penting saja. Ryan Gosling menunjukkan kualitas acting yang sangat baik. No doubt this dude is one of the finest actor today. His consistency is remarkable, as is his range and taste of roles. Setelah menonton film-film terbaiknya, Ryan Gosling terbukti adalah salah satu actor muda terbaik di era ini. Dimulai dari peran Jewish kid di The Believer yang dulu tidak sedikit menamai dirinya sebagai best newcomer, dalam Half Nelson sebagai drug addict teacher yang sukses menganugerahi dirinya the first and only Oscar nod, sampai performances nya yang kelewatan underrated seperti Lars and the Real Girl dan Blue Valentine. Untuk tahun ini saja ada tiga film mainstream bagi dirinya dan saya masih nunggu untuk nonton dua lainnya.

Jangan banyak berharap kalau mengira Drive adalah film seperti Fast and Furious atau film balapan mobil lainnya. Drive sepenuhnya berbicara mengenai revenge, dibalut love story yang charming. Momen romantis dalam film ini dipenuhi oleh adegan kalem antara Irene dan Driver yang sangat manis. Tidak berlebihan dan tidak segitu mudahnya untuk dilupakan. Beberapa artikel mempersalahkan adanya lack of characterization of Driver yang tidak menceritakan background kehidupannya. Namun bagi saya malah bagus dan lebih menimbulkan kesan misterius yang memberikan kesan mendalam. Supporting cast film ini juga baik sama halnya seperti aspek lainnya. Saya agak terpaku pada Carey Mulligan yang bermain sangat sweet sebagai Irene, Christina Hendricks yang walaupun muncul sebentar tapi bisa dibilang sebagai scene-stealer.  Albert Brooks paling mengundang perhatian, sebagai villain yang kelihatan baik namun sebenarnya ruthless, lebih dari seorang Nino yang diperankan Ron Perlman. Agak kasihan sama karakternya Bryan Cranston gak tahu kenapa. Oscar Isaac juga bermain baik, padahal awalnya saya kira bakal memberikan sentuhan jealousy.
Talking point... 
Susah untuk tidak menyukai film ini. Drive adalah film action/gangster/neo-noir yang mencekam sekaligus mempesona dari awal sampai akhir, dan dibuat sempurna tanpa ‘nila setitik’. Ditopang penampilan si one-in-a-million, Ryan Gosling.

Rate :
1  2  3  4  5

Minggu, 25 September 2011

Is That Cool to be Bullies?

This article is clearly not about movie. I'm not gonna talk about a movie which is discuss bullying theme. What I'm gonna discuss now is my respond about suicide of a boy that just happened last week in America. He is Jamey Rodemeyer, 13-years boy who committed suicide after being bullied.

Each fall nowadays, as the students return to school, bullying issue makes the news again. It is usually related to tragic suffering of minority kid with no power to defend. Despite the age of bullies, still, bullying isn't just a cruel but also a crime.

Who was Jamey Rodemeyer? Jamey was just ordinary boy, not ordinary, lots of difference he once had. He wasn't 'masculine' in physically way. He don't do sports, he don't like 'manly stuff' others likes. He was into Lady Gaga. He said she was his hero. Gaga's music made him more rigid as the time goes by, due to bullying he always get in school. Ya, he was kind of nerd guy I guess. 

People didn't like him. Not because his attittude. I'm pretty sure he was trying to be so nice to others, but too bad no one give him a value. I don't know for how long or for how many years he already suffered for this. But what I heard from news, he reportedly was bullied with gay slurs for more than a year. Gay? Was Jamey a gay? Ya, he was. Four months ago, precisely on May, Jamey uploaded a 2-minutes video that describes the suffering he had been through for a long time. The video was uploaded to YouTube by the project that filters so many people who want to share their expression, compassion, even their belief of life. The project well-known as "It Gets Better". Jamey is one of those people. The purpose of this project is to give a hope. To those people who joins this project, it means they convinced theirself to be strong and don't give a shit to everyone else's evil words. So, why did Jamey changed his mind to took his own life? 
Yes, he changed. After the video uploaded in cyber-space, Jamey got so many rude respond of his sexuality. People intimidated him, I bet they were people in the same school. I'm pretty sure Jamey only felt his hope he got from "It Gets Better" for a little time, and then, intimidation flood on his soul. Though he found solaces in internet, like Formspring, Twitter, and Blog, apparently it didn't get any better. His friends and anti-gay people in school then started to bullied him in different space, which is cyber-space. Oh-my-god, you bullied him in real-life, and then it wasn't satisfied you? Not enough to make you laughing a lot? I feels like I wanna punch them all until now, even though they already apologised and Jamey's family forgave them. The cruelest words was headed to Jamey's Formspring, Among the messages left were :

  • "Kill your self!!!! You have nothing left!"
  • "Listen to us, you're a bad person, you don't belong here, jump off a bridge or something!"
  • "Go kill yourself, you're worthless, ugly and don't have a point to live."

