infolinks

Kamis, 18 Agustus 2011

A biggest fantasy that puts a spell on me: HARRY POTTER

Director 
Chris Colombus (1-2), Alfonso Cuaron (3), Mike Newell (4), David Yates (5-8)
Cast Daniel Radcliffe, Emma Watson, Rupert Grint
Distributor Warner Bros. Pictures Genre Adventure, Fantasy, Family, 3D

Ten years and eight films. But I needed a week only for catching up this epic saga ever made, Harry Potter. Dimulai dan diakhiri oleh J.K Rowling sebagai penulis novelnya. Dimulai oleh Chris Colombus dan diakhiri oleh David Yates sebagai sutradara dari versi filmnya. It All Ends.

Seperti yang sering gw katakan, awalnya gw bukanlah pecinta film serial ini. Bukan karena gw udah pernah nonton lantas nggak suka, bukan. Melainkan hanya karena orangtua gw yang dari kecil terlalu mengekang gw dan nggak memperbolehkan anak-anaknya untuk nonton sesuatu yang berbau magic atau kegelapan. Hahaha, memang berlebihan, kalo mau kasar anggap saja mereka rada oldschool *nggak sopan*. Well, sangat jelas kenapa gw nggak ngerti Harry Potter. Daridulu suka ada kesempatan untuk marathon dari seri pertama sampai yang mutakhir, tapi sepertinya bad-luck terus-terusan menghinggapi gw. Pas ada momen orang-orang jadi gila karena novel atau film Harry Potter terbaru muncul, sampai diomongin dimana-mana, berbeda dengan gw. Gw cukup stay cool dan menganggap tidak ada apa-apa. Halah halah, tapi itulah gw dulu, hahaha. And then everything is changed, kira-kira dua minggu lalu ketika instalmen terakhir dari franchise ini masuk ke Indonesia, rasa penasaran gw yang telah tertumpuk sepuluh tahun muncul juga. I wanted to watch this saga desperately, so I tried to download all of it, and then I watch them each a day. Seketika gw berpikir, sayang banget nggak pernah nonton di bioskop. Pasti bertahun-tahun ke depan serial ini bakal diingat sepanjang masa karena kehebatan yang dikatakan banyak orang. Alhasil gw tonton film terakhirnya, Harry Potter and The Deathly Hallows Pt. 2. Apa tanggapan gw terhadap film ini, sekaligus keseluruhan serialnya? Ok, cukup sudah curhat berlebihan gw.
Seri terakhir dari franchise Harry Potter ini masih melanjutkan kisah yang terpotong di Harry Potter and The Deathly Hallows Pt. 1. Di bagian yang pertama, Harry dikisahkan memasukki usia 17 tahun dimana dirinya telah mencapai kedewasaan secara dunia sihir. Yang berarti ia bebas untuk melakukan magic dan melindungi dirinya sendiri, tidak seperti dirinya dahulu yang masih dilindungi mantera supaya terlindung dari Voldemort. Di bagian pertama pula Hogwarts mengalami kehancuran. Paska 'pengkhianatan' yang dilakukan Severus Snape, ia membocorkan beberapa rahasia hingga akhirnya The Dark Lord dan pengikutnya berhasil mengambil alih kekuasaan di Hogwarts. Sementara itu, tiga sekawan, yaitu Harry, Hermione, dan Ron melakukan misi penyelamatan sendiri. Mereka mendatangi Hogwarts yang telah berubah, tetapi ketahuan oleh Bellatrix dan pasukannya. Dobby si Elf datang untuk menyelamatkan mereka semua.

Part 1 diakhiri dengan kematian mengharukan salah satu karakter, dan Voldemort yang mendatangi kubur Dumbledore untuk merebut tongkat sihir terkuat di dunia, Elder Wand. Untuk menghancurkan kuasa gelap yang berkuasa untuk sementara dan pemimpinnya sendiri, Harry harus memusnahkan tujuh horcrux yang ada di dunia. Horcrux merupakan jimat yang digunakan untuk menyimpan nyawa Voldemort. Masing-masing horcrux mewakili nyawanya yang tersisa. Sudah tiga horcrux yang berhasil dimusnahkan beberapa tahun sebelumnya, yaitu diari Tom Riddle, cincin Gaunt, dan terakhir liontin Slytherin. Masih ada empat lainnya di luar sana yang entah berada dimana. Horcrux terakhir ternyata berada di sesuatu yang sangat dekat dengan diri Voldemort dan selalu mengikuti kemana ia pergi. Harry, Hermione, dan Ron beserta pembela Hogwarts lainnya bersatu padu untuk menentang kuasa hitam dan The Dark Lord. For the very last time.
Agak bingung sih mau omongin apa aja dan yang mana dulu. Di luar baru aja selesai nonton semuanya, gw juga belum baca semua novelnya. Padahal sepertinya akan lebih enak aja gitu kalo udah baca, jadi bisa buat komparisasi antara dua media yang berbeda. Oiya sebelumnya, mohon maaf kalau ada beberapa kesalahan informasi atau isi cerita. Dan mungkin artikel ini rada berantakan mau ngomongin apa dulu, hahaha. Mari kita mulai from the very first film. Harry Potter and The Philosopher's Stone merupakan awal dari tujuh cerita utama Harry Potter. Seri yang pertama ini sebenarnya dulu memiliki sub-judul yang berbeda, yaitu "...and the Sorcerer's Stone" untuk region Amerika Serikat. Hmmm, nggak tahu kenapa, tapi kalau nggak salah judul aslinya yang "Philosopher's" deh. Dengan durasi cukup lama sekitar 159 menit, awalnya gw pikir bakal rada membosankan apalagi melihat premis cerita yang agak sederhana dan versi bukunya sendiri yang nggak tebal banget. Tapi ternyata tidak, di serinya yang pertama ini, Harry Potter memulai ceritanya dengan sangat lembut. Harry Potter 1 ini punya cerita yang belum terlalu dalam, agak terasa komikal dengan banyak selingan humor cerdas gaya J.K Rowling. Tapi masih setia dengan beberapa sisi dark yang diperlembut demi membantu orang tahu apa sih yang sedang dan akan terjadi ke depannya. 

