infolinks

Senin, 16 Mei 2011

[Review] I AM NUMBER FOUR (2011)

"I am next."
Director :
D.J. Carusso

Cast :
Alex Pettyfer
Dianna Agron
Teresa Palmer
Timothy Olyphant
Callan McAuliffe

Distributor :
Touchstone Pictures

Genre :
Sci-Fi, Action, Fantasy, Thriller








Who are you?...ah atau...What are you?.. Merasa familiar dengan potongan dialog tersebut? Pasti banyak lah film yang memakai dialog tsb, tapi mungkin yang paling gampang diingat adalah franchise Twilight Saga, lebih tepatnya seri pertamanya, adegan dimana Bella mempertanyakan identitas asli dari sesosok pria misterius yang sedang menjadi pacarnya. Hahaha maksud dari penjelasan saya disamping adalah, akhir-akhir ini sedang maraknya film ataupun serial televisi yang berfokus/menjadikan kaum remaja sebagai sasaran pemasaran produk mereka, yang kebanyakan memiliki isi cerita yang sangat biasa namun tetap saja bisa mengumpulkan jutaan penggila berkat penampilan bahkan tampang dari jajaran cast film tersebut. Oiya, apa yang ingin saya jelaskan dari dialog who are you/what are you tersebut adalah, sajian remaja akhir-akhir ini banyak sekali yang memiliki kisah cerita mengenai...hmm...kisah asmara antara manusia dengan entah itu vampir, werewolf, dll -- yang penting sosok misterius yang nantinya akan dipertanyakan si manusia itu (kebanyakan sih yang jadi manusia tuh yang cewe).

Nah setelah Twilight Saga yang sejak tahun 2008 terus-terusan dibuat sekuelnya per tahun sehingga terkesan nafsu, di awal 2011 ada lagi film dengan premis sejenis berjudul I Am Number Four. Diangkat dari novel dengan judul sama karangan duo penulis James Frey dan Jobie Hughes yang ternyata dipublikasikan untuk pertama kalinya tidak jauh sebelum filmnya rilis, Aug 2010, film ini dibeli hak produksinya oleh Michael Bay yang terkenal dengan robot-robotnya itu. Berhubung di tahun ini ia juga sibuk dengan sekuel kedua Transformers nya itu, D.J Caruso yang sukses lewat film2 aksi nan menghibur ala Eagle Eye pun diberikan kursi sutradara sementara Bay tetap ikut berkontribusi di posisi produser. Tidak mau kalah dalam memamerkan bintang-bintang remaja, I Am Number Four (menurut saya) unggul dalam memilih pemeran semua karakternya, hehe, yang pasti dalam artian fisik, mereka adalah....
Dikisahkan sembilan alien remaja berwujud manusia diasingkan ke bumi. Tenang, kedatangan mereka ke bumi bukanlah untuk melakukan invasi besar-besaran seperti kebanyakan alien di film2 bertema alien lainnya. Mereka datang ke bumi untuk menyelamatkan diri mereka dari kejaran Mogadorians, musuh kaum alien mereka, yang telah menghancurkan planet tempat mereka berasal, Lorien, berikut eksistensi dari segala makhluk yang ada. Kini hanya tersisa sembilan alien, masing-masing dari mereka ditandai dengan nomor urut dan ditemani oleh masing2 satu guardian yang bertugas menemani dan menjaga mereka hingga mereka tumbuh dewasa dan memperoleh super-power mereka nanti. Rupanya Mogadorians belum mengenal kata menyerah, mereka ikut datang ke bumi dan memburu kesembilan alien Lorien yang tersisa tersebut. Mogadorians tidak bisa membunuh sembilan anak itu secara acak melainkan harus mengikuti urutan mereka. Satu persatu berhasil dibunuh; number one, number two, number three, dan berikutnya number four.