Ya, it was his Formspring that attracted the most hurtfull feeling. He was very active on the social media networking, lets say Twitter and Tumblr (did I already say that?). If I were him, I would be as upset as Jamey was. Can you imagine how painful Jamey felt? I'm not trying to be so dramatic. This news just upset me down. I just saw his Twitter account, and scrolled it down to see his tweets. The account dominated with his expression of being bullied. Some of them were :

  • "You make me so proud when I'm getting bullied"
  • "Already started school and they're already making fun of me again"

The last tweet of him were took time on Sept 18. 2011, the same day he took his own life. He mentioned @ladygaga on his last tweet :
  • "@ladygaga bye mother monster, thank you for all you have done, paws up forever"

Can you still imagine how bad it was for him? After then, he committed to suicide. America is shaking, Buffalo in particular. I don't know what way he chose to did his suicide, but one source says that the body found outside his house. 

I forgot to tell you, I found this news from my friend in Chicago. He was not really give attention to this, but its funny I am the who who turned very excessive to respond this story. Because of this, I searched the same cases and I found some. My biggest attention goes to Ryan Halligan, was 13-years old boy who committed suicide after being bullied in both real-life and cyber-space.

He took his own life in October 7. 2003 by hanging himself on bathroom. He was born in December 18. 1989, in New York City. Sometimes I wish his family weren't decided to move to Essex Junction, Vermont. Ya, there was the city Ryan passed his short life. He attended Albert D. Lawton Middle School and there were the story began. Ryan's interest just as the same as Jamey Rodemeyer was. He was not good at sports, he was really into arts and kind of pop music, he wasn't 'manly' at all like everyone elses think what is the truly definition of that word. He was very sensitive guy, as his father describes himself. People in the school saw Ryan as the target of their mischief. The fact that he was a bit different to the most boys made the others thought that he is gay, although the real fact he wasn't. The bullies continued their behaviour for almost two years and I guess Ryan kept to be strong as the time goes by. 
In December 2002, Ryan asked his father to buy him a boxing set for Christmas gift and his request was fulfilled. After that, Ryan and John Halligan, his dad, took basement as the practice place, and they did the routine practice for 2hours every night. And then Ryan got defending ability, John told him not to use his boxing skill for hatred, but just in case if somebody disturb him. It worked, for a little time. Ryan had a fight with the bullies and it was ended by school staff. Following the fight, Ryan confessed that he and the bullies were became a friends. It was just a trick. The bullies were still kept their need to do bullying. 

During the summer of 2003 Ryan was getting bullied again, in cyber-space. John told media that his son were spending much time on social networking like Aol Messenger and some other thing. Then for the first time he were being cyberbullied, and in school also. John found out his son once ran out from school with tears. Ryan had a crush with popular girl named Ashley and they were doing chat regularly. But apparently she was also a mean. Ashley pretended to be like him but later in school he humilliated him with some friends and shouted "loser" to Ryan. 

The following time, he begun to communicating with cyberspace friend and they were exchanging some information about how to painlessly suicide. He also browsing some source in internet that taught the same thing about suicide. The climax took time on October 7. 2003 when everybody elses were sleeping and John dissapeared to work. His sister went to the bathroom and found his body hanging in there. There were plenty of suicides cases like this. Megan Meier committed suicide after being cyberbullied on MySpace. Phoebe Prince also died because of suicide after being harassed and bullied with the fact she dated popular guy. How silly was that?!