Masih sama seperti yang pertama, Harry Potter and The Chamber of Secrets tetap menawarkan kisah yang menarik untuk diikuti anak-anak beserta pengalaman fantasi yang menyenangkan. Kalau yang pertama lebih banyak menceritakan asal muasal Potter secara mendasar, serta perkenalan akan boarding-school Hogwarts. Adalah sangat memorable apabila gw mengingat momen-momen di Harry Potter yang pertama. Diawali Dumbledore dan Prof. McGonagall mengantar bayi Harry untuk dititipkan ke keluarga yang nantinya sangat jahat, lalu saat Harry beserta murid-murid 1st year dipakaikan sorting-hat untuk mengklasifikasikan kelas yang layak bagi semua anak. Nah, yang beda disini adalah Chris Colombus menaikkan daya pikat penonton sedikit lebih tinggi demi menyesuaikan kisah J.K Rowling yang mulai memasukki konflik 'good vs evil' dimana Harry dipertemukan dengan Tom Riddle wujud manusia dan makhluk mistik Basilisk. Oiya hampir lupa, sebenernya di Harpot 1 dia sudah bertemu dengan Voldemort yang masih 'numpang' di kepala orang. Si tiga sekawan sudah melakukan challange untuk pertama kalinya yaitu magic-chess (gw nggak tahu apa istilahnya, jadi buat sendiri saja). Tapi gw merasa di film kedua lah si Chris lebih mencoba untuk nggak main aman. Chamber of Secrets turut juga berperan sebagai awal dimana Harry melakukan misi penghancuran You-Know-Who, dimana ia menghancurkan buku diari Tom Riddle yang pada saat itu belum mengerti mengenai horcrux. Overall, Chamber of Secrets adalah sekuel yang sangat baik untuk menaikkan pamor Harry Potter.

Semuanya berubah 180 derajat di serinya yang ketiga, yaitu Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Banyak yang berubah disini. Di luar penampilan para pemain yang lebih dewasa, tidak 'sebocah' di kedua film sebelumnya, Prisoner of Azkaban memiliki sutradara yang baru yaitu Alfonso Cuaron. Selaku penulis novel, J.K. Rowling semakin memperdalam kesan dark di kisah Harry Potter ini. Seri yang ketiga ini memiliki banyak challange dan konflik yang semakin menghantui, misalnya kehadiran Dementor dan kaburnya Sirius Black yang sangat menghantui. Perkelahian antara Harry vs Dementors sangatlah menegangkan sekaligus menakutkan. Dengan pintar si Rowling memperjelas konklusi dari beberapa masalah/kejadian sedemikian jelas, dan berhasil divisualisasikan oleh Cuaron dengan sangat kelam. Hal lain yang gw suka adalah beberapa karakter yang perannya disini lebih 'terlihat' dan mengawali banyak pertanyaan. Diantaranya adalah sosok Snape yang membingungkan, di pihak manakah ia berada. Karakter Draco Malfoy turut dipertajam sedikit kenakalannya. Ya, masih sebatas 'nakal'. Jangan lupakan kasus Sirius Black vs Lupin vs Snape vs si tikus (lupa namanya) beserta tiga sekawan di bawah pohon oak yang disusun dengan cerdas oleh Rowling. "Expecto patronum", mantera paling saya ingat dari Harry Potter ada di seri yang ketiga ini. 
Untuk kedua kalinya franchise ini melakukan 'tukar tambah' kursi sutradara. Kali ini, Mike Newell si pengarah Four Weddings and Funeral dipercaya untuk merangkai cerita si bocah penyihir lewat visualisasi yang lebih kelam. Bedanya disini adalah Mike Newell masih menyesuaikan kesan dark itu dengan tetap memunculkan banyak humor khas Harry Potter. Banyak challange dan kejadian yang bersifat fun juga dibuat dengan cukup baik, misalnya Quidditch World Cup dan prom-night versi Hogwarts (gw lupa apa namanya). Tapi diluar banyaknya hal penting yang diperkenalkan, menurut gw Harry Potter and The Goblet of Fire ini nggak seseru tiga film sebelumnya. Ada yang bilang begitu karena nggak konsistennya si Newell terhadap cerita asli di novel itu sendiri. Nggak tahu juga sih, yang pasti gw nggak bisa comment. Nggak krusial sih untuk terlalu dimasalahkan, paling tidak Harry Potter semakin memberikan kesan loveable pada franchise ini. Lagipula di seri yang keempat ini banyak hal penting lain yang divisualisasikan dengan baik. Diantaranya adalah kematian Cedric yang dibuat sangat mengharukan dan bangkitnya si You-Know-Who. Berlanjut di Harry Potter and The Order of Phoenix, dan untuk terakhir kalinya berganti sutradara. David Yates memulai debut Harry Potternya di seri yang kelima ini dan terus mengkomandani sisanya sampai yang terakhir. Banyak yang berbeda dari cara Yates mengarahkan film Harry Potter. Yates lebih unggul dalam melakukan pendewasaan karakter-karakter secara perlahan dan lebih baik ketimbang pendahulunya. Kesan dark dan cerita yang lebih berat pun merupakan salah satu unsur penting dari gaya si Yates ini. 