Alex Pettyfer memerankan Number Four, sosok alien remaja good-looking dan sangat menarik yang ditemani dengan guardiannya Henri (Timothy Olyphant). Number Four dan Henri hidup di bumi secara nomaden, yaitu selalu berpindah-pindah tempat setiap kali terjadi kasus yang bisa membahayakan atau membocorkan persembunyian mereka di bumi. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal sementara di kota kecil di Ohio bernama Paradise. Henri mewajibkan Number Four yang di kota tersebut memakai nama John Smith untuk tidak terlalu berbaur dengan lingkungan demi membantu penyamaran mereka. Di kota tsb John berkenalan dengan Sam (Callan McAuliffe) dan juga Sarah (Dianna Agron), gadis cantik pecinta fotografi yang lama2 dicintai John. Dan untuk pertama kalinya selama kehidupan nomadennya, Number Four merasa yakin bumi bisa menjadi tempat ia memulai hidup barunya.
Memang rata-rata film remaja yang memiliki kesamaan premis mengenai dua makhluk berbeda jatuh cinta ini pasti tidak jauh-jauh beda ceritanya. Lihat saja mulai dari Twilight, The Vampire Diaries, Red Riding Hood yang belum saya tonton tapi katanya mirip banget sama Twilight, hingga sekarang I Am #4, pusat ceritanya sama-sama aja. Si cewe manusia bertemu sosok pria misterius? Sama. Si cewe merasakan keganjilan pada sosok si pria dan mempertanyakan siapa sih dia sebenarnya dengan kata-kata Who are you atau What are you? Hahahaha sama banget, malah tuh kata-kata dipakai di semua film yang saya cantumkan diatas. Dan lalu si pria yang bukan manusia hidup berpindah-pindah demi mencegah kecurigaan manusia di sekitarnya? Sama. Mungkin tiga poin di samping merupakan sebuah kebetulan ya. Dan memang tidak bisa dipungkiri kehadiran Twilight memang sebuah awal dari makin maraknya timbul film sejenis, bukan berarti saya mengatakan film-film setelah Twilight isi ceritanya nyontek, tidak. Buktinya serial TVD sendiri adalah adaptasi dari novel yang rilis jauh lebih dulu daripada novel si Stephenie Meyer. Jadi bisa dibilang orang-orang harus bersyukur atas kehadiran Twilight sehingga banyak sineas memutuskan untuk ikut mengadaptasi banyak karya novelis serupa.

Nah, lalu bagaimana dengan I Am Number Four ini? Terus terang, ekspetasi besar timbul dalam diri saya saat nonton trailernya berikut melihat poster-posternya yang teen banget dan...ya saya suka aja. Setelah berbulan-bulan menunggu muncul bajakannya, ya taulah indo sekarang tambah miskin karena nggak ada film hollywood dari studio major besar yang bisa masuk ke sini, akhirnya dapet juga bajakannya setelah tiga bulan menunggu. Jujur, I Am Number Four nyatanya tidak memiliki kualitas yang berdasar pada ekspetasi besar saya. Bukan berarti jelek, tapi bagus banget juga nggak. Dan jujur lagi, yang ada di bayangan saya pertama kali adalah...oh mungkin film ini bakal seseru Transformers kali ya. Ternyata tidak, I Am Number Four memiliki kekurangan dalam minimnya adegan aksi remaja yang seharusnya dimaksimalkan dengan sangat baik dalam sebuah film sci-fi. Sangat disayangkan durasi 109 menit itu terkesan percuma/mubazir karena terlalu lamanya kita harus menunggu inti cerita dengan menonton kisah hidup Number Four berikut perkenalan dirinya dengan masa SMA di Paradise yang berjalan dengan lambat. Saya sendiri tidak merasakan kebosanan dalam mengikuti jalannya cerita, hanya saja sedikit kecewa dengan apa yang ada di trailer mungkin, atau kecewa dengan apa yang selama ini digembor-gemborkan khususnya nama Michael Bay dan juga D.J Carusso. Transformers? Eagle Eye? Masa sih mereka nggak bisa membuat I Am Number Four memiliki intensitas keseruan sebuah sci-fi layaknya apa yang bisa kita nikmati dalam dua film disamping. Sekali lagi bukannya jelek, tapi dengan nama dua orang tersebut seharusnya mereka bisa memberikan sesuatu yang lebih berkelas untuk kelas sci-fi atas dan mensejajarkan kualitas film itu dengan kualitas nama mereka sendiri.