I've been asking to those bullies, what is the point to bully? To satisfy you? It is obviously none of your business to interrupt other's  weakness or the minority. With you push someone on the hallway or into lockers, or shout some painful words directly in front of someone face, would it make you feel mighty and better? Does bullying give people an advantage? Hell to the no. The exact reason of bullies to do that is to making fun of people. They must be think how it feels not only in their side, but in their target mind. People who bullied Jamey Rodemeyer, Ryan Halligan, and the others should be held accountable for their actions, their hates, and all harm they have caused. Very difficult to answer if everyone were asking "who is to blame?" or "who should be arrested?". The age of the bullies is a factor in what police cannot do and make it a lawsuit, than definitely can be so hard to get. The most heartbreaking words comes from John Halligan mouth, which are: "Nothing can ever bring back our Ryan. Nothing will ever heal our broken hearts". I really hope to those bullies who still making fun of this out there, please stop it. Very sad about Jamey who took his life because being teased about his sexuality. Sexuality is a choice and not a sin, and not fun to laugh at it. I told my mother about Jamey, and the thing that shocked her out wasn't the bullying case nor why did a innocent boy ended his life bravely. What my mom asked; "How can he turned into gay? Why he loved boys?". Sorry to say, doesn't mean to be brash, but her mindset of sexuality is as same as dumb people's way of thinking. Please give them your respect if you don't want case like this come to you. Whether you be the victim or the suspect, I don't know. 
All of these suicide and cyberbullying issue has been received international attention. Once you, the bullies, come to the TV screen, no one would give you a respect. Instead, the hatred they will punch to your mind just like the same as you did. Please, find your maturity and be perceptive. 

Source :

Jumat, 16 September 2011

[Review] CAPTAIN AMERICA: THE FIRST AVENGER (2011)

Director Joe Johnston Writers Christopher Markus, Stephen McFeely
 Cast Chris Evans, Hayley Atwell, Hugo Weaving
Distributor Paramount Pictures Genre Action, Adventure, Sci-Fi, 3D

Banyak alasan yang membuat kita merasa sayang untuk tidak menonton film-film yang hadir di tahun 2011 ini. Selain banyaknya sekuel dari film-film terdahulu masing-masing yang sangat dinanti, atau mungkin semakin menggebyarnya balutan 3D dalam pemasaran film, alasan terbesar adalah melimpahnya sajian summer ambisius yang diantaranya terselip beberapa film superhero adaptasi komik, diantaranya adalah Captain America: The First Avenger.

Ada yang menarik dari tahun 2011. Seperti yang saya katakan diatas, tahun ini dijadikan ajang “perkelahian” bagi banyak karakter berkekuatan super untuk memikat jutaan moviegoer yang kelihatannya tidak tahan lagi menunggu. Sebelum berbicara lebih jauh, entah ini pikiran saya pribadi atau mungkin ada juga yang merasa, kok sepertinya sebagian besar live-action dari Marvel punya hasil yang lebih bagus ya ketimbang punyanya DC Comics? Lihat saja banyaknya film-film Batman dan Superman yang cukup banyak dicerca. Ya meskipun begitu rasanya kebangetan kalau trilogy Batman versi Nolan dilupakan (sangat jelas ia memiliki ciri khas sendiri untuk memaksimalkan dan menaikkan pamor DC). Justru Marvel terbukti lebih konsisten dalam melahap habis-habis budget film untuk mengadaptasi tokoh-tokoh komiknya untuk selanjutnya diadaptasi ke dalam bentuk film. Dan so happy to say, hasilnya kebanyakan bagus. Well, bagaimana dengan yang satu ini?
Di tahun 1942 dimana Perang Dunia II sedang berlangsung, Amerika Serikat sedang gencar-gencarnya melawan Nazi. Memanfaatkan segala yang mampu dilakukan, AS sendiri terus-terusan merekrut pemuda di negaranya untuk dijadikan tentara dan bergabung dengan pasukan militer untuk dikirim ke medan perang di Eropa. Steve Rogers (Chris Evans) hanyalah pria kurus kerempeng dengan tinggi tidak sampai 170 cm dan mengidap asma. Keadaan fisiknya yang lemah membuat dirinya sering di-bully dan tergolong ‘kaum outcast’. Tidak peduli akan kondisinya tersebut, ia punya niat yang sangat besar untuk bergabung dengan kemiliteran. Berkali-kali mencoba, dirinya selalu ditolak dikarenakan tidak memenuhi syarat, bahkan Rogers yang memalsukan identitasnya itu tetap saja ketahuan.