Harry Potter mengalami kemunduran sedikit di seri yang keenam, Harry Potter and The Half Blood Prince. Kembali dengan David Yates, Harry Potter memiliki konflik yang tidak seperti semua film terdahulu. Half Blood Prince memiliki banyak kelemahan khususnya gaya penceritaan yang tidak terlalu intens. Berusaha meminimalisir efek visual mungkin agar nggak mengganggu jalan cerita, film keenam ini justru agak berantakkan susunan ceritanya. Walaupun begitu, Harry Potter tetap seru kok untuk ditonton. Film ini juga membuka kekacauan dan kesuraman yang menandakan bahwa Harry Potter tidak terlalu aman sebagai tontonan anak kecil. Beberapa tokoh juga diberikan porsi lebih oleh J.K Rowling, misalnya masa kecil Tom Riddle dan juga pendewasaan karakter si Draco Malfoy dalam menumbuhkan dark-sidenya. Sangat disayangkan kematian Dumbledore tidak se-wah ekspektasi gw, terlalu biasa. Malah banyak yang bilang versi novel bercerita lebih sedih. Bagaimanapun, Severus Snape semakin menarik hati gw disini. Tokoh yang nantinya menjadi favorite gw. 

Mengakhiri sekaligus melengkapi rangkaian Harry Potter sepenuhnya, Harry Potter and The Deathly Hallows akhirnya hadir di akhir dekade lalu dan di awal dekade ini. Lah? Ya, instalmen terakhir Harry Potter dibagi menjadi dua bagian, yaitu Part 1 dan Part 2. Nah kebetulan nih gw baru aja selesai baca novelnya (paragraf ini ditulis jauh sesudah banyak paragraf di atas -_-). Menurut gw Harry Potter yang terakhir ini merupakan konklusi dari sebuah rangkaian kisah fantasi yang sangat baik. Walaupun awalnya banyak yang yakin dibuat sampai dua bagian semata-mata untuk meraih pendapatan yang lebih, menurut gw gak sepenuhnya benar. Okelah, pernyataan itu gak bisa dibantah. Toh memang benar kan pemasukkan jad lebih besar. Tetapi yang menjadi nilai lebih dari keputusan pembagian itu adalah, David Yates berhasil mengadaptasi hampir semua cerita di versi novel menjadi visual gambar dengan baik. Hampir gak ada hal-hal penting yang dilewatkan, membuat Deathly Hallows lebih mendetail. Walaupun begitu gw kadang-kadang merasa sayang aja gitu harus dibagi dua gitu, padahal kalau saja disatukan, sensasi menonton jadi lebih seru karena durasi yang sangat lama seperti lords of The Rings dan untungnya didukung oleh kualitas film adaptasi yang luar biasa. 
Jujur gw agak bingung mau ngomongin apa lagi. Mungkin karena gw bukan seorang yang sangat setia, walaupun sekarang gw agak tergila-gila sama Harry Potter. Intinya banyak sekali hal-hal positif yang perlu kita lontarkan untuk memuji this biggest franchise all the time. Baik itu dari sisi kualitas cerita beserta beberapa hal yang rasanya menggurui, kualitas dalam penggarapannya pun sangatlah menakjubkan. Bagaimana seluruh sutradara dari semua film merangkai unsur-unsur buku sedemikian jelas dan tidak melupakan banyak hal yang bersifat krusial, dan juga bagaimana para kru lainnya bekerja sama baiknya seperti visualisasi efek yang hampir semua eye-popping. Banyak hal yang gw dapat dari Harry Potter. Some of those are, how to deal with death and how mortality is exist. Pendewasaan karakter yang berjalan perlahan-lahan juga menunjukkan bahwa seseorang pasti bisa dan akan tumbuh secara jasmani maupun rohani, it doesn't care either how stupid or pity their childhood are. Lihat saja kontribusi besar-besaran yang dilakukan banyak sekali karakter yang rasanya tidak terduga, ambil contoh saja si Neville Longbottom maupun Luna Lovegood. Diluar itu, pendewasaan karakter ini juga membuktikan kecerdasan J.K. Rowling dalam menulis sebuah cerita, tetap memperdulikan tulisan-tulisan terdahulu yang terbuka kemungkinan untuk mudah dilupakan. 

Tadinya mau buat semacam award atau list mengenai hal-hal di dalam Harry Potter, tapi rasanya gak ada waktu -_-. Severus Snape is my favorite character. Kenapa gw suka dia? Jelas karena kekompleksan karakternya yang rumit dan penuh twist. Snape adalah sosok yang 'mengancam'. He can be either good or bad, but in the end he turned out to be good. There is evidence of his goodness, and evidence that he is evil. Ya, selain rumit, tak kelak menimbulkan banyak spekulasi. Oh how I love you, Snape. Hal lain yang gw suka tentu adalah The Weasley, contoh keluarga 'outcast' yang gak kenal ampun sama setiap orang yang menghina mereka. Gw suka bagaimana keluarga fiksi ini digambarkan sebagai sesuatu yang memalukan tapi menggembirakan berkat seluruh anggota yang unik dan berciri khas. Jangan lupakan sosok Umbridge, si anggota kementerian yang sifatnya sangat memuakkan. Lupakan bagaimana kebencian semua witches, muggles, or whatever kepada You-Know-Who. Karena dari lubuk kebencian gw yang paling dalam, Umbridge lah yang lebih menyebalkan dan sering sekali muncul rasa kesal dalam diri saya ketika memandang wajah dan kelakuannya. 