Tapi tenang, sci-fi-watch-experience tidak mereka lewatkan dengan membiarkan kita menikmatinya di tiga puluh menit terakhir yang saya bilang lumayan seru. Banyak yang menyamakan film ini dengan serial-serial televisi scifi seperti Heroes ataupun Smallville, hmm, memang sih agak terlihat mirip apalagi untuk orang indo yang hanya bisa nonton di tv. Walaupun bukan alasan yang bagus untuk membela film ini, mungkin ekspetasi besar kita terasa hancur karena gagalnya kesempatan untuk menikmatinya di layar besar dan speaker dolby digital, hahaha. Alex Pettyfer yang sebelumnya lumayan terkenal lewat film debutnya Stormbreaker dan kiprah modellingnya bersama brand Burberry ini paling tidak tampil masih lebih baik ketimbang R-Pattz yang buat-buatnya terlaluu terlihat. Walaupun terlihat agak canggung tapi model-turned-actor ini masih baiklah memenuhi sedikit ekspetasi saya. Ada juga Teresa Palmer, yang mengejutkan tampil dengan porsi agak sedikit hanya di sekitar dua puluh menit terakhir sebagai sesama alien si Number Six, hmm kalau sebelumnya dia tampil bersama Nicolas Cage di posisi yang sama seperti Sarah yaitu 'tidak tahu apa-apa', disini ia malah masih kelihatan lebih asik. Oiya, salah satu alasan saya akan I Am #4 adalah Dianna Agron yang terkenal lewat Glee!! Whoa favorit saya nih, hahaha, cantik iya, suara bagus juga iya. Walaupun disini ia hadir dengan penampilan paling kaku tapi tetaplah...Dianna Agron selalu (pentingkah?). Oiya bedanya disini kita nggak akan dihadapkan pilihan team seperti team edward dll, ya secara I Am Number Four agak berbeda dari twilight dll karena tidak memusatkan kisah cintanya pada cinta segitiga.

Talking point...
I Am Number Four tetap menarik dan menghibur, diluar kurangnya eksploitasi besar-besaran dalam naskah cerita maupun porsi actionnya. Aksi berikut penampilan wajah semua castnya adalah salah satu nilai lebih bagi saya, dan juga visualisasi efeknya yang bagus. Sebagai sebuah franchise, I Am Number Four terhitung masih meyakinkan untuk berikutnya dilanjutkan oleh The Power of Six dan sekuel berikutnya yang sampai saat ini belum ditulis bahkan dipublikasikan. Posisi screenwriter yang lebih berpengalaman mengurusi serial sci-fi televisi mungkin agak memberikan pengaruh tv-sense pada film ini. Fans? Pasti bermunculan secara perlahan.

Rate :
2.5 out of 5

Minggu, 08 Mei 2011

[Review] CONFESSIONS / KOKUHAKU (2010)