Di sela-sela kunjungan ke future technologies exhibiton bersama sahabatnya, Bucky Barnes (Sebastian Stan), sikap ngotot Rogers untuk masuk kemiliteran muncul kembali dan akhirnya dipertemukan dengan ilmuwan Dr. Abraham Erskine (Stanley Tucci) yang membantunya untuk masuk ke dalam pelatihan kemiliteran. Di pelatihan ia bertemu dengan seorang ‘wonder woman’, Peggy Carter (Hayley Atwell), yang bersikap sangat tegas dan keras. Melihat niatnya yang sangat besar, Rogers diberi kesempatan lebih jauh untuk dijadikan objek dari misi rahasia “Project Rebirth” dimana dirinya disuntik serum khusus yang pada akhirnya merubah bentuk dirinya menjadi lebih tinggi, kekar, dan 4x lebih lincah dari manusia biasa dalam kinerja fisik maupun otak. Dengan dirinya yang baru, Rogers kini berubah menjadi “Captain America”, pahlawan kuat yang berjuang menyelamatkan negerinya dari pemimpin organisasi rahasia NAZI, Hydra, yaitu Johann Schmidt / Red Skull (Hugo Weaving).
Seperti yang saya katakan di awal artikel tadi, sebagian besar adaptasi live-action dari DC Comics terbukti tidak memuaskan. Lihat saja dari Superman versi jadul yang for me personally gak tertarik, dan untung diperbaiki sedikit lewat Superman Returns. Ada juga Batman and Robins yang oh-my-god sampah banget. Kegagalan dalam penggarapan yang sangat memperihatinkan tersebut coba diperbaiki oleh Nolan dengan menunjukkan bahwa prospek film yang dimiliki DC Comics bisa jadi berhasil kalau ditangani oleh tangan yang betul. Jujur saya sendiri gak pernah suka sama Tim Burton yang kayaknya makin lama makin overstyle dalam membuat karya-karyanya. Ya namanya juga udah style sendiri ya. Kembali ke Marvel, publisher komik yang satu ini beruntung memiliki jajaran film live-action yang sebagian besar bias dibilang baik dan memenuhi standar. Lihat saja mulai dari trilogy Spiderman yang terlihat seperti pintu gerbang dari kejayaan Marvel ke depannya.

But for me personally, X-Men adalah film superhero terbaik. Diluar menurunnya kualitas di The Last Stand, makin parah di spin-off Wolverine, dan untungnya diperbaiki bahkan sangat istimewa dalam prekuel First Class. Nah, melanjutkan kesuksesannya tersebut, Marvel memperkenalkan sebuah Marvel Cinematic Universe. Apa itu? Saya singkat jadi MCU, ini adalah superhero-superhero Marvel yang dishare oleh Marvel Studios dan nantinya akan disatukan ke dalam proyek mahakarya Marvel, yaitu The Avengers. Sebelum dipersatukan, satu-satu dibuat dulu spin-off nya. Mulai dari Iron Man dan Iron Man 2 (paling bagus dibandingkan spin-off MCU lainnya) arahan Jon Favreau dengan bintang Robert Downey Jr.. Selain itu ada The Incredible Hulk diikuti Thor dan Captain America di tahun yang sama. Lima superhero ini bisa ditonton dalam satu film, yaitu salah satu proyek paling ambisius tahun depan, The Avengers. Tidak hanya itu, beberapa side-kick atau tokoh pembantu dari masing-masing film juga akan muncul, sebut saja Black Widow dan Pepper Potts sampai si archer yang tidak memiliki spin-off sendiri, Hawkeye. Mereka semua dipertemukan oleh ketua agen rahasia S.H.I.E.L.D, Nick Furry.

Lalu bagaimana dengan Captain America: The First Avenger? Jujur saya termasuk orang yang puas dengan film ini. Selaku sutradara, Joe Johnston berhasil memvisualisasikan karakter Steve Rogers ini. Captain America memiliki premis sederhana yang sangat teramat umum, yaitu from zero to hero. Tidak hanya Rogers yang pernah mengalami nasib tersebut, Spiderman pun terkenal akan sejarah awalnya yang hanya seorang pemuda nerd berkacamata dan akhirnya berubah menjadi kuat berkat sengatan laba-laba. Premis simple itu dijabarkan dengan kuat namun dengan penekanan sederhana dan tidak melupakan unsure komikal dan fun itu sendiri. Dari awal saya sudah bersemangat mengikuti dan sangat enjoy walaupun sekitar 40 menit pertama cerita berkutat sebatas masa-masa menderita si Rogers yang masih bertubuh kerempeng. Tapi itu bukanlah masalah. Agak risih mendengar kritikkan banyak orang yang mempersalahkan durasi film ini yang katanya overlength. Hello, it is only ten minutes different to Thor. Sangatkah krusial untuk dipermasalahkan? Bahkan bagi saya Captain America: The First Avenger jauh lebih baik dibanding Thor yang terlalu berpaku pada myth dan aksi laga. Satu catatan penting adalah, di saat cerita merubah fokus menuju konflik utama dan action sequence, pendalaman karakter dan penekanan premis cerita tetap dilakukan secara konsisten. Lihat saja bagaimana karakter Steve Rogers tidak ada hentinya memperlihatkan sisi manusiawi bahkan sisi outcast nya yang terkadang konyol, tapi tetap membangun sisi heroic lewat aksi-aksinya. Premis cerita yang saya sebutkan tadi juga tetap ditekankan sepanjang film lewat dialog-dialog bagus yang bagi saya charming banget.