Sekedar ungkapan kecewa sedikit, ada beberapa yang gak sejalan dengan ekspektasi awal gw. Misalnya adegan kematian Dumbledore, seperti yang telah gw katakan tadi, yang rasanya tidak dibuat terlalu menyentuh. Kejadian "Forest Again" pun rasanya agak menggelitik, tidak se-intens di novel. Lihat saja bagaimana Harry Potter yang berpura-pura mati di film langsung terbangun sebegitu aneh dan lucu, sekali lagi, tidak seperti di novel. Ah, lupakan sajalah, bukan suatu hal yang patut dijadikan masalah. Toh, meskipun begitu, semuanya berjalan bagus-bagus saja dan tidak mengurangi keseruan cerita. Perlu diakui, gw agak bingung artikel gw yang satu ini adalah artikel, feature biasa, atau curhatan (hahahaha-_-). Diluar kata-kata yang gw rangkai agak berantakan, faktor malas mungkin bisa dijadikan alasan. Agak nyesal sih kenapa gw tidak membuat artikel seperti yang biasanya gw buat, maklum, terlalu banyak yang harus ditulis kalau satu-satu. Alhasil, mungkin terlihat seperti tulisan nostalgia satu minggu kali ya? Ah, gak penting. It's going to be weird that there's no harry potter we had been waiting on, but it would be a shame to try to recreate them. Just don't. And I think Prisoner of Azkaban & both Deathly Hallows films are the best from all others. But why the last two finale films really excites me? Because both of them are the epic conclusion of harry potter saga that puts a spell on me. Howsoever, Harry Potter is GREAT.

Rate (overall)
1  2  3  4  5 

Kamis, 04 Agustus 2011

[Review] X-MEN: FIRST CLASS (2011)

Director Matthew Vaughn
Cast James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence
Distributor 20th Century Fox Genre Action, Adventure, Drama

This year is all about Marvel. Tahun 2011 diserbu oleh banyak adaptasi live-action comic yang berebut posisi teratas, dan sekali lagi didominasi oleh comic group terbesar dan termenarik di dunia, Marvel. Kali ini, dengan "X-Men First Class", semua hal yang belum terjawab di empat instalmen sebelumnya coba dijelaskan dengan detail dan seru. Apa saja yang terjadi di proyek superhero yang satu ini?

Marvel dan DC Comics memang nggak asing di telinga jutaan moviegeek khususnya yang gila sama komik. Dua comic-publication-media ini nggak ada bosannya mengeluarkan jagoan mereka masing-masing ke publik. Jagoan Marvel sebut saja superhero semacam Spiderman, X-Men, sampai The Avengers yang didalamnya beranggotakan beberapa superhero gabungan seperti Thor, Iron Man, dll. Sedangkan bagi DC Comics, mereka punya satu jagoan terkenal yang pasti semua orang tahu, siapa lagi kalo bukan Superman. Oiya Batman, Catwoman, dll juga DC Comics loh. Mungkin bagi beberapa orang sulit untuk ngebedain antara superhero DC dan Marvel, tapi menurut gw, kayaknya cerita superhero DC lebih ke feel-dark aja gitu, dibanding Marvel yang lebih fun. Seperti yang udah gw sebut tadi, X-men juga salah satu superhero termahsyur dari Marvel. Setelah sebelumnya diadaptasi ke dalam empat buah film, kali ini muncul lagi film X-Men yang baru, yaitu X-Men First Class. Apa aja yang diceritakan di proyek prekuel ini? Sebagus apa sih film ini dibanding empat predecessor nya?
Mengambil setting waktu sekitar tahun '40-an dan '60-an, di era perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, X-Men First Class memulai ceritanya. Cerita dimulai dengan prolog childhood yang disajikan bergantian antara Charles Xavier dan Erik Lehnserr (yang nantinya akan dikenal sebagai Professor X dan Magneto). Erik adalah seorang bocah Jewish yang menjadi tawanan di sebuah camp-concentration milik faksi Nazi pada era Perang Dunia II. Saat memaksa untuk dipersatukan dengan ibunya karena keduanya dipisahkan satu sama lain, Erik melampiaskan amarahnya hingga mengeluarkan mutant-power dimana ia bisa menggerakkan dan mengontrol semua benda logam. Melihat hal tersebut seorang ilmuwan kejam asal Auschwitz bernama Sebastian Shaw (Kevin Bacon), memaksa Erik untuk menggerakkan sebuah koin logam, dengan ancaman akan membunuh ibunya apabila ia tak sanggup melakukan hal tersebut. Gagal memenuhi permintaan Shaw, ibu Erik pun ditembak mati dibelakang dirinya, dan seketika kemarahan ia lontarkan dengan mengeluarkan kekuatan mutannya.