"I thought about how to take revenge on you.."
Director :
Tetsuya Nakashima

Cast :
Takako Matsu
Kaoru Fujiwara
Yukito Nishii
Ai Hashimoto
Yoshino Kimura

Distributor :
Toho Company

Genre :
Thriller, Drama









"Balaslah kejahatan dengan kebaikan"... ah kata bijak disamping sangatlah universal, siapapun pasti tau itulah perbuatan yang tepat demi menghindari hal yang sama yang akhirnya diterima si penjahat tersebut, hmmm karma atau penjara mungkin. Hukum tabur-tuai mungkin bisa disangkut-pautkan dengan apa yang menjadi tema dalam Confessions ini. Apa yang kita lakukan, baik itu bagus atau nggak, pasti nantinya kita akan mendapatkan balasan yang setimpal dari apa yang telah kita lakukan. Tapi apa jadinya kalo kita 'menabur' hal buruk? Apalagi sangat menyakitkan orang terdekat dari orang yang kita sakiti, misalnya korban dari pelecehan sampai pembunuhan? Dari lubuk hati yang terdalam, pasti ada rasa dendam dari mereka yang sangat dekat dengan si korban. Lebih bahaya lagi kalo mereka mengekspresikan kekesalannya dengan jalan yang saya sendiri bingung itu benar ato nggak; balas dendam.

Penasaran saya akan ini film dimulai saat saya membaca artikel Vampibots, dan berlanjut ke banyak review yang ngomongin film ini dan ternyata banyak yang suka/memuji film yang satu ini. Siapa yang nyangka ternyata Confessions atau yang memiliki judul asli Kokuhaku dalam bahasa jepang ini merupakan official-submission dari Jepang untuk kategori Best Foreign Film dalam Oscar ke-83 kemarin. Setelah sebelumnya negeri sakura ini berhasil unjuk gigi lewat Departures yang memenangkan kategori yang sama di Oscar ke-81, kali ini Jepang kembali mencova peruntungan di dunia luar. Tapi sayangnya Confessions hanya berhasil masuk ke dalam January short-list atau sepuluh besar, yang berarti gagal masuk ke dalam nominasi utama atau lima besar. Dan pada akhirnya saya sangat mengerti apa yang membuat Confessions bisa mengumpulkan banyak perhatian di seluruh dunia. Oiya indo sendiri juga ikut coba-coba memasukkan filmnya sebagai official-subs lewat Alangkah Lucunya (Negeri Ini) tapi akhirnya gagal dan nggak di kasih tau sampai berapa besar hahaha.
Film dibuka dengan dimulainya hari yang baru sekaligus hari terakhir sekolah bagi seluruh murid SMP kelas 1B sebelum liburan tiba. Kebahagiaan akan berakhirnya masa-masa sibuk bersekolah tampak menyelimuti raut wajah mereka semua. Suasana ceria sangat tergambar lewat ributnya kelas tersebut dan aktivitas mereka di hari terakhir. Di hari terakhir sekolah itu masing-masih murid dibagikan susu kotak segar oleh sang guru, Yuuko Moriguchi (Takako Matsu). Seiring waktu berjalan, mereka tetap menikmati susu tersebut di hari yang mereka anggap sangat menyenangkan. Keributan tersebut tidak menghambat Moriguchi untuk berbicara, walaupun tetap saja tidak dihiraukan. Secara perlahan kelas berubah menjadi hening saat Moriguchi menyatakan beberapa pengakuan dirinya, yang pertama adalah bahwa hari itu adalah hari terakhir dirinya mengajar di sekolah tsb.