Kelemahan bisa dilihat dalam divisi acting. Diluar karakterisasi yang baik, penampilan acting para pemain didalamnya bisa dibilang biasa saja. Tidak buruk, hanya lemah. Chris Evans yang sebelumnya pernah menjadi superhero dalam Fantastic Four bermain cukup baik disini, jauh lebih dari karakter lainnya. Tidak istimewa, tapi bisa dibilang menarik. Beruntung dirinya diberikan porsi utama yang sangat maruk sehingga terasa menutup karakter lainnya. Walaupun begitu, rasanya aneh dan berlebihan kalau karakter lain dianggap gak penting. Saya suka dengan tokoh sahabat Rogers, si Bucky. Karakter ini cukup mewarnai cerita dengan beberapa humor selipan. Ada juga Peggy Carter yang melengkapi syarat film; ada cowo pasti ada cewe. Dua karakter pembantu ini juga cukup bermanfaat untuk mewarnai suasana cerita, terutama saat dramatis di pertengahan dan konklusi film. Agak disayngkan tokoh yang dimainkan Stanley Tucci begitu cepat dimatikan. Oh iya jangan lupakan si Stark yang surprisingly diberikan porsi cukup banyak. Sayangnya bagi saya si Red Skull lah yang tidak dimainkan sebagaimana seharusnya seorang villain. Like I said, banyak loh humor-humor disini. Mulai dari ‘masa kerempeng’ si Rogers, aksi panggung Sang Capt. America yang memalukan, saat Peggy melihat foto dirinya di liontin Rogers, sampai pertanyaan tanpa henti si Rogers mengenai “fondue” antara Peggy dan Stark. Inilah yang membedakan Captain America dari spin-off Avengers lain, yaitu dimaksimalisirnya sisi humor dan premis cerita tanpa mengganggu isi film itu sendiri.

Big applause saya berikan bagi kinerja sisi teknikal film. Mulai dari shot visual effect CGI untuk mencurangi bentuk badan Chris Evans hingga terlihat kerempeng. Banyak teknik dilakukan disini, mulai dari memakai body double dan nantinya ‘ditimpa’ wajah Evans sampai scene shot yang dilakukan dua kali. Cara ini mengingatkan saya akan Benjamin Button yang juga melakukan cara ini, dan sukses di Oscar. Hal lain yang dikerjakan dengan bagus adalah cinematography yang dikerjakan Shelly Johnson. Suka banget sama cinemato-nya yang impressive, jarang loh ada superhero film yang member perhatian lebih di sisi ini. Action sequences juga asik, gak kurang gak berlebihan. Agak bingung loh banyak orang yang ngomong aksi nya kurang gimana gitu, padahal pas dan bagus. Development lainnya yang menarik perhatian saya adalah art direction yang memanjakkan mata. Feel ’40-an bener-bener dapet dan juga tone warna yang colourful dan pekat semakin buat saya betah nonton. Bahkan kalau boleh sedikit lebay, make-up sampai costume design juga oke loh. Sejauh film-film yang telah saya tonton tahun ini, Captain America punya prospek Oscar yang kuat di bagian teknik.  Oh iya hampir lupa, duo Stephen McFeely dan Christopher Markus yang menangani screenplay terlihat lumayan terpengaruh oleh proyek mereka sebelumnya, yaitu tiga film Narnia yang lekat akan unsur film keluarganya.
Talking point...
Captain America is hugely and superbly fun ride to leads people into The Avengers trimming. Not as boring as people says.