Di tempat yang berbeda, si bocah Charles adalah anak dari keluarga kaya raya di New York. Suatu malam tanpa sengaja ia bertemu dengan mutan bernama Raven (Jennifer Lawrence) yang sedang mencari makan di dapurnya. Dari situ mereka mulai berkenalan dan membentuk ikatan kakak-beradik. Dari awal sudah terlihat bagaimana kehidupan Charles dan Erik yang sangat bertolak belakang. Bertahun-tahun kemudian saat mereka dewasa, Charles berubah menjadi profesor hebat dan bekerja sama dengan Moira MacTaggert (Rose Byrne), agen CIA yang sedang menyelidiki eksistensi mutan di Amerika sana. Erik masih menantikan saat yang tepat untuk bertemu Shaw dan membalaskan dendamnya. Dipertemukan oleh persamaan tujuan dan sasaran, Charles dan Erik pun mengumpulkan kekuatan untuk membentuk kelompok mutan yang akan menghadang misi Sebastian Shaw, yang bisa mempengaruhi terjadinya Perang Dunia III. Satu per satu mutan bergabung dengan mereka. Pertempuran mencapai klimaksnya pada krisis Kuba dimana armada Angkatan Laut Amerika Serikat dan Uni Soviet berkonfrontasi di Teluk Babi. Walaupun memiliki tujuan yang sama, tapi perbedaan visi antara Charles dan Erik tidak bisa mempertahankan hubungan satu sama lain.
Jujur, X-Men adalah superhero favorit gw. Menurut gw, X-Men menunjukkan bagaimana sebuah live-action dari komik superhero seharusnya dibikin. X-Men sendiri sebelumnya telah dibuat beberapa film adaptasi. Dari X-Men pertama di tahun 2000 yang terbilang sukses, lalu hadir X2 yang bagus banget, diikuti oleh instalmen final dari trilogi awal yang lumayan bagus. Lalu ada lagi spin-off dari mutan tangguh Wolverine, lewat X-Men Origins: Wolverine di tahun 2009 lalu. Agak ruwet juga sih kalo melihat film-film X-Men yang semuanya muncul di dekade yang sama, dan ditambah First Class yang hadir dengan pernyataan bahwa ini adalah awal dari trilogi yang baru. Ok, dulu gw cukup bingung tapi sekarang udah ngerti lah. According to people says about X2, gw setuju banget. Sekuel pertama itu memang terbukti bagus dan lebih baik dari predecessor-nya sendiri. X-Men 1 dan X2 punya kelebihan di sisi satirnya yang mengedepankan isu rasialisme dan kemanusiaan. Sayangnya semuanya jadi kendor lewat kehadiran X-Men: The Last Stand sebagai final dari trilogi awal tersebut. Menurut gw agak berlebihan juga mendengar kritikkan banyak orang yang berpikiran bahwa Last Stand sangatlah buruk. Nggak kok, bagi gw X-Men: The Last Stand masih bagus, yang pasti minus isu-isu maupun konflik yang tidak seistimewa dua film sebelumnya. Spin-off dari Wolverine lah yang kata gw sangat menurunkan citra dari film-film X-Men itu sendiri. Dibuat dengan kesan buru-buru dan memanfaatkan kesuksesan finansial sangatlah terlihat, alhasil filmnya jadi nggak berkesan.

Melihat kesuksesan X-Men dan X2 baik dari segi finansial maupun respon positif yang membanjir, Bryan Singer sepertinya masih menaruh hati pada proyek instalmen ini. Tidak mau meninggalkan X-Men dan sepertinya mau 'menyembuhkan' banyak kesalahan di The Last Stand dan Wolverine, Singer memutuskan untuk bergabung dalam prekuel ini. Meskipun begitu, ia hanya mampu menduduki posisi produser dan memberikan kursi sutradara ke Matthew Vaughn. Keputusan itu cukup berdalih, ia mengaku tidak mau terlalu direpotkan banyak pekerjaan karena sedang terfokus pada proyek Jack The Giant Killer. Oiya ada yang unik, sutradara yang came-out-as-a-gay ini pada tahun 2006 lalu lumayan sukses menyutradarai film superhero lain yang datang dari 'negeri seberang', yaitu Superman (DC Comics). Lalu apakah X-Men: First Class ini boleh disebut dengan sebutan lain seperti X-Men 5? Tidak. Banyak yang tidak diketahui orang-orang mengenai hal yang satu ini. X-Men 1 sampai X-Men: The Last Stang adalah trilogi tunggal yang terpisah dari dua film berikutnya, baik itu Wolverine maupun First Class. Sedangkan X-Men Origins: Wolverine hanyal proyek spin-off gagal yang ironisnya disarankan oleh Singer sendiri untuk tidak mempedulikan film tersebut (waktu itu saya interviewnya di TotalFilm). Nah, kalau X-Men First Class merupakan instalmen pertama dari proyek trilogi baru yang secara langsung terpisah dari empat film sebelumnya. Dua sekuel sudah dipersiapkan untuk melengkapi trilogi-prekuel ini. Di film X-Men terbaru ini, ada satu hal yang coba dikembalikan, yaitu seragam warna kuning yang digunakan para mutan di komik.