Pengakuan demi pengakuan terus berlanjut dan tambah seru untuk didengar. Hingga akhirnya seisi kelas dikagetkan oleh pengakuan ibu Moriguchi yang menyatakan bahwa putri tunggalnya, Manami, meninggal di kolam sekolah bukan karena kecelakaan melainkan tewas dibunuh. Dan tidak hanya itu, pengakuan wanita pucat tersebut bertambah mencengangkan saat dirinya menyatakan pembunuhnya adalah dua murid di kelas tersebut yang ia beri label si A dan si B. Dan tunggu dulu, pengakuan belum berhenti. Moriguchi mengakui telah menyuntikkan darah dari orang terinfeksi virus HIV ke dalam susu yang diminum dua orang yang paling bertanggung jawab atas kematian putri tercintanya tersebut. Secara tidak langsung semua siswa akhirnya tau siapa kedua anak tersebut lewat ciri-ciri yang dibeberkan Moriguchi. Awal penderitaan pun dimulai paska kepergian Moriguchi.
Ternyata tidak hanya hollywood atau orang seperti Nolan yang bisa membuat film cerdas seperti apa yang ditawarkan Confessions disini. Dengan premis yang sederhana dan biasanya digunakan untuk film-film genre slasher atau horror, Tetsuya Makashima, selaku sutradara berhasil mengeksekusi premis tersebut lewat jalan cerita yang sangat tereksplor dan mempunyai makna berikut tujuan yang lebih dalam, yang alhasil Confessions merupakan sebuah thriller-phsycology-drama. Setelah sebelumnya berhasil menuai banyak respon baik berkat karyanya Memories of Matsuko yang saya sendiri belum nonton, Makashima sekali lagi sukses merubah tema tersebut menjadi sesuatu yang berbeda lewat ide-ide brilian yang ia sematkan. Film asia memang tidak sedikit yang bagus bahkan sangat bagus, dari keseluruhan asia memang asia timur lah yang menurut saya adalah sumber film-film asia keren yang memang terbukti bagus-bagus. Nggak tau kenapa saya tidak bisa menikmati film-film thailand yang belakangan ini lagi banyak ditonton orang indo, mungkin karena nggak ada pilihan lain kali ya secara film hollywood nggak bisa masuk hahaha.

Tidak seperti film sebangsanya, Confessions bukanlah sebuah slasher yang memberikan kita pengalaman menonton sadis ala Saw, I Saw The Devil, ataupun Death Bell mungkin yang memiliki tema yang sama, yaitu balas dendam. Confessions tidak berpusat pada bagaimana cara orang tersebut membalaskan dendamnya berikut proses lewat aksi bunuh-bunuhan. Bukan. Tapi apa yang coba dituturkan disini adalah bagaimana dampak berikut penderitaan yang nantinya akan menimpa si pelakunya nanti, ya, hukum tabur tuai. Hukum tabur tuai sama halnya dengan karma, mungkin banyak yang masih merasa asing dengan 'hukum' ini karena itu adalah salah satu hal yang pasti lebih dimengerti orang nasrani. Film dibuka dengan narasi dari seorang Moriguchi lewat pengakuannya yang sangat panjang, sekitar 30 menit. Dan untungnya waktu panjang yang dipakai untuk monolog itu sama sekali tidak membosankan. Suasana berubah seiring bertambah tegangnya pengakuan ibu guru tersebut. Dengan atmosfir kelam yang semakin menyelimuti film, nyatanya kita tidak akan dibuat tegang secara berlebihan berkat sisi sinematografi yang lagi-lagi dieksekusi denga sangat rapi. Angle pengambilan gambar, trik slow-motion, sampai scoring film seakan menimbulkan tanda tanya dalam benak saya; apa sih film ini? Apa sebenarnya yang coba dijadikan 'barang seru' film ini?.

Saya suka dengan slow-mo yang sedikit mendominasi 106 menit durasi film berikut scoring yang sangat bertolak belakang dengan atmosfir yang lahir di segi naskah filmnya sendiri. Itulah yang saya suka, dua unsur digabungkan jadi satu hingga akhirnya semuanya campur aduk; kadang suasana terasa tegang, tapi tiba-tiba bisa berubah jadi agak cerah gitu. Hmmm cara yang sempurna untuk memberikan watch-experience yang sedikit berbeda. Dan film tidak hanya berpusat pada tema balas dendam itu sendiri, ada juga isu lain yang coba disematkan walau bukanlah isi dari jalannya cerita, diantaranya kenakalan remaja dan bullying yang banyak terjadi di lingkungan sekolah. Bagaimana bisa adegan-adegan bullying atau kenakalan tersebut bukanlah inti dari cerita Confessions sendiri? Lihat saya aksi bullying yang terjadi di atap sekolah yang sekedar dipertontonkan sebagai selingan dan tidak dijelaskan siapa itu mereka, selain itu coba juga lihat penekanan pengambilan gambar yang sering menyorot aktivitas anak-anak di kelas seperti make-up, main di kelas, dan juga mengaktifkan telepon selular di kelas. Ada juga isu hak perlindungan anak dan kekerasan dalam lingkungan keluarga yang sangat jelas digambarkan disini. Selipan adegan-adegan tersebut semakin menambah kesan alami dan tidak terlalu dibuat-buat. Tidak hanya itu, semua itu adalah cara sempurna untuk menyindir kualitas pendidikan yang semakin menurun.