Rate :
1  2  3.5  4  5

Kamis, 01 September 2011

[Review] GONE BABY GONE (2007)

Director Ben Affleck Cast Casey Affleck, Michelle Monaghan, Amy Ryan
Distributor Miramax Films Genre Drama, Crime

Pernah nggak, atu lebih tepatnya, pasti sering kan kita dilanda dilema? Ya, mungkin "dilema" merupakan bagian kecil dari pokok permasalahan yang diangkat dalam film yang satu ini. "Gone Baby Gone", debut penyutradaraan Ben Affleck untuk yang pertama kali pada tahun 2007 lalu. Berhasil kah?

Saya sangat menyukai film yang bisa membuat orang bertanya-tanya sepanjang film, tanpa memberikan clue yang bisa merusak kesan misterius. Bahkan lebih bagus lagi kalo diakhiri dengan paksaan bagi kita untuk mempertanyakan apa yang terjadi sesudah film. Siapa yang benar? Apa yang salah? Itulah yang saya rasakan saat nonton Gone Baby Gone. Saya singkat menjadi GBG ya, ini merupakan crime-drama-mystery debutan Ben Affleck  yang diadaptasi langsung dari novel berjudul sama karya Dennis Lehane, yang juga menulis versi novel dari Mystic River dan Shutter Island (jangan kaget kalo ngerasa ada feel yg sama diantara 3buku disamping). GBG dibintangi oleh adik kandung dari si sutradara yaitu Casey Affleck (bromance project?). Casey sebelumnya sempet dapet noms Oscar berkat perannya di Jesse James (judulnya lebih panjang dan males nulisnya). Ada juga Michelle Monaghan dan juga Amy Ryan yang berkat penampilannya di film ini, dirinya diganjar noms Oscar u/ best actress. Gone Baby Gone menurut saya mengalami Oscar-snub dengan tidak dinominasikannya film ini ke beberapa noms yang harusnya pantas, terutama Best Adapted Screenplay atau bisa juga Best Director. Kenapa bisa gitu? 
Mengambil kota Boston sebagai latar tempatnya, Gone Baby Gone bercerita mengenai peristiwa penculikan seorang bocah perempuan yang menyebabkan banyak pihak terlibat dalam proses investigasi kasus misterius tersebut. Dikisahkan Amanda McCready adalah bocah 4 tahun yang tinggal bersama ibunya, Helena McCready (Amy Ryan). Hidup di kota Boston memang sulit dan butuh kewaspadaan penug, wajar, kota ini memang terkenal oleh tingkat kriminalitasnya yang tinggi. Helena hanyalah seorang single-mother (tidak dijelaskan kemana dan siapa suaminya), yang hidupnya berantakan dan bergaul dengan hal-hal kelam seperti narkotika, minum-minuman keras, atau "kehidupan malam". Helena tidak pernah mengurus anaknya itu dengan benar sebagaimana seharusnya tugas utama seorang ibu. Bahkan ia seringkali membawa Amanda ke lingkungan brutalnya. Tidak mau keponakannya terlantar, Lionel McCready (Titus Welliver), yg merupakan kakak kandung Helena malah lebih sering merawat Amanda.

Lalu apa masalahnya? Suatu ketika Amanda dinyatakan menghilang setelah anak itu tidak ditemukan dirumahnya oleh Helena. Segala penelusuran di sekitar rumah pun telah dilakukan dan tetap tak ada hasil. Hingga akhirnya dinyatakan sebagai kasus penculikan, berita tersebut menyebar luas melalui berbagai media. Tidak bisa menunggu lama untuk mendapat hasil investigasi kepolisian yang terkesan mengulur-ulur, Bea McCready (Amy Madigan), yang merupakan istri dari Lionel, mencari tambahan bantuan dan pilihan pun jatuh ke sepasang detektif independen Patrick Kenzie (Casey Affleck) dan Angie Gennaro (Michelle Monaghan). Memiliki banyak relasi/kenalan pelaku kriminal, Patrick dan Angie memanfaatkan hal ini untuk mempermudah proses penyelidikan, dibantu oleh dua detektif kepolisian Remy dan Nick. Semua risiko harus ditanggung dalam kasus ini. Segala kekeliruan, fakta mengejutkan, sampai hal yang tidak sesuai ekspektasi semakin memperumit masalah ini dan berimbas pada keselamatan nyawa hingga menimbulkan masalah personal dalam pasangan Patrick dan Angie begitu juga semua yg terlibat.
Ben Affleck memang nyatanya banyak yang nggak suka, bukan secara personal melainkan kualitasnya dalam berakting. Bahkan sering banget dia dijulukkin salah satu aktor terburuk yang pernah ada. Razzies pun juga sering ia dapet, eh, nggak tahu sih nominasi doang ato menang. Well, berlebihan nggak sih? Menurut saya iya. Ok, dia sering main di film-film jelek ato kasarnya film sampah. Dan nggak usah saya bela-belain dengan sok ngebagusin penampilannya, Affleck tidak jarang main dengan kaku dan nggak bisa memberi feel-good. Tapi ada kok beberapa filmnya yang lumayan saya suka, misalnya Pearl Harbour yang lumayan dihina itu (kalo Daredevil sih lewatin aja ya). Hey, jangan ngeliat orang sekedar dari satu sisi sehingga kesannya semua yg bagus dibuang. Robert DeNiro sampai Julie Roberts nggak jarang kok main jelek, tapi ya gitu, orang terlalu ngeliat predikat mereka sebagai kaliber Oscar sehingga apa-apa pasti dibilang bagus.