Mari berbicara mengenai isi filmnya. First of all, perlu gw nyatakan bahwa prekuel ini adalah film yang sangat berhasil dalam mengembangkan banyak ekspektasi dan membuang jauh-jauh segala keraguan gw sebelumnya. Dengan cerdas First Class menghadirkan banyak unsur penting seperti yang dimiliki dua film X-Men terdahulu, segi cerita maupun visualisasi. Bicara visualisasi, jangan diremehkan dulu karena yang satu ini memiliki efek visual yang ditata dengan baik berikut editing-sequence yang bagus dan tidak membingungkan. Visual efeknya sendiri nggak 'wah' banget sih, tapi udah layak dikatakan baik apalagi dibantu sound-editingnya yang cukup menggelegar. X-Men memang tidak pernah pusing-pusing untuk memaksimalisir bagaimana sebuah film dapat enjoyable sebatas berkat peran efek visual semata. Melainkan bagaimana orang bisa asik nonton melalui cerita yang nggak sampah dan memiliki banyak isu kuat di dalamnya. Masih sama seperti fim-film sebelumnya, X-Men First Class ini kembali memperdebatkan isu kemanusiaan dan rasialisme. Semuanya disampaikan lewat penggambaran karakter mutan-mutan yang bisa dibilang kasihan. Segala bentuk diskriminasi coba ditentang mereka walaupun kenyataannya sangat sulit mempengaruhi manusia untuk sedikit mengerti. Yang gw dapet adalah jangan bisa menilai dan men-cap seseorang dengan gampangnya tanpa tahu gimana sih mereka suffering selama ini. Kasihan loh melihat mutan-mutan yang nggak tahu kenapa mereka bisa jadi seperti itu malahan ditentang mati-matian oleh manusia. Well, mereka kan nggak minta untuk jadi seperti itu, kenapa harus dianggap jahat? 
Sebenarnya yang menjadi topik utama disini adalah hubungan antara Charles Xavier "Profesor X" dan Erik Lehnsherr "Magneto". Udah bukan rahasia kalau ke depannya mereka justru malah bersaing dan bertarung mati-matian. Ini lah yang mau dijelaskan First Class, apa penyebab dari pertarungan dua sosok penting ini. Ada yang nyadar nggak sih, di film-film X-Men pertama si Magneto sering banget manggil Professor X dengan "Hello, old friend"? Dari conversation pendek itu lah yang jadi cikal bakal gw untuk penasaran ke depannya, emang apa sih yang terjadi di masa lalu? Untungnya semuanya terjawab lewat kehadiran prekuel ini. Gw suka banget melihat perbedaan karakter antara mereka yang dulu dan nantinya. Kalo di masa depan si Professor X digambarkan sebagai sosok yang sangat dingin, beda sekali dengan masa mudanya. Charles dulunya adalah sosok yang cerdas dan bisa dibilang lebih lentur dari masa tuanya. Sedangkan Erik di masa muda tergambar sebagai sosok dingin yang haus dendam, berbeda dengan masa tuanya yang kejam namun tidak serapuh dirinya dahulu. Dua tokoh utama tersebut dimainkan dengan sangat baik oleh duo James McAvoy dan Michael Fassbender. McAvoy memerankan sosok Charles dengan penggambaran yang sempurna lewat sisi karismatis dan terbuka. Sedangkan perhatian justru lebih tertuju ke penampilan Fassbender, yang menurut gw adalah penokohan sekaligus penampilan terbaik dalam film. Sosoknya yang emosional dan terkesan destruktif dibangun sangat baik dengan penjiwaan karakter yang sempurna dan sukses merebut hati gw. Beda banget loh, padahal di X-Men yang dulu gw rada benci sama Magneto. Tapi disini gw kasihan dan suka banget sama wataknya, gw bahkan masih care sampai di saat-saat dia meninggalkan Charles sekalipun.

X-Men: First Class menandai awal berkembangnya pertanyaan cukup membingungkan dari kisah superhero ini; "mana yang baik, mana yang salah". Bagi manusia yang totally nggak tahu bagusnya eksistensi mutan dan menganggap mereka membahayakan, mungkin sah-sah saja mereka begitu, toh mereka kan nggak ngerti. Dan bagi mutan, mereka jelas nggak suka cara manusia memperlakukan mereka yang terang-terangan menolak keberadaan mereka. Skema good vs. evil juga kadang jadi pertanyaan besar dalam X-Men. Ya seperti yang gw tulis tadi, orang kadang bingung mana yang salah mana yang benar. But for me personally, human are totally wrong at this point and should have to apologize to mutants, hahaha. Ada beberapa selingan dialog yang stuck di otak gw dan gw akui bener-bener bagus. First Class memiliki salah satu chemistry terbaik yang pernah ada dari dua tokoh utamanya, yaitu Charles dan Erik. Chemistry mereka berdua adalah faktor utama dalam terdorongnya kesuksesan naskah yang tidak membosankan. Tidak seperti spin-off Wolverine yang lebih terpaku ke konflik fisik antara dua tokoh, disini Matthew Vaughn lebih tertarik untuk menghadirkan konflik verbal dalam pola pikir keduanya yang jelas sangat berbeda. Diluar dendamnya karena sang ibu dibunuh oleh Shaw, Erik memiliki pandangan kokoh yaitu manusia adalah rival semua mutan dan harus dihancurkan. Sedangkan Charles Xavier masih yakin mutan bakal diterima manusia dan mau membantu pemerintahan. Bentrok ideologi mungkin terlihat dengan jelas di ending film, tapi sesungguhnya konflik antara dua orang ini sudah terjadi dari awal film. Gw suka sama dua quote yang secara gamblang memperlihatkan perbedaan antara mereka. Yang pertama adalah perkataan Charles, "Killing will not bring you peace.", lalu statement Erik yang sudah terlihat kokoh, "Tomorrow, mankind will know that mutants exist. They will fear us, and that fear will turn to hatred."