Talking point...
Confessions adalah sajian campur aduk yang berisi banyak singgungan mengenai keadaan dunia saat ini. Lewat banyaknya karakter yang juga menuturkan pengakuan mereka, film ini adalah salah satu film cerdas yang menggambarkan perbedaan sudut pandang pikiran orang-orang yang bisa saja menimbulkan persaingan atau kejahatan. Dengan editing dan sinematografi yang mumpuni, Confessions sangat baik membuat emosi saya naik-turun lewat penggambaran situasi yang sering berubah.

Rate :
4 out of 5

Selasa, 03 Mei 2011

[Review] WAITING FOR FOREVER (2011)

"What you believe to be true is everything."
Director :
James Keach


Cast :

Tom Sturridge
Rachel Bilson
Scott Mechlowicz

Richard Jenkins

Blythe Danner


Distributor :

Freestyle Releasing


Genre :

Romance










Hubungan yang terjalin di masa seseorang menginjak masa remaja atau bahkan anak-anak sekalipun mungkin adalah suatu pengalaman yang pasti tidak bisa dilupakan, entah itu hubungan pertemanan, antar keluarga, maupun cinta monyet kali ya hahaha. Suatu hal memorable yang mungkin tidak bisa dilupakan sebegitu mudah sampai kapanpun bagi satu atau lebih pihak. Itulah segelintir penggambaran tentang apa yang nantinya akan dieksplor lebih lanjut dalam Waiting For Forever. Hmmm dibilang film independen, saya juga nggak tahu pasti, tapi yang jelas menurut sumber film yang rilis di awal tahun ini hanya diputar di empat teater di AS.

Ya daripada bingung kategorikan saja Waiting for Forever ke dalam lingkup 'film kecil-kecilan'. Oke maksud 'kecil-kecilan' disini tidak berarti merujuk pada seberapa besar kualitas film, baca sampe part tiga aja artikel ini aja baru menarik kesimpulan, hehehe. Kecil-kecilan yang saya maksud adalah, Waiting for Forever didukung oleh beberapa bintang yang namanya memang belum terlalu bersinar dan kebetulan hanya sedikit dari mereka yang saya tahu. Sebut saja sang sutradara, yaitu James Keach, yang ternyata lebih banyak main film sebagai aktor super-pembantu dibanding menjalankan karir penyutradaraannya. Mungkin Blind Dating (2006) lah film arahannya yang (agak) terkenal, saya sih juga belum tonton. Di divisi akting ada Tom Sturridge dan Rachel Bilson yang memimpin jalannya cerita. R-Pattz' BFF, Sturridge, sebelumnya, menurut sumber yg saya baca, lumayan sering 'melengkapi' jajaran cast di beberapa film, misalnya Pirate Radio. Rachel Bilson sendiri namanya sih lebih tenar berkat perannya dalam serial tv The O.C (2003-2007). Oiya ngomongin poster, itu kenapa ya si Bilson kayak ngehindar, harusnya bisa dibuat agak deket dikit lah, oke nggak penting.
Will Donner (Tom Sturridge) dan Emma Twist (Rachel Bilson) adalah sepasang sahabat sewaktu kecil. Hubungan mereka yang sangat dekat itu bisa dibuktikan dari aktivitas mereka sehari-hari yang hampir selalu main bareng, dll. Jiwa si Will kecil mendadak bergejolak saat orangtuanya meninggal akibat kecelakaan kereta api yang mereka tumpangi. Memiliki seorang kakak sepertinya tidak berguna bagi Will karena hanya Emma lah yang sanggup menguatkan dan memberikan ketegaran bagi Will. Persahabatan masa kecil nyatanya tidak mereka lanjutkan terus menerus, Emma dan Will berpisah.