Oscar? Nah, ini dia yang banyak orang nggak tau. Jangan remehin Ben Affleck dulu, tahun 1998 lalu dia dapet Oscar berkat hasil kerjanya sebagai writer Good Will Hunting, walaupun shared with Matt Damon. Terus terang film itu belum saya tonton, jadi nggak bisa menilai terlalu gimana gitu. Well, nggak mungkin kan orang dapet Oscar tapi sebenernya dia nggak bagus? Mungkin sih, tapi untuk ajang tinggi seperti ini ya nggak gede-gede banget lah kemungkinannya. Tidak mau stuck disatu hal saja, dan sepertinya mau melepas cap jelek dari banyak orang, Ben Affleck tahun 2007 lalu melakukan debut penyutradaraannya. Langkah yang cukup berani, ditambah merangkap sebagai penulis screenplay. Lewat Gone Baby Gone, Ben Affleck sangat berhasil merubah pola pikir jutaan orang terhadap dirinya. Saya sangat suka dan akan sangat sangat mengagumi seorang sutradara yang bisa menulis sendiri naskah/screenplay cerita film itu sendiri. Itulah yang berhasil Affleck lakukan, sukses membuat saya kagum dan enjoy menikmati GBG ini dari awal sampai akhir. 

Cara Affleck menyutradarai debutnya ini sangat impresif, saya suka dengan caranya yang no-frills (to the point dan tidak kebanyakan embel-embel). Saya nggak suka film yang terlalu mengeksplorisasi ceritanya terlalu jauh dan tidak terkendali, sehingga film kesannya berantakan. Tahu lah, banyak banget loh film-film drama yang terlalu dipanjang-panjangin ceritanya sampai masalah yang ada terkesan repetitif dan maksa. Beda dengan Affleck, suami dari Jennifer Garner ini lebih memilih untuk berusaha memperdalam penampilan semua aktor/aktris yang terlibat. Affleck memiliki kelebihan yaitu power intelegensi dalam menggali dalam-dalam topik utama yg dibahas sehingga tidak menyeleweng ke hal yang nggak ada gunanya. Seperti filmnya yang perseptif, itulah diri Ben Affleck. In the other hand, Daredevil-nya Affleck emang saya akui sampah, sampe mikir kok kayaknya kebanyakan adaptasi komik DC selalu gagal ya? Lucunya, Affleck punya istri, Garner, juga pernah meranin superhero sampah yaitu Elektra.

Oops, hampir lupa ngomongin filmnya. Nyadar nggak sih Boston sering banget dijadikan latar tempat buat film-film jenis crime? Ya, sering banget. Seperti yang saya katakan di sinopsis cerita tadi, Boston adalah salah satu kota yang terkenal akan persentasi kejahatannya. Boston bak forbidden city yang dikelilingi beragam sense, dari ketakutan sampai kemarahan. Semuanya berhasil digambarkan secara sempurna dan terlihat natural dalam Gone Baby Gone sehingga dapat direfleksikan dengan baik oleh penonton. Ben Affleck emang gemar merangkai jalinan cerita yang bernuansa crime dan dileburkan dengan drama humanis ke dalam frame film. Tema universal ini bisa kita lihat dari beberapa film dimana dirinya terlibat, contohnya saja film ini dan The Town. Kalau dilihat dari Gone Baby Gone dan The Town, keduanya sama-sama memiliki permasalahan mengenai pembelokkan inti kasus. Maksudnya adalah crime scene yang akhirnya membawa orang-orang yg terlibat ke dalam konflik personal. 