Selain dua karakter terdepan di atas, masih ada beberapa mutan yang turut meramaikan X-Men: First Class ini. Yang paling saya suka adalah karakter Raven a.k.a Mystique dan Hank a.k.a Beast yang keduanya sama-sama dilematis. Mystique dan Beast memiliki penampilan yang mencolok dibanding yang lain. Kalau di tiga film X-Men pertama sosok Mystique hanya bisa dilihat lewat tubuh biru nya, disini semua bisa melihat penampilan luar lainnya yang terlihat seperti manusia. Begitu pula dengan Beast. Dua sosok 'biru' disamping diperankan dengan baik oleh Jennifer Lawrence dan Nicholas Hoult, dimana karakter mereka awalnya nggak percaya diri sama diri mereka yang agak menakutkan, tapi pada akhirnya sanggup menerima. Suka banget sama  “Mutant and proud” yang mempertajam isu rasial atau diskriminasi yang mereka hadapi. Selain mereka masih ada beberapa mutan lain yang nggak kalah unik. Sebut saja Havok (Lucas Till) yang mampu membelah apapun dengan laser merah yang keluar dari tubuhnya. Mirip Cyclops kan? Nggak usah bingung, karena dalam komik Havok adalah ayah dari Cylops. Ada Banshee (Caleb Landry Jones) yang memiliki suara supersonik yang memekakkan telinga, lalu Angel (Zoe Kravitz), seorang stripper yang bisa terbang dan mengeluarkan ludah api. Di kelompok villain, ada Sebastian Shaw yang mampu menyerap energi dan menggunakannya. Ada Emma Frost (January Jones), si ahli telepati yang bisa berubah bentuk menjadi kristal. Jangan bingung kalo pernah lihat Frost di X-Men: The Last Stand, karena keduanya adalah orang yang berbeda. Masih di sisi villain, ada Azazel si setan merah dan Riptide si storm-maker, yang sangat disayangkan keduanya bagaikan tempelan karena tidak ada satupun cerita dan dialog disodorkan bagi mereka. Masih ada satu mutan lagi yang mati lebih dulu, tapi saya lupa. Oiya, nggak ketinggalan Moira MacTaggert, anggota CIA yang turut bekerja sama dalam menjalankan visi dan misi Charles. 
Talking point...
Bromance oh bromance. X-Men: First Class semakin memperkuat rasa cinta saya pada semua film X-Men. Awal dari trilogi-prekuel yang menakjubkan, didukung oleh chemistry antar semua cast yang terjalin dengan sangat kuat. Jangan lupakan ending film yang 100% mengharukan, gw aja sampai merinding. I think X-Men First Class is the best of the five xmen films, at this point, the best film of 2011 (so far).

Rate :
1  2  3  4  5

Senin, 01 Agustus 2011

[Review] FLIPPED (2010)

Director Rob Reiner Cast Callan McAuliffe, Madeline Carol, Rebecca De Mornay
Distributor Warner Bros. Pictures Genre Drama, Comedy, Romance


Rob Reiner mungkin termasuk satu dari sekian banyaknya sutradara terbaik yang paling terkenal. Tidak hanya itu, layaknya beberapa sutradara yang memiliki gaya atau ciri khas sendiri dalam berkarya, Reiner juga punya keunikkan sendiri dalam membuat film-filmnya. Ya, coming-of-age story merupakan gaya bercerita yang seringkali diterapkan Reiner dalam beberapa filmnya. Siapa sih yang nggak tahu Stand By Me? (pasti ada lah). Film klasik '80-an yang layak dicap sebagai masterpiece seorang Rob Reiner. Tidak hanya berkutat seputar coming-of-age saja, Reiner tidak jarang menawarkan tontonan keluarga atau romansa. Walaupun begitu, tetap saja semua karya Reiner sepertinya terlihat sama yaitu memiliki nuansa warm dan memikat.
Bersettingkan tahun '60-an, Bryce Loski (Callan McAuliffe) adalah bocah enam tahun yang baru saja pindah bersama keluarganya di sebuah perumahan. Di depan rumahnya, tinggal anak bernama Juli Baker (Madeline Carol), gadis belia seumuran Bryce yang membuat Bryce agak ilfeel. Bagaimana tidak, Jodi yang keadaan ekonomi keluarganya jauh dibawah Bryce seketika minta berkenalan dengannya dan kemudian langsung jatuh cinta. Bryce sangat terganggu oleh tingkah laku Juli tersebut. Belum selesai sampai disitu, Bryce kembali dibayang-banyangi oleh gadis tersebut kala mendapati ia satu kelas dengannya. Memasuki usia 11 tahun, Juli masih belum tobat untuk membuat Bryce ilfeel. Juli terus mengikuti kemanapun Bryce pergi.