Kini Emma dikenal sebagai seorang wanita karir yang berprofesi sebagai host acara televisi. Sedangkan Will hanyalah seorang homeless yang tidak memiliki pekerjaan tetap, walaupun kakaknya yang seorang banker hidup lebih mapan di kota yang dulu ia tempati. Walau telah lama berpisah, nyatanya Will masih punya sebuah perasaan pada his precious thing, Emma. Bahkan Will terus menerus membuntuti Emma kemanapun dia pergi, hingga akhirnya berhasil bertemu saat Emma sedang berkunjung ke kota asal mereka karena ayahnya yang sedang sakit. Past memories kembali terbuka dalam diri mereka, dan Will kembali berusaha melakukan 'reuni' terhadap momen-momen terpenting dalam hidupnya, dan dalam konteks yang sekarang berbeda; cinta.
Apakah kualitas film ini sama 'kecil'nya seperti orang-orang yang terlibat dalam film? Oke mungkin itu hanya opini saya dan harus saya rubah sedikit, toh ada si peraih noms oscar ikut main disini, Richard Jenkins. Diluar banyak review atau kritikkan negatif terhadap film ini, nyatanya saya masih bisa menikmati film yang satu ini. Dengan premis kisah romantis yang terbilang sederhana, Waiting for Forever terbukti sanggup memanfaatkan kesederhanaan tersebut dengan memberikan atmosfir cerita yang likeable. Naskahnya sendiri lumayan baik, dimana kisah cerita dirangkai lebih kompleks, tidak seperti film romantis kebanyakan apalagi yang berpusat pada cinta monyet atau apalah itu. Cerita mengalir dengan rangkaian yang baik, tanpa memberikan porsi biasa yang mudah ditebak berkat sajian yang mengharuskan kita untuk menebak apa yang akhirnya akan terjadi pada mereka berdua. Dua puluh menit terakhir saya nilai sebagai sebuah roms-twist. Memang sih penjabaran hubungan antar relasi para karakter disini tidak terlalu saya suka, dimana kompleksitas kehidupan dalam diri Emma. Ya mungkin hal itu bukanlah hal penting ya, hmmm penilaian saya saja hehehe.

Saya suka atmosfir film yang diwarnai iringan musik manis yang disatukan dengan memorabilia atau bisa dibilang kaledoiskop masa kecil Will-Emma. Apa yang ditunjukkan Tom Sturridge disini lumayan bagus, bagaimana ia mengekspresikkan sisi jiwanya yang resah dengan mimik atau bahkan gerak-gerik tubuh yang unik dan mengundang perhatian. Sturridge memperlihatkan kinerja yang baik dalam menghidupkan film ini berkat fleksibilitas yang dimilikinya yang pada akhirnya memberikan kesan mendalam terhadap karakter berikut juga filmnya sendiri. Rachel Bilson sendiri cukup dinilai entertaining dalam memerankan karakternya, walaupun tidak se-emosional apa yang diwujudkan dalam diri Will . Waiting for Forever seakan memberikan kita 'mata ketiga' untuk memandang lebih dalam tentang sebuah perbedaan antar dua hal yang memiliki perspektif dan arah pemikiran yang berbeda, yang keduanya tidak akan bisa menyatu kalau tidak adanya realisasi sempurna misalnya pengertian antar kedua pihak.

Talking point...
Diluar miskinnya ide naskah beserta premis cerita, saya tetap enjoy nonton Waiting for Forever berkat jalan cerita yang manis di sepanjang durasi 95 menit dalam film, dengan jalan cerita menghibur yang agak unpredictable tdk seperti kebanyakan roms. Waiting for Forever sepenuhnya menggambarkan apa itu dan seluk beluk dari sebuah imajinasi.

Rate :
2.5 out of 5