Apa yang seketika nge-stuck di otak saya pas nonton film ini adalah, Gone Baby Gone berbicara mengenai "dosa putih". Secara tegas film ini mentidakbenarkan apa itu "dosa putih". Apapun alasannya, setulus apapun faktor orang melakukan tindakan yg merugikan pihak lain, itu nggak bisa dibenarkan. Let me tell the term, evil is "black", whereas good is "white". Coba ambil media pewarna, campur hitam sama putih. Hasilnya nggak bakal jadi putih kan? Sebanyak-banyaknya warna putih yang dicampur, tetep aja warnanya bernuansa dark. So, kejahatan sama kebaikan tuh nggak bisa dicampur. Nggak usah berusaha memperlogis argumen, tetep, buat saya jahat ya jahat. Contoh lain yang mempertegas alasan saya kenapa nggak setuju sama yang namanya dosa putih mungkin soal capital punishment/hukuman mati. Saya orang yang nggak setuju sama cara ini, ngapain ngebunuh orang sejahat apapun dia? Toh, nggak ada guna dan nggak bedanya ngelakuin itu (a.k.a sama-sama kriminal tuh hukum). Mungkin ada yang penasaran apa kaitan masalah "dosa putih" yang saya omongin ini dengan film. *spoiler* Ya lihat aja cara-cara Lionel dan Remy menyusun konspirasi kasus dan menutup-nutupinya seakan mereka innocent. Kenapa caranya harus begitu? Sekotor dan seburuknya orang, bukan hak kita dong untuk merampas hak mereka, apalagi kalau sampai buat konspirasi tertutup seperti di film ini. Sama halnya seperti mereka-mereka yang terlalu meremehkan Helena yang sebenarnya masih punya sisi keibuan, banyak banget loh orang yang kayak mereka. Cuma bisa mandang negatif orang dari satu sisi, nggak bisa bayangin gimana sih tuh orang struggle selama ini. Coba deh kalo mau mencemooh seseorang, bayangin gimana kalo diri lo ada di posisi dia, atau sederhananya gimana kalo dia itu relasi lo? Orang tuh pasti berubah, apapun kondisinya apalagi dalam konteks seorang Helena yang mengalami hal ini. 

Lalu bagaimana dengan divisi akting? Nearly flawless. Ya, nyaris sempurna. Gone Baby Gone beruntung punya pemain-pemain yang bermain dengan sangat baik dan unexpectedly-outstanding. Dimulai dari Casey Affleck yang semakin memperlihatkan acting-maturity nya. Ada juga Michelle Monaghan yang kelihatannya sekilas sebagai tempelan. Awalnya sih emang saya pikir begitu, but, then, ternyata penokohannya disini terbilang menarik dan penting dalam membantu satir yang disampaikan GBG. Nggak seperti kebanyakan film yang murni nempel dia, Michelle disini beruntung diberi karakter yang pas. Karakternya, Angie, digambarkan sebagai wanita yang sedikit keras kepala. Dari awal, Angie sudah terlihat sebagai pembelok (nggak bisa nerima kenyataan). Di awal dia udah nggak setuju dengan keterlibatan dirinya dalam kasus itu, dan di akhir ia jelas-jelas nggak mau nerima kenyataan bahwa konspirasi anak yg terjadi pada Amanda adalah kejahatan. Orang tuh nggak bisa dipaksa untuk berpikir sama seperti apa yang kita pandang. Sayang sekali karakternya kurang ditelusur lebih jauh hingga kadang terkesan tempelan. Satu hal yang membuat crime-drama seperti ini cenderung lebih menarik adalah karakter pendukung yang dibuat sangat menarik perhatian. Disini ada Morgan Freeman yang mencerminkan bagaimana kepolisian bisa juga ternoda oleh masalah humanis, Ed Harris yang mengekslorisasi berbagai sifat pada karakternya, dan yang paling penting adalah Amy Ryan dengan karakternya yang rentan dan suka susah untuk berpendirian. 
Talking point...
Gone Baby Gone harus saya katakan sebagai karya outstanding dari seorang actor-turned-director, Ben Affleck. Salah satu contoh "banting stir" terbaik yang pernah ada, didukung ensemble-cast sempurna dan jalan cerita yang penuh dengan twist.

Rate :
1  2  3  4.5  5