Merasa muak dengan apa yang ia alami selama ini, Bryce terpaksa memacari gadis terkenal di sekolahnya dan jelas hal ini membuat Juli kesal dan lambat laun jadi patah semangat. Walaupun hubungannya dengan gadis itu berakhir dengan konyol, paling tidak berhasil membuat Juli menghindar dan melegakan Bryce. Tapi Juli tetap menunjukkan perhatiannya kepada Bryce dengan memberikan telur hasil ternaknya secara rutin. Miris, keluarga Bryce takut mengkonsumsi telur tsb karena takut bervirus. Tidak mau menyinggung perasaan Juli, Bryce tetap menerima telur dan lebih memilih untuk membuang ke tempat sampah hingga akhirnya tertangkap basah oleh Juli. Karena tindakan Bryce, Juli berusaha untuk menjauhi Bryce, walau faktanya susah untuk dilakukan dan ia memang masih suka. Apa yang terjadi setelahnya adalah Flipped (terbalik). Bryce diam-diam juga suka Juli dan mengejarnya untuk minta maaf. Perlahan, mereka menyadari apa yang mereka cari selama ini dan apa yang harus dilakukan to get it right.
Satu ciri khas penting dalam film-film Rob Reiner adalah seringnya ia menyisipkan scene-scene bernuansa tenang dan heartwarming. Meskipun begitu, kekhasan ini tetap Reiner sejajarkan dengan tema yang ia bawakan dan pesan yang mau ia sampaikan ke penonton (yang seringkali bernafas kekeluargaan). Dan kali ini lewat sajian coming-of-age, Reiner mengedepankan sebuah pertanyaan: bagaimana perbedaan bisa mempengaruhi perubahan seseorang? Yang kali ini kehidupan tumbuh dewasa ia jadikan contoh. Coming-of-age memang salah satu jenis film yang saya suka dan mudah untuk disukai. Film-film seperti ini biasanya memperlihatkan pentingnya kehidupan masa kecil yang dipenuhi perasaan labil dan sering banget dilupakan, padahal mestinya bisa dijadikan pedoman dan pelajaran.

Dan ada satu hal yang paling unik dari Flipped, yaitu dipakainya dua sudut pandang berbeda melalui perspektif Bryce dan Juli (him and her). Jangan kaget pas nonton film ini anda menemukan banyak scene yang diulang, dan jangan ngira dvd yang ditonton rusak hingga di-rewind segala hahaha. Flipped bisa dibilang berkesan repetitif yang sangat kental dalam membawakan alur cerita. Satu peristiwa bisa diulang dua kali dengan sudut pandang yang berbeda. Saya beri contoh, coba bayangkan si A menabrak si B, lalu si A merasa sangat bersalah dan mengira si B marah besar. Dan ternyata, si B menganggap hal itu sepeleh a.k.a not a big deal to think about. Beda pemikiran kan? Inilah yang sangat saya sukai dari Flipped. Kayaknya don't judge a book by its cover bisa dijadikan alasan Rob Reiner untuk memilih cara repetitif seperti ini. Jangan terlalu yakin dengan apa yang orang utarakan, sebagus atau sejelek apapun yang mereka omongin. Toh nggak ada yang tahu isi hati orang kan? Orang bisa aja munafik. Flipped meyakinkan pemikiran bahkan ketakutan Bryce dalam satu peristiwa tidak tentu benar. Lewat perspektif kedua, yaitu Juli (bisa dituker tergantung perspektif siapa yang duluan muncul), ternyata perbedaan pemikiran terjadi diantara keduanya. Tidak hanya itu, Flipped juga menasihati orang untuk terbuka dan jangan menyimpan suatu masalah/dendam/ketakutan, keluarkan saja semua itu dan pasti masalah selesai kan. Itulah yang Bryce dan Juli tidak lakukan di awal, tapi pada akhirnya mampu mereka fix.

Masih banyak hal satir lainnya di dalam Flipped. Diantaranya masalah keluarga yang lagi-lagi berkutat seputar perbedaan satu sama lain. Ya, sebagian besar yang Flipped singgung adalah perbedaan. Banyak sekali hal kecil yang disusun dengan sempurna. Ayah Bryce adalah contoh dari sebuah ketakutan akan tercermarnya nama baik dan ironisnya ia jaga hal itu dengan kesombongan dan kemunafikan. Sekali lagi, don't judge a book by its cover, harus ditekankan pada karakter ayah Bryce disini. Diluar hal negatif yang disudutkan pada karakternya, ayah Bryce memiliki sebuah cara untuk menutupi kelemahan dan berusaha untuk menunjukkan apa yang ia punya (walau tetap ironis). Ia bukan ciri bapak yang membela, tapi menutupi. Apapun kejelekkan keluarganya hanya bisa ia tutupi (lihat scene meja makan pas mereka membicarakan instrument-interest). 

Flipped beruntung memiliki dua karakter sentral yang dimainkan dengan baik oleh Callan McAuliffe dan Madeline Carol. Sebuah kesenangan tersendiri bagi saya untuk menonton Flipped, yang pasti karena dua bintang remaja ini. Kesan warm dan delightful sebagian besar timbul dari penampilan mereka. Ya, cara mereka memainkan karakter Bryce dan Juli mempelajari masalah dengan teliti dan menghargai, bahkan discreet-love satu sama lain merupakan joy of watching Flipped. Trust me (it works -_-), pandangan orang terhadap dua karakter ini pasti sangat berbeda dari mereka di opening dan ending. Sinematografi dan editing yang sangat amat warm juga menjadi kepuasan sendiri untuk menonton film ini. Flipped tidak memiliki tema berat bahkan peristiwa atau kejadian yang bisa menggoncang perasaan saat menonton. Instead, Flipped lebih memilih untuk membantu orang-orang berpikir lebih luas dan tegas tentang humanity lewat "masa kecil" yang simple dari Bryce dan Juli. 
Talking point...
Flipped is a movie about a kid becoming a man. Dikemas sederhana dengan hasil yang loveable dan mengundang senyum paska menonton. Dibantu oleh divisi akting yang sama menyenangkan dan baiknya, termasuk para aktor dewasa yang turut membantu pembentukan sisi emosional dalam cerita, ini adalah ajang nostalgia seorang Rob Reiner yang memuaskan bagi saya. Oh iya, ada Rebecca De Mornay yang main di Risky Business loh di film ini.


Rate :
3.5 out of 5